Tari menggigit bibir bagian bawahnya.
Sedikit tegang ia duduk di belakang orang yang selama ini sangat dibencinya,
yang telah memorakporandakan hidupnya, tapi tanpanya… Tari hampa. Dan Tari
tidak akan pernah menyangka, bahwa kali ini, di dekat Matahari Senja bisa
terasa begitu menenangkan. Meski ada yang mengganjal hatinya. Omongan Ata tadi…
Apa maksudnya? Apa yang akan dilakukan
Ata nanti? Mengapa? Lalu apa hubungannya dengan Tari?
Dengan sekali tatap Tari sudah bisa tahu
bahwa Ata sama sekali bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Tetapi Tari juga
tahu. Sorot mata itu, nada bicara itu… Seperti pertanda bahwa nanti hidupnya
tak akan pernah sama lagi. Ya Tuhan… akan
ada apa lagi? Apakah belum cukup drama yang terjadi dalam beberapa bulan
belakangan ini?
“Pegangannya yang bener, Tar. Kalo nggak,
lo bisa jatuh.”
Kata-kata Ari yang lembut namun dengan
nada memerintah sontak membuyarkan lamunan Tari.
“Yee, gue juga pegangan, kok!” elak
Tari, yang memang memegang bagian belakang motor – yang sebenarnya percuma saja
karena di belakang jok tidak ada pegangannya.
“Pertama, gue bukan tukang ojek. Kedua,
bagian situ nggak ada pegangannya. Jadi nggak usah malu-malu, peluk gue aja.”
Tari memukul bahu Ari pelan. ”Idiiiih, apaan
sih? Nggak usah aneh-aneh, deh!”
“Gue suka cewek hardcore.”
Ari tergelak ketika cubitan Tari
melayang di pinggangnya. ”Wah... Ternyata lo genit ya sekarang, udah berani
nyubit-nyubit – “
“Kak Ari!” jerit Tari kesal.
“Makanya... peluk! Atau nanti gue nggak
pake rem pas bawa motornya,” ancam Ari.
Tari menghela napas. Pasrah. Tuan Besar
memang keukeuh kalo sudah ada maunya.
Setelah meletakkan tas antara tubuhnya dan tubuh Ari, dengan malu-malu Tari
melingkarkan tangannya di pinggang Ari. Sedetik… dua detik… tiga detik… Tari
merasa tak bisa bernapas. Jantungnya berdetak tidak karuan, seakan ingin
melesak dari tempatnya. Meski terhalang tas, Tari takut Ari bisa mendengar
degup jantungnya.
Ari tersenyum. Dengan tangan kirinya, ia
memegang erat tangan Tari yang memeluk pinggangnya. Motor mereka melesat
melalui ramainya jalanan di pagi yang sibuk ini.
*
Seperti yang sudah bisa Ari duga,
kehebohan melanda SMA Airlangga. Kali ini bukan karena preman sekolah jadi dua,
tetapi karena kedatangan Ari dengan gadis yang biasanya lari darinya. Ari
tersenyum geli melihat muka-muka terkejut, masam, ketakutan bahkan prihatin saat
ia melintas sambil menggandeng Tari. Tari yang menyadari hal itu menjadi rikuh.
Ia hanya menunduk sepanjang jalan.
“Kak, kayaknya gue bisa jalan sendiri
deh tanpa perlu digandeng-gandeng gitu,” ucap Tari lirih.
“Jingga Matahari,” Ari memandang Tari
dengan tatapan mata tajam. ”Lo pikir gue tipe cowok yang bakal ngebiarin cewek
yang gue suka jalan sendirian ke kelasnya, sementara dia datang ke sekolah
bareng gue? Kan udah gue bilang, gue bukan tukang ojek yang cuma nganterin lo
sampe sekolah. Gue juga harus mastiin lo selamat sampe kelas.”
“Berlebihan,” balas Tari, tetapi ia
tersenyum juga. ”Lagian siapa yang berani gangguin gue? Perasaan yang selama
ini gangguin gue itu cuma elo, deh.”
“Oh iya, ya...” Ari menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. ”Mana ada yang berani gangguin Ibu Negara.”
“Hah?” Tari terperangah. Sebelumnya Ari
tidak pernah seterang-terangan ini.
Ari tertawa, kemudian mengacak rambut
Tari, pelan. ”Sudah sampai di kelas, Tuan Putri. Sekarang, hamba mohon diri…”
Tari menjulingkan matanya, tapi senyum
masih tersungging di bibirnya. Ia memasuki kelas. Tanpa perlu memandang ke
belakang, Tari tau Ari masih disana. di tempat yang sama dimana ia melepas Tari
menuju kelas. Tari berusaha tidak menatap ke arah Ari, karena selain takut akan
tercipta drama lagi pagi ini, ia… nervous.
Tapi tatapan itu masih dapat ia rasakan.
Sedikit enggan, ia memalingkan wajah agar dapat melihat pintu kelas. Senyum lebar
tersungging di bibir pentolan sekolah itu dengan mata tak lepas dari Tari.
Senyuman yang sangat jarang dilihat Tari. Senyuman yang membuat orang-orang
menatap aneh sekaligus takut pada pentolan sekolah itu.
Tari menatap Ari lekat-lekat. Senyum
itu… Kak Ari sedang bahagia. Sangat
bahagia.
Terbawa suasana, Tari ikut tersenyum dan
kemudian melambaikan tangan pada Ari. Tari tau tindakannya norak, memang. Dan
ia segera menyesali tindakannya itu, karena kemudian Ari tergelak dan
melemparkan kissing in the air. Tari
terkesiap. Ya Tuhan! Mau ditaruh dimana
muka gueee!
Seisi kelas berusaha keras menahan tawa
melihat adegan tersebut. Pentolan sekolah kemudian meninggalkan kelas Tari,
masih sambil memasang senyum jumawa.
Tari benar.
Ari sedang bahagia dan ia tidak pernah
sebahagia ini. Ia hanya berharap agar setiap hari Ari seperti ini. Selalu
seperti ini. Sudah cukup ia menahan beban seorang diri selama Sembilan tahun.
Dan ia berhak untuk istirahat.
Tapi manusia hanya bisa berharap, bukan?
“Tariiii!!” Pekikan Nyoman membuyarkan
lamunan Tari.
“Apaaaa?” Balasnya ogah-ogahan. Nyoman
ini memang benar-benar patut diacungi jempol. Radarnya untuk menangkap gosip
terhangat seperti hiu yang mencium bau darah. Cepat sekali nyantolnya!
“Galak banget, sih, Tar…” Rayu Nyoman
sembari mengambil tempat duduk di sebelah Tari.
“Hush! Lo ngapain duduk disini? Ini kan
tempat Fio.”
“Fio nggak masuk, baru aja dia SMS
gue. Katanya dia udah SMS lo tapi nggak delivered,” jawab Nyoman cuek. ”Lagian lo kudu bersyukur gue mau
nemenin lo saat Fio nggak ada. Jadi hari ini lo nggak menjanda.”
“Ih, naïf amat gue kalo ngira niat lo
setulus itu!” Tari tergelak. ”Bilang aja… gosip apa yang mau lo denger?”
“Katanya lo dateng sama Kak Ari tadi
pagi,” jawab Nyoman polos. ”Apa itu pertanda–“
“Pertanda apaaaa?”Tari tidak suka dengan
omongan Nyoman yang berbelit-belit.
Nyoman mengangkat bahu. ”Entah ya, Tar.
Tapi menurut gue, sih… Sebaiknya elo hati-hati. Nggak tau kenapa gue berasa was-was
aja. Kayak ada yang ganjel. Ada yang salah, tapi nggak tau dimana…”
Tari mengernyit mendengar kata-kata
Nyoman. Bahkan yang diindentifikasi sebagai orang luar saja berpikir yang
tidak-tidak. Apakah Nyoman tahu sesuatu? Tari rasa tidak. Namun kata-kata
Nyoman ini membuatnya kembali terpikir kata-kata Ata tadi pagi.
Elo
bakal banyak nangis.
“Omongan
lo ngaco!” tegur Tari, kemudian berdiri. ”Gue mau ke kantin... Sendiri,”
tambahnya ketika melihat Nyoman ikut berdiri.
Benar, Tari sangat pusing dan butuh
minuman dingin untuk menyegarkan kepalanya yang sepagi ini sudah dijejali
terlalu banyak peristiwa.
*
Ari tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak bisa.
Suasana hatinya sangat baik hingga ia seakan ingin menularkan kepada semua
orang. Adik kelas yang memandangnya takut-takut, ia rangkul. Pak Gun, cleaning service yang biasa Ari jahili
dengan menyembunyikan perlatan perangnya – kemoceng, lap, sapu lidi dan alat
pel – ia peluk dan selipkan beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Bu Sam,
‘mama’nya, ia sapa dengan ramah dan tak lupa dicium tangannya – yang membuat Bu
Sam melongo beberapa saat.
Bagaimana ia tidak menghilangkan senyum
jumawanya? Mama dan kembarannya yang hilang selama sembilan tahun telah ia
temukan kembali. Dan yang lebih membahagiakan lagi, ia didampingi oleh
gadisnya. Mataharinya.
Sudah lama ia tidak merasakan hal
seperti ini hingga dadanya terasa sesak. Namun, rasa sesak ini... adalah rasa
sesak yang menyenangkan. Ari tidak keberatan jika selamanya seperti ini. Bahkan
tadi pagi ia berdoa sesuatu yang musykil: biarkan
bahagia ini tetap begini! Walau hati kecilnya sendiri menyadari,
bagaimanalah Tuhan mengabulkan hal absurd seperti itu.
Tapi Ari bertekad untuk tidak merusak moodnya hari ini.
Nun jauh disana, meski masih dalam jarak
pandang namun tidak terlihat kentara, sepasang mata memandangi Ari dengan
tajam. Jauh dari bahagia yang dirasakan oleh Ari sekarang. Sorot mata itu
seakan menyimpan penderitaan juga dendam. Dan tak ada yang lebih buruk
dibanding tatapan elang pembunuh yang sedang mengincar mangsanya.
*
Tari mendesah. Memang pusing kalau Fio
nggak masuk sekolah! Kemana-mana harus sendiri. Fio memang nggak tepat nih milih waktu buat sakit!
Padahal banyak cerita yang Tari akan
utarakan. Bergegas Tari berjalan menuju kantin sebelum bel masuk berbunyi. Mendadak
langkahnya terhenti. Melihat sosok yang rasanya ia kenal namun juga sama sekali
tidak ia kenal keluar dari antor guru membuat detak jantung seakan berhenti. Sejenak
ia merasa tak bisa bernapas. Tari berusaha menemukan kembali kesadarannya. Dengan
tarikan napas yang panjang, ia berjingkat perlahan sebelum kemudian ambil
langkah seribu. Tak bisa dibayangkannya apa yang sosok itu lakukan bila
melihatnya melintas. Ini masih pagi dan Tari sedang tidak mau ada huru-hara
pagi ini. Sudah cukup banyak drama di hidupnya tanpa diselingi kisah perang
Barathayudha antar dua matahari.
"Sedih juga, gue. Masih aja lo
nggak bisa ngebedain antara gue atau Ari?"
Dibisiki oleh seseorang dari belakang
dengan kalimat yang seperti itu, tengkuk Tari meremang. Sungguh Tari berharap
kalau yang dibelakangnya ini adalah setan. Ternyata bukan. Lebih parah malah. Ini sih bapaknya Setan! Horror!
Kali ini Tari benar-benar kehilangan
napasnya. Ia ingin berteriak namun dadanya sudah terlampau sesak. Ayo, Tar. Inget Lee Mong Ryeong. Inget Cha
Dae Woong. Ingat Goo Jun Pyo. Tari menarik napas panjang, kemudian
membalikkan badan. Dipaksanya bibirnya menyunggingkan senyum. Agak kelu.
"Ada apa, Kak?"
"Lo yang ada apa. Kenapa lari liat
gue? Emang gue setan?"
Bukan!
Bapaknya Setan!
"Terus kenapa Kakak ngejar gue? Kan
gue udah bilang, gue sama sekali nggak punya urusan dengan Kakak maupun sodara
kembar Kakak itu."
Ata tersenyum. Bukan senyum manis, lebih
tampak sebagai seringai. Tari sebenarnya lumayan keder juga. Tapi
diberanikanlah dirinya. Ngeladenin
kembaran setan nggak mungkin bakal lebih parah, kan?
"Jingga Matahari..." Ata
mendekatkan mukanya pada muka Tari hingga berjarak beberapa centi hingga napas
Ata dan napas Tari seakan beradu. Tari mendorong tubuh Ata, kemudian ia sendiri
mundur beberapa langkah. Ata tersenyum geli. Ia maju mendekati Tari kemudian
mengusap rambut Tari, lembut. "Justru lo itu... segalanya. Ngerti?"
Tari terdiam. Ia hanya memandangi Ata,
dengan tatapan tak mengerti. Tari harus, dan berhak, untuk meminta penjelasan.
Bukannya menjawab, Ata malah tersenyum
kemudian menyudutkan Tari ke tembok. Ia dekatkan mukanya pada muka Tari. Tari
mendelik, namun belum sempat ia berteriak, mulutnya sudah dibekap dengan jemari
Ata.
"Inget, Manis. Sekali lo teriak ...
Hidup lo yang gue bikin heboh nantinya!"
Pelan, Ata melepaskan bekapannya dan
pergi. Tari yang masih shock hanya
bisa terdiam. Napasnya memburu. Dadanya sesak. Air matanya melesak ingin
keluar, tapi di tahannya mati-matian. Tak sadar tubuhnya melemas.
"Hei... !!!"
Tubuh Tari tak sampai jatuh ke tanah.
Sepasang tangan menopangnya. Sepasang tangan menahannya agar tidak tunduk pada
gravitasi. Sepasang tangan itu milik...
"AAAAA!!!"Tari berteriak.
Kencang. Kemudian histeris.
"Hei, hei... Ini gue, woy! Guee!”
Ari mengguncang-guncangkan bahu Tari
kencang. Tapi tetap saja Tari histeris. Khawatir melihat keadaan Tari, juga
khawatir disangka yang macam-macam, dipeluknya Tari erat di dadanya hingga
suara Tari benar-benar teredam.
"Biar lo kehabisan napas, asal lo
cuma teriak di dada gue," ucap Ari, setengah bercanda.
Tari terisak, namun kali ini isakan
lega. Meski ia tak membalas pelukan Ari, tetapi tubuhnya melemas dan melunak
dalam rengkuhan dada yang ia kenal. Aroma yang ia hafal. Degub jantung yang
menyatu dengan degub jantungnya sendiri.
"Wah... Parah bener lo, Bos. Pagi-pagi
udah bikin film biru aja!"
Otomatis Tari langsung menjauh dari Ari.
Mukanya bersemu merah karena malu, tetapi tidak menutup kepiasannya tadi. Ari
menoleh kearah sumber suara. Diliriknya sumber suara itu dengan tatapan mata
tajam, seakan memerintahkan untuk tidak berbicara lagi. Lelaki itu, Oji, yang
memakai baju sedikit kebesaran dan celana jeans – mengikuti gaya Bos besarnya –
hanya terkekeh.
"Anak orang lo gangguin lagi?"
Ridho datang dari belakang Oji dengan tangan penuh somay. "Lo jangan mau
diajakin mesum sama Ari di sekolah, Tar. Suruh sewa hotel!"
Terbahak, Ridho dan Oji melakukan tos.
Tak tahan digoda, Tari pun pergi.
"Permisi, Kak..."
Memandangi Tari dengan
hati masygul, seribu tanda tanya melayang di kepala Ari. Tanpa memedulikan dua
sahabatnya yang masih terkekeh dan melanjutnya godaannya, Ari berlalu. Ia harus
menemukan jawabannya!
*
-FLOWER-
BEHIND
THE SCENE
“Prin! Bagaimana jika kita membuat duet
tulisan?”
“Idemu boleh juga, Flo… Berarti kita
menulis dengan LDR?”
“Tak apa, Prin, tak apa… Yang penting
kita saling membantu untuk menyusutkan kemalasan kita… ehem, maksudnya disini
terutama aku, untuk menulis. Bagaimana menurutmu?”
“Aku setuju.”
“Apa yang ingin kita tulis?”
“Apa yang ingin kita tulis?”
“Ah, Prin, aku tak tahu. Banyak ide
berterbangan tetapi sulit direalisasikan.”
“Bagaimana jika begini… tulis sebuah
fanfic tentang buku favorit kita? Jingga dan Senja-series?”
“Aku setuju denganmu, Prin. Namun
berjanjilah suatu saat kita akan benar-benar menulis project kita sendiri.”
“Anggaplah ini pemanasan.”
J Jadi
setelah hampir sebulan, inilah, Princess… tulisan yang aku janjikan akan
posting segera !
nice...
ReplyDeletesuka sm ceritanya...lanjutin ya...ditunggu lo...
;-)
awesome !!!! sangat mengobati kerinduanku pada Ari :D
ReplyDeleteterima kasih :) jangan lupa baca part selanjutnya yaah :)
Deletenice...aku suka...
ReplyDeletekapan2 liat punya aku juga ya? hehe :P
dilanjutin donk,,, aku pengen tw lanjutanx jum
ReplyDeletehaloo anty lanjutannya sudah ada :) selamat membaca yaa :)
DeleteAku belum pernah baca buku aslinya -_- but I'll read it inshaallah ;)
ReplyDeletefanfic ini adalah lanjutan dari dua buku sebelumnya, yaitu "jingga dan senja" & "jingga dalam elegi" . selamat membacaa :)
Deletemau tanya ini cerita asli 'Jingga untuk Matahari' dari esti kinasih atau kalian yang bikin???
ReplyDeleteaaaaaak. ngga taulah mau komen apa. GR lah kami. hehehe
DeleteAku udah baca sampe abiisss, and crita nya ........ KEREEEENNN !!! Top banget deh author nulisnya :-D
ReplyDeleteIzin promosi yaa,, kunjungi juga
http://catatansupergado.blogspot.com/2014/09/jingga-untuk-matahari-fanfiction-1.html
Hai zuhria. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Terimakasih apresiasinya. Hehe. Dan sebelum di promosiin authors (pake s karena jamak ya hehe!) Udah baca kok. Makanya dikomenin. Lanjut punya kamu dooong baguuus hehehe.
Delete