Ari meremas
rambutnya, gemas. Apalagi ini!
“Kalian langsung
jalan aja. Lima menit lagi gue nyusul,” katanya tegas pada Ridho dan Oji.
Keduanya langsung bergegas lari.
“Sori, Tar! Ini
masalah harga diri sekolah kita!” Teriak Oji sambil lalu.
Tari hanya bisa
melotot tanpa sanggup mencegah keduanya berlari. Satu-satunya orang di
sampingnya saat ini hanyalah Ari, yang saat ini sudah memandang lurus ke
arahnya.
“Dengerin gue, Tar.
Gue harus pergi. Gue harus memimpin mereka semua untuk melindungi sekolah kita.
Gue–“
“Pokoknya kalo Kak
Ari maju, gue juga maju!”
“Ini masalah serius,
Tar!”
“Gue juga serius!”
“TARI! AIRLANGGA
DALAM BAHAYA! Stop bersikap kekanakan dan nurut sama kata-kata gue!”
Setelah beberapa
minggu terakhir tidak pernah membentak Tari, akhirnya Ari melakukannya.
Bentakan itu membuat Tari terdiam untuk beberapa saat.
“Gue... nggak
bersikap kekanakan,” kata Tari lirih. “Sekolah kita ini... Brawijaya yang
nyerang. Itu berarti, lo bakal berhadapan sama Angga. Gue cuma...”
Tari terdiam. Berat
rasanya untuk memberitahukan pada Ari mengenai ucapan Angga kemarin. Gantungnya
kalimat Tari membuat sang panglima perang di hadapannya memikirkan hal yang
sebaliknya.
“Lo nggak ngijinin
gue pergi cuma karena lo kuatir sama keselamatan Angga?”
“Bukan itu!” Kali
ini Tari sungguh-sungguh menggeleng dengan keras, mementahkan semua tuduhan Ari
sambil membatin, setelah kebersamaan kita kemarin, kenapa lo kira gue harus
nguatin Angga, sih?
Ari menaikkan
sebelah alisnya, sambil menoleh ke arah lapangan dengan cemas. Semua sudah
berkumpul, tinggal kehadirannya ke tengah lapangan untuk membicarakan strategi
pertahanan.
“Gue udah nggak
punya banyak waktu lagi. Lo masuk kelas, sekarang!”
Sang Panglima Perang
membalikkan badannya hendak meninggalkan Tari yang sikapnya sangat tidak ia
mengerti.
“Kalo... KALO EMANG
LO BENERAN SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!”
Entah keberanian
darimana yang membuat Tari meneriakkan hal itu. Semua mata siswa-siswi SMA
Airlangga tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar dari mulut siapa saja
yang mendengar teriakan Tari barusan. Tapi, bukan saatnya Tari bersikap
malu-malu dan lari dari tempat ini. Saat ini, yang penting Ari dan Angga tidak
bertemu. Apapun yang menunggu Ari di depan pastilah bukan sesuatu yang baik,
dan Tari sama sekali tidak ingin Ari mendapatkannya. Dia baru saja
mendapatkan kebahagiaannya kembali, Tuhan...
“Ckck... Kalo semua
pahlawan kita nggak jadi terjun ke medan perang gara-gara ceweknya ngomong
persis kayak lo tadi, gue nggak yakin sekarang Indonesia udah merdeka.”
Suara itu!
Ata muncul dari
balik kerumunan yang masih berbisik-bisik heboh, menambah keriuhan suasana
disana. Pada tangan kanannya tergenggam sebuah bola tenis usang.
Ari bisa merasakan waktunya
semakin mendesak, apalagi Oji dan Ridho sudah meneriakinya berkali-kali dari
tengah lapangan.
“Gue titip Tari,
Ta!”
Setelah mengucapkan
kata-kata itu, Ari langsung berlari meningalkan keduanya. Tari speechless.
Bahkan keberaniannya tadi menguap sia-sia tanpa ada tanggapan sedikitpun. Baru
saja ia melangkahkan kakinya untuk mengejar Ari, tangan kokoh Ata sudah lebih
dahulu mencegahnya.
“Lepasin gue!”
“Lo lagi jadi
tanggung jawab gue,” ujar Ata kalem.
“Tapi gue mau
nyusulin Kak Ari!”
“Iyaaa, tapi lo juga
lagi jadi tanggung jawab gue.” Ata nggak kalah ngotot dengan super ngeselin. Tari
melotot. Sebel! Ata hanya mendengus.
“Heh,” Ata berseru
agak keras. Tangannya memainkan bola tenis yang sedari tadi ia genggam. “Menurut
lo buat apa gue bawa-bawa bola butut ini?”
Tari memicingkan
matanya, mencoba mencerna perkataan Ata barusan.
“Lo... juga bakal
terjun?” tanyanya ragu-ragu. Yang ditanya malah berjalan lurus ke arah
lapangan.
“Cuma liat-liat aja,
sih. Jalan di belakang gue kalo emang lo berminat.”
Lagi-lagi Tari melongo. Dasar Kak Ata
sinting!
*
Serangan dari SMA
Brawijaya kali ini adalah yang terbesar setelah berbulan-bulan keadaan tenang.
Entah apa yang menjadi pemicunya, bahkan Ari tidak dapat menebak apa motif di
balik penyerangan kali ini. Malah justru Ari heran. Bukankah di antara mereka
sudah ada kesepakatan tak tertulis? Masalah yang Ari yakini sebagai dendam
pribadi Angga yang entah apa, bukankah mereka sudah melakukan gencatan senjata
dengan saling memegang kartu As masing-masing?
Untungnya semua yang
berpartisipasi membela nama baik sekolah kali ini merupakan orang-orang yang
mudah diarahkan dan cepat tanggap. Nggak percuma Ari selama hampir dua tahun
memimpin mereka. Berbekal pengetahuan siswa-siswa SMA Airlangga mengenai
titik-titik penyerangan yang biasanya digunakan oleh SMA Brawijaya, semuanya
telah bersiap di pos-pos yang telah ditentukan.
Maka, ketika
rombongan SMA Brawijaya tiba dengan suara lantang, lemparan-lemparan itu tak
dapat dihindari. Karena serangan ini terjadi sebelum bel sekolah berbunyi,
banyak siswa SMA Airlangga yang bakan menjadikan alat tulisnya menjadi senjata
perang selain batu dan kayu.
Di tengah adu fisik
dan lemparan batu tersebut, Ari melihat dengan jelas sosok pentolan Brawijaya
yang menatapnya tajam. Sosok itu berdiri tegak di tengah-tengah pasukannya yang
menyerang Airlangga dengan brutal.
Anggada.
Di tangannya
tergenggam sebuah balok kayu. Namun bukan itu yang membuat Ari bergidik.
Dengan pandangan
matanya, Angga menuntun Ari pada dua Matahari SMA Airlangga selain dirinya yang
berdiri di dekat gerbang. Ada Tari yang berlindung di balik punggung kokoh Ata,
yang celingukan polos memandangi kekacauan yang terjadi disana.
Ari dapat melihatnya
dengan jelas. Disana. Tari sedang menatap Angga, entah dengan jenis tatapan
yang seperti apa. Lalu kemudian berganti memandangi dirinya. Hingga kemudian
dengan senyuman lebar, Angga berjalan santai menghampiri Tari. Gadis itu
otomatis menarik lengan Ata, ingin pergi saja dari tempat itu dan menuju Ari.
Namun Ata hanya diam disana, tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri saat
ini.
Karena bagi Ata, apa
yang sedang ia lihat saat ini patut dipelajari untuk rencananya selanjutnya.
Ari sudah tidak fokus
lagi pada pertarungan yang sedang ia pimpin. Bahkan ia sudah tidak
memikirkannya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Angga yang akan
menghampiri Tari, entah untuk apa. Jangan sampe ada sandera lagi!
“RIDHO! AMBIL ALIH!”
Ridho, yang baru
saja berhasil menimpuk salah seorang anak Brawijaya tak sempat bertanya
apa-apa, karena Ari sudah lebih dahulu melesat ke tempat Tari berada.
Dibantunya Ari agar bisa berlari bebas tanpa timpukan batu.
Namun, sebelum
berhasil mendekati Tari, ada seseorang yang menubruk cowok itu dengan secepat
kilat.
“Ups, sori.”
Ari melihat tepat di
pada manik mata orang yang menabraknya. Orang yang sama yang pernah ia lihat
saat menjemput Tari dan Fio di Brawijaya. Orang yang sama yang merekamnya
bersujud. Orang itu langsung berlari meninggalkan Ari di jalan.
Ari bisa merasakan
seragamnya basah. Darah segar mengalir di bagian kanan bajunya. Sial! Rutuknya
dalam hati. Rasa sakit yang perlahan datang itu pun tak ayal membuat Ari jatuh
tersungkur.
Tari yang pertama
kali melihat kejadian itu sontak berteriak histeris seraya berlari. Masa bodoh
dengan segala macam keributan serta Ata yang susah diajak berpindah dari
gerbang!
“KAK ARIIIIII!!”
Demi mendengar
jeritan Tari, Ridho dan Oji yang berada tak jauh dari situ mengalihkan pandangannya,
dan terkejut melihat Ari terkapar! Mata mereka nyalang mencari pelakunya, yang
siapapun itu pastilah anak Brawijaya. Sialnya, jejak si penusuk telah berbaur
dalam lautan manusia dan segala kekacauan pagi ini.
“ARI TUMBAAAANNNGG!!
OJI, CEPET LO BAWA MOBIL ARI!!” Ridho berseru lantang. “SEMUANYA FOKUS!!
HABISIN TU BRAWIJAYA BRENGSEEEKK!!”
Ata masih berdiri di
tempatnya, di depan gerbang sekolah. Ekspresinya tak terbaca, hanya memandangi
dari jauh saudara kembarnya yang terluka parah. Tidak menghampiri. Inginnya
tidak peduli, namun hatinya tetap saja gusar. Rasa gusar yang tidak ia yakini
akan hadir untuk Ari.
Di antara semua
kepanikan itu, dengan ujung matanya Ridho melihat Ata yang tidak berpindah
seinchi pun dari tempatnya berdiri. Bahkan ketika Oji melesat melewati Ata di
depan gerbang, cowok itu tetap diam. Sialan! Sodara macam apa! Rutuk
Ridho dalam hati. Ini sodara kembar lo yang lagi sekarat!
Ata menjernihkan
pikirannya. Pandangannya kini beralih menuju Angga yang sudah berjarak dua
meter di depannya.
Lihatlah wajah
Angga. Wajah itu... seringai puas tergambar jelas pada wajahnya!
*
“Selamat pagi,
Bapak Yudhistira. Saya Rahardi, kepala sekolah SMA Airlangga. Saya secara
pribadi sekaligus mewakili pihak sekolah ingin mengabarkan bahwa anak Bapak, Matahari
Senja, yang pagi ini terlibat tawuran dengan SMA Brawijaya... saat ini berada
di rumah sakit akibat terkena tusukan benda tajam. Kami sangat menyesali
kejadian ini. Saya selaku Kepala Sekolah secara pribadi memohon maaf karena
tidak dapat menghindarkan anak Bapak dari kejadian ini. Ari saat ini sedang
ditangani di Rumah Sakit Harapan Kita.”
Telepon dari Bapak
Rahardi, Kepala Sekolah SMA Airlangga sepuluh menit yang lalu membuat
Yudhistira terkejut. Ia, yang biasanya acuh jika Ari tawuran, karena pasti
hanya meninggalkan luka memar biasa yang akan hilang dengan sendirinya.
Bukannya Yudhistira tidak tahu. Bahkan ia lebih dari sekedar tahu bahwa anaknya
adalah remaja yang sangat jago dalam berkelahi. Bukan berarti pula ia, sebagai
orang tua, tidak ingin melindungi anaknya. Ia sangat ingin melindungi Ari.
Namun, ia bersyukur karena ternyata Ari dapat melindungi dirinya sendiri. Tanpa
perlu adanya pengawasan, tanpa perlu adanya penjagaan yang berlebihan.
Di atas semua itu,
Yudhistira sudah cukup disibukkan oleh pekerjaannya. Sebaiknya mencurahkan
perhatian untuk mengumpulkan pundi-pundi uang saja, toh akan digunakan untuk
keperluan Ari juga, begitu yang ada di pikirannya.
Namun kali ini ia
tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli. Karena walau bagaimanapun,
Yudhistira adalah seorang ayah dan Ari adalah anak yang saat ini, merupakan
satu-satunya hal berharga yang ia miliki.
*
“Nak Tari!”
Itu suara Mamanya
Ari, yang berlari tergesa di koridor rumah sakit. Tari yang terduduk di depan
UGD langsung menghampirinya.
“Tante!”
“Ari gimana
kabarnya, Nak? Lukanya bagaimana?!”
Tari dapat melihat
kecemasan disana. Perasaan seorang ibu. Airmata yang mengaliri wajahnya adalah
wujud perhatian seorang ibu, yang tidak pernah lagi Ari dapatkan sejak sembilan
tahun berlalu.
“Kak Ari nggak pa-pa,
Tan. Kata dokter lukanya nggak begitu dalam. Ini lagi siap-siap untuk
dipindahin ke ruang perawatan,” Tari menjelaskan setenang mungkin, karena dalam
situasi seperti ini, satu orang panik saja sudah cukup membuat suasana tidak
terkontrol. Dan yang dibutuhkan oleh Mamanya Ari adalah jawaban yang
menenangkan, tentunya.
Mendengar hal
tersebut, bibir wanita paruh baya itu mengucapkan syukur yang tak terkira.
Namun hatinya tetap saja gusar karena belum melihat sendiri kondisi anaknya.
Oji datang
menghampiri keduanya dengan membawa teh. “Duduk dulu, Tante. Sambil diminum
tehnya,” tawarnya sopan. Mama Ari mengucapkan terima kasih seraya menerima
uluran tangan Oji.
“Temannya Ari, ya?”
“Iya, Tante. Nama
saya Oji.”
“Terima kasih ya,
Nak Oji, karena sudah membawa Ari ke rumah sakit dengan cepat,” wanita itu
berujar tulus. Oji hanya bisa tersipu malu.
“Ata dimana ya, Nak
Tari? Daritadi Tante belum melihat Ata.”
“Oh, itu...” Tari
jadi kikuk, lebih karena ia sendiri baru tersadar mengenai absennya Ata di
tempat ini.
Namun, kedatangan
Ridho menjawab semua pertanyaan itu.
“Ata masih di
sekolah, Tante. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ujarnya seraya
menyalami Mama Ari. “Saya Ridho, yang tadi nelpon Tante.”
“Nak Ridho...” Mama
menepuk punggung Ridho dengan lembut. “Terima kasih, ya, karena segera
menghubungi Tante.”
Ketiganya tersenyum
canggung. Syukurlah, walaupun tahu bahwa kondisi Ari begini karena tawuran,
Mama Ari agaknya tidak mempermasalahkan hal itu. Atau setidaknya belum. Karena
keramahan wanita ini sangat membuat Ridho dan Oji – yang penampilannya jauh
dari kata rapi – nyaman.
Diam-diam, Oji
menyikut Ridho, menuntut penjelasan.
“Ata yang
ngelanjutin, gue fokus menghubungi pihak sekolah dan ortu Ari sebelum ke rumah
sakit.”
Ngelanjutin apaan?
Tawurannya? Oji ingin bertanya lebih, namun pertanyaannya tersangkut karena
pintu UGD terbuka. Sebuah kasur didorong keluar, dengan Ari yang masih tak
sadarkan diri terbaring di atasnya.
“Jangan khawatir,
Bu. Saat ini kondisi Ari sudah stabil. Untunglah lukanya tidak begitu dalam
serta teman-temannya membawa anak Ibu kesini tepat waktu, sehingga tidak banyak
darah yang keluar.”
Begitulah penjelasan
dokter – sekali lagi – pada Mamanya Ari, sebelum kemudian Ari dibawa menuju
ruang inapnya.Wajah Ari yang walaupun terdapat memar, namun menampakkan
kedamaian. Seperti baru kali ini dapat tertidur setelah sekian lama.
*
SMA Airlangga telah
sepi dari tawuran. Pasukan Brawijaya sudah pergi. Yang tersisa disana hanyalah
Angga, yang saat ini sedang berhadapan langsung dengan Ata.
“Jago juga lo
ngambil hati anak-anak Airlangga.”
Itulah kalimat yang
pertama kali Angga ucapkan setelah keduanya bebas.
“Ini nggak ada
apa-apanya.”
Angga mendengus. “Nggak
berminat nyusulin kembaran lo yang lagi sekarat?”
“Nggak cukup lo
ngeliat gue asik ngunyah permen karet daripada ngasih dia pertolongan?”
Barulah Angga
tertawa keras. Ini baru lucu! “Selera humor lo oke juga.”
Demi sopan santun
atas kerjasama yang baru saja tercipta, Ata ikut tertawa. Namun dalam hatinya
tercipta satu dendam baru. Bukan pada Angga – setidaknya untuk saat ini.
Tapi Bram.
*
Dia ada disana. Dia
masih secantik dahulu, walau terdapat kerutan-kerutan halus di kulitnya karena
tuntutan usia.
Lihatlah saat
matanya memandang dengan cemas. Masih sama seperti dulu. Wanita yang sedang
terduduk di dalam ruang perawatan itu... Laksmi. Mantan istrinya yang
sejujurnya sangat ia rindukan.
Merasa ada yang
memerhatikan. Laksmi menoleh ke arah pintu. Disana, ia dapat melihat dengan
jelas sosok pria yang sudah sembilan tahun lebih tidak pernah ia temui. Pria
itu... ayah dari kedua Matahari kembarnya.
Wanita itu segera
bangkit dari tempat duduknya, berjalan keluar dari ruangan tersebut. Kemudian
keduanya duduk di bangku rumah sakit yang terletak tak jauh dari ruangan tempat
Ari dirawat.
Selama beberapa
saat, tidak ada sepatah katapun yang keluar untuk memecah kesunyian yang
terjadi di antara keduanya. Bahkan, sunyi ini menjadi teman terbaik untuk
masing-masing menenangkan hati yang sedang porak poranda. Laksmi tahu, cepat
atau lambat mereka pasti akan berjumpa.
“Sudah lama, ya...”
Akhirnya, Yudhistira yang pertama kali angkat bicara. Memang basi, namun
terkadang, kata-kata yang terlalu basi itupun merupakan awal yang baik untuk
memulai suatu percakapan. Laksmi tersenyum. Senyum yang bahkan masih sama
seperti dulu...
“Terima kasih, ya,
karena sudah menunggui Ari seb – “
“Saya menjaga Ari,”
potong Laksmi pelan, “bukan menunggui. Ari adalah anak saya.”
Suasana kembali
sunyi, hanya ditemani oleh suara ketukan sepatu Yudhistira. Laksmi tersenyum
simpul. Kebiasaannya, tidak pernah berubah...
“Mas Yudhi sekarang
terlihat...” Laksmi mencari kata-kata yang pas, “lebih bergaya.”
Keduanya akhirnya
bisa tertawa, walau pelan. Suasana kaku itu mencair. Mereka akhirnya bisa
rileks untuk berhadapan satu sama lain. Pembicaraan mulai mengalir lancar,
terutama seputar perkembangan Ata dan Ari.
Yudhistira melihat
jam tangannya.
“Masih ada pekerjaan
yang harus diselesaikan?”
“Yah,” Yudhistira
bangkit dari duduknya. Laksmi pun mengikuti. “Sebenarnya sangat melelahkan.”
“Jangan lupa
istirahat, Mas.”
Pria paruh baya itu
memandangi mantan istrinya lama sekali. Kata-kata yang sedari dulu tersangkut
di ujung lidahnya... Setelah semua yang telah terjadi, juga setelah pertemuan
kembali dengan Laksmi, yang ternyata berjalan lebih baik daripada yang pernah
ia bayangkan selama ini. Sudah saatnya pria itu mengucapkan...
“Maaf.”
Laksmi memandangnya
dengan tatapan tidak mengerti. Yudhistira mengulanginya sekali lagi, dengan
lebih jelas. “Saya minta maaf kalau selama ini membuatmu susah. Saya hanya
ingin membuktikan pada kalian bahwa saya mampu untuk menghidupi keluarga kita,
dengan kedua tangan dan hasil usaha saya sendiri. Maaf–“
“Mas Yudhi nggak
perlu minta maaf,” lagi-lagi Laksmi memotong perkataannya, dengan tenang. “Saya
sudah mengikhlaskan semuanya.”
“Sebaiknya, kita
lupakan saja yang telah lalu.”
“Benar... Masih ada
anak-anak yang membutuhkan perhatian kita.”
Tentu saja harus
begitu. Ata dan Ari, dua remaja yang seharusnya mendapatkan perhatian yang utuh
dari kedua orang tuanya.
*
Tari tidak tenang.
Walaupun ada Mama Ari yang menemani langsung anaknya disana, bukan berarti
kecemasan Tari berkurang.
Monster itu! Rutuknya
dalam hati. Ata sialan!
Tari masih nggak
percaya dengan ingatannya. Ya, setelah dipikir-pikir, bahkan sampai Tari
meninggalkan rumah sakit pun Ata belum muncul disana!
“Sinting! Gila!
Sodara kembarnya sendiri, ditusuk di depan matanya, dan dia diem aja?! Nggak
ada sedih-sedihnya?! Sakit jiwa!”
Fio yang mendampingi
Tari di gudang sekolah hanya bisa menepuk-nepuk sahabatnya agar bersabar, walau
ia sendiri juga merasa tindakan Ata sungguh keterlaluan. Iya sih, udah lama nggak ketemu. Iya sih, pasti mereka canggung untuk
ngungkapin perasaannya, tapi ngebiarin sodara yang luka di depan mata... itu
sadis!
“Gue harus gimana,
Fio?” ujar Tari lemah. “Semua pihak beramai-ramai nyerang dia, Fio. Gue harus
bantu dia! Tapi... Gue bisa bantu apa...?”
“Lo bisa bantu Kak Ari, Tar. Dengan lo selalu ada di
samping dia,” ujar Fio menenangkan. “Lo pasti bisa, gue yakin. Karena... Cuma
elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.”
-PRINCESS-
ye.... akhinya nomor 8 muncul juga.. blog ini smp aku bookmark trs ak buka tiap hari nunggu nmr ini muncul.. ditunggu kelanjutannya..
ReplyDeleteini fanfic paling oke dr sekian banyak fanfic Tari-Ari yg bertebaran di google. :D
P.S : jangan lama2 ya.. LOL :)
waah terima kasih banyak Pradita sudah setia mengikuti blog ini :)
DeleteMaaf yaa kalau terlalu lama, tapi semoga postingan selanjutnya tidak mengecewakan :)
Selamat membaca part 9 dan 10 yaaa
SEPAKAT sama Pradita...!!!
ReplyDeleteduhh...ga sabar nunggu lanjutannya nih...!!!
mohon dipercepat ya...hehe
Maaf yaa kalau terlalu lama, tapi semoga postingan selanjutnya tidak mengecewakan :)
DeleteSelamat membaca part 9 dan 10 yaaa
Lanjutannya mana????
ReplyDeletesilakan dibaca, lanjutannya part 9 dan 10 sudah dipost :)
Deleteyang 9 ditunggu lhooo :)
ReplyDeletesiaaap! yang 9 dan 10 sudah tersaji, selamat membacaa :)
Delete