Kapan terakhir kali Ari kesini?
Berminggu-minggu yang lalu? Berbulan-bulan yang lalu? Kapanpun itu, rasanya
sudah lama sekali.
Ari sampai di saung favoritnya. Tempatnya
menyendiri. Tempatnya – saat dulu semuanya baik-baik saja – sering menghabiskan
waktu untuk bersantai bersama keluarganya yang utuh. Bersama Papa, Mama, dan
Ata.
Namun, seseorang ternyata telah mengambil
tempat disana, duduk menghadap arah matahari yang sesaat lagi akan terbenam.
Seseorang yang pernah berbagi rahim dengannya.
“Lo masih inget sama tempat ini?” Ata
memecah keheningan yang tercipta, tanpa memastikan bahwa orang yang baru saja
tiba di tempat ini adalah Ari. Karena, sudah pasti itu Ari.
Ari mengambil tempat di sebelah saudara
kembarnya. Sudah lama sekali sejak mereka terakhir kali menginjakkan kaki di
tempat ini bersama-sama. Saat tawa masih terderai keras, dalam suasana penuh
kehangatan dan keakraban.
“Pulang sekolah tadi, Tari pulang bareng
gue.”
Ata berbicara tanpa menatap Ari.
Pandangannya tertumpu pada satu titik di depan, menunggu detik-detik sang surya
berganti bulan. Ari juga melakukan hal yang sama.
“Gue pingin tau, cewek seperti apa yang
udah ngambil hati kembaran gue ini. Lo pasti tertarik sama dia bukan cuma
karena kesamaan nama kita, kan?”
Ata tertawa renyah. Rahang Ari mengeras.
Tangannya terkepal menahan emosi. Enggak,
walau gimana juga dia sodara gue.
“Santai, Ri...” Dirangkulnya bahu Ari. “Gue
cuma mau temenan aja sama dia. Nggak pa-pa, kan?”
Suara tawa Ata, keterdiaman Ari, serta
semburat jingga di langit senja sempurna mengantar matahari menuju peraduannya.
*
Motor hitam itu perlahan mendekati
gerbang rumah pengendaranya. Namun, kejutan! Di depan gerbang kokoh itu telah
berdiri dua pemuda yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya – padahal sudah
lewat tengah malam, berjam-jam sejak bel pulang sekolah berbunyi.
Sedari sore, Oji dan Ridho menunggu Ari
pulang karena ponsel sahabatnya itu tidak bisa dihubungi.
Ari yang melihat wajah kedua sahabatnya
langsung turun dari motor dengan emosi yang memuncak.
“Ngapain lo pada disini?!” Sergahnya
penuh amarah. Oji langsung berdiri di hadapannya, bersikap menenangkan.
“Woops... Santai, Bos! Lo ngebolos, hape
lo nggak bisa dihubungi, jadi– “
“Jadi kenapa lo nggak langsung kasih tau
gue kalo Tari pulang bareng Ata, hah?!”
Oji menghentikan celotehannya demi
mendengar kata-kata terakhir Ari. Ridho bergerak. Matanya memicing keheranan.
“Lo tau darimana?”
“Bukan masalah gue tau darimana.
Harusnya gue tau dari kalian!”
Dengan membabi buta dan tanpa fokus yang
jelas, Ari melayangkan tinjunya ke segala arah. Oji dengan sigap menangkap
tangan Ari, sebelum dirinya lebih banyak dijadikan sasaran tinju.
“Lo tau darimana Ri, kalo Ata yang
nganter Tari?”
Dan Ari langsung kalap saat itu juga.
“Kenapa bukan lo berdua yang ngasih tau gue!
Bahkan Tari pun bohong sama gue tentang siapa yang nganter dia pulang hari ini!
Kenapa... Kenapa lo semua?!”
BUKKK!
Sebuah tinju melayang meninggalkan bekas
lebam di wajah Ari. Setetes darah terlihat di sudut bibirnya.
Sebuah tinju dari Ridho.
“Dho, jangan gegabah!”
“Lo tanya kenapa gue sama Oji nggak
langsung ngabarin lo kalo Tari diantar pulang sama kembaran lo?” Tidak biasanya
Ridho mengeluarkan nada yang seperti ini saat berbicara dengan Ari, Nada penuh
kemarahan dan kekecewaan. Ridho yang biasanya tenang, nggak pernah sekalipun menatap
Ari dengan pandangan terluka seperti ini!
“Lo tanya kenapa bahkan Tari juga tega
ngebohongin lo tentang hal ini? Lo pikir kenapa, Hah?!”
BUUUKKK!
Kepalan tangan Ridho kembali mendarat di
wajah Ari.
“”Lo pikir kenapa?! JELAS KARENA KAMI
SEMUA PEDULI SAMA ELO, WOOOY!”
Oji melepaskan pegangannya pada Ari dan
memosisikan dirinya diantara kedua sahabatnya itu dengan kepala tertunduk.
“Nggak ada satupun di antara kita yang
mau liat lo hancur, Bos,” ujar Oji lemah.
“Gue yakin, Tari juga nggak mau lo
berprasangka buruk sama sodara lo sendiri. Sama seperti alasan gue dan Oji,
SAHABAT lo, yang nggak sesegera mungkin ngelaporin ini ke elo. SAHABAT, Ri,
harus berapa kali gue harus negasin ini ke elo?!”
Ari merasa seperti mendapat tamparan
keras. Pukulan dari Ridho tidaklah seberapa sakitnya dibandingkan dengan apa
yang ia lihat dan ia dengar saat ini. Wajah terluka Ridho, wajah kecewa Oji,
dan juga berbagai penjelasan dari mereka.
Seharusnya Ari tahu. Seharusnya Ari
tidak selalu mengedepankan emosinya. Orang-orang ini... Bukankah mereka selalu
membuatnya bangkit, apapun yang terjadi? Orang-orang ini... bukankah mereka
yang selalu mengusahakan agar dirinya baik-baik saja?
Karena mereka adalah sahabat terbaik
yang pernah Ari miliki, yang seharusnya ia percaya dan ia jaga.
“Maaf...” Ari berujar lirih. “Hanya
saja... Hari ini terlalu banyak hal yang bikin gue stres.”
Ridho lah yang pertama kali
merangkulnya. Kemudian disusul dengan Oji.
“Gue minta maaf kalo perbuatan gue tadi bikin
kalian kecewa, meragukan kesetiaan kalian sebagai sahabat gue. Gue cuma... Gue
takut.”
Di hadapan kedua orang ini, air mata Ari
kembali terjatuh. Hanya di hadapan kedua sahabatnya ini Ari bisa menunjukkan
isi hatinya yang sebenarnya.
Sahabat mana yang tega melihat hati
sahabatnya terluka sehebat ini?
Bahkan
sekalipun elo dan Ari adalah saudara... gue harus tau apa motif lo sebenarnya.
*
Sudah jam dua malam, namun Tari masih
tak mampu memejamkan matanya. Masih tergambar jelas di ingatannya ekspresi Ari tadi.
Ekspresi terluka yang beberapa minggu ini tidak pernah terlihat di wajahnya.
Dan Tari, merasa ikut menyumbang andil atas luka yang tertoreh pada hari ini.
Dengan cara yang sangat unik, Tari
merasa hatinya sempurna dimiliki oleh Ari, yang sejak awal sudah mengklaim
dirinya sebagai milik pribadi. Maka tidak ada keraguan bagi Tari atas perasaan
Ari terhadap dirinya. Meski Tari tahu pada awalnya perasaan itu hanya karena
kesamaan nama yang ia miliki, namun sikap Ari beberapa minggu terakhir ini
menguatkan keyakinan Tari bahwa kini, perasaan yang dimiliki oleh cowok itu
bukan lagi karena sekedar kesamaan nama. Walau Tari masih gengsi dan terlalu
malu untuk menanyakan semuanya secara langsung.
Tari kembali melirik ponselnya yang
masih tetap membisu. Tidak ada telepon maupun SMS dari Ari. Baru
kali ini Ari meninggalkan Tari tanpa sempat memberikan atau bahkan mau
mendengarkan penjelasan. Setelah membanting ponselnya dengan marah, Ari
langsung berlari keluar dengan murka, sangat cepat hingga Tari tak mampu
mengejarnya. Besok hari Minggu, kemungkinan untuk mereka bertemu sangat tipis.
“Kenapa jadi gini, sih...”
Maafin saya, Kak
Ari.
Hanya itu yang bisa Tari katakan lewat SMS.
Semoga keadaannya nggak akan menjadi
seburuk sebelumnya, deh...
*
Lampu salah satu kamar di rumah itu
telah dipadamkan. Di seberangnya, seorang lelaki terus memandangi kamar yang
sekarang sudah gelap. Layar ponsel di tangannya masih terus menampilkan SMS
yang masuk dari gadis pemilik kamar tersebut.
Sekali
lagi, Tar... Tolong. Gue berharap banyak sama elo.
*
Ada gosip-gosip yang beredar di SMA
Airlangga. Tentang Matahari, tentunya. Saat ini SMA Airlangga memiliki tiga
Matahari.
Berminggu-minggu sudah Angga memikirkan
hal ini. Sudah terlalu lama ia berdiam. Bagaimanapun, balas dendam tetaplah
rencana yang harus terus berjalan. Demi seseorang yang pernah menangis di
hadapannya dua tahun silam.
Tangannya memegang selembar foto.
Seorang gadis yang senyumnya terkembang lebar terekam indah disana.
“Maaf karena kamu harus terlalu lama
menunggu, Kirana. Kak Angga janji, kali ini nggak akan menunda-nunda waktu
lebih lama lagi untuk menghabisi Ari. Demi segala kepedihan dan airmata yang
telah kamu tumpahkan secara sia-sia...”
*
Sedari tadi ponselnya berdering kencang
dan tanpa henti. Entah makhluk darimana yang tega mengganggu ketentramannya
bermesraan dengan kasur di hari merdeka para siswa sekolahan. Gue masih ngantuuuuk!
“Halo!” Bentaknya pada lawan bicaranya.
“Sori, Tar. Gue ngeganggu ya?”
Suara ini... “A... Angga?”
“Halooo..” suara di seberang sana
terdengar ramah. Bener, ini suara Angga!
“Eh, iya... Halo. Sori, tadi nyawa gue
belom kekumpul. Lo nelponnya semangat banget, sih. Udah berkali-kali nggak
diangkat masih aja keukeuh.”
Tawa geli terdengar dari ujung sana.
Tari pun ikut tersenyum.
“Ketemuan yuk? Ada yang mau gue omongin.”
Ajakan tersebut sangat menggiurkan. Rasanya sudah lama sekali Tari dan Angga
tidak saling jumpa. Tapi...
“Sori, Ngga. Gue nggak bisa. Nggg... “
Tari memutar otak, mencari alasan bagus. “Mau nemenin Mama nyari kain, trus
main sama Geo. Kangen! Kehidupan sekolah bikin gue jarang main sama Geo.”
Suara tawa di ujung sana telah berganti
dengan helaan napas dalam. Ia tahu bahwa itu hanyalah alasan. Masih aja melindungi Ari, batinnya
meremehkan.
Kata-kata yang meluncur dari mulut Angga
selanjutnya diucapkan dengan sangat serius.
“Tar, jangan pernah dekat-dekat dengan
orang yang namanya Ari, ya?”
Tari tertegun. “Kok lo tiba-tiba ngomong
gitu?”
“Lo nggak akan aman kalo berada di dekat
dia, Tar. Sebaiknya lo menjauh.”
“Tapi kenapaaaa?” Tari gemas. Belum
selesai masalah yang satu, sepagi ini ia sudah mendapatkan serangan yang lain
lagi. “Kak Ari sekarang udah berubah, kok. Dia nggak pernah usil lagi sama gue.
Sikapnya sekarang jauh lebih manis. Kenapa – “
“Ini semua,” potong Angga tepat. “Nggak
ada hubungannya sama elo. Ari, gue jamin, saat ini berada dalam posisi yang
sangat tidak aman. Makanya Tar, please...
Demi untuk menjaga lo, jangan pernah berhubungan dengan Ari lagi. Gue mohon.”
Apa
maksudnya? Kenapa semua orang jadi bersikap seperti ini terhadap Kak Ari?
Telepon pagi itu
terputus tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut Tari.
-PRINCESS-
waw..ini fanfic jingga dan senja yang paling aku suka loh=) ehehe ditunggu loh lanjutannya. keren deh jadi lumayan itung-itung nungguin JUM terbit hoho. terimakasih~
ReplyDeletewaw... terima kasiih jugaaa karna sudah membaca karya kamii hiihhii :)
ReplyDeleteDitunggu loh lanjutannya=) oh iya aku denger gramedia ngadain lomba fanfic jds loh, knp gak coba ikutan aja? Hehe
ReplyDeleteAiiihhh... Bagus banget... Aku udah baca semuanya. Kata2nya ngalir & terasa alami banget... Lanjut donk! Lanjut! Udah ggak sabar nih... ^_^
ReplyDeletehai denatri :) makasih yah apresiasinya. doakan aja :) hehehe
ReplyDeletehai cassie. terimakasih membaca tulisan kami :)
kakak,,, tanya dong,, kirana itu siapa sebenernya, soalnya di novel sebelumnya gak pernah di sebutin , dan kirana itu juga ada di salah satu cerbung JUM yang pernah saya baca,, apa kirana emang sosok yg di kasi mbak esti apa gimana,,?
ReplyDeletehalo nurika :) maaf yaa baru bales. Kirana memang ga ada di novel JUM say, itu murni tokoh ciptaan kami. wah iya ada cerbung lain yang juga memakai nama Kirana? Mungkin kebetulan aja yaa .. Btw makasih udah baca blog kami :)
Deletekeceeeee.... :) :) :)
ReplyDeleteterima kasih yaa :)
DeleteKeren fanficnya! Terus berkarya ya Duo Hana & Putri ^^
ReplyDeleteterima kasih yaa sudah membaca karya kami :) amiin, doakan yaa hehe :)
Delete