Ada hati yang sedang sibuk dengan segala
kemelut, pikiran dan emosi yang menyeruak. Sehingga segalanya terlihat semakin
rusak. Di sisi lain, ada hati yang sedang bimbang, ragu campur cemas. Sehingga
segala yang buruk terpikir, membuat jantung berdebar saking paranoidnya.
Sementara Ari sedang kalut dengan
masalah keluarganya, Tari kini dirundung kecemasan, ketakutan dan keparanoidan
sekaligus! Percakapannya dengan Ata tadi siang yang menggantung dan menyisakan
banyak teka-teki, bisa diambil kesimpulan seperti ini: Ata entah ingin
melakukan apa pada Ari, dan rencana Ata ini akan menggunakan Tari. Pada intinya:
bencana! Disaster! Tari ngeri sekali
membayangkan perang gerilya Ata ini. Karena sama sekali Ata tidak meninggalkan
jejak dan pertanda. Karena sama sekali Ata menyembunyikan segala bentuk
emosinya. Karena sama sekali Ata tidak terbaca!
Terbayang dalam ingatan Tari kejadian
tadi siang. Setelah menculiknya dengan paksa kemudian menyeretnya memasuki bus
– yang kemudian dituruti oleh Tari walaupun dengan sangat berat hati, karena
Ata dengan cara yang tak terkatakan berlagak mengancam – Ata mengantarnya.
Sampai rumah, dan sampai menemui Mama.
“Siang, Tante…” sapa Ata.
“Si…ang?” Mama melongo. Tari memang
sudah bercerita pada Mama bahwa Ari yang biasa ke rumah, punya kembaran. Ini
pertama kalinya Mama bertemu Ari yang bukan Ari. Yang hawanya beda. Tentu Mama
bingung.
Ata tersenyum manis. Licik, jerit batin Tari. Ata mencium
tangan Mama dengan hormat, kemudian berkata, ”Saya Ata, Tante. Lengkapnya,
Matahari Jingga.”
“Lhoooo… Namanya kebalikan dari nama
Tari!”
Tepat pada sasaran! Mama langsung heboh
dan melunak. Dengan ramah ia persilahkan Ata duduk dan ikut makan siang. Tari
mengeluh dalam hati. Mama ini! Apa nggak
bisa lihat ada tanduk tumbuh di kepalanya, apa?
Ata tertawa sopan. ”Terima kasih, Tante.
Mama saya sudah masak di rumah. Kalo saya nggak makan dirumah, nanti Mama saya
sedih.”
Tari terperanjat. Pinter juga tuh Setan ngambil hati Mama!
“Wah, sayang sekali, Nak Ata. Tapi lain
kali, Nak Ata harus makan disini, ya,”ucap Mama, benar-benar kecewa.
Nak
Ata!!! Rasanya Tari ingin pindah ke Timbuktu saking
malunya. Ata tertawa, entah geli entah bermaksud ramah. Tapi tetap saja bagi
Tari hawanya mengerikan!
“Pasti, Tante. Oh iya, lain kali kalau
saya kebetulan lewat lalu main kesini atau ngajak Tari keluar... boleh kan, Tan?”
Dan tentu saja jawaban Mama adalah ya!
Kartu As sudah dikantongi oleh Matahari
Jingga.
*
Tari pusing sekali. Bagaimana ini?
Segalanya begitu abstrak dan menakutkan. Terlalu blur, dan Tari tidak suka
meraba dalam gelap.
“Telepon Fio aja deh…” gumam Tari pada
dirinya sendiri.
Tapi baru saja ia menekan digit ketiga
dari nomor telepon rumah Fio, pintu rumahnya diketuk. Menyadari bahwa Mamanya
lagi pergi mengantar Geo ke dokter gigi dan sore ini rumahnya kosong, itu
berarti satu-satunya orang yang harus membuka pintu dan menemui tamu itu adalah
dirinya sendiri. Tapi Tari cuek bebek. Biarin
aja mau ngetuk sampai tangan kapalan! Nggak bakal gue bukain! Orang lagi galau
begini, malah ditamuin.
Namun, semakin lama gedoran pintu itu
semakin kencang dan iramanya semakin cepat. Tari langsung berasap. Tuh orang sebenernya mau bertamu atau berasa
lagi nabuh bedug, sih? Nggak tau sopan santun! Nggak punya etika! Baru saja
Tari ingin mengomeli orang itu ketika membuka pintu, tiba-tiba tubuhnya
langsung lemas dan kaku. Ia mundur tiga langkah. Matanya terbelalak dan kedua
tangannya menutupi mulut dan hidungnya.
Dengan mata sayu dan keadaan yang
berantakan, Matahari Senja berdiri di depannya.
*
Ari sudah hampir terlelap ketika sebuah SMS
masuk ke ponselnya. Tadinya Ari ingin mengabaikan SMS
itu. Namun ia teringat bahwa bisa saja ada keadaan darurat di sekolah yang
mengharuskannya untuk datang sesegera mungkin. Keadaan darurat yang menyangkut
nama baik sekolah – nama baik siswa sekolahnya, maksudnya. Kredibilitasnya
sebagai panglima perang. Juga keamanan teman-temannya.
Dengan segera ia membuka SMS
itu. Ralat, ternyata itu bukan SMS melainkan MMS.
Tepatnya, MMS dari ketua geng The Scissors, Vero. Sebuah foto. Foto itu diambil
dari belakang dan hanya memperlihatkan sedikit bagian wajah dari objek yang
difoto. Namun Ari langsung mengenali objeknya. Tari dan dia sedang berdiri
berhadapan di sebuah bus. Dahi Ari mengernyit melihat foto itu.
Kapan
foto ini diambil? Apa alasannya...?
Baru saja Ari akan menelepon si pengirim
pesan, ponsel Ari berdering lagi. Kali ini sebuah SMS.
Bingung?
Coba lihat baik-baik.
Foto itu diambil hari ini sepulang
sekolah.
Hari ini?
Sepulang sekolah? Dia pulang duluan. Hatinya sudah sangat
kacau sehingga ia melupakan ada gadis yang ia tinggal di sekolah. Namun siapa
sih yang berani mengganggu gadisnya? Kalau itu bukan foto dirinya, berarti
itu....
Ari terkesiap.
Tanpa pikir panjang lagi, Ari menyambar
kontak motornya dan melarikannya kencang – sekencang angin – menuju tempat
gadisnya.
*
“Kak Ari… kenapa?” Tanya Tari, setelah
berhasil mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tercecer.
Ari tersenyum tipis. ”Boleh masuk?”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya.
Aduh. Bagaimana menjawabnya? “Itu, Kak… Mama…”
“Lagi nganter Geo ke dokter gigi, kan?
Tadi ketemu dijalan,” sergah Ari cepat. ”Boleh masuk? Gue cuma pingin duduk dan
nggak ngapa-ngapain, kalo emang itu yang lo takutin. Pintunya dibuka aja. Gue
udah cek tetangga depan, dia udah pulang kerja. Kalo elo ngerasa gue udah mulai
macem-macem, lo bisa teriak sekencang-kencangnya dan gue pastiin dia langsung
lari kesini.”
Tari menghela napas, tidak bisa
mengelak. Memang sudah nasibnya begini, selalu tekanan batin.
”Ya udah, masuk aja, Kak.”
Mereka kemudian duduk berhadapan di sofa
ruang tamu. Semburat matahari senja menembus jendela Tari yang transparan, yang
gordennya sengaja dibuka. Cahayanya langsung mengenai wajah Ari. Tari bisa
langsung melihat kalau wajah itu sangat letih, sedih, kacau, pucat dan… menahan
emosi!
“Kak Ari kenapa?”
Ia ulang pertanyaannya. Kali ini dengan
tubuh yang ditegakkan dan suara yang bulat, agar terpancar keberanian walau
sebenarnya Tari deg-degan dan takut setengah mati!
Ari tersenyum. Kali ini sedikit lebih
lebar. Mungkin karena geli karena melihat sebuah keberanian yang dipaksakan.
Mungkin karena tersenyum satu-satunya hal yang bisa menyembunyikan emosinya
yang berkecamuk. Namun Ari tak menjawab pertanyaan Tari. Ia mengelus kepala
Tari lembut.
“Tadi… pulang sama siapa?”Tanya Ari
lembut.
Tari terkesiap. Ini pertanyaan jebakan
atau apa? Tari menghela napas. Kali ini panjang dan berat.
”Pulang sendiri.”
Ia memutuskan untuk mengambil resiko.
Rahang Ari mengeras. Matanya memancarkan
kemarahan.
”Gue tanya sekali lagi. Pulang sama
siapa?”
“Sendiri. Tadi bareng sama Fio sampai
halte. Tapi naik busnya sendiri,” ucap Tari cepat dengan melakukan sesedikit
mungkin kontak mata pada Ari.
Ari mendengus kencang. Ia keluarkan
sebuah ponsel dari kantung bajunya kemudian ia banting di meja. Tari memekik.
Di ponsel itu, tertera fotonya bersama Ata tadi siang!!!
*
Laksmi Paramitha. Seorang gadis yang
cantik, sangat cantik, pintar dan ramah. Mahasiswi nomor satu di fakultasnya.
Sekretaris senat yang gesit nan cekatan. Favorit para dosen karena kepintaran
dan kekritisannya.
Tapi bukan itu yang membuat Yudhistira
terpana pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Bukan. Tekadnya yang kuat dan tak
pantang menyerah serta keberaniannya terhadap apapun mampu membuat Yudhistira,
si ketua BEM yang terkenal kaku dan dingin, menjadi ergetar hatinya!
Sore itu hujan. Yudhistira melihat
gerombolan anak perempuan sedang menenangkan temannya yang menangis sedih.
Dalam hati Yudhistira mencibir, dasar
wanita! Bisanya hanya menangis saja! Tapi tak urung Yudhistira menguping
apa yang sedang dibicarakan oleh gerombolan itu.
“Sudahlah, nanti kamu saya pinjamkan
uang saya dulu, ya…”ucap si gadis pertama sambil mengelus rambut si wanita yang
menangis itu.
“Iya, toh hanya uang segitu. Kami pun
ada. Ya, nggak?”ucap si gadis kedua disambut anggukan si gadis ketiga.
“Iya, Laksmi… sudahlah kamu jangan
menangis…”
Laksmi?
Yudhistira memicingkan mata. Sekretaris
senat yang terkenal ceplas ceplos itu menangis? Wah! Berita baru!
“Memang uang segitu. Tapi Bapak dan Ibu
saya di Malang sampai jual kambing untuk SPP saya juga biaya hidup saya selama
enam bulan. Mungkin bagi kalian ini tidak seberapa tapi bagi saya berharga
sekali…” ujar Laksmi, sedikit meradang.
“Kamu ini, cepat sekali tersinggung. Kan
sudah ketemu solusinya. Nanti kami pinjamkan – “
“Lalu bagaimana cara mengembalikannya?”
Nada suara Laksmi meninggi. ”Saya harus bekerja.”
Yudhistira terhenyak. Tak menyangka
bahwa gadis yang ia kira sangat manja itu mempunyai tekad sekeras baja. Itulah
awal simpatinya pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Kemudian Yudhistira
memberanikan diri untuk mengajak bicara Laksmi secara pribadi – selama ini
hanya ketika ada rapat gabungan antara senat dengan BEM saja mereka
berinteraksi, itupun hanya sebatas hubungan profesional. Kemudian ia menawarkan
Laksmi untuk bekerja di rumah Bulik
nya yang penjahit.
Itulah awal kecintaan Laksmi terhadap
jahit-menjahit. Bisa ditebak selanjutnya,: Yudhistira dan Laksmi semakin dekat.
Mereka pun berpacaran kemudian menikah.
Yudhistira tidak menyesal menikahi
Laksmi. Laksmi memang istri yang sempurna. Ia dapat melakukan segalanya.
Pekerjaan rumah. Menjahit – meski terbatas hanya untuk lingkungan tetangga.
Mengasuh si kembar, anak mereka. Juga masih sempat melayaninya dengan baik.
Yudhistira cinta dan bangga setengah mati pada istrinya itu. Sampai pada suatu
ketika…
“Pa, saya mau kerja,” ucap Laksmi
lembut, tapi tegas.
“Lho... Selama ini yang Mama lakukan
memang bukan kerja?” Yudhistira mencoba mencairkan suasana dengan bercanda,
sembari menunjuk tumpukan jahitan di samping sofa ruang tamu.
“Pa, kebutuhan semakin banyak. Saya rasa
tidak ada salahnya saya ikut urun dalam keuangan keluarga kita, sehingga beban
Papa berkurang.”
“Saya tidak pernah menganggap ini semua
adalah beban! Kalian bukan beban!”
“Pa, anak-anak sudah mulai besar. Biaya
pendidikan, belum lagi cicilan rumah – “
“Kamu tidak percaya saya bisa memenuhi
kebutuhan kalian semua?!”
Tepat menghantam di dada! Gengsi itu… pride nya sebagai lelaki...
“Papa egois sekali kalau menutup ruang
gerak intelektualitas saya!”
Tepat mengantam di dada! Gengsi itu… Kepintaran
yang rasanya Laksmi sia-siakan selama ini…
Sore itu adalah sebuah kesalahan. Laksmi
nya tak pernah menjadi sama lagi dengan Laksmi yang ia kenal, yang kepadanya ia
pernah merasa sangat jatuh cinta. Disana terpasang beton yang mengeras. Semakin
lama semakin keras dan dingin. Tidak bisa tersentuh.
Sore itu adalah sebuah kesalahan.
Yudhistira, lelaki yang sangat ia kagumi karena kegigihan tekad serta ketegasannya,
yang sangat ia cintai luar dan dalam, tak pernah sama lagi seperti dahulu.
Disana terbentang dinding yang tinggi. Menjulang. Tidak tergapai.
*
Ternyata
benar disana!
Dari dalam mobil, Papa Ari mengaitkan
kedua tangannya, menanti dengan tegang, seseorang keluar dari rumah. Dan
kemudian ketika orang yang dinanti itu benar keluar, badannya langsung menegak.
Meski dari jauh, dari dalam mobil pula, tapi masih cukup bisa terlihat jelas
oleh mata.
Ternyata benar disana! Dirumah
tetangganya dulu! Wanita itu, mantan istrinya... Sedang duduk di teras sembari
asyik menyulam – entah apa.
Tanpa sadar Papa Ari tersenyum. Laksmi… ternyata masih sama seperti yang
dulu. Tidak ada yang berbeda.
“Bapak… mau turun?” Tanya Pak Aris,
supir Papa Ari yang sudah lima tahun mengabdi. Lima tahun bukan waktu yang
singkat. Permintaan tak biasa Tuannya ini membuatnya heran, sekaligus mahfum.
Wanita ini pasti orang yang sangat penting bagi Tuannya.
“Nggak usah, Pak Aris. Jalan.”
Pasti akan kutemui kamu. Tapi tidak hari ini.
-FLOWER-
nyeeseeekkk ihh,,, :(
ReplyDelete