Friday, July 5, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #5



Ada hati yang sedang sibuk dengan segala kemelut, pikiran dan emosi yang menyeruak. Sehingga segalanya terlihat semakin rusak. Di sisi lain, ada hati yang sedang bimbang, ragu campur cemas. Sehingga segala yang buruk terpikir, membuat jantung berdebar saking paranoidnya.

Sementara Ari sedang kalut dengan masalah keluarganya, Tari kini dirundung kecemasan, ketakutan dan keparanoidan sekaligus! Percakapannya dengan Ata tadi siang yang menggantung dan menyisakan banyak teka-teki, bisa diambil kesimpulan seperti ini: Ata entah ingin melakukan apa pada Ari, dan rencana Ata ini akan menggunakan Tari. Pada intinya: bencana! Disaster! Tari ngeri sekali membayangkan perang gerilya Ata ini. Karena sama sekali Ata tidak meninggalkan jejak dan pertanda. Karena sama sekali Ata menyembunyikan segala bentuk emosinya. Karena sama sekali Ata tidak terbaca!
Terbayang dalam ingatan Tari kejadian tadi siang. Setelah menculiknya dengan paksa kemudian menyeretnya memasuki bus – yang kemudian dituruti oleh Tari walaupun dengan sangat berat hati, karena Ata dengan cara yang tak terkatakan berlagak mengancam – Ata mengantarnya. Sampai rumah, dan sampai menemui Mama.
“Siang, Tante…” sapa Ata.
“Si…ang?” Mama melongo. Tari memang sudah bercerita pada Mama bahwa Ari yang biasa ke rumah, punya kembaran. Ini pertama kalinya Mama bertemu Ari yang bukan Ari. Yang hawanya beda. Tentu Mama bingung.
Ata tersenyum manis. Licik, jerit batin Tari. Ata mencium tangan Mama dengan hormat, kemudian berkata, ”Saya Ata, Tante. Lengkapnya, Matahari Jingga.”
“Lhoooo… Namanya kebalikan dari nama Tari!”
Tepat pada sasaran! Mama langsung heboh dan melunak. Dengan ramah ia persilahkan Ata duduk dan ikut makan siang. Tari mengeluh dalam hati. Mama ini! Apa nggak bisa lihat ada tanduk tumbuh di kepalanya, apa?
Ata tertawa sopan. ”Terima kasih, Tante. Mama saya sudah masak di rumah. Kalo saya nggak makan dirumah, nanti Mama saya sedih.”
Tari terperanjat. Pinter juga tuh Setan ngambil hati Mama!
“Wah, sayang sekali, Nak Ata. Tapi lain kali, Nak Ata harus makan disini, ya,”ucap Mama, benar-benar kecewa.
Nak Ata!!! Rasanya Tari ingin pindah ke Timbuktu saking malunya. Ata tertawa, entah geli entah bermaksud ramah. Tapi tetap saja bagi Tari hawanya mengerikan!
“Pasti, Tante. Oh iya, lain kali kalau saya kebetulan lewat lalu main kesini atau ngajak Tari keluar... boleh kan, Tan?”
Dan tentu saja jawaban Mama adalah ya!
Kartu As sudah dikantongi oleh Matahari Jingga.
*
Tari pusing sekali. Bagaimana ini? Segalanya begitu abstrak dan menakutkan. Terlalu blur, dan Tari tidak suka meraba dalam gelap.
“Telepon Fio aja deh…” gumam Tari pada dirinya sendiri.
Tapi baru saja ia menekan digit ketiga dari nomor telepon rumah Fio, pintu rumahnya diketuk. Menyadari bahwa Mamanya lagi pergi mengantar Geo ke dokter gigi dan sore ini rumahnya kosong, itu berarti satu-satunya orang yang harus membuka pintu dan menemui tamu itu adalah dirinya sendiri. Tapi Tari cuek bebek. Biarin aja mau ngetuk sampai tangan kapalan! Nggak bakal gue bukain! Orang lagi galau begini, malah ditamuin.
Namun, semakin lama gedoran pintu itu semakin kencang dan iramanya semakin cepat. Tari langsung berasap. Tuh orang sebenernya mau bertamu atau berasa lagi nabuh bedug, sih? Nggak tau sopan santun! Nggak punya etika! Baru saja Tari ingin mengomeli orang itu ketika membuka pintu, tiba-tiba tubuhnya langsung lemas dan kaku. Ia mundur tiga langkah. Matanya terbelalak dan kedua tangannya menutupi mulut dan hidungnya.
Dengan mata sayu dan keadaan yang berantakan, Matahari Senja berdiri di depannya.
*
Ari sudah hampir terlelap ketika sebuah SMS masuk ke ponselnya. Tadinya Ari ingin mengabaikan SMS itu. Namun ia teringat bahwa bisa saja ada keadaan darurat di sekolah yang mengharuskannya untuk datang sesegera mungkin. Keadaan darurat yang menyangkut nama baik sekolah – nama baik siswa sekolahnya, maksudnya. Kredibilitasnya sebagai panglima perang. Juga keamanan teman-temannya.
Dengan segera ia membuka SMS itu. Ralat, ternyata itu bukan SMS melainkan MMS. Tepatnya, MMS dari ketua geng The Scissors, Vero. Sebuah foto. Foto itu diambil dari belakang dan hanya memperlihatkan sedikit bagian wajah dari objek yang difoto. Namun Ari langsung mengenali objeknya. Tari dan dia sedang berdiri berhadapan di sebuah bus. Dahi Ari mengernyit melihat foto itu.
Kapan foto ini diambil? Apa alasannya...?
Baru saja Ari akan menelepon si pengirim pesan, ponsel Ari berdering lagi. Kali ini sebuah SMS.
Bingung? Coba lihat baik-baik.
Foto itu diambil hari ini sepulang sekolah.
Hari ini? Sepulang sekolah? Dia pulang duluan. Hatinya sudah sangat kacau sehingga ia melupakan ada gadis yang ia tinggal di sekolah. Namun siapa sih yang berani mengganggu gadisnya? Kalau itu bukan foto dirinya, berarti itu....
Ari terkesiap.
Tanpa pikir panjang lagi, Ari menyambar kontak motornya dan melarikannya kencang – sekencang angin – menuju tempat gadisnya.
*
“Kak Ari… kenapa?” Tanya Tari, setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tercecer.
Ari tersenyum tipis. ”Boleh masuk?”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya. Aduh. Bagaimana menjawabnya? “Itu, Kak… Mama…”
“Lagi nganter Geo ke dokter gigi, kan? Tadi ketemu dijalan,” sergah Ari cepat. ”Boleh masuk? Gue cuma pingin duduk dan nggak ngapa-ngapain, kalo emang itu yang lo takutin. Pintunya dibuka aja. Gue udah cek tetangga depan, dia udah pulang kerja. Kalo elo ngerasa gue udah mulai macem-macem, lo bisa teriak sekencang-kencangnya dan gue pastiin dia langsung lari kesini.”
Tari menghela napas, tidak bisa mengelak. Memang sudah nasibnya begini, selalu tekanan batin.
”Ya udah, masuk aja, Kak.”
Mereka kemudian duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Semburat matahari senja menembus jendela Tari yang transparan, yang gordennya sengaja dibuka. Cahayanya langsung mengenai wajah Ari. Tari bisa langsung melihat kalau wajah itu sangat letih, sedih, kacau, pucat dan… menahan emosi!
“Kak Ari kenapa?”
Ia ulang pertanyaannya. Kali ini dengan tubuh yang ditegakkan dan suara yang bulat, agar terpancar keberanian walau sebenarnya Tari deg-degan dan takut setengah mati!
Ari tersenyum. Kali ini sedikit lebih lebar. Mungkin karena geli karena melihat sebuah keberanian yang dipaksakan. Mungkin karena tersenyum satu-satunya hal yang bisa menyembunyikan emosinya yang berkecamuk. Namun Ari tak menjawab pertanyaan Tari. Ia mengelus kepala Tari lembut.
“Tadi… pulang sama siapa?”Tanya Ari lembut.
Tari terkesiap. Ini pertanyaan jebakan atau apa? Tari menghela napas. Kali ini panjang dan berat.
”Pulang sendiri.”
Ia memutuskan untuk mengambil resiko.
Rahang Ari mengeras. Matanya memancarkan kemarahan.
”Gue tanya sekali lagi. Pulang sama siapa?”
“Sendiri. Tadi bareng sama Fio sampai halte. Tapi naik busnya sendiri,” ucap Tari cepat dengan melakukan sesedikit mungkin kontak mata pada Ari.
Ari mendengus kencang. Ia keluarkan sebuah ponsel dari kantung bajunya kemudian ia banting di meja. Tari memekik. Di ponsel itu, tertera fotonya bersama Ata tadi siang!!!
*
Laksmi Paramitha. Seorang gadis yang cantik, sangat cantik, pintar dan ramah. Mahasiswi nomor satu di fakultasnya. Sekretaris senat yang gesit nan cekatan. Favorit para dosen karena kepintaran dan kekritisannya.
Tapi bukan itu yang membuat Yudhistira terpana pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Bukan. Tekadnya yang kuat dan tak pantang menyerah serta keberaniannya terhadap apapun mampu membuat Yudhistira, si ketua BEM yang terkenal kaku dan dingin, menjadi ergetar hatinya!
Sore itu hujan. Yudhistira melihat gerombolan anak perempuan sedang menenangkan temannya yang menangis sedih. Dalam hati Yudhistira mencibir, dasar wanita! Bisanya hanya menangis saja! Tapi tak urung Yudhistira menguping apa yang sedang dibicarakan oleh gerombolan itu.
“Sudahlah, nanti kamu saya pinjamkan uang saya dulu, ya…”ucap si gadis pertama sambil mengelus rambut si wanita yang menangis itu.
“Iya, toh hanya uang segitu. Kami pun ada. Ya, nggak?”ucap si gadis kedua disambut anggukan si gadis ketiga.
“Iya, Laksmi… sudahlah kamu jangan menangis…”
Laksmi? Yudhistira memicingkan mata. Sekretaris senat yang terkenal ceplas ceplos itu menangis? Wah! Berita baru!
“Memang uang segitu. Tapi Bapak dan Ibu saya di Malang sampai jual kambing untuk SPP saya juga biaya hidup saya selama enam bulan. Mungkin bagi kalian ini tidak seberapa tapi bagi saya berharga sekali…” ujar Laksmi, sedikit meradang.
“Kamu ini, cepat sekali tersinggung. Kan sudah ketemu solusinya. Nanti kami pinjamkan – “
“Lalu bagaimana cara mengembalikannya?” Nada suara Laksmi meninggi. ”Saya harus bekerja.”
Yudhistira terhenyak. Tak menyangka bahwa gadis yang ia kira sangat manja itu mempunyai tekad sekeras baja. Itulah awal simpatinya pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Kemudian Yudhistira memberanikan diri untuk mengajak bicara Laksmi secara pribadi – selama ini hanya ketika ada rapat gabungan antara senat dengan BEM saja mereka berinteraksi, itupun hanya sebatas hubungan profesional. Kemudian ia menawarkan Laksmi untuk bekerja di rumah Bulik nya yang penjahit.
Itulah awal kecintaan Laksmi terhadap jahit-menjahit. Bisa ditebak selanjutnya,: Yudhistira dan Laksmi semakin dekat. Mereka pun berpacaran kemudian menikah.
Yudhistira tidak menyesal menikahi Laksmi. Laksmi memang istri yang sempurna. Ia dapat melakukan segalanya. Pekerjaan rumah. Menjahit – meski terbatas hanya untuk lingkungan tetangga. Mengasuh si kembar, anak mereka. Juga masih sempat melayaninya dengan baik. Yudhistira cinta dan bangga setengah mati pada istrinya itu. Sampai pada suatu ketika…
“Pa, saya mau kerja,” ucap Laksmi lembut, tapi tegas.
“Lho... Selama ini yang Mama lakukan memang bukan kerja?” Yudhistira mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, sembari menunjuk tumpukan jahitan di samping sofa ruang tamu.
“Pa, kebutuhan semakin banyak. Saya rasa tidak ada salahnya saya ikut urun dalam keuangan keluarga kita, sehingga beban Papa berkurang.”
“Saya tidak pernah menganggap ini semua adalah beban! Kalian bukan beban!”
“Pa, anak-anak sudah mulai besar. Biaya pendidikan, belum lagi cicilan rumah – “
“Kamu tidak percaya saya bisa memenuhi kebutuhan kalian semua?!”
Tepat menghantam di dada! Gengsi itu… pride nya sebagai lelaki...
“Papa egois sekali kalau menutup ruang gerak intelektualitas saya!”
Tepat mengantam di dada! Gengsi itu… Kepintaran yang rasanya Laksmi sia-siakan selama ini…
Sore itu adalah sebuah kesalahan. Laksmi nya tak pernah menjadi sama lagi dengan Laksmi yang ia kenal, yang kepadanya ia pernah merasa sangat jatuh cinta. Disana terpasang beton yang mengeras. Semakin lama semakin keras dan dingin. Tidak bisa tersentuh.
Sore itu adalah sebuah kesalahan. Yudhistira, lelaki yang sangat ia kagumi karena kegigihan tekad serta ketegasannya, yang sangat ia cintai luar dan dalam, tak pernah sama lagi seperti dahulu. Disana terbentang dinding yang tinggi. Menjulang. Tidak tergapai.
*
Ternyata benar disana!
Dari dalam mobil, Papa Ari mengaitkan kedua tangannya, menanti dengan tegang, seseorang keluar dari rumah. Dan kemudian ketika orang yang dinanti itu benar keluar, badannya langsung menegak. Meski dari jauh, dari dalam mobil pula, tapi masih cukup bisa terlihat jelas oleh mata.
Ternyata benar disana! Dirumah tetangganya dulu! Wanita itu, mantan istrinya... Sedang duduk di teras sembari asyik menyulam – entah apa.
Tanpa sadar Papa Ari tersenyum. Laksmi… ternyata masih sama seperti yang dulu. Tidak ada yang berbeda.
“Bapak… mau turun?” Tanya Pak Aris, supir Papa Ari yang sudah lima tahun mengabdi. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Permintaan tak biasa Tuannya ini membuatnya heran, sekaligus mahfum. Wanita ini pasti orang yang sangat penting bagi Tuannya.
“Nggak usah, Pak Aris. Jalan.”
Pasti akan kutemui kamu. Tapi tidak hari ini.

-FLOWER-

1 comment: