Pada akhirnya, tidak ada satu SMS
pun dari si kembar yang Tari balas. Alhasil, konsentrasinya terhadap seluruh
pelajaran di sisa hari itu buyar.
SMS dari Ata jelas merupakan
pernyataan perang, yang tidak membutuhkan jawaban. SMS
dari Ari lah yang paling ia cemaskan.
Kalo nggak dibales, pasti Ari bakal langsung menghampirinya dan menyebabkan keributan seperti dulu. Satu semester berhadapan dengan Ari cukup untuk membuatnya tahu gimana gigihnya cowok yang satu itu untuk memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Tari sudah siap lahir batin kalo misalnya Ari langsung mencegatnya sepulang sekolah nanti. Ia akan maju dengan beberapa skenario kebohongan, dengan harapan semoga Ari percaya, tentunya.
Kalo nggak dibales, pasti Ari bakal langsung menghampirinya dan menyebabkan keributan seperti dulu. Satu semester berhadapan dengan Ari cukup untuk membuatnya tahu gimana gigihnya cowok yang satu itu untuk memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Tari sudah siap lahir batin kalo misalnya Ari langsung mencegatnya sepulang sekolah nanti. Ia akan maju dengan beberapa skenario kebohongan, dengan harapan semoga Ari percaya, tentunya.
Kejutan besarnya, bukan Ari yang sudah
nongkrong di depan pintu kelas X-9 saat bel pulang sekolah berbunyi. Tapi Ata.
Mati gue!
“Kak Ata ngapain disini?” Tanya Tari
langsung, tanpa basa-basi. Yang ditanya mengeluarkan seringai misterius.
“Kak Ata ngapain disini?” Tari
mengulangi pertanyaannya lagi, sambil tetap menjaga jarak dengan Matahari yang
satu itu.
Kali ini Ata menjawabnya dengan menarik
tangan Tari. Tari terkesiap, lantas berusaha melepaskan genggaman tersebut –
meskipun sudah pasti percuma. Disinilah masalahnya.
Saat sekolah sedang padat-padatnya
karena pulang sekolah, otomatis semua yang melintas di koridor kelas sepuluh
memerhatikan adegan tersebut. Mulut-mulut jahil mulai berspekulasi, berbisik
lirih tentang Tari. Entah ini disebut keberuntungan atau malapetaka.
Tari tuh sebenernya siapa, sih? Cuma
anak kelas sepuluh yang mendadak populer karena dikejar-kejar Matahari Senja,
lelaki idaman nomor wahid seantero SMA Airlangga. Sekarang, satu matahari lagi,
yaitu si Matahari Jingga juga mulai menunjukkan ketertarikan pada Tari.
Gelagat-gelagatnya juga bakal ngejar Tari sampe dapet. Tari pake pelet apa sih
untuk menarik perhatian kedua Matahari itu?
“Lo pulang bareng gue. Sekarang.”
Hanya itu yang diucapkan oleh Ata.
Singkat saja. Genggaman tangannya yang kuat membuat Tari mau tak mau berhenti
meronta dan menurut. Sementara di belakangnya, Fio hanya bisa menunjukkan
pandangan iba karena tidak bisa membantu.
“Kak Ata...” Tari memulai. Namun Ata
langsung melayangkan pandangan tajam padanya, seakan pandangan itu menegaskan
bahwa tidak boleh ada penolakan disini. Tari urung bicara.
“Eh, kita nggak naik motor, Kak?” Tanpa
sadar Tari nyeletuk demikian karena mereka melangkah langsung menuju gerbang,
tidak belok ke parkiran.
“Motor Ari? Dibawa sama dia, lah. Motor
gue di Malang,” jawabnya tenang. “Kita naik bus. Lo nggak keberatan kan?”
Sementara keduanya menunggu bus di
halte, Oji dan Ridho memerhatikan mereka dari kejauhan.
“Laporin nggak nih?”
“Gue jadi bingung.”
“Takutnya malah mereka berantem. Kan nggak
lucu.”
“Gue nggak mau liat Ari hancur kayak
dulu lagi.”
“Jadi... Kasitau aja nih?”
Oji dan Ridho masih memandangi halte
tempat Ata dan Tari baru saja menaiki bus.
“Bagaimanapun juga,” Ridho menghela
napas sejenak, “Ari tuh sahabat kita.”
*
Dalam keremangan kamar tidurnya, Ari
terduduk di samping lemari pakaiannya. Sisa percakapannya dengan Papa masih
menggantung segar di ingatannya.
“Apakah Ata di Jakarta, atau di Malang..
nggak ada hubungannya sama Papa, kan?”
“Sudah berapa lama kamu mengetahui
keberadaan mereka? Kamu pasti sudah sering bertemu dengan mereka, kan?”
“Papa nggak akan bertindak macam-macam
kepada Mama dan Ata, kan?” Ari malah balik bertanya dengan sengit.
Detik itu, pandangan mata mereka
bertemu. Ari menatap Papanya dengan pandangan tajam, sedangkan Papa hanya
membalasnya dengan tenang. Ketenangan yang mencekam. Pada detik berikutnya,
Papa justru tertawa keras.
“Astaga, Ari. Memangnya apa yang akan
Papa lakukan? Papa hanya ingin tahu kabar mereka. Itu saja.”
Tawa itu bukanlah tawa yang
menyenangkan. Ari tahu, atau mungkin sekedar menebak-nebak, bahwa suara tawa Papa
tadi siang itu bukanlah pertanda bagus.
Ari memang tidak pernah mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi dalam keluarga mereka hingga semuanya tercerai-berai.
Juga mengapa Mama memilih untuk membawa Ata pergi dibandingkan dengan dirinya –
penjelasan Tante Lidya berminggu-minggu lalu tidak memuaskannya.
Matanya menatap celah kecil dari pintu
kamarnya. Papa telah pergi, lagi. Mana mungkin beliau akan tinggal
berlama-lama. Pekerjaannya pasti lebih berharga dibandingkan dengan
beristirahat di rumah, seperti bualannya tadi. Rumah ini kembali sepi, dan
selalu sunyi. Ari menghela napas.
Sungguh, dalam lubuk hatinya yang paling
dalam, ia hanya ingin kebahagiaan masa kecilnya kembali lagi. Memiliki keluarga
yang lengkap, dan bahagia.
*
Sepanjang perjalanan pulang, Tari hanya
memandangi wajah cowok yang duduk di sampingnya. Seseorang yang menyandang nama
yang sama dengan dirinya, walau dengan susunan yang berbeda. Matahari Jingga.
“Apa yang lo dapet dari ngeliatin gue?”
Ata akhirnya bersuara. Tari dapat
merasakan wajahnya memerah, namun dilanjutkannya percakapan tersebut.
“Kak Ata kenapa mau nganterin saya
pulang?”
“Apa cuma Ari yang bisa nganterin lo
pulang?” Ata malah balik bertanya dengan tajam.
“Bukan gitu...” Tari menggeleng lemah. “Gue
masih tetep nggak ngerti sama maksud Kakak.”
Tari menarik napas panjang, sebelum kemudian
melanjutkan.
“Kenapa gue harus terlibat sama
rencana-rencana lo? Bukan ... Kenapa harus ada rencana-rencana? Tentang apa?
Kak Ata...”
“Bukannya lo pernah bantu Ari? Apa
salahnya kalo sekarang ikut ngebantuin gue?”
“Itu beda, Kak – “
“Apanya yang harus berbeda?” Sergahnya
cepat. “Kalo emang lo bisa ngelakuin segalanya untuk Ari, lo juga harus bisa
ngelakuin hal itu ke gue! Seperti janji gue dulu, kalo bisa gue perlunak ...
Akan gue perlunak. Lo cuma perlu untuk mengikuti semuanya. Oke?”
Tari memandangi cowok itu dengan
pandangan putus asa. “Lo bakal ngapain?”
Ata tersenyum misterius.
“Ini. Rencana gue sedang berjalan.”
-PRINCESS-
aaattttaaa....lo niatnya apa sih? JANGAN GANGGU ARI-TARI!!!
ReplyDeleteAaahh... bagus, keren, suka.. suka.. :) Ada saran nih dari aku, yang pas dialog tari sama ata di bus dicek lagi coba. Soalnya ada yg pake 'saya-kakak' gak pake 'gue-lo'. emang sengaja apa gimana? :) over all... nice
ReplyDeletehaloo nuning, terima kasih yaa sudah membaca karya kami :) itu sebenarnya sengaja. Niatnya Tari pngin ttep sopan sama senior gitu deh, tapi karna Ata nya langsung nyolot, Tari jadi kelepasan deh :D tapi emg ga keliatan ya krn cuma di satu kalimat saja hehe. Terima kasih sarannya Nuning :)
Delete