Tap… Tap… Tap…
Derap suara sepatu yang berirama seperti barisan
tentara membuat orang-orang menoleh ke sumber suara. Siapa, sih, yang lebay
sekali cara berjalannya? Memangnya latihan paskibraka? Namun ketika menoleh…
langsung semua menyingkir, memberi jalan pada sepatu berderap itu.
Si sepatu berderap itu seorang gadis. Wajahnya
terangkat, rahangnya mengeras, bibirnya mengatup – tanpa senyum sama sekali,
matanya menatap tajam siapapun yang menatapnya baik sengaja atau tidak,
memancarkan aura pembunuh pada wajah cantik nan angkuh tersebut. Di belakangnya
lima ‘dayang’ dengan wajah tak kalah dingin dan tatapan yang tak kalah tajam
ikut mengiringi. Tanpa disebutkan, semua anak sudah tau bahwa Veronica, ketua
geng The Scissors yang sudah sangat terkenal kekejamannya dan juga
antek-anteknya saat ini sedang murka. Dan ini bukan pertanda baik. Sama sekali!
Bukannya anak-anak tidak tahu apa sebabnya. Justru
itu. Apalagi sekarang The Scissors sedang menuju ke wilayah kelas sepuluh.
Tepatnya, X-9. Anak-anak menggelengkan kepalanya, belum-belum sudah merasa
lelah. Baru saja tadi pagi ada tawuran yang menyebabkan panglima perang SMA
Airlangga tumbang. Sekarang akan ada kehebohan lagi. Bukan apa-apa, sudah cukup
drama untuk hari ini. Lagipula, ini kan sekolah, bukan kelas akting!
“Iyaaaa! Gue denger sendiri Tari ngomong gitu. Sebelum
tawuran! Ajegile banget… bujuuuud… bujuuuud…”Nyoman, si Ratu Gosip kelas Hiu,
berkacak pinggang kemudian menirukan ekspresi Tari.
“‘Kalo... KALO EMANG LO BENERAN
SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!’ begitu katanya. Kak Ari terus
ngomong apaaaa gitu, terus ngabur. Tarinya ngejar, dong. Aduh Tari… kasian amat
nasibnya! Kejedot apaan sih dia sampe kaya gitu…” Nyoman menggelengkan
kepalanya, prihatin.
Gosip dan Nyoman. Dua hal yang tidak
bisa dipisahkan. Memang, kejadian Tari mencegah Ari untuk tawuran dengan memakai
jurus pilih-gue-apa-tawuran itu sudah menyebar ke antero sekolah. Namun Nyoman,
yang radar menerima dan menyebarkan gosip seperti hiu yang mencium bau darah,
langsung mengipasnya hingga kejadian sebenarnya tampak lebih besar dan lebih
dahsyat! Sekarang ia berdiri, dikelilingi beberapa teman yang sedang takjub
mendengar ocehan Nyoman mengenai kejadian tadi pagi, meski mereka sudah
mendengarnya berkali-kali dan dengan berbagai versi!
“Nyoman…”Jimmy berkata lirih.
“Prihatin gue sama Tari. Malang bener
nasibnya. Entah disantet entah apa, bisa juga dia jadian sama si trouble maker. Belum jadian aja bikin
heboh. Pas jadian bikin heboh. Entah nanti kalo seantero sekolah tahu tentang
hubungan mereka kayak gimana. Apalagi kalo ketauan sama geng Nenek Lampir.
Hiiihh… serem! Kemaren aja Tari sampe disobek bajunya, kan?! Parah abiiis…” Nyoman
masih saja mencerocos, tidak mempedulikan perkataan Jimmy barusan.
“Geng Nenek Lampirnya udah tau, kok,
terima kasih.”
Perasaan Nyoman jadi tidak enak. Dia
menoleh ke belakang. Vero, melipat kedua tangannya didepan dada, kemudian
tersenyum sinis, menghampiri Nyoman.
“Eh… Kak… Kak…” Nyoman tergagap.
“Kak Lampir?!” potong Vero sembari
melotot.
“Maaf, Kak… maaf. Saya nggak maksud…”
Nyoman kehabisan kata-kata. Akhirnya ia menarik napas, pasrah. ”Maaf, Kak…
maaf…”
Vero menjulingkan matanya, pertanda
ia tidak peduli apapun yang dikatakan Nyoman. Nyoman hanya bisa menahan emosi
dari hati sembari menyumpahi, dasar nenek lampir! Biarin aja lo juling
beneran!
“Tari dimana?!” Tanya Vero, setengah
membentak.
“Di… di…”
“Da… di… da… di… Apa?! Jawab tuh yang
bener!” bentak Vero.
Nyoman menggaruk kepala. Aduh
mampus gue. Gak dijawab, gue mati. Dijawab, temen gue yang mati… duh!
“Itu di gudang, Kak… iya, di gudang –
“ ucap Nyoman cepat.
Tanpa basa-basi lagi, Vero dan kedua
dayangnya berlalu dari kelas X-9. Nyoman yang jantungnya dagdigdug dan muka
pucat langsung duduk tersungkur, lemas. Teman-teman yang lain hanya bisa
memandang Nyoman dengan wajah prihatin campur geli. Ya, salah siapa, coba?
Mulutmu harimaumu, kan?
Tapi, Jimmy masih punya rasa iba.
Dihampirinya Nyoman dengan air mineral gelas di tangan. Disodorkannya air
mineral itu sembari menepuk-nepuk bahu Nyoman, seakan menenangkan. Air mineral
itu langsung Nyoman minum dan ludes hanya dengan dua kali tegukan.
“Lo, sih, Jim… nggak nyuruh gue
berhenti ngomong!” omel Nyoman dengan dada masih naik turun tidak beraturan.
“Lo juga sih nggak bisa disela kalo
udah ngegosip! Itu temen lo sendiri, tau?! Dan sekarang lo malah umpanin temen
lo sama nenek lampir. Tega, lo!” Jimmy balas mengomel karena sedikit tidak
terima kebaikannya mengambilkan air minum untuk Nyoman, malah berbuntut omelan.
“ASTAGA!!!” Nyoman menepuk dahinya. ”Aduhh…
gawaaaaat!! Hape, mana hape gueee!! Gue harus SMS
Fioooo!!!”
*
“…Cuma elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.”
Mendengar pernyataan Fio barusan,
Tari langsung terhenyak. Mukanya memerah. Memang benar, sedikit banyak ia yang
membuat Ari jauh lebih jinak. Memang benar, bahwa dengannya Ari lebih tenang.
Memang benar, didampinginya Ari mencari jati diri. Tapi sebagai satu-satunya
alasan? Apakah seperti itu ia di mata Ari?
“Kok beban gue banyak banget
kayaknya, ya, Fi.” Tari menghela napas. ”Bener, deh. Jujur… gue sayang sama Kak
Ari. Tapi gue takut. Gue takut nantinya gue nggak seperti yang dia harapkan.
Gue takut dia kecewa sama gue. Gue nggak bisa apa-apa, Fi…”
“Well, well… Maybe you should
thought about that. Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, deh, lo!”
Tari menoleh ke arah pintu gudang.
Dan seketika rahangnya mengeras. Ia berdiri, memasang badan ready to war.
Sedang Fio hanya mengikuti Tari berdiri seraya menunduk, seakan pajangan.
Nanti, kalau ada apa-apa, baru Fio ikutan maju, paling nggak jambak-jambak
sedikit lah. Kalo sekarang, biar Tari dulu yang menghadapi Vero si Penyihir.
“Mau Kakak apa?”
“Mau gue?” Vero tersenyum sinis. ”Jauhin
Ari! Dia milik gue!”
“Sejak kapan orang bisa di
hak-milikin gitu kayak barang? Yah... kecuali sih Kakak nganggep Kak Ari cuma
sebagai barang doang, yang bisa dipamerin pas jalan. ‘Ini, loh, cowok gue,
preman sekolah’ sekaligus mengkhultuskan dinasti monster di SMA Airlangga.”
Entah mendapat keberanian darimana,
entah kesurupan jin dimana atau itu adalah bentuk pelampiasan emosi terpendam –
juga dendam – Tari berkata setajam itu pada Vero. Vero hanya bisa terdiam
saking kagetnya mendengar perkataan tajam juniornya.
“Nyatanya yang Kak Ari pilih saya,
bukan Kakak!”
Telak! Omongan Tari menghantam Vero
sangat telak!
“Eh, lo lancang banget, yah!”Vero
mendekati Tari, sudah berancang-ancang untuk menampar.
“Kalo gue boleh kasih saran, sih,
lebih baik lo pikir-pikir lagi deh, Ver, kalo mau nampar Ibu Negara.”
Baik Vero maupun Tari menoleh. Di
pintu gudang, Ridho bersandar sembari kedua tangannya merangkul erat – bisa
dibilang setengah mencekik – kedua dayang Vero, sementara tiga yang lain hanya
berdiri mencicit di belakang. Raut mukanya sangat tenang dan santai, meski Tari
tahu bahwa Ridho, sama seperti Ari, pandai menyembunyikan emosi dan hati.
“Elo, Dho, nggak usah ikut campur!” bentak
Vero.
“Gue cuma ngasih saran doang, kok.
Lagian sayang banget kalo tangan seindah itu…” Ridho bersiul. ”Patah. Come
on, Ver, Ari bukannya tumbang bener-bener tumbang atau gimana. Dia bakal
cepet sembuh. Dan lo bisa bayangin, dong, kalo pas sembuh nanti dia nemuin Ibu
Negara lecet, dan itu ulah lo?”
Vero terdiam. Sebenarnya agak ngeri
juga membayangkan amukan Ari terhadap dirinya ketika ia menemukan bahwa
gadisnya – Vero menahan geram ketika mengatakannya dalam hati – ia celakai.
Vero memutuskan untuk tidak nekad.
Akhirnya ia beserta dayangnya keluar dari gudang dan meninggalkan Tari. Meski
tetap saja ada kata-kata ‘perpisahan’.
“Elo… sudah diperingatkan!”
*
Di kebun belakang sekolah yang sangat
jarang dijamah oleh siswa-siswa baik atau siswa nakal, guru maupun karyawan,
karena disana ada pohon beringin yang diyakini sangat angker, disanalah Ridho
dan Tari duduk berdampingan. Sementara Fio kembali ke kelas untuk menceramahi
Nyoman mengenai etika bergosip yang baik dan benar sehingga tidak mencelakakan
kawan.
“Kak Ridho baru dari rumah sakit? Kak
Ari gimana, Kak?”
Ridho tersenyum seraya mengusap
puncak kepala Tari, seakan menenangkan.
”Ari belum sadar. Tapi nggak pa-pa.
Itu pengaruh obat, kok.”
Tari menunduk. Digigitnya bibir
bagian bawah, untuk menahan agar air matanya tidak keluar.
”Maafin gue, Kak. Itu semua salah gue
sampe begitu. Gue cuma terlalu khawatir sama Kak Ridho, Kak Oji – “
“Kak Ari tapi yang utama, kan?” goda
Ridho.
Tari melotot. “Kakak jangan ngerusak suasana
permintamaafan ini, deh!”
Ridho terbahak sebelum ia akhirnya
berhenti karena bibir Tari makin mengerucut.
”Hahaha, sori, sori, Tar. Tapi bener
deh, nggak ada yang perlu dimaafin. Perbuatan lo tuh wajar. Perbuatan Ari juga
sangat wajar.”
Kemudian Ridho memasang tampang
serius. ”Sebenernya, Tar, ada yang pingin gue omongin ke elo,” Ridho terdiam
sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak, ding. Lebih tepatnya, ada
yang pingin gue minta dari elo.”
“Minta apa?” Tari mengernyitkan dahi.
“Gue minta…” Ridho menghela napas. ”Tolong
jangan pernah tinggalin Ari, ya, Tar. Jangan tinggalin dia…”
Tari tercenung. Lagi-lagi kata-kata
itu!
*
Ata menyusuri lorong rumah sakit
dengan diapit Angga dan Bram di kanan-kirinya. Raut mukanya tanpa ekspresi,
meski ia melihat mamanya duduk di bangku rumah sakit sembari bersandar di
dinding. Wajah wanita itu terlihat sangat lelah dengan bekas air mata disana.
Ata menghela napas. Lagi-lagi… Ari.
“Ma…” Ata menyentuh bahu mamanya,
pelan. Mama mendongak. Kemudian mengelus tangannya lembut.
“Kamu darimana saja? Sibuk sekali,
Nak, sampai tidak sempat menunggui adikmu?” Tanya wanita itu.
Ata terhenyak. Emosinya sudah naik.
Namun ditahannya dalam-dalam emosinya. Tidak. Citranya sebagai anak baik nan
penurut tidak boleh tercoreng. Setidaknya belum sekarang. Ia hela napasnya
dalam-dalam, dengan kedua tangan yang sangat dingin, mengepal erat.
“Maafin Ata, Ma. Tadi Ata ke kantor
polisi sama dua temen Ata ini,” Ata menunjuk Angga dan Bram – yang sekarang
sedang nyengir garing di depan Mamanya, ”buat nyari siapa penusuk Ari. Dua
orang ini saksi yang bisa ngasih tau Ata siapa orang yang udah nyelakain Ari.
Maafin Ata kalau Mama enggak berkenan.”
Angga dan Bram saling pandang. Mereka
terhenyak melihat akting Ata yang memukau dan tampak sangat meyakinkan. Sempat
ia terhanyut namun untungnya ia cepat tersadar. Ata benar-benar aktor kawakan!
Sedangkan Mama… ia menatap Ata dengan
mata berair. Dipeluknya Ata erat-erat, dengan punggung berguncang. ”Maafin
Mama, Ta. Mama… Mama… hanya khawatir sekali melihat keadaan Ari.”
Ata mengusap punggung ibunya dengan
lembut. Ia katupkan rahangnya, menahan agar emosi serta omongan bernada tidak
sedap jangan sampai keluar dari mulutnya. Dalam hati ia tertawa miris.
Lagi-lagi… Ari! Selalu Ari!
Dulu ketika berpisah orang tuanya
memperebutkan siapa yang mengasuh Ari – bukan dirinya. Dan ketika hak asuh Ari
jatuh pada tangan Papanya, Mama seperti orang gila yang setiap hari mencari Ari
yang entah berada dimana sehingga dirinya terlantar. Ari yang hidup dengan
Papa, bergelimangan harta. Sementara dirinya harus pontang-panting mencari
biaya tambahan demi membantu Mama dan Eyang. Itu berarti ia juga harus super
hemat. Dia yang harus berbesar hati dan legawa
ketika Mamanya, Eyangnya juga para sepupunya lebih tertarik mengenai nostalgia
tentang Ari – bukan memperhatikan dirinya!
Yah, bukannya Ata ingin jadi pusat
perhatian atau apa. Namun rasa sakit merasa dibedakan, tidak diinginkan,
tertolak dan harus selalu mengalah itu menjadi torehan luka dan kepahitan
sendiri dalam hati Ata. Apalagi itu saudara kembarnya sendiri. Ata tidak tahan!
“Mama tenang aja, Ari nggak pa-pa.
Dia kuat, kok,” ucap Ata menenangkan. Mamanya masih terisak, namun sudah lebih
tenang. ”Sekarang Mama ke kantin aja, ya? Mama pasti laper, belum makan? Biar
Ata yang jagain Ari.”
Mama mengangguk, kemudian pergi,
setelah sebelumnya menyunggingkan senyum sapaan pada Angga dan Bram.
“Gila. Lo bener-bener…” Angga
menggelengkan kepalanya, ”hebat! Akting lo, ckckck… nggak pernah kepikiran buat
audisi sinetron?” Tanya Angga, pure
karena penasaran.
Ata tergelak, ”Gue cuma bisa akting
kaya gitu depan Nyokap doang.”
“Akting sama munafik beda tipis, lho,”
sahut Bram dingin. Sebenarnya ia agak heran – juga sebal – mengapa Angga sangat
akrab dengan orang ini, yang masih bisa dibilang musuh! Entah apa sebabnya,
meski Bram sudah bertanya puluhan kali – bahkan ratusan kali hingga Angga keki
– Angga tetap bungkam. Dan itu yang membuat Bram jadi sebal. Angga sangat
ceroboh bisa percaya segampang itu dengan Ata!
Apalagi… semenjak dekat dengan Ata,
Angga jadi tidak terlalu membutuhkannya lagi. Agak dangdut, memang, alasan Bram
ini. Tapi.. Hei, kata siapa persahabatan cowok tidak ada saling cemburu?
Ata hanya tertawa sinis menanggapi
kata-kata Bram, sedang Angga langsung melempar tatapan tajam pada Bram yang
berarti shut-your-f*cking-mouth.
Tak lama kemudian, seorang suster
keluar dari kamar Ari kemudian menghampiri Ata dengan senyum tersungging.
”Adek ini kakaknya Matahari Senja? Beliau
sudah sadar, sudah bisa dijenguk. Silahkan masuk, tapi cukup satu orang aja,
ya…” ucap suster itu, melihat ada Angga dan Bram di samping Ata. ”Saya pergi
dulu. Kalau ada apa-apa tekan saja tombol yang ada di kasur.”
Suster itu tersenyum ramah, menepuk
bahu Ata lembut sebelum kemudian pergi.
“Lo mau masuk?” Tanya Angga. Ata
hanya menaikkan alis dan mengangkat bahu.
”Kalo gitu lo nggak keberatan, gue
yang jadi first guest nya Ari?”
“Terserah,” jawab Ata cuek, sembari
mengunyah permen karet.
Angga menggelengkan kepala dan menepuk
pundak Ata, kemudian masuk ke ruang VIP tempat Ari dirawat. Saat ini, di luar
ruangan tersebut hanya tersisa Ata dan Bram.
“Gue nggak tau apa mau lo. Apa
rencana lo,” ucap Bram tiba-tiba.
“Siapa juga yang mau ngasih tau lo?” balas
Ata.
“Angga terlibat dalam rencana lo.
Otomatis gue juga! Dia temen gue!” Bram berujar dengan emosi menggelegak. ”Kalo
sekali aja elo macem-macem… sekali aja lo berani berbuat yang aneh-aneh… habis
lo!!” ancam Bram.
Ata tersenyum tipis.
”Orang yang emosi itu gampang banget
kebaca otaknya. Orang bego biasanya nekat. Dan elo… kombinasi dari keduanya. Lo
pikir gue takut sama ancaman lo?”
Ata melenggang pergi dengan santai,
meninggalkan Bram yang mematung dan gemetar saking geramnya.
“Sialan!!”
*
Ari membuka matanya. Kepalanya terasa
berat. Dadanya terasa sesak. Matanya panas. Perutnya nyeri. Ia melihat
disekelilingnya, merasa aneh dan bingung dengan kamar yang asing ini. Gue
dimana?
Kebingungan Ari terjawab ketika ada
seorang suster yang masuk ke kamarnya dan membetulkan letak selang infusnya
serta menyuntikkan entah apa di selang infusnya. Dia berada di rumah sakit.
Samar-samar ia teringat kejadian yang membuatnya tumbang. Bram… iya… ia
mendengar Angga memanggil orang itu dengan nama Bram, ketika ia menebus Tari di
Brawijada hampir setahun silam. Orang itu pula yang membuatnya sekarang di
rumah sakit. Sialan! Ia harus membuat pembalasan nanti!
Dan Tari… Oh Tuhan! Tari!! Dia… bagaimana keadaannya sekarang?! Apa dia…
dia…
Tidak, tidak. Ari harus memastikan
sendiri. Ia langsung beringsut dari tempat tidurnya, namun suster yang berada
di kamarnya langsung sigap dan menahan Ari bangkit dari tempat tidur.
“Ari… sudah bangun? Mau ngapain? Mau
buang air? Mau saya bantu? Atau saya pasang kateter saja? Atau mau di pispot
saja?”
Ari harus menahan emosi mati-matian
agar tidak menendang – setidaknya mendorong dengan amat keras– suster cerewet
nan kepo itu.
“Itu di depan ada Kakak kamu,
kayaknya. Mirip sekali soalnya. Mau saya panggilkan saja?” tawar suster itu.
Yang dimaksud suster itu pasti Ata.
Meski enggan, Ari mengangguk. Ia butuh mengetahui kondisi Tari secepatnya!
Namun alangkah terkejutnya Ari ketika yang masuk bukanlah kakak kembarnya.
Melainkan…
“Baek, lo? Cepet amat sadarnya?
Kirain bakalan lewat!” ucap Angga kurang ajar.
Menyadari bahwa keadaannya terlalu
lemah untuk turun dari tempat tidur dan menghajar Angga, Ari hanya menatap
Angga tajam dan mendengus kencang.
“Karena gue musuh yang baik dan
pengertian, gue kasih peringatan ke elo, nih. Kejadian ini… baru permulaan!”
“Mau lo sebenernya apa?!” Aari
mendesis kesal
“Mau gue?” Angga tertawa. ”Mau gue,
elo hancur! Sehancur-hancurnya! Bahkan kalo itu lewat jalan harus nyakitin
seseorang yang berarti buat elo. Cara yang dangdut banget, tapi masih efektif.”
“Sekali…” Ari gemetar saking
emosinya. ”Sekali aja lo sentuh Tari…”
“Lo pikir ini tentang Tari? Bego!” Angga
tertawa, puas. ”Lo naïf, Ari. Naïf!”
Ari mengernyitkan dahi. Angga
berdecak kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Ari. Angga tatap mata yang
pernah menyakiti hatinya – juga Kirananya – bertahun-tahun silam tepat di manik
mata.
“Lo nggak perlu tau. Lo cuma perlu bersiap
dengan kejutan-kejutan yang akan menghampiri lo nantinya! Okeee?” Angga menepuk
pipi Ari, persis seperti ia memperlakukan anak kecil.
“Lo inget, Anggita masih di
Airlangga!”
Angga yang sejatinya sudah mau
membuka pintu untuk keluar, langsung menoleh. Ia tersenyum puas.
”Lo tau? Gita bukan lagi kartu As yang
bisa lo mainin. Silakan lo mau apain Gita… kalo berani!”
Angga menutup pintu, dengan tawa
berderai.
Sepeninggal Angga, Ari merenung. Ia
merasa nelangsa. Tidak berdaya. Sangat tidak berdaya. Segala sesuatunya… terasa
begitu salah. Ada yang tidak beres, tapi Ari tidak tahu di bagian mana. Perang
yang harus ia hadapi berlangsung secara marathon, tak peduli bahwa ia sudah
kehabisan napas saking kencangnya ia harus berlari. Mengikuti keadaan.
Bertahan. Agar ia survive. Tetapi jika terus menerus diterpa perang
tanpa henti seperti ini… Ari lelah. Setelah ini, apalagi?
Merutuki nasibnya yang apes, ia
meremas perutnya yang terkena tusukan pisau. Jahitannya terbuka. Darah
merembes, namun Ari tidak menyadarinya. Yang ia tahu bahwa nyeri di perutnya
semakin menghebat dan semuanya jadi gelap.
*
“Lo ini udah hilang akal, apa
gimana?!” teriak Bram frustasi. Yang diteriaki hanya tersenyum tenang seraya
melipat kedua tangannya di dada.
Anggada dan Brahmana. Dua sahabat
yang sangat akrab, sangat dekat. Mereka seakan satu pikiran yang ada di dua
tubuh. Segala sesuatu di antara mereka sangat cocok. Hampir tidak pernah ada
perselisihan diantara mereka sebelumnya – kecuali jika lomba makan cabe rawit
di kantin dikategorikan sebagai perselisihan. Mereka dapat berkomunikasi hanya
dengan tatapan. Mereka sudah dapat membaca hanya dengan gesture tubuh. Jenderal dan Panglima di medan perang. Dimana ada
Angga, disitu ada Bram, begitu pula sebaliknya.
Dan sekarang… mereka berdua berdiri
berhadapan di halaman depan rumah Angga. Yang satu dengan muka lempeng dan
tenang, namun tak menutupi kekerasan hati. Yang satu terlihat jelas bahwa
sedang sangat emosi. Sangat emosi!
Penyebabnya? Jelas saja Matahari
Jingga!
Bram masih bisa menolerir bahwa Angga
mempunyai satu tangan kanan lain. Bram masih bisa maklum jika Angga mempunyai
rencana-rencana, tanpa melibatkan dirinya ikut rembug di dalamnya. Bahkan Bram
masih dapat berbesar hati melihat persahabatan antara Ata dan Angga. Tapi kali
ini, saat Angga baru saja keluar dari ruangan tempat Ari dirawat...
“Ta!”Angga
berjalan cepat menuju Ata yang berada di ujung koridor. Muka Angga panik bercampur
jengkel. Bram, cuma bisa menahan gondok karena tidak dipedulikan, sembari
mengikuti Angga dari belakang.
“Kenapa?
Lo habis ngomong apa sama Ari? Muka lo jadi jelek gitu…” Ata terkekeh.
“Gue minta
DENGAN SANGAT ke elo. Gue… titip Anggita.”
Angga
dengan singkat menceritakan Gita dan mengapa Gita dititipkan.
Tapi Bram
tidak mendengarkan, pun tidak berkonsentrasi dengan obrolan Ata dan Angga.
Jantungnya sudah melayang beberapa saat yang lalu.
“Lo deket sama Ata itu sesuatu. Tapi
nitipin Gita... itu lain hal!”
“Tolong, Bram… tolong. Jangan
bawa-bawa urusan pribadi – apalagi ini urusan hati lo – disini. Pikir secara
rasional! Gita ada di kandang lawan. Dan gue – pun juga elo, nggak bisa ngelakuin
apa-apa selain nitipin dia ke Ata! Lo…” Angga menarik napas. Menyiapkan hati. “Lo
gak bisa bantuin gue disini… karena itu. Tolong, Bram… tolong. Jangan banyak tanya
dan bantu gue dengan jadi arca batu.”
“Jadi cuma segitu aja nilai gue di
elo, hah? Babu?” Bram mendelik, gusar. Angga balik mendelik, lebih gusar
daripada yang dapat Bram rasakan.
“Gue nggak percaya bakalan bilang
kaya gini ke elo. Sumpah ini corny
banget. Please, Bram! Jangan childish! Lo nggak percaya sama gue?”
Angga menepuk bahu Bram. ”Kita sahabatan udah lama, Bram…”
Bram mendorong bahu Angga keras,
hingga Angga terjungkal. ”Kali ini aja, Ngga! Kali ini aja!”
Ia menaiki motornya kemudian
mengendarainya dengan kecepatan penuh. Bram pergi dengan membawa sakit hati.
Angga masih tersungkur di
tanah. Tak ada niatan ia berdiri. Dengan hati masygul ia tatap kepergian
sahabat terbaiknya tersebut. Demi kamu, Kirana… demi kamu…
-FLOWER-
Part 10nya ditunggu yaaa :)
ReplyDeletehaloo, part 10 nya sudah tersaji di blog ini. semoga suka yaa semalamat membaca :)
Deletepart 10nya jangan lama-lama ya.. :D
ReplyDeletehaloo, part 10 nya sudah tersaji di blog ini. semoga suka yaa semalamat membaca :)
Deleteiya sudah baca kok.. kira2 mau bikin smp berapa part nih? :)
ReplyDeleteberapa part yaa? hahahaa ditunggu aja sebentar lagi ;)
Delete