Saturday, July 13, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #6


Kapan terakhir kali Ari kesini? Berminggu-minggu yang lalu? Berbulan-bulan yang lalu? Kapanpun itu, rasanya sudah lama sekali.
Ari sampai di saung favoritnya. Tempatnya menyendiri. Tempatnya – saat dulu semuanya baik-baik saja – sering menghabiskan waktu untuk bersantai bersama keluarganya yang utuh. Bersama Papa, Mama, dan Ata.
Namun, seseorang ternyata telah mengambil tempat disana, duduk menghadap arah matahari yang sesaat lagi akan terbenam. Seseorang yang pernah berbagi rahim dengannya.
“Lo masih inget sama tempat ini?” Ata memecah keheningan yang tercipta, tanpa memastikan bahwa orang yang baru saja tiba di tempat ini adalah Ari. Karena, sudah pasti itu Ari.
Ari mengambil tempat di sebelah saudara kembarnya. Sudah lama sekali sejak mereka terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini bersama-sama. Saat tawa masih terderai keras, dalam suasana penuh kehangatan dan keakraban.
“Pulang sekolah tadi, Tari pulang bareng gue.”
Ata berbicara tanpa menatap Ari. Pandangannya tertumpu pada satu titik di depan, menunggu detik-detik sang surya berganti bulan. Ari juga melakukan hal yang sama.
“Gue pingin tau, cewek seperti apa yang udah ngambil hati kembaran gue ini. Lo pasti tertarik sama dia bukan cuma karena kesamaan nama kita, kan?”
Ata tertawa renyah. Rahang Ari mengeras. Tangannya terkepal menahan emosi. Enggak, walau gimana juga dia sodara gue.
“Santai, Ri...” Dirangkulnya bahu Ari. “Gue cuma mau temenan aja sama dia. Nggak pa-pa, kan?”
Suara tawa Ata, keterdiaman Ari, serta semburat jingga di langit senja sempurna mengantar matahari menuju peraduannya.
*
Motor hitam itu perlahan mendekati gerbang rumah pengendaranya. Namun, kejutan! Di depan gerbang kokoh itu telah berdiri dua pemuda yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya – padahal sudah lewat tengah malam, berjam-jam sejak bel pulang sekolah berbunyi.
Sedari sore, Oji dan Ridho menunggu Ari pulang karena ponsel sahabatnya itu tidak bisa dihubungi.
Ari yang melihat wajah kedua sahabatnya langsung turun dari motor dengan emosi yang memuncak.
“Ngapain lo pada disini?!” Sergahnya penuh amarah. Oji langsung berdiri di hadapannya, bersikap menenangkan.
“Woops... Santai, Bos! Lo ngebolos, hape lo nggak bisa dihubungi, jadi– “
“Jadi kenapa lo nggak langsung kasih tau gue kalo Tari pulang bareng Ata, hah?!”
Oji menghentikan celotehannya demi mendengar kata-kata terakhir Ari. Ridho bergerak. Matanya memicing keheranan. “Lo tau darimana?”
“Bukan masalah gue tau darimana. Harusnya gue tau dari kalian!”
Dengan membabi buta dan tanpa fokus yang jelas, Ari melayangkan tinjunya ke segala arah. Oji dengan sigap menangkap tangan Ari, sebelum dirinya lebih banyak dijadikan sasaran tinju.
“Lo tau darimana Ri, kalo Ata yang nganter Tari?”
Dan Ari langsung kalap saat itu juga.
“Kenapa bukan lo berdua yang ngasih tau gue! Bahkan Tari pun bohong sama gue tentang siapa yang nganter dia pulang hari ini! Kenapa... Kenapa lo semua?!”
BUKKK!
Sebuah tinju melayang meninggalkan bekas lebam di wajah Ari. Setetes darah terlihat di sudut bibirnya.
Sebuah tinju dari Ridho.
“Dho, jangan gegabah!”
“Lo tanya kenapa gue sama Oji nggak langsung ngabarin lo kalo Tari diantar pulang sama kembaran lo?” Tidak biasanya Ridho mengeluarkan nada yang seperti ini saat berbicara dengan Ari, Nada penuh kemarahan dan kekecewaan. Ridho yang biasanya tenang, nggak pernah sekalipun menatap Ari dengan pandangan terluka seperti ini!
“Lo tanya kenapa bahkan Tari juga tega ngebohongin lo tentang hal ini? Lo pikir kenapa, Hah?!”
BUUUKKK!
Kepalan tangan Ridho kembali mendarat di wajah Ari.
“”Lo pikir kenapa?! JELAS KARENA KAMI SEMUA PEDULI SAMA ELO, WOOOY!”
Oji melepaskan pegangannya pada Ari dan memosisikan dirinya diantara kedua sahabatnya itu dengan kepala tertunduk.
“Nggak ada satupun di antara kita yang mau liat lo hancur, Bos,” ujar Oji lemah.
“Gue yakin, Tari juga nggak mau lo berprasangka buruk sama sodara lo sendiri. Sama seperti alasan gue dan Oji, SAHABAT lo, yang nggak sesegera mungkin ngelaporin ini ke elo. SAHABAT, Ri, harus berapa kali gue harus negasin ini ke elo?!”
Ari merasa seperti mendapat tamparan keras. Pukulan dari Ridho tidaklah seberapa sakitnya dibandingkan dengan apa yang ia lihat dan ia dengar saat ini. Wajah terluka Ridho, wajah kecewa Oji, dan juga berbagai penjelasan dari mereka.
Seharusnya Ari tahu. Seharusnya Ari tidak selalu mengedepankan emosinya. Orang-orang ini... Bukankah mereka selalu membuatnya bangkit, apapun yang terjadi? Orang-orang ini... bukankah mereka yang selalu mengusahakan agar dirinya baik-baik saja?
Karena mereka adalah sahabat terbaik yang pernah Ari miliki, yang seharusnya ia percaya dan ia jaga.
“Maaf...” Ari berujar lirih. “Hanya saja... Hari ini terlalu banyak hal yang bikin gue stres.”
Ridho lah yang pertama kali merangkulnya. Kemudian disusul dengan Oji.
“Gue minta maaf kalo perbuatan gue tadi bikin kalian kecewa, meragukan kesetiaan kalian sebagai sahabat gue. Gue cuma... Gue takut.”
Di hadapan kedua orang ini, air mata Ari kembali terjatuh. Hanya di hadapan kedua sahabatnya ini Ari bisa menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya.
Sahabat mana yang tega melihat hati sahabatnya terluka sehebat ini?
Bahkan sekalipun elo dan Ari adalah saudara... gue harus tau apa motif lo sebenarnya.
*
Sudah jam dua malam, namun Tari masih tak mampu memejamkan matanya. Masih tergambar jelas di ingatannya ekspresi Ari tadi. Ekspresi terluka yang beberapa minggu ini tidak pernah terlihat di wajahnya. Dan Tari, merasa ikut menyumbang andil atas luka yang tertoreh pada hari ini.
Dengan cara yang sangat unik, Tari merasa hatinya sempurna dimiliki oleh Ari, yang sejak awal sudah mengklaim dirinya sebagai milik pribadi. Maka tidak ada keraguan bagi Tari atas perasaan Ari terhadap dirinya. Meski Tari tahu pada awalnya perasaan itu hanya karena kesamaan nama yang ia miliki, namun sikap Ari beberapa minggu terakhir ini menguatkan keyakinan Tari bahwa kini, perasaan yang dimiliki oleh cowok itu bukan lagi karena sekedar kesamaan nama. Walau Tari masih gengsi dan terlalu malu untuk menanyakan semuanya secara langsung.
Tari kembali melirik ponselnya yang masih tetap membisu. Tidak ada telepon maupun SMS dari Ari. Baru kali ini Ari meninggalkan Tari tanpa sempat memberikan atau bahkan mau mendengarkan penjelasan. Setelah membanting ponselnya dengan marah, Ari langsung berlari keluar dengan murka, sangat cepat hingga Tari tak mampu mengejarnya. Besok hari Minggu, kemungkinan untuk mereka bertemu sangat tipis.
“Kenapa jadi gini, sih...”
Maafin saya, Kak Ari.
Hanya itu yang bisa Tari katakan lewat SMS. Semoga keadaannya nggak akan menjadi seburuk sebelumnya, deh...
*
Lampu salah satu kamar di rumah itu telah dipadamkan. Di seberangnya, seorang lelaki terus memandangi kamar yang sekarang sudah gelap. Layar ponsel di tangannya masih terus menampilkan SMS yang masuk dari gadis pemilik kamar tersebut.
Sekali lagi, Tar... Tolong. Gue berharap banyak sama elo.
*
Ada gosip-gosip yang beredar di SMA Airlangga. Tentang Matahari, tentunya. Saat ini SMA Airlangga memiliki tiga Matahari.
Berminggu-minggu sudah Angga memikirkan hal ini. Sudah terlalu lama ia berdiam. Bagaimanapun, balas dendam tetaplah rencana yang harus terus berjalan. Demi seseorang yang pernah menangis di hadapannya dua tahun silam.
Tangannya memegang selembar foto. Seorang gadis yang senyumnya terkembang lebar terekam indah disana.
“Maaf karena kamu harus terlalu lama menunggu, Kirana. Kak Angga janji, kali ini nggak akan menunda-nunda waktu lebih lama lagi untuk menghabisi Ari. Demi segala kepedihan dan airmata yang telah kamu tumpahkan secara sia-sia...”
*
Sedari tadi ponselnya berdering kencang dan tanpa henti. Entah makhluk darimana yang tega mengganggu ketentramannya bermesraan dengan kasur di hari merdeka para siswa sekolahan. Gue masih ngantuuuuk!
“Halo!” Bentaknya pada lawan bicaranya.
“Sori, Tar. Gue ngeganggu ya?”
Suara ini... “A... Angga?”
“Halooo..” suara di seberang sana terdengar ramah. Bener, ini suara Angga!
“Eh, iya... Halo. Sori, tadi nyawa gue belom kekumpul. Lo nelponnya semangat banget, sih. Udah berkali-kali nggak diangkat masih aja keukeuh.”
Tawa geli terdengar dari ujung sana. Tari pun ikut tersenyum.
“Ketemuan yuk? Ada yang mau gue omongin.” Ajakan tersebut sangat menggiurkan. Rasanya sudah lama sekali Tari dan Angga tidak saling jumpa. Tapi...
“Sori, Ngga. Gue nggak bisa. Nggg... “ Tari memutar otak, mencari alasan bagus. “Mau nemenin Mama nyari kain, trus main sama Geo. Kangen! Kehidupan sekolah bikin gue jarang main sama Geo.”
Suara tawa di ujung sana telah berganti dengan helaan napas dalam. Ia tahu bahwa itu hanyalah alasan. Masih aja melindungi Ari, batinnya meremehkan.
Kata-kata yang meluncur dari mulut Angga selanjutnya diucapkan dengan sangat serius.
“Tar, jangan pernah dekat-dekat dengan orang yang namanya Ari, ya?”
Tari tertegun. “Kok lo tiba-tiba ngomong gitu?”
“Lo nggak akan aman kalo berada di dekat dia, Tar. Sebaiknya lo menjauh.”
“Tapi kenapaaaa?” Tari gemas. Belum selesai masalah yang satu, sepagi ini ia sudah mendapatkan serangan yang lain lagi. “Kak Ari sekarang udah berubah, kok. Dia nggak pernah usil lagi sama gue. Sikapnya sekarang jauh lebih manis. Kenapa – “
“Ini semua,” potong Angga tepat. “Nggak ada hubungannya sama elo. Ari, gue jamin, saat ini berada dalam posisi yang sangat tidak aman. Makanya Tar, please... Demi untuk menjaga lo, jangan pernah berhubungan dengan Ari lagi. Gue mohon.”
Apa maksudnya? Kenapa semua orang jadi bersikap seperti ini terhadap Kak Ari?
Telepon pagi itu terputus tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut Tari.

-PRINCESS-

11 comments:

  1. waw..ini fanfic jingga dan senja yang paling aku suka loh=) ehehe ditunggu loh lanjutannya. keren deh jadi lumayan itung-itung nungguin JUM terbit hoho. terimakasih~

    ReplyDelete
  2. waw... terima kasiih jugaaa karna sudah membaca karya kamii hiihhii :)

    ReplyDelete
  3. Ditunggu loh lanjutannya=) oh iya aku denger gramedia ngadain lomba fanfic jds loh, knp gak coba ikutan aja? Hehe

    ReplyDelete
  4. Aiiihhh... Bagus banget... Aku udah baca semuanya. Kata2nya ngalir & terasa alami banget... Lanjut donk! Lanjut! Udah ggak sabar nih... ^_^

    ReplyDelete
  5. hai denatri :) makasih yah apresiasinya. doakan aja :) hehehe

    hai cassie. terimakasih membaca tulisan kami :)

    ReplyDelete
  6. kakak,,, tanya dong,, kirana itu siapa sebenernya, soalnya di novel sebelumnya gak pernah di sebutin , dan kirana itu juga ada di salah satu cerbung JUM yang pernah saya baca,, apa kirana emang sosok yg di kasi mbak esti apa gimana,,?

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo nurika :) maaf yaa baru bales. Kirana memang ga ada di novel JUM say, itu murni tokoh ciptaan kami. wah iya ada cerbung lain yang juga memakai nama Kirana? Mungkin kebetulan aja yaa .. Btw makasih udah baca blog kami :)

      Delete
  7. keceeeee.... :) :) :)

    ReplyDelete
  8. Keren fanficnya! Terus berkarya ya Duo Hana & Putri ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih yaa sudah membaca karya kami :) amiin, doakan yaa hehe :)

      Delete