Monday, September 15, 2014

Second : Heart Of Us #6

Kata Hati Chalya: Ada yang Salah Disini
Kamu dimana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?
Kamu dimana? Dengan siapa?
Disini aku menunggumu, dan bertanya...

(Kangen Band – Yolanda)

Minggu malam yang dihabiskan dengan merenung. Iya, merenung. Diselingi makan, diselingi ke kamar mandi, diselingi tidur. Sisanya, ya merenung. Berusaha gak penasaran sama satu gadget yang katanya pintar, tapi seharian ini hanya diam. Tanpa getar, tanpa nada dering, tanpa layar yang tiba-tiba menyala–kecuali ketika ia minta dikasih “makan”. Kan jadi sebel.

Iya, ini tentang Erland. Erland yang berada jauh di mata, namun masih tetap dekat di hati. Erland yang–sayangnya–lagi bertingkah sangat menyebalkan karna kelakuannya akhir-akhir ini. Cuma ngabarin kalau ditanya. Cuma ngobrol bentar trus udahan. Alasannya simpel: kalo bukan karna kecapekan ya terlalu sibuk. Karna terlalu sibuk, bikin kecapekan, dan akhirnya lupa sama....
Ya ampun.
Hati kalau sudah terpaut pada seseorang, jadinya gini banget. Was-was selalu. Maunya dikabarin selalu. Pacar mana yang gak kepo dengan kegiatan pacarnya yang berada beratus-ratus kilometer jauhnya dari dirinya? Bukan cemburu, walau segala yang bisa menyentuhnya, bertatapan dengannya serta berbicara langsung dengannya itu lahan bagus untuk dicemburui. Bukan cemburu, karna toh hati ini percaya. Masih tetap percaya.
Ini adalah sebentuk kegelisahan akibat kurangnya perhatian. Besarnya rasa sayang untuk Erland memang tidak membuatku menuntutnya secara blak-blakan dan tegas untuk mencurahkan perhatian lebih padaku, meluangkan waktu sedikit banyak untukku, berbagi lebih banyak denganku. Karena, bukankah hal itu seharusnya hal yang otomatis dilakukan tanpa tuntutan yang terucap? Iya, mengerti dengan segala kesibukannya. Iya, mengerti segala tentang dirinya. Dan pengertian itu juga kulakukan tanpa harus mengucapkannya secara verbal, kan? Hal-hal otomatis semacam itu...
Dulu Erland melakukannya. Di masa PDKT yang panjang. Erland yang otomatis akan mengirimkan sms di pagi hari, dari mulai hal penting sampai gak penting. Tujuannya–yang baru kuketahui beberapa bulan setelah pacaran–hanya satu: untuk memastikan bahwa aku telah bangun dan siap berangkat sekolah. Atau dalam setiap perubahan suasana hatiku, Erland akan menjadi orang pertama yang menyadarinya. Atau dalam setiap kata yang keluar dari mulutku, dia akan menanggapinya dengan antusias.
Itu Erland yang kusuka. Erland yang kurindukan. Erland yang, selama masa LDR ini, hampir tidak mungkin untuk ditemukan. Sebegitu beratnyakah kehidupan kuliah kedokteran di Jogja sana, sampai waktu untuk mengobrol aja gak ada? Bukan sekedar bilang, “Aku udah di kampus,” atau “Aku udah di kosan,” atau “Aku lagi makan,” dan sejenis lainnya. Sini pacar, lho, bukan satpam kompleks dimana tamu wajib lapor.
Layar ponselku masih tetap gelap dan tanpa suara. Aku akan bertahan untuk tidak menyentuhnya, sampai benda itu bereaksi duluan. Karna untuk menanggapi semua sikapnya ini, aku akan tetap sabar menunggu, menanti kabar darinya. Satu sikap yang memang menyakitkan, namun ini prinsip. Prinsipku untuk menghadapinya.
Iya, Erland. Aku bersikap sebagaimana kamu bersikap.
*
Rrrtttt... Rrrrttt...
“Cha, hape kamu, tuh...”
“Biarin, ah. Lagi seru nih materinya, pemetaan informasi.”
“Tapi itu daritadi getar mulu, gandeng ih!”
Naha gandeng, kan di-silent.”
“Bunyi getarnya itu lho, iiiiihhh... Berisik, bikin geli! Angkat, gih! Kasian pacar kamunya.”
Oke, Dina sok tau pisan. Erland udah gak ngasih kabar selama tiga hari. Tiga hari! Dan aku bertahan dengan prinsipku untuk tidak menghubunginya sebelum dia yang menghubungiku duluan. Dan demi menghentikan protesnya yang menganggu konsentrasiku – yang memang sudah buyar entah sejak kapan – aku bergegas keluar kelas dengan alasan klise, kamar mandi, sambil menyambar ponselku tanpa memerhatikan layarnya. Sesampainya di luar kelas, getarnya sudah tidak ada. Namun beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi.
Dina benar, ini telepon dari pacar, dan membaca namanya saja sudah sukses membuat perasaanku campur aduk. Setelah membuat si tombol hijau “menggelincir”, kutempelkan benda pintar itu ke telingaku.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Bisu. Aku gak akan mengeluarkan suara duluan.
Sepuluh detik...
“Hei.”
Suara itu... Suara yang tidak menghubungiku selama tiga hari...
“Chalya Nadira...”
“Hmm.”
“Kamu kemana aja?” Tanyanya duluan. Pertanyaan itu seharusnya milikku! Adalah kata-kata yang tidak kusuarakan dengan keras.
“Hei... Haloo?” terdengar suara ketukan di ujung sana. “Halohalohalo? Neng Pacar?”
Glek! Perasaanku jadi semakin kacau balau. Mau marah, ya kasian. Mau seneng, kok sedikit merasa gak adil.
Akhirnya, dengan suara bergetar, aku menyuarakan, “Siapa, ya?”
Bisa kudengar Erland menghela napas panjang. Bisa kudengar ia mengacak rambutnya. Aku tahu, begitu saja.
“Kok kamu gitu, sih...” Hanya itu katanya. Aku tidak menjawab. “Kamu marah?” Tanyanya lagi.
Pertanyaan seperti ini, sangat gak sehat kalau kutanggapi dengan nada tinggi. Sambil mengontrol rasa kesal–yang membuat suaraku bergetar hebat–kujawab saja, “Enggak.”
“Tuh...”
“Kamu...” Susah sekali menahan emosi, menguras tenaga. Yang tanpa sadar membuat air mataku mengalir, yang tanpa dikontrol membuat suaraku justru melemah.
“Tiga hari, lho, Land... Kamu... Tega.”
Kali ini, Erland terdiam. Tidak ada tanggapan dari sana, ataupun dengusan garing mencoba mencairkan suasana. Yang ada hanyalah bisu, lagi.
“Trus, kamu,” Erland akhirnya membuka mulut, “Kamu kemana aja tiga hari ini?”
Hah? Apa?
“Kamunya kok gak ngehubungin aku? Kenapa?”
Lho, ini gimana, sih? “Kan kamu duluan yang gak ada kabar–“
“Trus kamu juga ikut-ikutan gak ada kabar?” Sambarnya.
Sumpah, aku terkejut. Erland marah padaku, di saat aku yang seharusnya marah padanya.
“Jadi aku yang salah?”
Erland malah mengatakan hal yang lain, “Kamu masih untung, lho, aku yang ngehubungin duluan. Ditelponin daritadi gak diangkat-angkat. Aku kira kamu tuh sakit atau apa, kok kamu gak peka sih.”
Erland ngomong apaaa?!
Aku, demi apapun, dalam khayalan terkelamku terhadap kami, aku gak pernah menyangka Erland akan bersikap seperti ini, mengeluarkan kata-kata seperti itu!
Punten pisan ya, Mas, kamu tuh nelpon waktu aku lagi ada kelas. Ini aku ijin keluar untuk ngangkat telepon kamu. Penasaran, kangen, kesel. Dan aku dimarahin... Oke.”
Dia diam lagi. Napasnya memburu, begitupun denganku. Ini jantung detakannya mungkin bisa terdengar sampai ke Jogja sana. Kuat dan cepat.
“Yaudah, kamu masuk kelas lagi sana.”
Hanya itu. Tanpa kata maaf? Lagi-lagi sebentuk kalimat yang tidak sanggup kuutarakan, shock berat.
“Oke. Kamu juga.”
Klik!
Percakapan paling aneh yang pertama kalinya terjadi selama kami LDR-an. Dan di hari-hari selanjutnya, percakapan sejenis akan sering terjadi.
*
“Acara kalian dibubarin aja, deh. Gak usah jalan. Percuma, kalo kalian gak ngedengerin kata-kata kami dengan baik. Mungkin didengerin dengan baik, tapi gak diamalin dengan baik. Liat, berapa banyak hal yang belum dikerjain? Berapa banyak kesalahan yang kalian lakuin? Ini bukan kali pertama kalian bikin event lho, Dek. Sebentar lagi kami turun, dan kalian yang akan meneruskan organisasi ini. Mau sampai kapan kalian jalan di tempat? Bikin surat masih salah, gak minta dicek ke saya, lagi. Udah merasa pinter tapi mah belum. Bikin teknis masih belepotan. Nge-follow up pembicara progress nya lama banget. Duit boros. Mau jadi apa BEM di tangan kalian nanti? Udah lah, ya, kepanitiaan ini dibubarin aja!”
Aku menatap mata mereka semua – para anggota BEM yang sudah hampir setahun bergabung – dengan tajam. Satu persatu, semuanya hanya menunjuk. Sedang rekan-rekan pengurus malah melihatku dengan tanda tanya. Apa ada yang salah? Sepertinya tidak.
Atau... Iya.
Setelah semuanya bubar dan yang tertinggal di sekre hanyalah aku–karena semuanya sudah kupersilakan pulang agar aku bisa merapikan berkas-berkas yang berserakan–Arnanda menghampiriku.
“Pulang, Nan. Udah malem,” kataku, mencoba kalem. Arnanda malah semakin mendekat, berdiri di sampingku, dan... membuat kertas-kertas yang sudah kususun jadi berantakan lagi!
“Nan! Capek lho itu nyusuninnya, ah!”
“Dih, galak banget sih lo.”
Naon maneh teh, malah ngatain. Maaf, kek!”
“Lo yang kenapa, emosian wae seminggu ini. PMS?”
Huft! Masih saja bercanda. Cuekin aja, deh!
“Chalya, nih, ya. Gue mau ngomong serius sama lo.”
“Apaan?” Sambarku, sambil sibuk memasukkan semua tumpukan di atas meja ke dalam lemari.
“Sini, duduk.” Ketika aku mengacuhkannya sama sekali, Arnanda berdiri dan menarik tanganku hingga beberapa tumpukan jatuh. Aku ingin protes, namun Arnanda menatapku tajam seraya berkata, “Nurut. Gue mau ngomong sama lo.”
Jengkel, akhirnya kuturuti juga perintahnya. Aku duduk di depannya, menatap langsung pada manik mata yang memang terlihat serius.
“Apa?”
Dengan wajah seriusnya, Arnanda langsung menyuarakan apa yang ingin ia sampaikan dengan lugas. “Lo jangan bawa-bawa emosi pribadi ke dalam forum, please. Figur lo tadi terlalu galak, terlalu sadis buat anak-anak tahun pertama yang masih pada bocah. Dan lo lebay, mereka baru menangani dua event. Ini event ketiga mereka. Dan kita lengser masih setengah tahun lagi.”
Aku mengerjap. Shock. Gak terima!
“Sori ya, Nan. Gue gak emosi, dan semuanya yang gue sampein ke forum ya kata-kata profesional! Event ketiga ya termasuk itungannya udah banyak, lah. Masa mereka gak metik apapun dari dua sebelumnya? Kan lucu!”
“Profesional dari sisi mana? Sekarang aja lo ngomong sama gue pake emosi,” tuduhnya telak. “Gue lagi ngomong sebagai ketua lo, please.”
Dan... Sempurna bikin aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku bungkam. Arnanda memicingkan mata, dan sedetik kemudian... Ia nyengir puas.
“Bagus. Lo lagi ada masalah? Sama Erland? Cerita ke gue,” Arnanda menatapku sambil menopang kepalanya pada jari-jarinya yang besar, menunjukkan raut wajah simpatik. “Cerita ke gue. Nih, gue. Ngomong sebagai temen lo.”
Aku... Bukannya terpana dengan kata-katanya. Namun, gesture nya ini... Ini milik Erland. Erland yang dulu selalu menghampiriku dan mendengarkan ceritaku dengan posisi yang persis seperti ini. Erland yang tangan jahilnya menjawilku, mengacak rambutku, menggandengku...
“Dih, malah nangis. Ckckck...”
Suara cemprengnya Arnanda sempurna membuyarkan lamunanku, lantas membuatku tanpa sadar mengusap pipi. Ah... airmata.
“Trus sekarang ngelamun, ckckck...”
Ya ampun, Arnanda. Bawelnya lebih dari... Tak terkatakan. Tapi malah justru membuatku merasa bersalah.
“Maaf, ya, akhir-akhir ini gue gak profesional. Ngelanggar perjanjian pembagian peran ibu peri dan ibu tiri. Maaf karena gue tadi ngasih evaluasi puncak yang bikin lo gak bisa ngomong apa-apa lagi. Maaf.”
Si Ketua BEM itu mengetuk dahiku, gemes. “Niat gak sih maafnya?”
“Niat!” Aku mengangguk kencang. “Sama makasih.”
Alisnya naik sebelah. “Untuk?”
“Gangguin momen mellow nya gue. Yuk ah, beberes, trus langsung pulang. Capeeek!”
Aku langsung bangkit dan berjalan menuju lemari. Namun, dari sudut mata, bisa kulihat sekilas ekspresinya terlihat... Berkabut. Alias tak tertebak. Sudahlah.
*
Chalya: Buzzz . Udh tidur?
Erland: Blom nih.
Chalya: Maaf, ya...
Erland: Sama-sama...
Chalya: Lah....
Rrrrttt....
Segera kuangkat telepon dari Erland.
“Kamu tau gak, sekarang aku lagi dimana?” Tanyanya langsung begitu kuangkat.
“Di... Kosan, kan?”
“Tau gak, lagu apa yang lagi aku dengerin sekarang?”
No idea. “Clue nya?”
“Engg.... Nyari orang.”
“Hah?” Aku semakin gak ngerti. Ini seharusnya menjadi pembicaraan yang normal setelah seminggu perang dingin, tapi...
Dan itulah. Suara tawanya meledak tiba-tiba. Membuatku semakin tenggelam dalam kebingungan.
“Apa, sih?”
Setelah tawanya reda, Erland menjelaskan dengan geli. “Jadi, di lapangan sebelah kosanku ada acara. Bikin panggung gitu. Karokean, kedengeran sampe kamarku. Lagu yang lagi dinyanyiin tuh...”
Dan Erland menyanyikan lagu yang “sedang” ia dengarkan itu. Kangen Band!!
Akhirnya, kami punya tawa di minggu ini. Tawa yang mungkin masih terbilang kaku, namun cukup. Bagiku, mendengar Erland tertawa lagi padaku, bercerita padaku, menunjukkan perhatiannya lagi padaku, walau setelah semua gejolak emosi yang kami alami seminggu terakhir, semua ini terasa cukup.

Cukup. Walau, masih ada yang salah dalam hubungan ini.

-PRINCESS-

No comments:

Post a Comment