Monday, June 10, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #3



Fio memandangi sahabat yang duduk di depannya dengan gamang. Prihatin! Dia ikut sedih dengan apa yang menimpa sahabatnya itu. Entah dosa apa yang sudah Tari lakukan di masa lalu sampai bisa mendapat ‘cobaan’ yang bertubi-tubi itu. Tanpa sadar pandangannya tertumbuk pada seseorang yang berjalan menuju kursi mereka. Tari tidak melihat, karena Tari memunggungi orang itu. Fio menahan napasnya agar tidak terlalu kentara terkejut.
“Tar… gue kayaknya kudu pergi, deh,” ucap Fio sambil meringis.
Tari mengernyitkan dahi, bingung.  “Lho, lho… kenapa? Gue ikut –“
“Kayaknya nggak usah deh. Lo disini aja. Gue emang sayang ama elo, Tar. Tapi lo tau, kan, kalo gue baru aja sembuh? Elo nggak mau kan gue jantungan gara-gara deketan sama syaitonnirrojim?”
Well, said, Fio. Gue emang setan. Dan memang setan yang ini…” Yang dimaksud Fio langsung duduk di sebelah Tari, kemudian merangkulnya erat, ”butuh ngomong sama sahabat lo. Berdua.”
Tari menoleh ke arah samping. Ia langsung melotot.
”Kak Ata!”
Tari melirik Fio, seakan berkata awas aja lo ninggalin gue! Fio Ccuma bisa meringis, menampilkan ekspresi rasa bersalahnya setulus mungkin, kemudian berlalu.
“Kak Ata maunya apa?” desis Tari pelan, namun tajam.
“Mau gue?” Ata tergelak. ”Banyak, Tari. Banyak! Dan itu… termasuk elo!”
“Hoy bro!” Suara lantang terdengar dari lapangan. Serempak, Tari dan Ata menoleh.
Oji!
Ia tersenyum lebar seraya mengacungkan bola basket, isyarat untuk menawari Ata bermain basket. Ata mengangguk, kemudian tersenyum dan berjalan menuju Oji.
“Gimana, Tar? Setannya udah pergi, kan? Maaf, Tar, Cuma Kak Oji yang kepikiran di otak gue tadi...” Ucap Fio sembari terengah. Ia baru saja duduk di samping Tari.
“Jadi lo yang tadi panggil bala bantuan? Lo bilang apa ke Kak Oji, coba? Duhh, kalo dia bilang macem-macem ke Ari gimana, Fioooo?” Tari berseru panik.
Fio memandang sahabatnya dengan pandangan sebal. Untung dibantuin! “Terus lo maunya gue ninggalin lo berdua sama setan, gitu?”
Tari mendesah. ”Ya enggak, sih. Gue makasih banget lo udah berusaha nyingkirin Ata. Tapi Ari…”
“Gue nggak bego, tau…” Potong Fio sembari mendengus dengan penuh keangkuhan. ”Gue cuma bilang gini ke Kak Oji, ‘Kak Oji, itu Kak Ata tolong diajak ngapain, kek, daripada dia ikutan nimbrung gue ama Tari yang lagi girl’s talk.’ Gitu. Walaupun dia ge-er, ngerasa lagi diomongin sama kita... Yaudah, lah. Yang penting sekarang lo aman.”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya. ”Nggak terlalu aman juga, sih…”
Tari kemudian menunjukkan ponselnya pada Fio.
Tadi ngomong apa sama Ata?
From : Ari

Gue belum selesai. Ata.
From : 086664441313
*
Ari sengaja cabut pelajaran setelah istirahat. Ia butuh berpikir jernih. Melihat saudara kembarnya mengobrol pada jarak yang sangat dekat dengan gadisnya membuatnya pongah. Hatinya ambigu. Ia merasa sangat cemburu sehingga bisa mencabik-cabik Ata. Namun ia merasa menjadi saudara yang paling tidak tahu adab jika belum-belum sudah marah dengan Ata hanya karena persoalan sepele. Hanya gara-gara gadis. Meski gadis itu adalah gadis terpenting kedua setelah mamanya.
Ari memacu motornya dengan kecepatan tinggi, berharap angin dapan membawa kabur segala keambiguan yang menerpanya. Segalanya begitu tiba-tiba. Kedatangan Mama dan saudara kembarnya. Hadirnya Tari dalam hidupnya. Seharusnya ia sudah tau, bahwa tidak ada satupun orang yang berhak menjadi sebahagia ini. Tidak ada.
Tanpa terasa ia membelokkan motornya ke arah rumahnya. Ya, rumahnya. Bukan rumah Tante Lidya, bukan rumah Tari. Namun rumahnya. Yang megah namun dingin. Yang seperti istana namun sepi. Ya. Rumah itu. Sistine.
Sebelum masuk ke dalam, ia pandangi rumahnya dari balik pagar. Lekat-lekat. Hatinya menjadi miris. Mengapa ayahnya membangun istana, bukan keluarga bahagia? Di kolong jembatan pun Ari rasa pasti akan jauh lebih baik. Asalkan ia bersama Mama, Ata dan Papa. Ah, Ari menjadi sangat melankolis. Ia menggelengkan kepala, kemudian memasuki rumahnya yang tidak terasa seperti rumah.
“Kamu sudah pulang, Ari?”
Suara berat yang sedikit serak akibat rokok, menyapa Ari dengan nada menegur. Ari terkejut. Astaga! Papanya! Papanya ada di rumah! Keajaiban apa lagi ini?
“Papa tumben pulang.”
Meski Ari marah pada Papanya, tapi bagaimanapun ia tidak bisa membenci Papanya. Lagipula, ia sudah terlalu lelah marah setelah bertahun-tahun. Ari sebenarnya marah untuk apa? Untuk siapa? Mamanya sudah disini.
“Kebetulan, Ari, kebetulan kerjaan Papa sudah Papa selesaikan sebelum tenggat waktu sehingga Papa bisa beristirahat. Kamu kenapa sudah pulang? Bikin onar lagi? tuduh Papanya, namun dengan nada tidak menggurui. Malah terkesan sedikit tidak peduli. Ari sedikit sakit hati, sebenarnya. Cuma, mungkin Papanya sudah terbiasa dengan kelakuan abnormal Ari selama ini.
“Nggak pa-pa. Lagi suntuk,” jawab Ari ringkas, memberi sinyal bahwa sekarang ia sedang dalam keadaan mood yang tidak baik untuk berbicara, berbincang, atau apalah namanya. Ia hanya ingin sendiri. ”Ari ke kamar, Pa…”

“Sebentar, Ari… Papa mau bertanya. Tadi Kepala Sekolah menelepon Papa. Ada murid baru yang bernama Matahari Jingga, pindahan dari Malang. Ata datang ke Jakarta?”

-FLOWER-

6 comments:

  1. ayo, segera lanjutin ya...!!
    ditunggu sangad karyanya..
    TOP bgt...

    ReplyDelete
  2. terimakasih atas kesediaannya membaca karya kami :)

    ReplyDelete
  3. kereennn kereenn ,, klo mungkin aku bacanya pas sebelum ada part 4 bisa uring2an ni,, makasih kakak cerbungaa kereennn :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih telah membaca karya kami :)

      Delete
    2. Novel ini gw udh baca dari smp dan ternyata masih ad lanjutannya ya. Makasih ya udh di share

      Delete
  4. Sughoii...
    Akhirnya bisa nglanjutin baca.
    Udah nunggu lama biar bisa baca novel ini...
    Terimakasih sudah di share

    ReplyDelete