Saturday, August 17, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #8



Ari meremas rambutnya, gemas. Apalagi ini!
“Kalian langsung jalan aja. Lima menit lagi gue nyusul,” katanya tegas pada Ridho dan Oji. Keduanya langsung bergegas lari.
“Sori, Tar! Ini masalah harga diri sekolah kita!” Teriak Oji sambil lalu.
Tari hanya bisa melotot tanpa sanggup mencegah keduanya berlari. Satu-satunya orang di sampingnya saat ini hanyalah Ari, yang saat ini sudah memandang lurus ke arahnya.
“Dengerin gue, Tar. Gue harus pergi. Gue harus memimpin mereka semua untuk melindungi sekolah kita. Gue–“
“Pokoknya kalo Kak Ari maju, gue juga maju!”
“Ini masalah serius, Tar!”
“Gue juga serius!”
“TARI! AIRLANGGA DALAM BAHAYA! Stop bersikap kekanakan dan nurut sama kata-kata gue!”
Setelah beberapa minggu terakhir tidak pernah membentak Tari, akhirnya Ari melakukannya. Bentakan itu membuat Tari terdiam untuk beberapa saat.
“Gue... nggak bersikap kekanakan,” kata Tari lirih. “Sekolah kita ini... Brawijaya yang nyerang. Itu berarti, lo bakal berhadapan sama Angga. Gue cuma...”
Tari terdiam. Berat rasanya untuk memberitahukan pada Ari mengenai ucapan Angga kemarin. Gantungnya kalimat Tari membuat sang panglima perang di hadapannya memikirkan hal yang sebaliknya.
“Lo nggak ngijinin gue pergi cuma karena lo kuatir sama keselamatan Angga?”
“Bukan itu!” Kali ini Tari sungguh-sungguh menggeleng dengan keras, mementahkan semua tuduhan Ari sambil membatin, setelah kebersamaan kita kemarin, kenapa lo kira gue harus nguatin Angga, sih?
Ari menaikkan sebelah alisnya, sambil menoleh ke arah lapangan dengan cemas. Semua sudah berkumpul, tinggal kehadirannya ke tengah lapangan untuk membicarakan strategi pertahanan.
“Gue udah nggak punya banyak waktu lagi. Lo masuk kelas, sekarang!”
Sang Panglima Perang membalikkan badannya hendak meninggalkan Tari yang sikapnya sangat tidak ia mengerti.
“Kalo... KALO EMANG LO BENERAN SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!”
Entah keberanian darimana yang membuat Tari meneriakkan hal itu. Semua mata siswa-siswi SMA Airlangga tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar dari mulut siapa saja yang mendengar teriakan Tari barusan. Tapi, bukan saatnya Tari bersikap malu-malu dan lari dari tempat ini. Saat ini, yang penting Ari dan Angga tidak bertemu. Apapun yang menunggu Ari di depan pastilah bukan sesuatu yang baik, dan Tari sama sekali tidak ingin Ari mendapatkannya. Dia baru saja mendapatkan kebahagiaannya kembali, Tuhan...
“Ckck... Kalo semua pahlawan kita nggak jadi terjun ke medan perang gara-gara ceweknya ngomong persis kayak lo tadi, gue nggak yakin sekarang Indonesia udah merdeka.”
Suara itu!
Ata muncul dari balik kerumunan yang masih berbisik-bisik heboh, menambah keriuhan suasana disana. Pada tangan kanannya tergenggam sebuah bola tenis usang.
Ari bisa merasakan waktunya semakin mendesak, apalagi Oji dan Ridho sudah meneriakinya berkali-kali dari tengah lapangan.
“Gue titip Tari, Ta!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ari langsung berlari meningalkan keduanya. Tari speechless. Bahkan keberaniannya tadi menguap sia-sia tanpa ada tanggapan sedikitpun. Baru saja ia melangkahkan kakinya untuk mengejar Ari, tangan kokoh Ata sudah lebih dahulu mencegahnya.
“Lepasin gue!”
“Lo lagi jadi tanggung jawab gue,” ujar Ata kalem.
“Tapi gue mau nyusulin Kak Ari!”
“Iyaaa, tapi lo juga lagi jadi tanggung jawab gue.” Ata nggak kalah ngotot dengan super ngeselin. Tari melotot. Sebel! Ata hanya mendengus.
“Heh,” Ata berseru agak keras. Tangannya memainkan bola tenis yang sedari tadi ia genggam. “Menurut lo buat apa gue bawa-bawa bola butut ini?”
Tari memicingkan matanya, mencoba mencerna perkataan Ata barusan.
“Lo... juga bakal terjun?” tanyanya ragu-ragu. Yang ditanya malah berjalan lurus ke arah lapangan.
“Cuma liat-liat aja, sih. Jalan di belakang gue kalo emang lo berminat.”
 Lagi-lagi Tari melongo. Dasar Kak Ata sinting!
*
Serangan dari SMA Brawijaya kali ini adalah yang terbesar setelah berbulan-bulan keadaan tenang. Entah apa yang menjadi pemicunya, bahkan Ari tidak dapat menebak apa motif di balik penyerangan kali ini. Malah justru Ari heran. Bukankah di antara mereka sudah ada kesepakatan tak tertulis? Masalah yang Ari yakini sebagai dendam pribadi Angga yang entah apa, bukankah mereka sudah melakukan gencatan senjata dengan saling memegang kartu As masing-masing?
Untungnya semua yang berpartisipasi membela nama baik sekolah kali ini merupakan orang-orang yang mudah diarahkan dan cepat tanggap. Nggak percuma Ari selama hampir dua tahun memimpin mereka. Berbekal pengetahuan siswa-siswa SMA Airlangga mengenai titik-titik penyerangan yang biasanya digunakan oleh SMA Brawijaya, semuanya telah bersiap di pos-pos yang telah ditentukan.
Maka, ketika rombongan SMA Brawijaya tiba dengan suara lantang, lemparan-lemparan itu tak dapat dihindari. Karena serangan ini terjadi sebelum bel sekolah berbunyi, banyak siswa SMA Airlangga yang bakan menjadikan alat tulisnya menjadi senjata perang selain batu dan kayu.
Di tengah adu fisik dan lemparan batu tersebut, Ari melihat dengan jelas sosok pentolan Brawijaya yang menatapnya tajam. Sosok itu berdiri tegak di tengah-tengah pasukannya yang menyerang Airlangga dengan brutal.
Anggada.
Di tangannya tergenggam sebuah balok kayu. Namun bukan itu yang membuat Ari bergidik.
Dengan pandangan matanya, Angga menuntun Ari pada dua Matahari SMA Airlangga selain dirinya yang berdiri di dekat gerbang. Ada Tari yang berlindung di balik punggung kokoh Ata, yang celingukan polos memandangi kekacauan yang terjadi disana.
Ari dapat melihatnya dengan jelas. Disana. Tari sedang menatap Angga, entah dengan jenis tatapan yang seperti apa. Lalu kemudian berganti memandangi dirinya. Hingga kemudian dengan senyuman lebar, Angga berjalan santai menghampiri Tari. Gadis itu otomatis menarik lengan Ata, ingin pergi saja dari tempat itu dan menuju Ari. Namun Ata hanya diam disana, tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri saat ini.
Karena bagi Ata, apa yang sedang ia lihat saat ini patut dipelajari untuk rencananya selanjutnya.
Ari sudah tidak fokus lagi pada pertarungan yang sedang ia pimpin. Bahkan ia sudah tidak memikirkannya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Angga yang akan menghampiri Tari, entah untuk apa. Jangan sampe ada sandera lagi!
“RIDHO! AMBIL ALIH!”
Ridho, yang baru saja berhasil menimpuk salah seorang anak Brawijaya tak sempat bertanya apa-apa, karena Ari sudah lebih dahulu melesat ke tempat Tari berada. Dibantunya Ari agar bisa berlari bebas tanpa timpukan batu.
Namun, sebelum berhasil mendekati Tari, ada seseorang yang menubruk cowok itu dengan secepat kilat.
“Ups, sori.”
Ari melihat tepat di pada manik mata orang yang menabraknya. Orang yang sama yang pernah ia lihat saat menjemput Tari dan Fio di Brawijaya. Orang yang sama yang merekamnya bersujud. Orang itu langsung berlari meninggalkan Ari di jalan.
Ari bisa merasakan seragamnya basah. Darah segar mengalir di bagian kanan bajunya. Sial! Rutuknya dalam hati. Rasa sakit yang perlahan datang itu pun tak ayal membuat Ari jatuh tersungkur.
Tari yang pertama kali melihat kejadian itu sontak berteriak histeris seraya berlari. Masa bodoh dengan segala macam keributan serta Ata yang susah diajak berpindah dari gerbang!
“KAK ARIIIIII!!”
Demi mendengar jeritan Tari, Ridho dan Oji yang berada tak jauh dari situ mengalihkan pandangannya, dan terkejut melihat Ari terkapar! Mata mereka nyalang mencari pelakunya, yang siapapun itu pastilah anak Brawijaya. Sialnya, jejak si penusuk telah berbaur dalam lautan manusia dan segala kekacauan pagi ini.
“ARI TUMBAAAANNNGG!! OJI, CEPET LO BAWA MOBIL ARI!!” Ridho berseru lantang. “SEMUANYA FOKUS!! HABISIN TU BRAWIJAYA BRENGSEEEKK!!”
Ata masih berdiri di tempatnya, di depan gerbang sekolah. Ekspresinya tak terbaca, hanya memandangi dari jauh saudara kembarnya yang terluka parah. Tidak menghampiri. Inginnya tidak peduli, namun hatinya tetap saja gusar. Rasa gusar yang tidak ia yakini akan hadir untuk Ari.
Di antara semua kepanikan itu, dengan ujung matanya Ridho melihat Ata yang tidak berpindah seinchi pun dari tempatnya berdiri. Bahkan ketika Oji melesat melewati Ata di depan gerbang, cowok itu tetap diam. Sialan! Sodara macam apa! Rutuk Ridho dalam hati. Ini sodara kembar lo yang lagi sekarat!
Ata menjernihkan pikirannya. Pandangannya kini beralih menuju Angga yang sudah berjarak dua meter di depannya.
Lihatlah wajah Angga. Wajah itu... seringai puas tergambar jelas pada wajahnya!
*
Selamat pagi, Bapak Yudhistira. Saya Rahardi, kepala sekolah SMA Airlangga. Saya secara pribadi sekaligus mewakili pihak sekolah ingin mengabarkan bahwa anak Bapak, Matahari Senja, yang pagi ini terlibat tawuran dengan SMA Brawijaya... saat ini berada di rumah sakit akibat terkena tusukan benda tajam. Kami sangat menyesali kejadian ini. Saya selaku Kepala Sekolah secara pribadi memohon maaf karena tidak dapat menghindarkan anak Bapak dari kejadian ini. Ari saat ini sedang ditangani di Rumah Sakit Harapan Kita.
Telepon dari Bapak Rahardi, Kepala Sekolah SMA Airlangga sepuluh menit yang lalu membuat Yudhistira terkejut. Ia, yang biasanya acuh jika Ari tawuran, karena pasti hanya meninggalkan luka memar biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Bukannya Yudhistira tidak tahu. Bahkan ia lebih dari sekedar tahu bahwa anaknya adalah remaja yang sangat jago dalam berkelahi. Bukan berarti pula ia, sebagai orang tua, tidak ingin melindungi anaknya. Ia sangat ingin melindungi Ari. Namun, ia bersyukur karena ternyata Ari dapat melindungi dirinya sendiri. Tanpa perlu adanya pengawasan, tanpa perlu adanya penjagaan yang berlebihan.
Di atas semua itu, Yudhistira sudah cukup disibukkan oleh pekerjaannya. Sebaiknya mencurahkan perhatian untuk mengumpulkan pundi-pundi uang saja, toh akan digunakan untuk keperluan Ari juga, begitu yang ada di pikirannya.
Namun kali ini ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli. Karena walau bagaimanapun, Yudhistira adalah seorang ayah dan Ari adalah anak yang saat ini, merupakan satu-satunya hal berharga yang ia miliki.
*
“Nak Tari!”
Itu suara Mamanya Ari, yang berlari tergesa di koridor rumah sakit. Tari yang terduduk di depan UGD langsung menghampirinya.
“Tante!”
“Ari gimana kabarnya, Nak? Lukanya bagaimana?!”
Tari dapat melihat kecemasan disana. Perasaan seorang ibu. Airmata yang mengaliri wajahnya adalah wujud perhatian seorang ibu, yang tidak pernah lagi Ari dapatkan sejak sembilan tahun berlalu.
“Kak Ari nggak pa-pa, Tan. Kata dokter lukanya nggak begitu dalam. Ini lagi siap-siap untuk dipindahin ke ruang perawatan,” Tari menjelaskan setenang mungkin, karena dalam situasi seperti ini, satu orang panik saja sudah cukup membuat suasana tidak terkontrol. Dan yang dibutuhkan oleh Mamanya Ari adalah jawaban yang menenangkan, tentunya.
Mendengar hal tersebut, bibir wanita paruh baya itu mengucapkan syukur yang tak terkira. Namun hatinya tetap saja gusar karena belum melihat sendiri kondisi anaknya.
Oji datang menghampiri keduanya dengan membawa teh. “Duduk dulu, Tante. Sambil diminum tehnya,” tawarnya sopan. Mama Ari mengucapkan terima kasih seraya menerima uluran tangan Oji.
“Temannya Ari, ya?”
“Iya, Tante. Nama saya Oji.”
“Terima kasih ya, Nak Oji, karena sudah membawa Ari ke rumah sakit dengan cepat,” wanita itu berujar tulus. Oji hanya bisa tersipu malu.
“Ata dimana ya, Nak Tari? Daritadi Tante belum melihat Ata.”
“Oh, itu...” Tari jadi kikuk, lebih karena ia sendiri baru tersadar mengenai absennya Ata di tempat ini.
Namun, kedatangan Ridho menjawab semua pertanyaan itu.
“Ata masih di sekolah, Tante. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ujarnya seraya menyalami Mama Ari. “Saya Ridho, yang tadi nelpon Tante.”
“Nak Ridho...” Mama menepuk punggung Ridho dengan lembut. “Terima kasih, ya, karena segera menghubungi Tante.”
Ketiganya tersenyum canggung. Syukurlah, walaupun tahu bahwa kondisi Ari begini karena tawuran, Mama Ari agaknya tidak mempermasalahkan hal itu. Atau setidaknya belum. Karena keramahan wanita ini sangat membuat Ridho dan Oji – yang penampilannya jauh dari kata rapi – nyaman.
Diam-diam, Oji menyikut Ridho, menuntut penjelasan.
“Ata yang ngelanjutin, gue fokus menghubungi pihak sekolah dan ortu Ari sebelum ke rumah sakit.”
Ngelanjutin apaan? Tawurannya? Oji ingin bertanya lebih, namun pertanyaannya tersangkut karena pintu UGD terbuka. Sebuah kasur didorong keluar, dengan Ari yang masih tak sadarkan diri terbaring di atasnya.
“Jangan khawatir, Bu. Saat ini kondisi Ari sudah stabil. Untunglah lukanya tidak begitu dalam serta teman-temannya membawa anak Ibu kesini tepat waktu, sehingga tidak banyak darah yang keluar.”
Begitulah penjelasan dokter – sekali lagi – pada Mamanya Ari, sebelum kemudian Ari dibawa menuju ruang inapnya.Wajah Ari yang walaupun terdapat memar, namun menampakkan kedamaian. Seperti baru kali ini dapat tertidur setelah sekian lama.
*
SMA Airlangga telah sepi dari tawuran. Pasukan Brawijaya sudah pergi. Yang tersisa disana hanyalah Angga, yang saat ini sedang berhadapan langsung dengan Ata.
“Jago juga lo ngambil hati anak-anak Airlangga.”
Itulah kalimat yang pertama kali Angga ucapkan setelah keduanya bebas.
“Ini nggak ada apa-apanya.”
Angga mendengus. “Nggak berminat nyusulin kembaran lo yang lagi sekarat?”
“Nggak cukup lo ngeliat gue asik ngunyah permen karet daripada ngasih dia pertolongan?”
Barulah Angga tertawa keras. Ini baru lucu! “Selera humor lo oke juga.”
Demi sopan santun atas kerjasama yang baru saja tercipta, Ata ikut tertawa. Namun dalam hatinya tercipta satu dendam baru. Bukan pada Angga – setidaknya untuk saat ini.
Tapi Bram.
*
Dia ada disana. Dia masih secantik dahulu, walau terdapat kerutan-kerutan halus di kulitnya karena tuntutan usia.
Lihatlah saat matanya memandang dengan cemas. Masih sama seperti dulu. Wanita yang sedang terduduk di dalam ruang perawatan itu... Laksmi. Mantan istrinya yang sejujurnya sangat ia rindukan.
Merasa ada yang memerhatikan. Laksmi menoleh ke arah pintu. Disana, ia dapat melihat dengan jelas sosok pria yang sudah sembilan tahun lebih tidak pernah ia temui. Pria itu... ayah dari kedua Matahari kembarnya.
Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, berjalan keluar dari ruangan tersebut. Kemudian keduanya duduk di bangku rumah sakit yang terletak tak jauh dari ruangan tempat Ari dirawat.
Selama beberapa saat, tidak ada sepatah katapun yang keluar untuk memecah kesunyian yang terjadi di antara keduanya. Bahkan, sunyi ini menjadi teman terbaik untuk masing-masing menenangkan hati yang sedang porak poranda. Laksmi tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan berjumpa.
“Sudah lama, ya...” Akhirnya, Yudhistira yang pertama kali angkat bicara. Memang basi, namun terkadang, kata-kata yang terlalu basi itupun merupakan awal yang baik untuk memulai suatu percakapan. Laksmi tersenyum. Senyum yang bahkan masih sama seperti dulu...
“Terima kasih, ya, karena sudah menunggui Ari seb – “
“Saya menjaga Ari,” potong Laksmi pelan, “bukan menunggui. Ari adalah anak saya.”
Suasana kembali sunyi, hanya ditemani oleh suara ketukan sepatu Yudhistira. Laksmi tersenyum simpul. Kebiasaannya, tidak pernah berubah...
“Mas Yudhi sekarang terlihat...” Laksmi mencari kata-kata yang pas, “lebih bergaya.”
Keduanya akhirnya bisa tertawa, walau pelan. Suasana kaku itu mencair. Mereka akhirnya bisa rileks untuk berhadapan satu sama lain. Pembicaraan mulai mengalir lancar, terutama seputar perkembangan Ata dan Ari.
Yudhistira melihat jam tangannya.
“Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan?”
“Yah,” Yudhistira bangkit dari duduknya. Laksmi pun mengikuti. “Sebenarnya sangat melelahkan.”
“Jangan lupa istirahat, Mas.”
Pria paruh baya itu memandangi mantan istrinya lama sekali. Kata-kata yang sedari dulu tersangkut di ujung lidahnya... Setelah semua yang telah terjadi, juga setelah pertemuan kembali dengan Laksmi, yang ternyata berjalan lebih baik daripada yang pernah ia bayangkan selama ini. Sudah saatnya pria itu mengucapkan...
“Maaf.”
Laksmi memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Yudhistira mengulanginya sekali lagi, dengan lebih jelas. “Saya minta maaf kalau selama ini membuatmu susah. Saya hanya ingin membuktikan pada kalian bahwa saya mampu untuk menghidupi keluarga kita, dengan kedua tangan dan hasil usaha saya sendiri. Maaf–“
“Mas Yudhi nggak perlu minta maaf,” lagi-lagi Laksmi memotong perkataannya, dengan tenang. “Saya sudah mengikhlaskan semuanya.”
“Sebaiknya, kita lupakan saja yang telah lalu.”
“Benar... Masih ada anak-anak yang membutuhkan perhatian kita.”
Tentu saja harus begitu. Ata dan Ari, dua remaja yang seharusnya mendapatkan perhatian yang utuh dari kedua orang tuanya.
*
Tari tidak tenang. Walaupun ada Mama Ari yang menemani langsung anaknya disana, bukan berarti kecemasan Tari berkurang.
Monster itu! Rutuknya dalam hati. Ata sialan!
Tari masih nggak percaya dengan ingatannya. Ya, setelah dipikir-pikir, bahkan sampai Tari meninggalkan rumah sakit pun Ata belum muncul disana!
“Sinting! Gila! Sodara kembarnya sendiri, ditusuk di depan matanya, dan dia diem aja?! Nggak ada sedih-sedihnya?! Sakit jiwa!”
Fio yang mendampingi Tari di gudang sekolah hanya bisa menepuk-nepuk sahabatnya agar bersabar, walau ia sendiri juga merasa tindakan Ata sungguh keterlaluan. Iya sih, udah lama nggak ketemu. Iya sih, pasti mereka canggung untuk ngungkapin perasaannya, tapi ngebiarin sodara yang luka di depan mata... itu sadis!
“Gue harus gimana, Fio?” ujar Tari lemah. “Semua pihak beramai-ramai nyerang dia, Fio. Gue harus bantu dia! Tapi... Gue bisa bantu apa...?”
“Lo bisa bantu Kak Ari, Tar. Dengan lo selalu ada di samping dia,” ujar Fio menenangkan. “Lo pasti bisa, gue yakin. Karena... Cuma elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.”

-PRINCESS-

8 comments:

  1. ye.... akhinya nomor 8 muncul juga.. blog ini smp aku bookmark trs ak buka tiap hari nunggu nmr ini muncul.. ditunggu kelanjutannya..
    ini fanfic paling oke dr sekian banyak fanfic Tari-Ari yg bertebaran di google. :D

    P.S : jangan lama2 ya.. LOL :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah terima kasih banyak Pradita sudah setia mengikuti blog ini :)
      Maaf yaa kalau terlalu lama, tapi semoga postingan selanjutnya tidak mengecewakan :)
      Selamat membaca part 9 dan 10 yaaa

      Delete
  2. SEPAKAT sama Pradita...!!!

    duhh...ga sabar nunggu lanjutannya nih...!!!
    mohon dipercepat ya...hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf yaa kalau terlalu lama, tapi semoga postingan selanjutnya tidak mengecewakan :)
      Selamat membaca part 9 dan 10 yaaa

      Delete