Kata Hati Chalya: Ada yang Salah Disini
Kamu dimana?
Dengan siapa? Semalam berbuat apa?
Kamu dimana?
Dengan siapa?
Disini aku
menunggumu, dan bertanya...
(Kangen Band – Yolanda)
Minggu
malam yang dihabiskan dengan merenung. Iya, merenung. Diselingi makan,
diselingi ke kamar mandi, diselingi tidur. Sisanya, ya merenung. Berusaha gak
penasaran sama satu gadget yang
katanya pintar, tapi seharian ini hanya diam. Tanpa getar, tanpa nada dering,
tanpa layar yang tiba-tiba menyala–kecuali ketika ia minta dikasih “makan”. Kan
jadi sebel.
Iya, ini tentang Erland. Erland yang berada jauh di mata, namun masih tetap dekat di hati. Erland yang–sayangnya–lagi bertingkah sangat menyebalkan karna kelakuannya akhir-akhir ini. Cuma ngabarin kalau ditanya. Cuma ngobrol bentar trus udahan. Alasannya simpel: kalo bukan karna kecapekan ya terlalu sibuk. Karna terlalu sibuk, bikin kecapekan, dan akhirnya lupa sama....
Ya
ampun.
Hati
kalau sudah terpaut pada seseorang, jadinya gini banget. Was-was selalu. Maunya
dikabarin selalu. Pacar mana yang gak kepo dengan kegiatan pacarnya yang berada
beratus-ratus kilometer jauhnya dari dirinya? Bukan cemburu, walau segala yang
bisa menyentuhnya, bertatapan dengannya serta berbicara langsung dengannya itu
lahan bagus untuk dicemburui. Bukan cemburu, karna toh hati ini percaya. Masih
tetap percaya.
Ini
adalah sebentuk kegelisahan akibat kurangnya perhatian. Besarnya rasa sayang
untuk Erland memang tidak membuatku menuntutnya secara blak-blakan dan tegas untuk
mencurahkan perhatian lebih padaku, meluangkan waktu sedikit banyak untukku,
berbagi lebih banyak denganku. Karena, bukankah hal itu seharusnya hal yang
otomatis dilakukan tanpa tuntutan yang terucap? Iya, mengerti dengan segala
kesibukannya. Iya, mengerti segala tentang dirinya. Dan pengertian itu juga
kulakukan tanpa harus mengucapkannya secara verbal, kan? Hal-hal otomatis
semacam itu...
Dulu
Erland melakukannya. Di masa PDKT yang panjang. Erland yang otomatis akan
mengirimkan sms di pagi hari, dari mulai hal penting sampai gak penting.
Tujuannya–yang baru kuketahui beberapa bulan setelah pacaran–hanya satu: untuk
memastikan bahwa aku telah bangun dan siap berangkat sekolah. Atau dalam setiap
perubahan suasana hatiku, Erland akan menjadi orang pertama yang menyadarinya.
Atau dalam setiap kata yang keluar dari mulutku, dia akan menanggapinya dengan
antusias.
Itu
Erland yang kusuka. Erland yang kurindukan. Erland yang, selama masa LDR ini,
hampir tidak mungkin untuk ditemukan. Sebegitu beratnyakah kehidupan kuliah
kedokteran di Jogja sana, sampai waktu untuk mengobrol aja gak ada? Bukan
sekedar bilang, “Aku udah di kampus,” atau “Aku udah di kosan,” atau “Aku lagi
makan,” dan sejenis lainnya. Sini pacar, lho, bukan satpam kompleks dimana tamu
wajib lapor.
Layar
ponselku masih tetap gelap dan tanpa suara. Aku akan bertahan untuk tidak
menyentuhnya, sampai benda itu bereaksi duluan. Karna untuk menanggapi semua
sikapnya ini, aku akan tetap sabar menunggu, menanti kabar darinya. Satu sikap
yang memang menyakitkan, namun ini prinsip. Prinsipku untuk menghadapinya.
Iya,
Erland. Aku bersikap sebagaimana kamu bersikap.
*
Rrrtttt... Rrrrttt...
“Cha,
hape kamu, tuh...”
“Biarin,
ah. Lagi seru nih materinya, pemetaan informasi.”
“Tapi
itu daritadi getar mulu, gandeng ih!”
“Naha gandeng, kan di-silent.”
“Bunyi
getarnya itu lho, iiiiihhh... Berisik, bikin geli! Angkat, gih! Kasian pacar
kamunya.”
Oke,
Dina sok tau pisan. Erland udah gak
ngasih kabar selama tiga hari. Tiga hari! Dan aku bertahan dengan prinsipku
untuk tidak menghubunginya sebelum dia yang menghubungiku duluan. Dan demi
menghentikan protesnya yang menganggu konsentrasiku – yang memang sudah buyar
entah sejak kapan – aku bergegas keluar kelas dengan alasan klise, kamar mandi,
sambil menyambar ponselku tanpa memerhatikan layarnya. Sesampainya di luar
kelas, getarnya sudah tidak ada. Namun beberapa detik kemudian, ponselku
bergetar lagi.
Dina
benar, ini telepon dari pacar, dan membaca namanya saja sudah sukses membuat
perasaanku campur aduk. Setelah membuat si tombol hijau “menggelincir”,
kutempelkan benda pintar itu ke telingaku.
Sedetik.
Dua detik. Tiga detik.
Bisu.
Aku gak akan mengeluarkan suara duluan.
Sepuluh
detik...
“Hei.”
Suara
itu... Suara yang tidak menghubungiku selama tiga hari...
“Chalya
Nadira...”
“Hmm.”
“Kamu
kemana aja?” Tanyanya duluan. Pertanyaan
itu seharusnya milikku! Adalah kata-kata yang tidak kusuarakan dengan
keras.
“Hei...
Haloo?” terdengar suara ketukan di ujung sana. “Halohalohalo? Neng Pacar?”
Glek!
Perasaanku jadi semakin kacau balau. Mau marah, ya kasian. Mau seneng, kok
sedikit merasa gak adil.
Akhirnya,
dengan suara bergetar, aku menyuarakan, “Siapa, ya?”
Bisa
kudengar Erland menghela napas panjang. Bisa kudengar ia mengacak rambutnya.
Aku tahu, begitu saja.
“Kok
kamu gitu, sih...” Hanya itu katanya. Aku tidak menjawab. “Kamu marah?” Tanyanya
lagi.
Pertanyaan
seperti ini, sangat gak sehat kalau kutanggapi dengan nada tinggi. Sambil
mengontrol rasa kesal–yang membuat suaraku bergetar hebat–kujawab saja, “Enggak.”
“Tuh...”
“Kamu...”
Susah sekali menahan emosi, menguras tenaga. Yang tanpa sadar membuat air
mataku mengalir, yang tanpa dikontrol membuat suaraku justru melemah.
“Tiga
hari, lho, Land... Kamu... Tega.”
Kali
ini, Erland terdiam. Tidak ada tanggapan dari sana, ataupun dengusan garing
mencoba mencairkan suasana. Yang ada hanyalah bisu, lagi.
“Trus,
kamu,” Erland akhirnya membuka mulut, “Kamu kemana aja tiga hari ini?”
Hah?
Apa?
“Kamunya
kok gak ngehubungin aku? Kenapa?”
Lho,
ini gimana, sih? “Kan kamu duluan yang gak ada kabar–“
“Trus
kamu juga ikut-ikutan gak ada kabar?” Sambarnya.
Sumpah,
aku terkejut. Erland marah padaku, di saat aku yang seharusnya marah padanya.
“Jadi
aku yang salah?”
Erland
malah mengatakan hal yang lain, “Kamu masih untung, lho, aku yang ngehubungin
duluan. Ditelponin daritadi gak diangkat-angkat. Aku kira kamu tuh sakit atau
apa, kok kamu gak peka sih.”
Erland
ngomong apaaa?!
Aku,
demi apapun, dalam khayalan terkelamku terhadap kami, aku gak pernah menyangka
Erland akan bersikap seperti ini, mengeluarkan kata-kata seperti itu!
“Punten pisan ya, Mas, kamu tuh nelpon
waktu aku lagi ada kelas. Ini aku ijin keluar untuk ngangkat telepon kamu.
Penasaran, kangen, kesel. Dan aku dimarahin... Oke.”
Dia
diam lagi. Napasnya memburu, begitupun denganku. Ini jantung detakannya mungkin
bisa terdengar sampai ke Jogja sana. Kuat dan cepat.
“Yaudah,
kamu masuk kelas lagi sana.”
Hanya
itu. Tanpa kata maaf? Lagi-lagi sebentuk kalimat yang tidak sanggup kuutarakan,
shock berat.
“Oke.
Kamu juga.”
Klik!
Percakapan
paling aneh yang pertama kalinya terjadi selama kami LDR-an. Dan di hari-hari
selanjutnya, percakapan sejenis akan sering terjadi.
*
“Acara
kalian dibubarin aja, deh. Gak usah jalan. Percuma, kalo kalian gak ngedengerin
kata-kata kami dengan baik. Mungkin didengerin dengan baik, tapi gak diamalin
dengan baik. Liat, berapa banyak hal yang belum dikerjain? Berapa banyak
kesalahan yang kalian lakuin? Ini bukan kali pertama kalian bikin event lho, Dek. Sebentar lagi kami
turun, dan kalian yang akan meneruskan organisasi ini. Mau sampai kapan kalian
jalan di tempat? Bikin surat masih salah, gak minta dicek ke saya, lagi. Udah
merasa pinter tapi mah belum. Bikin
teknis masih belepotan. Nge-follow up pembicara
progress nya lama banget. Duit boros.
Mau jadi apa BEM di tangan kalian nanti? Udah lah, ya, kepanitiaan ini
dibubarin aja!”
Aku
menatap mata mereka semua – para anggota BEM yang sudah hampir setahun
bergabung – dengan tajam. Satu persatu, semuanya hanya menunjuk. Sedang
rekan-rekan pengurus malah melihatku dengan tanda tanya. Apa ada yang salah?
Sepertinya tidak.
Atau...
Iya.
Setelah
semuanya bubar dan yang tertinggal di sekre hanyalah aku–karena semuanya sudah
kupersilakan pulang agar aku bisa merapikan berkas-berkas yang berserakan–Arnanda
menghampiriku.
“Pulang,
Nan. Udah malem,” kataku, mencoba kalem. Arnanda malah semakin mendekat,
berdiri di sampingku, dan... membuat kertas-kertas yang sudah kususun jadi
berantakan lagi!
“Nan!
Capek lho itu nyusuninnya, ah!”
“Dih,
galak banget sih lo.”
“Naon maneh teh, malah ngatain. Maaf,
kek!”
“Lo
yang kenapa, emosian wae seminggu
ini. PMS?”
Huft!
Masih saja bercanda. Cuekin aja, deh!
“Chalya,
nih, ya. Gue mau ngomong serius sama lo.”
“Apaan?”
Sambarku, sambil sibuk memasukkan semua tumpukan di atas meja ke dalam lemari.
“Sini,
duduk.” Ketika aku mengacuhkannya sama sekali, Arnanda berdiri dan menarik
tanganku hingga beberapa tumpukan jatuh. Aku ingin protes, namun Arnanda
menatapku tajam seraya berkata, “Nurut. Gue mau ngomong sama lo.”
Jengkel,
akhirnya kuturuti juga perintahnya. Aku duduk di depannya, menatap langsung
pada manik mata yang memang terlihat serius.
“Apa?”
Dengan
wajah seriusnya, Arnanda langsung menyuarakan apa yang ingin ia sampaikan
dengan lugas. “Lo jangan bawa-bawa emosi pribadi ke dalam forum, please. Figur lo tadi terlalu galak,
terlalu sadis buat anak-anak tahun pertama yang masih pada bocah. Dan lo lebay,
mereka baru menangani dua event. Ini event ketiga mereka. Dan kita lengser
masih setengah tahun lagi.”
Aku
mengerjap. Shock. Gak terima!
“Sori
ya, Nan. Gue gak emosi, dan semuanya yang gue sampein ke forum ya kata-kata
profesional! Event ketiga ya termasuk
itungannya udah banyak, lah. Masa mereka gak metik apapun dari dua sebelumnya?
Kan lucu!”
“Profesional
dari sisi mana? Sekarang aja lo ngomong sama gue pake emosi,” tuduhnya telak. “Gue
lagi ngomong sebagai ketua lo, please.”
Dan...
Sempurna bikin aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku bungkam. Arnanda
memicingkan mata, dan sedetik kemudian... Ia nyengir puas.
“Bagus.
Lo lagi ada masalah? Sama Erland? Cerita ke gue,” Arnanda menatapku sambil
menopang kepalanya pada jari-jarinya yang besar, menunjukkan raut wajah
simpatik. “Cerita ke gue. Nih, gue. Ngomong sebagai temen lo.”
Aku...
Bukannya terpana dengan kata-katanya. Namun, gesture nya ini... Ini milik Erland. Erland yang dulu selalu
menghampiriku dan mendengarkan ceritaku dengan posisi yang persis seperti ini.
Erland yang tangan jahilnya menjawilku, mengacak rambutku, menggandengku...
“Dih,
malah nangis. Ckckck...”
Suara
cemprengnya Arnanda sempurna membuyarkan lamunanku, lantas membuatku tanpa
sadar mengusap pipi. Ah... airmata.
“Trus
sekarang ngelamun, ckckck...”
Ya
ampun, Arnanda. Bawelnya lebih dari... Tak terkatakan. Tapi malah justru
membuatku merasa bersalah.
“Maaf,
ya, akhir-akhir ini gue gak profesional. Ngelanggar perjanjian pembagian peran ibu
peri dan ibu tiri. Maaf karena gue tadi ngasih evaluasi puncak yang bikin lo
gak bisa ngomong apa-apa lagi. Maaf.”
Si
Ketua BEM itu mengetuk dahiku, gemes. “Niat gak sih maafnya?”
“Niat!”
Aku mengangguk kencang. “Sama makasih.”
Alisnya
naik sebelah. “Untuk?”
“Gangguin
momen mellow nya gue. Yuk ah,
beberes, trus langsung pulang. Capeeek!”
Aku
langsung bangkit dan berjalan menuju lemari. Namun, dari sudut mata, bisa
kulihat sekilas ekspresinya terlihat... Berkabut. Alias tak tertebak. Sudahlah.
*
Chalya:
Buzzz . Udh tidur?
Erland:
Blom nih.
Chalya:
Maaf, ya...
Erland:
Sama-sama...
Chalya:
Lah....
Rrrrttt....
Segera
kuangkat telepon dari Erland.
“Kamu
tau gak, sekarang aku lagi dimana?” Tanyanya langsung begitu kuangkat.
“Di...
Kosan, kan?”
“Tau
gak, lagu apa yang lagi aku dengerin sekarang?”
No idea.
“Clue nya?”
“Engg....
Nyari orang.”
“Hah?”
Aku semakin gak ngerti. Ini seharusnya menjadi pembicaraan yang normal setelah
seminggu perang dingin, tapi...
Dan
itulah. Suara tawanya meledak tiba-tiba. Membuatku semakin tenggelam dalam
kebingungan.
“Apa,
sih?”
Setelah
tawanya reda, Erland menjelaskan dengan geli. “Jadi, di lapangan sebelah
kosanku ada acara. Bikin panggung gitu. Karokean, kedengeran sampe kamarku.
Lagu yang lagi dinyanyiin tuh...”
Dan
Erland menyanyikan lagu yang “sedang” ia dengarkan itu. Kangen Band!!
Akhirnya,
kami punya tawa di minggu ini. Tawa yang mungkin masih terbilang kaku, namun
cukup. Bagiku, mendengar Erland tertawa lagi padaku, bercerita padaku,
menunjukkan perhatiannya lagi padaku, walau setelah semua gejolak emosi yang
kami alami seminggu terakhir, semua ini terasa cukup.
Cukup.
Walau, masih ada yang salah dalam hubungan ini.
-PRINCESS-
No comments:
Post a Comment