Tari duduk terpaku di kasurnya sembari memandang ponsel yang berada dalam
genggamannya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya berkecamuk. Ada apa kejadian
akhir-akhir ini? Seperti rentetan peluru tanpa henti yang menghujam dada Tari.
Hatinya langsung was-was. Karena firasatnya, ini hanya permulaan. Hanya
permulaan. Yang sebenarnya belum dimulai. Peluru aslinya belum dikeluarkan.
Tiba-tiba dada Tari sesak membayangkan kemungkinan terburuknya. Ya Tuhan… Jangan. Dia baru saja merasakan
seperti apa kebahagiaan itu, saat ini...
Lamunan Tari terbuyarkan oleh suara dering ponsel yang berteriak nyaring.
Tari langsung melotot. Telepon dari Ari. Aduh!
Sepagi ini! Hatinya gamang, menimbang apakah ia harus mengangkat telepon
atau tidak.
Mengangkat telepon berarti masalah baru. Tidak diangkat berarti bencana
baru. Tari menghela napas panjang dan berat. Akhirnya Tari mengangkat telepon
itu – meski dengan jantung yang ingin melesak dari tempatnya.
“Halo…”
“Pagi, Sayang… baru bangun? Lama amat angkat teleponnya.”
Tari mengernyitkan dahi, bingung. ”Siapa yang lo panggil sayang? Pagi-pagi
udah ngaco aja!”
Mendengar omelan barusan, Ari tertawa terbahak.
”Buka jendela kamar, deh.”
Tari mengernyit, kemudian melakukan apa yang diperintahkan oleh Ari. Gadis
itu hampir tak mampu menyembunyikan senyum gelinya.
Di seberang jalan, Ari sedang melambaikan tangan kanannya, dengan ponsel
yang ia jepit antara pundak dan telinga, sedang tangan kirinya merangkul sebuah
boneka teddy bear berukuran super
besar yang duduk di kap mobil yang baru pertama kali dilihat oleh Tari. Tari
geleng-geleng kepala seraya menutup telepon, kemudian langsung menghampiri Ari.
“Lo gokil, Kak. Sumpah! Ngapain coba?” Omel Tari, tapi dengan
menyunggingkan senyum lebarnya.
“Suka?” Ari mengenggam tangan Tari. Tari mengangguk. Ari tersenyum, kemudian
mengacak rambut Tari.
”Temenin gue jalan, yuk. Mau?”
Tiba-tiba Tari gugup. Sepagi ini! Dicarinya alasan untuk mengulur waktu.
Dan dapat! Matanya melirik pada sedan hitam yang terlihat sangat bergaya.
“Mobil baru?”
“Khusus buat jalan sama elo, nih,” jawab Ari cuek. “Udah, buruan siap-siap
sebelum makin siang malah kena macet, ntar.”
“Tapi gue belum mandi… belum sarapan… belum ijin Mama… Geo – “
Cup! satu
kecupan mampir di pipi Tari. Dengan muka merah seperti kepiting rebus, Tari
melotot. Yang dipelototi hanya tertawa.
“Makanya. Jangan cerewet. Gue kasih waktu sejam, ya, baru kita berangkat.
Sekalian gue cari muka dulu sama calon mertua.”
“Calon mertua? Siapa calon mertua? Lo kalo pagi jadi genit, ya! Ini nih,
akibat terlalu banyak bergaul sama Kak Oji!” Omel Tari tanpa memandang muka Ari
sedikitpun. Maluuuu! Ari cuma tertawa
geli.
Masalah Angga… terlupakan.
*
Di sebuah kebun bunga di wilayah Bogor.
Disanalah sekarang Tari dan Ari berada. Tari tak bisa menyembunyikan
senyumnya melihat lelaki yang sekarang sedang rakus memakan bekal yang tadi
pagi Mamanya siapkan secara mendadak – karena Ari dengan sok manja meminta Mama
membuatkan bekal untuk pikniknya bersama Tari.
“Gue bakal diem aja kaya gini sampe lo puas liatin gue, deh. Apa gue
seganteng itu sampe lo nggak berkedip ngeliatin gue?” Tanya Ari dengan muka
datar – meski tak tersembunyi nada geli disana.
“Beneran deh, Kak. Lo kebanyakan gaul sama Kak Oji, makanya jadi aneh
begini!” Tari berdecak. ”Gue heran aja ngeliatin orang yang makannya rakus
banget, kayak elo sekarang ini. Ckckck...”
“Ini namanya menikmati makanan, Jingga Matahari. Maklumin aja, gue jarang makan
masakan rumahan kaya gini,” jawab Ari sembari menjilati tangannya.
“Nah, kan... Jorok,” tegur Tari lembut, seraya menarik tangan Ari dan
membersihkannya dengan tissue basah. ”Kalo Kakak emang pingin dimasakin bilang
aja, nanti gue bawain.”
Ari menggelengkan kepalanya seraya berdecak, berakting terharu.
“Ya ampuuuun, perhatian sekali, kamu ini. Pas banget jadi calon istri gue!”
Tari menghela napas. Sudah lama ia belajar untuk tidak menggunakan banyak
emosi ketika menghadapi si Jahil yang satu ini. Selain buang-buang waktu dan
napas, ia harus menabung emosinya untuk cadangan bila ada drama dadakan lagi!
“Kak… yang kemarin itu – “
“Gue udah lupa. Sebaiknya lo juga,” potong Ari tegas. ”Eh ini cobain deh
ini kue bolunya enak banget.”
Ari mengulurkan kue bolu, membelokkan topik pembicaraan. Mengerti bahwa ia
sudah dimaafkan, Tari mendesah lega. Diambilnya kue bolu yang ditawarkan oleh
Ari.
Sampai saat ini, semuanya sudah lebih dari cukup.
Never knew,
I could feel like this
It’s like
I’ve never seen the sky before
Want to
vanish inside your kiss
Everyday,
I’m loving you more and more
Listen to my
heart
Can’t you
hear it sing ?
Come back to
me
And forgive
everything
Season may
change
Winter to
spring
I love you
Until the
end of time
Come what
may , come what may, come what may, come what may
I will love
you until my dying day
Come what
may, come what may
I will love
you until my dying day
Come what
may, come what may
I will love
you until the end of time
(Come What May, Ost Moulin Rounge, Evan Mc Gregor feat
Nicole Kidman)
*
Buku jari tangan Angga memutih. Mukanya kaku dan
menegang melihat adegan mesra yang terpampang di depannya. Rasanya ia ingin
berlari menghampiri mereka kemudian menghajar si lelaki habis-habisan.
Benar-benar habis-habisan. Kali ini bukan masalah Kirana, adiknya, yang mendominasi.
Tapi juga hatinya sendiri! Belum pernah ia merasa sekalah ini. Belum pernah ia
merasa lebih tidak berdaya dibanding ini.
Merasa ada yang aneh dengan sikap Tari yang mendadak
sangat membela si bangsat Ari, merasa teguran – maksudnya ancaman tersiratnya
tidak diindahkan, Angga memutuskan untuk pergi ke rumah Tari saat itu juga,
untuk bertemu mata dan berbicara langsung. Tetapi ternyata ia kalah langkah!
Disana sudah ada Ari yang sedang bercanda dengan Geo
ditemani Tari yang memeluk boneka Teddy Bear super besar dan tanpa mengalihkan
pandangannya sedetikpun dari Ari. Namun hal itu awal dari keterkejutannya,
karena beberapa saat kemudian Ari menggandeng Tari dan membimbingnya ke mobil,
terlihat tertekan sama sekali, mlaah cenderung sangat menikmati! Penasaran,
Angga pun mengikuti mereka. Keterkejutannya bertambah karena ternyata Ari
membawa Tari piknik di sebuah kebun bunga, seperti pasangan mesra pada umumnya.
Dan sialnya… Tari terlena!
Persetan dengan Anggita. Angga panas. Harusnya ia tidak
pernah meninggalkan Tari. Seharusnya ia tetap berada di samping Tari apapun
yang terjadi. Andai saja ia tahu bahwa keadaannya menjadi seperti ini. Andai
saja ia tahu bahwa kali ini… lagi-lagi si cowok bangsat itu pemenangnya!
Angga menarik napas. Panjang dan berat. Sebuah
keputusan sudah diambil. Kelihatannya ia memang harus benar-benar menjalankan
rencananya. Dan kalaupun Tari menjadi terseret, mungkin memang itu sialnya.
Salah siapa dia dekat-dekat dengan trouble
maker. Yang penting Angga sudah memberi peringatan dan mencoba melindungi
Tari. Tapi bukan salah Angga jika Tari menyongsong perang yang akan terjadi dan
kemudian ikut terluka.
Konsekuensi. Selalu ada korban yang tidak bersalah.
Kali ini Angga harus fokus dengan Kirana.
Angga membalikkan badannya, memutuskan untuk pulang.
Namun jantungnya serasa berhenti seketika.
Di depannya telah berdiri Ari.
Tapi gimana bisa Ari berdiri di depannya jika baru
sedetik yang lalu ia lihat Ari sedang bermesraan dengan Tari? Refleks ia
menoleh ke belakang. Pemandangan pasangan-paling-bahagia-sejagad-raya ternyata
masih ada. Kalau begitu ini… Matahari
yang satunya lagi!
“Ata.”
Ata, berdiri di depan Angga, mengulurkan tangannya.
Intonasi suara dan raut wajahnya terlihat sangat tenang. Namun peribahasa
berkata bahwa air tenang menghanyutkan, bukan?
Angga tidak membalas uluran tangan Ata. Ia berusaha
menganalisis situasi.
”Mau apa, lo? Gue sama sekali nggak ada urusan sama
lo.”
“Oh, tapi gue ada urusan sama lo,” ujar Ata kalem. ”Lo
punya urusan apa sama kembaran gue? Dia bikin salah apa sama lo?”
“Sama sekali bukan urusan lo,” jawab Angga dingin.
“Justru itu segalanya menyangkut gue.”
“Mau lo apa?” Tanya Angga, mengulang pertanyaannya,
kali ini dengan intonasi lebih tenang meski tidak mengurangi kewaspadaannya.
“Gue mau ngajakin lo kerjasama,” ujar Ata sambil
tersenyum. ”Gue bantuin rencana lo, apapun itu.”
Angga terperangah. Apa ini jebakan? Tapi tawaran ini
sangat menggiurkan. Jika ada orang dalam yang berada di kubunya...
“Jadi, istilah darah lebih kental daripada air tuh nggak
berlaku disini?”
“Gue nggak ngelihat gue harus jelasin apapun ke elo,” jawab
Ata diplomatis.
“Gue harus memastikan. Lo tau, gue nggak segoblok
itu.”
“Satu yang bisa gue
pastiin adalah, gue nggak akan ngekhianatin lo dan ngelanggar perjanjian
kerjasama kita – itupun kalo lo setuju untuk bekerja sama. Dan kerjasama ini
pastinya nguntungin lo. Kalo lo emang nggak segoblok itu… Yah, lo tau lah harus
jawab apa atas tawaran gue ini.”
Angga terperangah.
*
“Mataharinya dimakan langiiiit!”seru Tari takjub
melihat fenomena matahari tenggelam. Masih di kebun bunga dan masih disamping
lelaki yang rakus memakan bekal makanannya. Hanya saja kali ini matahari senja
yang bersinar malu-malu, menaungi dua anak muda yang sedang takjub melihatnya.
Ari tertawa. Tari selalu membuatnya tidak berhenti
tersenyum. Dengan tingkah polosnya atau sifatnya yang meledak-ledak.
Perhatiannya yang tidak kentara dan kegalakan gadis itu saat menghadapi dirinya. Gemas, Ari langsung
merengkuh Tari dalam rangkulannya. Dikecupnya puncak kepala Tari dengan lembut.
Tari cuma bisa kaget.
“Kamu ini. Nggak bisa dibayangin hidup gue tanpa lo,
Jingga Matahari.”
Tari terperangah. Ia tak menjawab. Mukanya memerah. Ia
menunduk, tak berani memandang lelaki yang berada di depannya. Lelaki yang
telah memiliki hatinya dengan cara yang tidak biasa… tapi sempurna!
“Lo tau filosofi bunga matahari, Tar?”
Tari menggeleng. Ari tersenyum kemudian melanjutkan
perkataannya. ”Bunga matahari selalu condong pada matahari. Dia selalu mendongak
dan hanya memandang satu arah. Hanya pada matahari.”
“Oh…” Tari mengangguk.
“Gue…” Ari menelan ludah. Terdiam sejenak, seakan
menimbang akan melanjutkan perkataannya barusan atau tidak. Kemudian Ari
membulatkan tekadnya.
“Gima kalo.... bisa nggak, lo cuma ngeliat ke satu
arah aja? Bisa nggak lo hanya memandang ke arah gue?”
*
Tubuh Tari menggigil. Sudah sejak sore kemarin ia
merasa lelah, gelisah dan gugup sekaligus. Membuatnya terjaga semalaman,
membuatnya kacau sedemikian rupa sehingga kali ini puzzle tak mampu lagi
menahan kegelisahan hatinya. Bahkan untuk bercerita pada sahabatnya, Fio, ia
masih belum sanggup. Ia masih terlalu masih kaget dan shock untuk mencerna. Semua ini gara-gara pertanyaan Ari kemarin
sore yang hanya ia jawab dengan pelototan mata dan desah keterkejutan. Yang tak
ada follow up nya lagi dan hanya ditanggapi
dengan tawa renyah serta acakan lembut di kepalanya.
Tari harus apa? Harus jawab apa? Harus bersikap
seperti apa? Apakah ini hanya pernyataan dan bukan pertanyaan tanpa butuh
jawaban? Atau ini peneguhan atas statusnya?
Namun baginya ini masih terlalu blur. Dan Tari tidak
mau menebak, takut asumsinya salah. Tapi untuk bertanya… ia tak mau. Terlalu
malu.
“Tariiii! Bangun!” teriak Mama sembari mengetuk pintu
kamarnya. Tari mendengus. Bahkan Tari
belum tidur dari malam, Ma! Keluhnya dalam hati.
“Ya, Ma, Tari mandi!” Balas Tari. Ia mengambil handuk,
kemudian langsung mandi.
“Tariiii!” Pekik Mamanya lagi, sekitar sepuluh menit
kemudian. Pas sekali ketika ia selesai mandi dan mulai bersiap. Tari
mengernyitkan dahi kemudian melirik jam dinding. Masih pukul setengah enam. Masih ada waktu. Kenapa Mamanya sepanik ini?
Segera ia berdandan kilat kemudian langsung menuju
dapur, menghampiri Mamanya.
“Kenapa, sih, Ma?” tanyanya heran.
“Astaga… kamu belum siap juga?” Mamanya histeris. Kamu
ini gimana, sih? Itu Nak Ari kenapa dibiarin nunggu? Siapin susu, roti, atau
apa, gitu. Kamu ini. Nggak sopan sama tamu,” omel Mamanya yang sedang sibuk membuat
nasi goreng.
Tari melongo kemudian dengan cepat ia menuju ruang
tamu. Ari sudah duduk disana dengan seragam lengkap dan rapi, sembari tersenyum
sok manis.
“Kakak punya hobi bikin orang jantungan, apa? Senengnya
ke rumah orang pagi-pagi,” omel Tari untuk menutupi kegugupannya. Ari menjawab
lembut dan beda jauh dengan omelan yang barusan Tari lemparkan.
“Selamat pagi juga, Tari. Iya, gue baru aja dateng
buat pergi sekolah bareng. Iya, belum sarapan juga. Yuk, gue tungguin lo
siap-siap berangkat.”
“Yee… gue mah udah siap. Udah bawa bekal. Lagian Kak
Ari, bukannya sarapan dirumah, malah ngerecokin rumah orang.”
“Ada post test
hari ini,” ujar Ari dengan muka sedih. ”gue harus berangkat pagi. Tapi gue
nggak tega ngebiarin cewek gue naik bus sendiri, makanya sekarang terpaksa gue jemput dia pagi-pagi. Nggak pa-pa, ya?
Sekali-kali.”
Jawaban itu terdengar sangat polos dan...
Menggemaskan!
“Cewek yang mana?” Tari pura-pura bodoh. ”Mamaaa! Tari
berangkat sekarang yaaa!” Teriak Tari pada ibunya yang masih sibuk di dapur.
Mama hanya mengangkat spatula tanda merestui kepergian Tari ke sekolah.
“Hari ini bawa mobil lagi, Kak?” Tanya Tari retoris
melihat mobil yang terparkir di ujung gang.
“Iya, kan biar lo bisa tidur bentar di perjalanan.
Semalem nggak tidur, kan? Mikirin gue, pasti…” ujar Ari setengah menggoda.
Menohok! Pernyataan
yang sangat menohok. Tari memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Ari
tersebut. Mobil melaju perlahan.
“Bener, kan? semalem nggak tidur, kan?” Tanya Ari
lagi.
Tari mendengus. ”Apa, sih, Kak…”
“Soalnya… gue ada di luar kamar lo dari semalem dan
gue cuma pulang buat mandi sama ganti baju. Gue sama nervousnya kayak elo, Jingga Matahari.”
*
Meski ini bukan pertama kalinya, namun pemandangan
pentolan sekolah menggandeng Tari ke sekolah membuat terkejut banyak orang.
Bisik-bisik mengiringi selama mereka berjalan, membuat Tari sangat risih
menjadi pusat perhatian. Kaya nggak
pernah lihat orang pacaran aja!
Namun kemudian Tari tercenung. Ups… pacaran? Ia
menyebut dirinya dan Ari sekarang… pacaran?
“Oh, sekarang udah open,
ya, hubungannya? Kok nggak ada makan-makan?” Ledek Ridho yang menghampiri Ari
dan Tari.
Muka Tari memerah. Ari tertawa terbahak.
“Nanti aja gampang, di belakang. Yuk, gue nganter
Nyonya ke kelas dulu.”
Ridho melongo.
”Eh… ini… beneran? Beneran, Ri!?”
Ari memasang tampang datar. ”Hmm? Apanya yang bener?”
Ridho menggeleng, kemudian ia beralih ke Tari.
”Tar, ini beneran, lo sama Ari!? Beneran? Lo sekarang
jalan dengan sukarela, kan, bukan diculik?”
“Astaga… lo suudzon banget sih ke gue,” Ari memasang
tampang terluka. ”Emang gue sejahat itu? Ckckck. Ayo, Tar, klarifikasi! Sebelum
ada yang mikir gue pasang pelet ke elo!”
“Apa, sih, Kak…” muka Tari memerah karena malu.
Ridho masih ingin mendesak Tari dan Ari lagi, namun
langsung ia urungkan niatnya karena melihat Oji berlari dengan terengah-engah
menuju ke arah mereka. Mendadak suasana menjadi sangat tegang dan mencekam.
“Ada apa, Ji?” Tanya Ridho cemas.
“Brawijaya… Brawijaya mau nyerang!” jawab Oji sedikit
histeris. ”serangan tiba-tiba, Bos! Mereka akan kesini dalam sepuluh menit!”
Ari tercengang, namun otaknya langsung berpikir cepat.
“Lo, Dho, siapin anak-anak. Lo, Ji, evakuasi siswa dan
guru sama siapin peralatan di gudang. Biar gue yang ngehadang di pintu depan.
Lo, Tari… ikut Oji,” perintah Ari dengan nada suara yang dipaksakan tenang. Ia
sudah terlatih dalam hal ini.
Rahang Tari mengeras. Ia menghela napas, kemudian
menetapkan hati. Dengan suara yang dipaksakan kuat, ia berkata, ”Nggak. Gue
nggak mau ikut Kak Oji. Dan kalian nggak boleh tawuran. Kalo kalian tawuran…
gue ikut!”
-FLOWER-
wah, angga udah mulai action ya...!!?
ReplyDeleteditunggu lanjutannya ya,sis..!!
terima kasih :) lanjutannya sudah ada, selamat membaca :)
Deleteheeem... lumayan ngobatin 'kegalauan' nunggu JUM terbit.. :D
ReplyDeleteNice story.. ditunggu #8 dan seterusnya ya..
terima kasih yaa sudah membaca karya kami :)
DeleteFanfic paling kereeen...
ReplyDeleteTerima kasih yaa sudah membaca karya kami :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAh, ini keren begete. Terhanyut aku bacanya :) jd mengobati rasa kangen deh sama 3 matahari ini :)
ReplyDeleteaaahh makasih yaaaa :))
Deletebagus :)
ReplyDeletemakasih yaa sudah dibaca :)
Deletekeren :)
ReplyDelete