Tuesday, May 28, 2013

First : Fanfic of Jingga dan Senja series #1


Tari menggigit bibir bagian bawahnya. Sedikit tegang ia duduk di belakang orang yang selama ini sangat dibencinya, yang telah memorakporandakan hidupnya, tapi tanpanya… Tari hampa. Dan Tari tidak akan pernah menyangka, bahwa kali ini, di dekat Matahari Senja bisa terasa begitu menenangkan. Meski ada yang mengganjal hatinya. Omongan Ata tadi…

Apa maksudnya? Apa yang akan dilakukan Ata nanti? Mengapa? Lalu apa hubungannya dengan Tari?
Dengan sekali tatap Tari sudah bisa tahu bahwa Ata sama sekali bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Tetapi Tari juga tahu. Sorot mata itu, nada bicara itu… Seperti pertanda bahwa nanti hidupnya tak akan pernah sama lagi. Ya Tuhan… akan ada apa lagi? Apakah belum cukup drama yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini?
“Pegangannya yang bener, Tar. Kalo nggak, lo bisa jatuh.”
Kata-kata Ari yang lembut namun dengan nada memerintah sontak membuyarkan lamunan Tari.
“Yee, gue juga pegangan, kok!” elak Tari, yang memang memegang bagian belakang motor – yang sebenarnya percuma saja karena di belakang jok tidak ada pegangannya.
“Pertama, gue bukan tukang ojek. Kedua, bagian situ nggak ada pegangannya. Jadi nggak usah malu-malu, peluk gue aja.”
Tari memukul bahu Ari pelan. ”Idiiiih, apaan sih? Nggak usah aneh-aneh, deh!”
“Gue suka cewek hardcore.”
Ari tergelak ketika cubitan Tari melayang di pinggangnya. ”Wah... Ternyata lo genit ya sekarang, udah berani nyubit-nyubit – “
“Kak Ari!” jerit Tari kesal.
“Makanya... peluk! Atau nanti gue nggak pake rem pas bawa motornya,” ancam Ari.
Tari menghela napas. Pasrah. Tuan Besar memang keukeuh kalo sudah ada maunya. Setelah meletakkan tas antara tubuhnya dan tubuh Ari, dengan malu-malu Tari melingkarkan tangannya di pinggang Ari. Sedetik… dua detik… tiga detik… Tari merasa tak bisa bernapas. Jantungnya berdetak tidak karuan, seakan ingin melesak dari tempatnya. Meski terhalang tas, Tari takut Ari bisa mendengar degup jantungnya.
Ari tersenyum. Dengan tangan kirinya, ia memegang erat tangan Tari yang memeluk pinggangnya. Motor mereka melesat melalui ramainya jalanan di pagi yang sibuk ini.
*
Seperti yang sudah bisa Ari duga, kehebohan melanda SMA Airlangga. Kali ini bukan karena preman sekolah jadi dua, tetapi karena kedatangan Ari dengan gadis yang biasanya lari darinya. Ari tersenyum geli melihat muka-muka terkejut, masam, ketakutan bahkan prihatin saat ia melintas sambil menggandeng Tari. Tari yang menyadari hal itu menjadi rikuh. Ia hanya menunduk sepanjang jalan.
“Kak, kayaknya gue bisa jalan sendiri deh tanpa perlu digandeng-gandeng gitu,” ucap Tari lirih.
“Jingga Matahari,” Ari memandang Tari dengan tatapan mata tajam. ”Lo pikir gue tipe cowok yang bakal ngebiarin cewek yang gue suka jalan sendirian ke kelasnya, sementara dia datang ke sekolah bareng gue? Kan udah gue bilang, gue bukan tukang ojek yang cuma nganterin lo sampe sekolah. Gue juga harus mastiin lo selamat sampe kelas.”
“Berlebihan,” balas Tari, tetapi ia tersenyum juga. ”Lagian siapa yang berani gangguin gue? Perasaan yang selama ini gangguin gue itu cuma elo, deh.”
“Oh iya, ya...” Ari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ”Mana ada yang berani gangguin Ibu Negara.”
“Hah?” Tari terperangah. Sebelumnya Ari tidak pernah seterang-terangan ini.
Ari tertawa, kemudian mengacak rambut Tari, pelan. ”Sudah sampai di kelas, Tuan Putri. Sekarang,  hamba mohon diri…”
Tari menjulingkan matanya, tapi senyum masih tersungging di bibirnya. Ia memasuki kelas. Tanpa perlu memandang ke belakang, Tari tau Ari masih disana. di tempat yang sama dimana ia melepas Tari menuju kelas. Tari berusaha tidak menatap ke arah Ari, karena selain takut akan tercipta drama lagi pagi ini, ia… nervous.
Tapi tatapan itu masih dapat ia rasakan. Sedikit enggan, ia memalingkan wajah agar dapat melihat pintu kelas. Senyum lebar tersungging di bibir pentolan sekolah itu dengan mata tak lepas dari Tari. Senyuman yang sangat jarang dilihat Tari. Senyuman yang membuat orang-orang menatap aneh sekaligus takut pada pentolan sekolah itu.
Tari menatap Ari lekat-lekat. Senyum itu… Kak Ari sedang bahagia. Sangat bahagia.
Terbawa suasana, Tari ikut tersenyum dan kemudian melambaikan tangan pada Ari. Tari tau tindakannya norak, memang. Dan ia segera menyesali tindakannya itu, karena kemudian Ari tergelak dan melemparkan kissing in the air. Tari terkesiap. Ya Tuhan! Mau ditaruh dimana muka gueee!
Seisi kelas berusaha keras menahan tawa melihat adegan tersebut. Pentolan sekolah kemudian meninggalkan kelas Tari, masih sambil memasang senyum jumawa.
Tari benar.
Ari sedang bahagia dan ia tidak pernah sebahagia ini. Ia hanya berharap agar setiap hari Ari seperti ini. Selalu seperti ini. Sudah cukup ia menahan beban seorang diri selama Sembilan tahun. Dan ia berhak untuk istirahat.
Tapi manusia hanya bisa berharap, bukan?
“Tariiii!!” Pekikan Nyoman membuyarkan lamunan Tari.
“Apaaaa?” Balasnya ogah-ogahan. Nyoman ini memang benar-benar patut diacungi jempol. Radarnya untuk menangkap gosip terhangat seperti hiu yang mencium bau darah. Cepat sekali nyantolnya!
“Galak banget, sih, Tar…” Rayu Nyoman sembari mengambil tempat duduk di sebelah Tari.
“Hush! Lo ngapain duduk disini? Ini kan tempat Fio.”
“Fio nggak masuk, baru aja dia SMS gue. Katanya dia udah SMS lo tapi nggak delivered,” jawab Nyoman cuek. ”Lagian lo kudu bersyukur gue mau nemenin lo saat Fio nggak ada. Jadi hari ini lo nggak menjanda.”
“Ih, naïf amat gue kalo ngira niat lo setulus itu!” Tari tergelak. ”Bilang aja… gosip apa yang mau lo denger?”
“Katanya lo dateng sama Kak Ari tadi pagi,” jawab Nyoman polos. ”Apa itu pertanda–“
“Pertanda apaaaa?”Tari tidak suka dengan omongan Nyoman yang berbelit-belit.
Nyoman mengangkat bahu. ”Entah ya, Tar. Tapi menurut gue, sih… Sebaiknya elo hati-hati. Nggak tau kenapa gue berasa was-was aja. Kayak ada yang ganjel. Ada yang salah, tapi nggak tau dimana…”
Tari mengernyit mendengar kata-kata Nyoman. Bahkan yang diindentifikasi sebagai orang luar saja berpikir yang tidak-tidak. Apakah Nyoman tahu sesuatu? Tari rasa tidak. Namun kata-kata Nyoman ini membuatnya kembali terpikir kata-kata Ata tadi pagi.
Elo bakal banyak nangis.
 “Omongan lo ngaco!” tegur Tari, kemudian berdiri. ”Gue mau ke kantin... Sendiri,” tambahnya ketika melihat Nyoman ikut berdiri.
Benar, Tari sangat pusing dan butuh minuman dingin untuk menyegarkan kepalanya yang sepagi ini sudah dijejali terlalu banyak peristiwa.
*
 Ari tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak bisa. Suasana hatinya sangat baik hingga ia seakan ingin menularkan kepada semua orang. Adik kelas yang memandangnya takut-takut, ia rangkul. Pak Gun, cleaning service yang biasa Ari jahili dengan menyembunyikan perlatan perangnya – kemoceng, lap, sapu lidi dan alat pel – ia peluk dan selipkan beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Bu Sam, ‘mama’nya, ia sapa dengan ramah dan tak lupa dicium tangannya – yang membuat Bu Sam melongo beberapa saat.
Bagaimana ia tidak menghilangkan senyum jumawanya? Mama dan kembarannya yang hilang selama sembilan tahun telah ia temukan kembali. Dan yang lebih membahagiakan lagi, ia didampingi oleh gadisnya. Mataharinya.
Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini hingga dadanya terasa sesak. Namun, rasa sesak ini... adalah rasa sesak yang menyenangkan. Ari tidak keberatan jika selamanya seperti ini. Bahkan tadi pagi ia berdoa sesuatu yang musykil: biarkan bahagia ini tetap begini! Walau hati kecilnya sendiri menyadari, bagaimanalah Tuhan mengabulkan hal absurd seperti itu.
Tapi Ari bertekad untuk tidak merusak moodnya hari ini.
Nun jauh disana, meski masih dalam jarak pandang namun tidak terlihat kentara, sepasang mata memandangi Ari dengan tajam. Jauh dari bahagia yang dirasakan oleh Ari sekarang. Sorot mata itu seakan menyimpan penderitaan juga dendam. Dan tak ada yang lebih buruk dibanding tatapan elang pembunuh yang sedang mengincar mangsanya.
*
Tari mendesah. Memang pusing kalau Fio nggak masuk sekolah! Kemana-mana harus sendiri. Fio memang nggak tepat nih milih waktu buat sakit!
Padahal banyak cerita yang Tari akan utarakan. Bergegas Tari berjalan menuju kantin sebelum bel masuk berbunyi. Mendadak langkahnya terhenti. Melihat sosok yang rasanya ia kenal namun juga sama sekali tidak ia kenal keluar dari antor guru membuat detak jantung seakan berhenti. Sejenak ia merasa tak bisa bernapas. Tari berusaha menemukan kembali kesadarannya. Dengan tarikan napas yang panjang, ia berjingkat perlahan sebelum kemudian ambil langkah seribu. Tak bisa dibayangkannya apa yang sosok itu lakukan bila melihatnya melintas. Ini masih pagi dan Tari sedang tidak mau ada huru-hara pagi ini. Sudah cukup banyak drama di hidupnya tanpa diselingi kisah perang Barathayudha antar dua matahari.
"Sedih juga, gue. Masih aja lo nggak bisa ngebedain antara gue atau Ari?"
Dibisiki oleh seseorang dari belakang dengan kalimat yang seperti itu, tengkuk Tari meremang. Sungguh Tari berharap kalau yang dibelakangnya ini adalah setan. Ternyata bukan. Lebih parah malah. Ini sih bapaknya Setan! Horror!
Kali ini Tari benar-benar kehilangan napasnya. Ia ingin berteriak namun dadanya sudah terlampau sesak. Ayo, Tar. Inget Lee Mong Ryeong. Inget Cha Dae Woong. Ingat Goo Jun Pyo. Tari menarik napas panjang, kemudian membalikkan badan. Dipaksanya bibirnya menyunggingkan senyum. Agak kelu.
"Ada apa, Kak?"
"Lo yang ada apa. Kenapa lari liat gue? Emang gue setan?"
Bukan! Bapaknya Setan!
"Terus kenapa Kakak ngejar gue? Kan gue udah bilang, gue sama sekali nggak punya urusan dengan Kakak maupun sodara kembar Kakak itu."
Ata tersenyum. Bukan senyum manis, lebih tampak sebagai seringai. Tari sebenarnya lumayan keder juga. Tapi diberanikanlah dirinya. Ngeladenin kembaran setan nggak mungkin bakal lebih parah, kan?
"Jingga Matahari..." Ata mendekatkan mukanya pada muka Tari hingga berjarak beberapa centi hingga napas Ata dan napas Tari seakan beradu. Tari mendorong tubuh Ata, kemudian ia sendiri mundur beberapa langkah. Ata tersenyum geli. Ia maju mendekati Tari kemudian mengusap rambut Tari, lembut. "Justru lo itu... segalanya. Ngerti?"
Tari terdiam. Ia hanya memandangi Ata, dengan tatapan tak mengerti. Tari harus, dan berhak, untuk meminta penjelasan.
Bukannya menjawab, Ata malah tersenyum kemudian menyudutkan Tari ke tembok. Ia dekatkan mukanya pada muka Tari. Tari mendelik, namun belum sempat ia berteriak, mulutnya sudah dibekap dengan jemari Ata.
"Inget, Manis. Sekali lo teriak ... Hidup lo yang gue bikin heboh nantinya!"
Pelan, Ata melepaskan bekapannya dan pergi. Tari yang masih shock hanya bisa terdiam. Napasnya memburu. Dadanya sesak. Air matanya melesak ingin keluar, tapi di tahannya mati-matian. Tak sadar tubuhnya melemas.
"Hei... !!!"
Tubuh Tari tak sampai jatuh ke tanah. Sepasang tangan menopangnya. Sepasang tangan menahannya agar tidak tunduk pada gravitasi. Sepasang tangan itu milik...
"AAAAA!!!"Tari berteriak. Kencang. Kemudian histeris.
"Hei, hei... Ini gue, woy! Guee!”
Ari mengguncang-guncangkan bahu Tari kencang. Tapi tetap saja Tari histeris. Khawatir melihat keadaan Tari, juga khawatir disangka yang macam-macam, dipeluknya Tari erat di dadanya hingga suara Tari benar-benar teredam.
"Biar lo kehabisan napas, asal lo cuma teriak di dada gue," ucap Ari, setengah bercanda.
Tari terisak, namun kali ini isakan lega. Meski ia tak membalas pelukan Ari, tetapi tubuhnya melemas dan melunak dalam rengkuhan dada yang ia kenal. Aroma yang ia hafal. Degub jantung yang menyatu dengan degub jantungnya sendiri.
"Wah... Parah bener lo, Bos. Pagi-pagi udah bikin film biru aja!"
Otomatis Tari langsung menjauh dari Ari. Mukanya bersemu merah karena malu, tetapi tidak menutup kepiasannya tadi. Ari menoleh kearah sumber suara. Diliriknya sumber suara itu dengan tatapan mata tajam, seakan memerintahkan untuk tidak berbicara lagi. Lelaki itu, Oji, yang memakai baju sedikit kebesaran dan celana jeans – mengikuti gaya Bos besarnya – hanya terkekeh.
"Anak orang lo gangguin lagi?" Ridho datang dari belakang Oji dengan tangan penuh somay. "Lo jangan mau diajakin mesum sama Ari di sekolah, Tar. Suruh sewa hotel!"
Terbahak, Ridho dan Oji melakukan tos.
Tak tahan digoda, Tari pun pergi. "Permisi, Kak..."
Memandangi Tari dengan hati masygul, seribu tanda tanya melayang di kepala Ari. Tanpa memedulikan dua sahabatnya yang masih terkekeh dan melanjutnya godaannya, Ari berlalu. Ia harus menemukan jawabannya!


*
-FLOWER-




BEHIND THE SCENE
“Prin! Bagaimana jika kita membuat duet tulisan?”
“Idemu boleh juga, Flo… Berarti kita menulis dengan LDR?”
“Tak apa, Prin, tak apa… Yang penting kita saling membantu untuk menyusutkan kemalasan kita… ehem, maksudnya disini terutama aku, untuk menulis. Bagaimana menurutmu?”
“Aku setuju.”
“Apa yang ingin kita tulis?”
“Apa yang ingin kita tulis?”
“Ah, Prin, aku tak tahu. Banyak ide berterbangan tetapi sulit direalisasikan.”
“Bagaimana jika begini… tulis sebuah fanfic tentang buku favorit kita? Jingga dan Senja-series?”
“Aku setuju denganmu, Prin. Namun berjanjilah suatu saat kita akan benar-benar menulis project kita sendiri.”
“Anggaplah ini pemanasan.”
J Jadi setelah hampir sebulan, inilah, Princess… tulisan yang aku janjikan akan posting segera !


12 comments:

  1. nice...
    suka sm ceritanya...lanjutin ya...ditunggu lo...
    ;-)

    ReplyDelete
  2. awesome !!!! sangat mengobati kerinduanku pada Ari :D

    ReplyDelete
  3. nice...aku suka...
    kapan2 liat punya aku juga ya? hehe :P

    ReplyDelete
  4. dilanjutin donk,,, aku pengen tw lanjutanx jum

    ReplyDelete
    Replies
    1. haloo anty lanjutannya sudah ada :) selamat membaca yaa :)

      Delete
  5. Aku belum pernah baca buku aslinya -_- but I'll read it inshaallah ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. fanfic ini adalah lanjutan dari dua buku sebelumnya, yaitu "jingga dan senja" & "jingga dalam elegi" . selamat membacaa :)

      Delete
  6. mau tanya ini cerita asli 'Jingga untuk Matahari' dari esti kinasih atau kalian yang bikin???

    ReplyDelete
    Replies
    1. aaaaaak. ngga taulah mau komen apa. GR lah kami. hehehe

      Delete
  7. Aku udah baca sampe abiisss, and crita nya ........ KEREEEENNN !!! Top banget deh author nulisnya :-D

    Izin promosi yaa,, kunjungi juga

    http://catatansupergado.blogspot.com/2014/09/jingga-untuk-matahari-fanfiction-1.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai zuhria. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Terimakasih apresiasinya. Hehe. Dan sebelum di promosiin authors (pake s karena jamak ya hehe!) Udah baca kok. Makanya dikomenin. Lanjut punya kamu dooong baguuus hehehe.

      Delete