Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun
berlalu, akhirnya Ari bisa mendapat sambutan di depan rumah oleh Mamanya saat
ia pulang sekolah. Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, Ari mendapat
perlakuan seperti anak normal lainnya: mengecup punggung tangan ibunya,
mendapat usapan lembut di kepala. Yang terpenting, ada sosok yang menanyakan
tentang kejadian di sekolah. Bagaimana guru-gurunya. Teman-temannya. Makanan di
kantin.
Untuk pertama kalinya sejak sembilan
tahun terakhir, Ari merasa mendapatkan masa kanak-kanaknya kembali.
“Kamu nggak pulang bareng Ata, Ri?”
Tanya Mama sambil menuangkan lauk pauk ke piring Ari.
“Pulang sekolah tadi Ata langsung pergi,
Ma. Katanya ada tempat yang mau dikunjungi. Ari disuruh pulang duluan aja,” Ari
duduk di depan meja makan sambil memandangi setiap pergerakan mamanya saat
menuangkan makanan ke piring. Saat mama meletakkan piring yang berisi lauk
kesukaannya di hadapannya, Ari mengucapkan, “Makasih, Ma,” lalu makan dengan
lahap. Mama tersenyum lembut, seraya mengusap kepala anak yang selalu
dirindukannya.
“Tante Lidya kemana, Ma?”
“Tante Lidya pergi ke rumah sakit,
pulang sekolah tadi Dede demam.”
Ya, untuk sementara waktu, Mamanya dan
Ata tinggal di rumah Tante Lidya. Ke depannya, masih belum dibicarakan.
Semuanya masih terhanyut dalam euforia pertemuan kembali. Namun hal ini
seharusnya segera didiskusikan, mengingat Ata sudah resmi menjadi siswa di SMA
Airlangga.
Inilah topik pembahasan malam ini di
ruang keluarga rumah Tante Lidya.
“Rumah kita yang lama sudah menjadi
milik orang lain, Ri,” Itu penjelasan Mama saat Ari menyarankan untuk kembali
ke rumah lama mereka yang terletak persis di sebelah rumah Tante Lidya. Ata pun
angkat bicara.
“Tadi Ata sempat keliling-keliling untuk
nyari kontrakan sekitar sini. Ada beberapa pilihan, Mama mau liat-liat dulu?”
Ari tertegun. Separuh hatinya sangat
ingin mengajak mereka semua tinggal di rumah yang ia tempati dengan papanya.
Tapi semuanya sadar kalo hal itu nggak mungkin untuk diwujudkan. Sementara,
tinggal di rumah Tante Lidya untuk jangka waktu yang tidak ditentukan juga
bukan merupakan ide bagus, walau Tante Lidya sendiri tidak pernah protes
tentang hal tersebut.
Mama mengangguk setuju pada Ata.
Kemudian tatapannya berpindah menuju Ari.
“Maafin Ari, Ma,” ucapnya, lirih. “Ari
bisa bantu apa untuk Mama?”
Wanita itu merangkul anak bungsunya,
erat sekali. Dengan suara sedikit bergetar, beliau menjawab.
“Cukup dengan Ari selalu ada di samping
Mama. Itu semua sudah cukup membantu Mama, membuat Mama merasa sangat bahagia,
Nak...”
*
Jam isitirahat di kantin kelas dua belas.
Banyak siswa mencuri pandang ke satu sudut kantin pada sosok yang begitu
identik dengan pentolan SMA Airlangga.
Padahal sudah seminggu sejak Ata resmi
bersekolah disana, tapi masih banyak yang nggak percaya kalo Ari punya
kembaran. Semua kalangan mulai berspekulasi mengenai sosok Matahari yang satu
ini. Bandel nggak sih? Brutal, kah? Apakah Ata akan seperti saudara kembarnya,
yang terkenal bikin pusing para guru karna tingkahnya yang selalu bikin onar
kemana-mana? Karena selama seminggu ini Ata tidak menunjukkan gejala apapun
yang dapat membuat kepala dewan guru makin cenat-cenut. Yang dilakukannya hanya
diam di kantin. Sesekali bergabung dengan Ari dkk untuk bermain basket di
lapangan sekolah. Namun Ata nggak pernah bikin onar di kelas. Benar-benar
seperti siswa normal.
Ata sama sekali nggak ambil pusing
dengan semua tatapan yang mengarah padanya. Hak mereka untuk menebak
kepribadiannya. Yang ia pikirkan sekarang jauh lebih penting daripada urusan spekulasi
orang lain tentang dirinya.
Segala sakit hati di masalalu. Terlalu
sakit untuk diikhlaskan tanpa ada pembalasan. Untuk semua ketidakadilan hidup
yang terjadi pada dirinya. Untuk segala beban yang harus ia pikul. Untuk
kebahagiaan masa kanak-kanak yang direnggut begitu saja dari dirinya.
Ata bangkit dari kursinya, membuat semua
yang sedang memandangnya langsung kembali ke rutinitasnya masing-masing. Takut,
manusia yang satu ini memiliki sisi monster dalam dirinya yang belum
dibangkitkan. Bukankah ancaman dalam keterdiaman itu lebih berbahaya?
Semua
pandangan ini... Karena reputasi Ari.
Masih tetap tidak memerdulikan pandangan
sekitarnya, Ata berjalan keluar kantin, menyusuri koridor sekolah. Sampai
matanya memandang pada satu titik di area kelas sepuluh.
Tari.
Lo emang... Bener-bener apes.
*
Deg!
"Uhuk!"
"Kenapa , Tar?" Tanya Fio yang
sedang memakan bakwannya dengan penuh semangat. Nggak masuk sekolah selama
seminggu benar-benar bikin Fio kangen berat sama semua jajanan di kantin
sekolah. Tadi udah jajan somay, sekarang ngeborong bakwan. Emang sih, biasanya
kalo orang baru sembuh dari sakit nafsu makannya jadi naik drastis.
"Keselek," jawab Tari pendek.
"Mmm... kok gue ngerasa kayak lagi diamatin orang, ya?"
"Siapaa?" Fio langsung
celingukan kanan-kiri. "Oh, jangan-jangan... Kak Ari?"
"Yee... Kenapa Kak Ari harus
ngamatin gue? Orang kita lagi nggak ada masalah, kok. Lagian kesadaran gue udah
sangat terlatih untuk mendeteksi dia, thanks
banget itu karena kelakuannya dia sendiri. Tapi ini beda, Fi..."
Tari langsung teringat pada ucapan Kak
Ata saat datang ke rumahnya dulu. Ancaman yang keliatannya sangat serius namun
membuatnya bingung. Rangkaian kalimat yang benar-benar membuatnya cemas bahkan
sampai susah tidur. Sekarang aja sampai ngerasa lagi diamatin, pasti oleh Ata.
Kedua saudara kembar ini... Bagaimana
sebenarnya dia harus bersikap pada keduanya? Dua cowok yang penuh luka. Dua
cowok yang membentengi dirinya sendiri agar tetap kuat. Satu benteng telah
berhasil ditembus olehnya. Benteng milik Ari.
Namun Ata... Masih misteri.
"Fio..." panggil Tari pelan.
"Hmm?"
"Menurut lo... Kak Ata yang satu
ini... Mungkin nggak sih bakal menunjukkan sikap seperti Kak Ata yang dulu
pernah coba dilakoni sama Kak Ari?"
"Kalo dari cerita lo
kemarin-kemarin sih..." Fio tercenung. Gorengannya sudah habis. Sekarang
tangannya berganti memegang teh kotak. "Kecil kemungkinan, Tar..."
Tari menarik napas panjang. Ya iyalah. Kalo di pertemuan awal aja dia
udah ngasih ultimatum gitu, gimana mungkin dia akan terlihat seperti Kak Ata
sang Malaikat Penyelamat yang dulu Kak Ari lakuin? Bantahnya dalam hati.
"Apapun itu, Tar.. Lo harus
hati-hati. Kalo emang muka dia keliatannya seserius itu waktu ngomong sama lo..
Lo harus jaga jarak banget dari dia."
"Iya, Fi... Gue tau."
"Satu lagi," kali ini Fio
benar-benar menampakkan raut wajah khawatir pada sahabatnya. "Sebaiknya
Kak Ari jangan tau mengenai hal ini sampe lo nemuin titik terangnya."
"Hmm..." Tari menghela napas,
lagi. "Gue tau, Fi. Gue nggak akan ngomong dulu sama Kak Ari. Gue juga nggak
mau hubungan mereka jadi semakin renggang. Dipisahin dari kecil sekian lamanya
aja pasti udah bikin mereka harus menempuh hari-hari berat untuk mengakrabkan
diri lagi."
Keduanya sama-sama terdiam. Fio menatap
Tari dengan cemas, sekaligus prihatin. Juga nggak habis pikir. Kasian Tari. Bentuk hubungannya sama Kak Ari
sang Pembuat Onar nomor satu aja udah bikin satu sekolahan heboh dalam setiap
interaksi mereka , apalagi kalo kembarannya secara frontal juga ikut
ber"interaksi" dengan Tari... Kayaknya sekolah bakal heboh
seheboh-hebohnya lagi, nih!
-PRINCESS-
keren2 bikin penasaran kak,,, aku lanjut baca part 3 dulu yaa,,
ReplyDeleteMenyeronokkan.best!!
ReplyDelete