Sunday, November 2, 2014

Second : Heart of Us #8

Versi Erik : Ada Yang Salah Disini
What will you do when you get lonely
No one is waiting by your side?
You've been running and hiding much too long
You know it's just your foolish pride
Layla, you got me on my knees
Layla, I'm begging darlin' please
Layla, darling won't you ease my worried mind?
Tried to give you consolation
Your old man let you down
Like a fool, I fell in love with you
You turned my whole world upside down
(Eric Clapton – Layla)

Jam yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul dua dini hari dan masih tidak ada tanda-tanda kantuk yang menyerangku. Aku enggak tahu apakah ini disebabkan hawa beku (karena dingin masih terlampau manis) pegunungan yang membuat badanku menggigil hebat dan tulang-tulangku ngilu atau suara dengkur – yang sangat, sangat keras! – dari teman-temanku yang memenuhi tenda.

Aku yang dasarnya peklor (nemplek langsung molor) sekarang benar-benar mengerti dan paham betul lirik lagu Coldplay,
When you feel so tired but you can’t sleep…
Duh. Padahal badan ini sudah remuk redam rasanya akibat pendakian yang menguras tenaga. Mata pun sudah pedas dan berat minta dipejamkan. Namun entah mengapa aku sama sekali tidak bisa tertidur. Rasanya sangat gelisah. Berulangkali aku melihat ponselku yang kutaruh disebelah carrierku. Masih tidak ada sinyal, meski beberapa jam yang lalu sempat muncul. Jadi, percuma saja mengecek sampai berkali-kali. Tidak akan ada balasan. Meski ia membalas, balasan tersebut tidak akan sampai mengingat sinyal yang alakazam sekali.
Bagaimana dia? Bagaimana flunya? Apa dia baik-baik saja sendiri dirumah? Sudah mendingankah dia? Apa ada makanan dirumah, mengingat kemampuan masaknya parah sekali. Apakah obatnya dia minum, mengingat dia sama sekali ga doyan dan ga mau minum obat kalau bukan yang bentuknya sirup.
Kugeser slide pada ponselku untuk membuka kunci. Terpampang foto gadis manis yang sedang tertawa lepas, yang menjadi wallpaper ponselku. Aku tersenyum sendiri melihat foto candid yang tak sengaja kuabadikan. Foto seorang gadis yang namanya menghiasi hatiku beberapa tahun belakangan.
Clarissa Nadie…
*
Aku telah lama mengenalnya. Mungkin terlalu lama mengenalnya. Karena semenjak yang aku ingat, ia selalu berada disampingku. Rumahnya berada di samping rumahku, kita selalu berada di sekolah yang sama juga mengikuti banyak kegiatan bersama – meski kegiatan pecinta alam adalah satu pengecualian. Aku dan dia satu paket, satu kesatuan. Tidak ada yang pernah menyebut Pascal Enrico tanpa Clarissa Nadie disampingnya.
Gadis itu bukan gadis biasa. Clarissa Nadie bukan gadis kebanyakan yang – you know lah, doyan shopping, nyalon dan segala jenis kegiatan girly lainnya. Tapi Nadie pun juga bukan gadis tomboy yang doyan sekali olahraga – bahkan dia selalu menghindarinya jika bisa. Ketertarikannya dengan dunia gadget dan sesuatu yang cool dan smart lainnya membuatku kagum. Sementara gadis lain membiarkan sebagian besar fitur di ponsel pintar mereka tidak digunakan sama sekali – bahkan tidak ada yang susah-susah memahami, Nadie ini malah senang sekali mengeksplornya. Untuk utak-atik aplikasi pada ponsel atau laptop (dan sejenisnya), Nadie bahkan lebih jago dibanding sebagian besar teknisi yang ada di konter-konter. Kehausannya akan segala informasi dan keingintauannya untuk menjelajahi dunia gadget yang tidak biasa disukai perempuan membuatku terkesima. Dan bukan kebetulan aku mempunyai passion yang sama sepertinya sehingga itu semacam pengukuhan bahwa kami adalah partner sehidup semati, soulmate atau semacam itulah.
Nadie adalah gadis yang cantik menurutku. Sangat cantik, malah. Meski ga gaul, ga modis dan ga pinter dandan, tetapi ketidakbiasaan sifatnya tersebut adalah daya tarik dan nilai plus tersendiri untukku.
Rasa yang tumbuh ini bukan sejak lama ataupun tiba-tiba seperti yang tertulis di novel-novel roman picisan yang gemar ia baca meski ia tak akan mau mengakui hal itu di depanku sampai mati. Rasa ini ada simply karena witing trisno jalaran saka kulino. Cinta datang karena terbiasa.
Terbiasa melihatnya disampingku, melihat tawanya, mendengar omelannya, menanggapi curhatan dan cerita randomnya. Terbiasa melindunginya, menjadi bahu tempatnya bersandar, menyayanginya…
Namun apa boleh dikata, rasa ini hanya sepihak. Mungkin karena ia memang tidak merasakan getaran apapun padaku dan hanya menganggapku sebagai kakaknya, sahabatnya, soulmatenya. Atau mungkin karena aku pun sendiri terlalu pengecut untuk menunjukannya dan memulai first move.
Kalau suka, perjuangkan, dong!
Bukannya kata-kata itu tak terngiang dalam otakku. Bahkan aku mengetiknya dengan huruf capital dengan ukuran font superbesar, kubold dan underline kemudian mengeprintnya menjadi sebuah poster dan sengaja aku tempel di langit-langit kamar sebagai motivasi. Tapi setiap aku ingin memulai, keraguan selalu melanda diriku. Kata-kata “bagaimana jika ditolak?” “bagaimana jika Nadie hanya mentertawakanku dan menganggapku sedang kesambet?” atau yang lebih parah,”bagaimana jika hal ini merusak persahabatan kami?” lebih mendominasi daripada “bagaimana jika kalian punya rasa yang sama?”
Kutelan pil pahit dengan memutuskan untuk jatuh cinta diam-diam. Tetap menjadi sahabatnya, tetap menjadi orang tersayangnya, tanpa sama sekali berusaha mengubah apa yang sudah baik terjalin. Oh ya, dan tetap menghindari melihat serial How I Met Your Mother agar tidak terinspirasi menjadi Ted Mosby.
*
Sayangnya, ada satu “bagaimana jika” yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Yang akibatnya bisa merusak segala yang ada.
“Bagaimana jika aku terlambat memulai?”
Ada yang berbeda dari Nadie. Aku tak tau apa atau bagaimana. Ia sepertinya menyembunyikan sesuatu padaku. Gestur tubuh yang terlihat cemas dan gelisah. Sering melamun dan dua kali lebih sering mengecek gadgetnya. Ia memang berkata tidak ada apa-apa, namun aku tidak bisa ia bohongi. Ada yang salah disini. Aku merasa sebentar lagi ia akan pergi dariku. Aku ga tau apakah ini feeling atau hanya keinsecure-an belaka.

Jika sepulang dari sini aku memulai, terlambatkah?

-FLOWER-

2 comments: