Tuesday, September 10, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #9

Tap… Tap… Tap…
Derap suara sepatu yang berirama seperti barisan tentara membuat orang-orang menoleh ke sumber suara. Siapa, sih, yang lebay sekali cara berjalannya? Memangnya latihan paskibraka? Namun ketika menoleh… langsung semua menyingkir, memberi jalan pada sepatu berderap itu.

Si sepatu berderap itu seorang gadis. Wajahnya terangkat, rahangnya mengeras, bibirnya mengatup – tanpa senyum sama sekali, matanya menatap tajam siapapun yang menatapnya baik sengaja atau tidak, memancarkan aura pembunuh pada wajah cantik nan angkuh tersebut. Di belakangnya lima ‘dayang’ dengan wajah tak kalah dingin dan tatapan yang tak kalah tajam ikut mengiringi. Tanpa disebutkan, semua anak sudah tau bahwa Veronica, ketua geng The Scissors yang sudah sangat terkenal kekejamannya dan juga antek-anteknya saat ini sedang murka. Dan ini bukan pertanda baik. Sama sekali!
Bukannya anak-anak tidak tahu apa sebabnya. Justru itu. Apalagi sekarang The Scissors sedang menuju ke wilayah kelas sepuluh. Tepatnya, X-9. Anak-anak menggelengkan kepalanya, belum-belum sudah merasa lelah. Baru saja tadi pagi ada tawuran yang menyebabkan panglima perang SMA Airlangga tumbang. Sekarang akan ada kehebohan lagi. Bukan apa-apa, sudah cukup drama untuk hari ini. Lagipula, ini kan sekolah, bukan kelas akting!
“Iyaaaa! Gue denger sendiri Tari ngomong gitu. Sebelum tawuran! Ajegile banget… bujuuuud… bujuuuud…”Nyoman, si Ratu Gosip kelas Hiu, berkacak pinggang kemudian menirukan ekspresi Tari.
“‘Kalo... KALO EMANG LO BENERAN SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!’ begitu katanya. Kak Ari terus ngomong apaaaa gitu, terus ngabur. Tarinya ngejar, dong. Aduh Tari… kasian amat nasibnya! Kejedot apaan sih dia sampe kaya gitu…” Nyoman menggelengkan kepalanya, prihatin.
Gosip dan Nyoman. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Memang, kejadian Tari mencegah Ari untuk tawuran dengan memakai jurus pilih-gue-apa-tawuran itu sudah menyebar ke antero sekolah. Namun Nyoman, yang radar menerima dan menyebarkan gosip seperti hiu yang mencium bau darah, langsung mengipasnya hingga kejadian sebenarnya tampak lebih besar dan lebih dahsyat! Sekarang ia berdiri, dikelilingi beberapa teman yang sedang takjub mendengar ocehan Nyoman mengenai kejadian tadi pagi, meski mereka sudah mendengarnya berkali-kali dan dengan berbagai versi!
“Nyoman…”Jimmy berkata lirih.
“Prihatin gue sama Tari. Malang bener nasibnya. Entah disantet entah apa, bisa juga dia jadian sama si trouble maker. Belum jadian aja bikin heboh. Pas jadian bikin heboh. Entah nanti kalo seantero sekolah tahu tentang hubungan mereka kayak gimana. Apalagi kalo ketauan sama geng Nenek Lampir. Hiiihh… serem! Kemaren aja Tari sampe disobek bajunya, kan?! Parah abiiis…” Nyoman masih saja mencerocos, tidak mempedulikan perkataan Jimmy barusan.
“Geng Nenek Lampirnya udah tau, kok, terima kasih.”
Perasaan Nyoman jadi tidak enak. Dia menoleh ke belakang. Vero, melipat kedua tangannya didepan dada, kemudian tersenyum sinis, menghampiri Nyoman.
“Eh… Kak… Kak…” Nyoman tergagap.
“Kak Lampir?!” potong Vero sembari melotot.
“Maaf, Kak… maaf. Saya nggak maksud…” Nyoman kehabisan kata-kata. Akhirnya ia menarik napas, pasrah. ”Maaf, Kak… maaf…”
Vero menjulingkan matanya, pertanda ia tidak peduli apapun yang dikatakan Nyoman. Nyoman hanya bisa menahan emosi dari hati sembari menyumpahi, dasar nenek lampir! Biarin aja lo juling beneran!
“Tari dimana?!” Tanya Vero, setengah membentak.
“Di… di…”
“Da… di… da… di… Apa?! Jawab tuh yang bener!” bentak Vero.
Nyoman menggaruk kepala. Aduh mampus gue. Gak dijawab, gue mati. Dijawab, temen gue yang mati… duh!
“Itu di gudang, Kak… iya, di gudang – “ ucap Nyoman cepat.
Tanpa basa-basi lagi, Vero dan kedua dayangnya berlalu dari kelas X-9. Nyoman yang jantungnya dagdigdug dan muka pucat langsung duduk tersungkur, lemas. Teman-teman yang lain hanya bisa memandang Nyoman dengan wajah prihatin campur geli. Ya, salah siapa, coba? Mulutmu harimaumu, kan?
Tapi, Jimmy masih punya rasa iba. Dihampirinya Nyoman dengan air mineral gelas di tangan. Disodorkannya air mineral itu sembari menepuk-nepuk bahu Nyoman, seakan menenangkan. Air mineral itu langsung Nyoman minum dan ludes hanya dengan dua kali tegukan.
“Lo, sih, Jim… nggak nyuruh gue berhenti ngomong!” omel Nyoman dengan dada masih naik turun tidak beraturan.
“Lo juga sih nggak bisa disela kalo udah ngegosip! Itu temen lo sendiri, tau?! Dan sekarang lo malah umpanin temen lo sama nenek lampir. Tega, lo!” Jimmy balas mengomel karena sedikit tidak terima kebaikannya mengambilkan air minum untuk Nyoman, malah berbuntut omelan.
“ASTAGA!!!” Nyoman menepuk dahinya. ”Aduhh… gawaaaaat!! Hape, mana hape gueee!! Gue harus SMS Fioooo!!!”
*
“…Cuma elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.”
Mendengar pernyataan Fio barusan, Tari langsung terhenyak. Mukanya memerah. Memang benar, sedikit banyak ia yang membuat Ari jauh lebih jinak. Memang benar, bahwa dengannya Ari lebih tenang. Memang benar, didampinginya Ari mencari jati diri. Tapi sebagai satu-satunya alasan? Apakah seperti itu ia di mata Ari?
“Kok beban gue banyak banget kayaknya, ya, Fi.” Tari menghela napas. ”Bener, deh. Jujur… gue sayang sama Kak Ari. Tapi gue takut. Gue takut nantinya gue nggak seperti yang dia harapkan. Gue takut dia kecewa sama gue. Gue nggak bisa apa-apa, Fi…”
Well, well… Maybe you should thought about that. Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, deh, lo!”
Tari menoleh ke arah pintu gudang. Dan seketika rahangnya mengeras. Ia berdiri, memasang badan ready to war. Sedang Fio hanya mengikuti Tari berdiri seraya menunduk, seakan pajangan. Nanti, kalau ada apa-apa, baru Fio ikutan maju, paling nggak jambak-jambak sedikit lah. Kalo sekarang, biar Tari dulu yang menghadapi Vero si Penyihir.
“Mau Kakak apa?”
“Mau gue?” Vero tersenyum sinis. ”Jauhin Ari! Dia milik gue!”
“Sejak kapan orang bisa di hak-milikin gitu kayak barang? Yah... kecuali sih Kakak nganggep Kak Ari cuma sebagai barang doang, yang bisa dipamerin pas jalan. ‘Ini, loh, cowok gue, preman sekolah’ sekaligus mengkhultuskan dinasti monster di SMA Airlangga.”
Entah mendapat keberanian darimana, entah kesurupan jin dimana atau itu adalah bentuk pelampiasan emosi terpendam – juga dendam – Tari berkata setajam itu pada Vero.  Vero hanya bisa terdiam saking kagetnya mendengar perkataan tajam juniornya.
“Nyatanya yang Kak Ari pilih saya, bukan Kakak!”
Telak! Omongan Tari menghantam Vero sangat telak!
“Eh, lo lancang banget, yah!”Vero mendekati Tari, sudah berancang-ancang untuk menampar.
“Kalo gue boleh kasih saran, sih, lebih baik lo pikir-pikir lagi deh, Ver, kalo mau nampar Ibu Negara.”
Baik Vero maupun Tari menoleh. Di pintu gudang, Ridho bersandar sembari kedua tangannya merangkul erat – bisa dibilang setengah mencekik – kedua dayang Vero, sementara tiga yang lain hanya berdiri mencicit di belakang. Raut mukanya sangat tenang dan santai, meski Tari tahu bahwa Ridho, sama seperti Ari, pandai menyembunyikan emosi dan hati.
“Elo, Dho, nggak usah ikut campur!” bentak Vero.
“Gue cuma ngasih saran doang, kok. Lagian sayang banget kalo tangan seindah itu…” Ridho bersiul. ”Patah. Come on, Ver, Ari bukannya tumbang bener-bener tumbang atau gimana. Dia bakal cepet sembuh. Dan lo bisa bayangin, dong, kalo pas sembuh nanti dia nemuin Ibu Negara lecet, dan itu ulah lo?”
Vero terdiam. Sebenarnya agak ngeri juga membayangkan amukan Ari terhadap dirinya ketika ia menemukan bahwa gadisnya – Vero menahan geram ketika mengatakannya dalam hati – ia celakai.
Vero memutuskan untuk tidak nekad. Akhirnya ia beserta dayangnya keluar dari gudang dan meninggalkan Tari. Meski tetap saja ada kata-kata ‘perpisahan’.
“Elo… sudah diperingatkan!”
*
Di kebun belakang sekolah yang sangat jarang dijamah oleh siswa-siswa baik atau siswa nakal, guru maupun karyawan, karena disana ada pohon beringin yang diyakini sangat angker, disanalah Ridho dan Tari duduk berdampingan. Sementara Fio kembali ke kelas untuk menceramahi Nyoman mengenai etika bergosip yang baik dan benar sehingga tidak mencelakakan kawan.
“Kak Ridho baru dari rumah sakit? Kak Ari gimana, Kak?”
Ridho tersenyum seraya mengusap puncak kepala Tari, seakan menenangkan.
”Ari belum sadar. Tapi nggak pa-pa. Itu pengaruh obat, kok.”
Tari menunduk. Digigitnya bibir bagian bawah, untuk menahan agar air matanya tidak keluar.
”Maafin gue, Kak. Itu semua salah gue sampe begitu. Gue cuma terlalu khawatir sama Kak Ridho, Kak Oji – “
“Kak Ari tapi yang utama, kan?” goda Ridho.
Tari melotot. “Kakak jangan ngerusak suasana permintamaafan ini, deh!”
Ridho terbahak sebelum ia akhirnya berhenti karena bibir Tari makin mengerucut.
”Hahaha, sori, sori, Tar. Tapi bener deh, nggak ada yang perlu dimaafin. Perbuatan lo tuh wajar. Perbuatan Ari juga sangat wajar.”
Kemudian Ridho memasang tampang serius. ”Sebenernya, Tar, ada yang pingin gue omongin ke elo,” Ridho terdiam sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak, ding. Lebih tepatnya, ada yang pingin gue minta dari elo.”
“Minta apa?” Tari mengernyitkan dahi.
“Gue minta…” Ridho menghela napas. ”Tolong jangan pernah tinggalin Ari, ya, Tar. Jangan tinggalin dia…”
Tari tercenung. Lagi-lagi kata-kata itu!
*
Ata menyusuri lorong rumah sakit dengan diapit Angga dan Bram di kanan-kirinya. Raut mukanya tanpa ekspresi, meski ia melihat mamanya duduk di bangku rumah sakit sembari bersandar di dinding. Wajah wanita itu terlihat sangat lelah dengan bekas air mata disana. Ata menghela napas. Lagi-lagi… Ari.
“Ma…” Ata menyentuh bahu mamanya, pelan. Mama mendongak. Kemudian mengelus tangannya lembut.
“Kamu darimana saja? Sibuk sekali, Nak, sampai tidak sempat menunggui adikmu?” Tanya wanita itu.
Ata terhenyak. Emosinya sudah naik. Namun ditahannya dalam-dalam emosinya. Tidak. Citranya sebagai anak baik nan penurut tidak boleh tercoreng. Setidaknya belum sekarang. Ia hela napasnya dalam-dalam, dengan kedua tangan yang sangat dingin, mengepal erat.
“Maafin Ata, Ma. Tadi Ata ke kantor polisi sama dua temen Ata ini,” Ata menunjuk Angga dan Bram – yang sekarang sedang nyengir garing di depan Mamanya, ”buat nyari siapa penusuk Ari. Dua orang ini saksi yang bisa ngasih tau Ata siapa orang yang udah nyelakain Ari. Maafin Ata kalau Mama enggak berkenan.”
Angga dan Bram saling pandang. Mereka terhenyak melihat akting Ata yang memukau dan tampak sangat meyakinkan. Sempat ia terhanyut namun untungnya ia cepat tersadar. Ata benar-benar aktor kawakan!
Sedangkan Mama… ia menatap Ata dengan mata berair. Dipeluknya Ata erat-erat, dengan punggung berguncang. ”Maafin Mama, Ta. Mama… Mama… hanya khawatir sekali melihat keadaan Ari.”
Ata mengusap punggung ibunya dengan lembut. Ia katupkan rahangnya, menahan agar emosi serta omongan bernada tidak sedap jangan sampai keluar dari mulutnya. Dalam hati ia tertawa miris.
Lagi-lagi… Ari! Selalu Ari!
Dulu ketika berpisah orang tuanya memperebutkan siapa yang mengasuh Ari – bukan dirinya. Dan ketika hak asuh Ari jatuh pada tangan Papanya, Mama seperti orang gila yang setiap hari mencari Ari yang entah berada dimana sehingga dirinya terlantar. Ari yang hidup dengan Papa, bergelimangan harta. Sementara dirinya harus pontang-panting mencari biaya tambahan demi membantu Mama dan Eyang. Itu berarti ia juga harus super hemat. Dia yang harus berbesar hati dan legawa ketika Mamanya, Eyangnya juga para sepupunya lebih tertarik mengenai nostalgia tentang Ari – bukan memperhatikan dirinya!
Yah, bukannya Ata ingin jadi pusat perhatian atau apa. Namun rasa sakit merasa dibedakan, tidak diinginkan, tertolak dan harus selalu mengalah itu menjadi torehan luka dan kepahitan sendiri dalam hati Ata. Apalagi itu saudara kembarnya sendiri. Ata tidak tahan!
“Mama tenang aja, Ari nggak pa-pa. Dia kuat, kok,” ucap Ata menenangkan. Mamanya masih terisak, namun sudah lebih tenang. ”Sekarang Mama ke kantin aja, ya? Mama pasti laper, belum makan? Biar Ata yang jagain Ari.”
Mama mengangguk, kemudian pergi, setelah sebelumnya menyunggingkan senyum sapaan pada Angga dan Bram.
“Gila. Lo bener-bener…” Angga menggelengkan kepalanya, ”hebat! Akting lo, ckckck… nggak pernah kepikiran buat audisi sinetron?” Tanya Angga, pure karena penasaran.
Ata tergelak, ”Gue cuma bisa akting kaya gitu depan Nyokap doang.”
“Akting sama munafik beda tipis, lho,” sahut Bram dingin. Sebenarnya ia agak heran – juga sebal – mengapa Angga sangat akrab dengan orang ini, yang masih bisa dibilang musuh! Entah apa sebabnya, meski Bram sudah bertanya puluhan kali – bahkan ratusan kali hingga Angga keki – Angga tetap bungkam. Dan itu yang membuat Bram jadi sebal. Angga sangat ceroboh bisa percaya segampang itu dengan Ata!
Apalagi… semenjak dekat dengan Ata, Angga jadi tidak terlalu membutuhkannya lagi. Agak dangdut, memang, alasan Bram ini. Tapi.. Hei, kata siapa persahabatan cowok tidak ada saling cemburu?
Ata hanya tertawa sinis menanggapi kata-kata Bram, sedang Angga langsung melempar tatapan tajam pada Bram yang berarti shut-your-f*cking-mouth.
Tak lama kemudian, seorang suster keluar dari kamar Ari kemudian menghampiri Ata dengan senyum tersungging.
”Adek ini kakaknya Matahari Senja? Beliau sudah sadar, sudah bisa dijenguk. Silahkan masuk, tapi cukup satu orang aja, ya…” ucap suster itu, melihat ada Angga dan Bram di samping Ata. ”Saya pergi dulu. Kalau ada apa-apa tekan saja tombol yang ada di kasur.”
Suster itu tersenyum ramah, menepuk bahu Ata lembut sebelum kemudian pergi.
“Lo mau masuk?” Tanya Angga. Ata hanya menaikkan alis dan mengangkat bahu.
”Kalo gitu lo nggak keberatan, gue yang jadi first guest nya Ari?”
“Terserah,” jawab Ata cuek, sembari mengunyah permen karet.
Angga menggelengkan kepala dan menepuk pundak Ata, kemudian masuk ke ruang VIP tempat Ari dirawat. Saat ini, di luar ruangan tersebut hanya tersisa Ata dan Bram.
“Gue nggak tau apa mau lo. Apa rencana lo,” ucap Bram tiba-tiba.
“Siapa juga yang mau ngasih tau lo?” balas Ata.
“Angga terlibat dalam rencana lo. Otomatis gue juga! Dia temen gue!” Bram berujar dengan emosi menggelegak. ”Kalo sekali aja elo macem-macem… sekali aja lo berani berbuat yang aneh-aneh… habis lo!!” ancam Bram.
Ata tersenyum tipis.
”Orang yang emosi itu gampang banget kebaca otaknya. Orang bego biasanya nekat. Dan elo… kombinasi dari keduanya. Lo pikir gue takut sama ancaman lo?”
Ata melenggang pergi dengan santai, meninggalkan Bram yang mematung dan gemetar saking geramnya.
“Sialan!!”
*
Ari membuka matanya. Kepalanya terasa berat. Dadanya terasa sesak. Matanya panas. Perutnya nyeri. Ia melihat disekelilingnya, merasa aneh dan bingung dengan kamar yang asing ini. Gue dimana?
Kebingungan Ari terjawab ketika ada seorang suster yang masuk ke kamarnya dan membetulkan letak selang infusnya serta menyuntikkan entah apa di selang infusnya. Dia berada di rumah sakit. Samar-samar ia teringat kejadian yang membuatnya tumbang. Bram… iya… ia mendengar Angga memanggil orang itu dengan nama Bram, ketika ia menebus Tari di Brawijada hampir setahun silam. Orang itu pula yang membuatnya sekarang di rumah sakit. Sialan! Ia harus membuat pembalasan nanti!
Dan Tari… Oh Tuhan! Tari!! Dia… bagaimana keadaannya sekarang?! Apa dia… dia…
Tidak, tidak. Ari harus memastikan sendiri. Ia langsung beringsut dari tempat tidurnya, namun suster yang berada di kamarnya langsung sigap dan menahan Ari bangkit dari tempat tidur.
“Ari… sudah bangun? Mau ngapain? Mau buang air? Mau saya bantu? Atau saya pasang kateter saja? Atau mau di pispot saja?”
Ari harus menahan emosi mati-matian agar tidak menendang – setidaknya mendorong dengan amat keras– suster cerewet nan kepo itu.
“Itu di depan ada Kakak kamu, kayaknya. Mirip sekali soalnya. Mau saya panggilkan saja?” tawar suster itu.
Yang dimaksud suster itu pasti Ata. Meski enggan, Ari mengangguk. Ia butuh mengetahui kondisi Tari secepatnya! Namun alangkah terkejutnya Ari ketika yang masuk bukanlah kakak kembarnya. Melainkan…
“Baek, lo? Cepet amat sadarnya? Kirain bakalan lewat!” ucap Angga kurang ajar.
Menyadari bahwa keadaannya terlalu lemah untuk turun dari tempat tidur dan menghajar Angga, Ari hanya menatap Angga tajam dan mendengus kencang.
“Karena gue musuh yang baik dan pengertian, gue kasih peringatan ke elo, nih. Kejadian ini… baru permulaan!”
“Mau lo sebenernya apa?!” Aari mendesis kesal
“Mau gue?” Angga tertawa. ”Mau gue, elo hancur! Sehancur-hancurnya! Bahkan kalo itu lewat jalan harus nyakitin seseorang yang berarti buat elo. Cara yang dangdut banget, tapi masih efektif.”
“Sekali…” Ari gemetar saking emosinya. ”Sekali aja lo sentuh Tari…”
“Lo pikir ini tentang Tari? Bego!” Angga tertawa, puas. ”Lo naïf, Ari. Naïf!”
Ari mengernyitkan dahi. Angga berdecak kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Ari. Angga tatap mata yang pernah menyakiti hatinya – juga Kirananya – bertahun-tahun silam tepat di manik mata.
“Lo nggak perlu tau. Lo cuma perlu bersiap dengan kejutan-kejutan yang akan menghampiri lo nantinya! Okeee?” Angga menepuk pipi Ari, persis seperti ia memperlakukan anak kecil.
“Lo inget, Anggita masih di Airlangga!”
Angga yang sejatinya sudah mau membuka pintu untuk keluar, langsung menoleh. Ia tersenyum puas.
”Lo tau? Gita bukan lagi kartu As yang bisa lo mainin. Silakan lo mau apain Gita… kalo berani!”
Angga menutup pintu, dengan tawa berderai.
Sepeninggal Angga, Ari merenung. Ia merasa nelangsa. Tidak berdaya. Sangat tidak berdaya. Segala sesuatunya… terasa begitu salah. Ada yang tidak beres, tapi Ari tidak tahu di bagian mana. Perang yang harus ia hadapi berlangsung secara marathon, tak peduli bahwa ia sudah kehabisan napas saking kencangnya ia harus berlari. Mengikuti keadaan. Bertahan. Agar ia survive. Tetapi jika terus menerus diterpa perang tanpa henti seperti ini… Ari lelah. Setelah ini, apalagi?
Merutuki nasibnya yang apes, ia meremas perutnya yang terkena tusukan pisau. Jahitannya terbuka. Darah merembes, namun Ari tidak menyadarinya. Yang ia tahu bahwa nyeri di perutnya semakin menghebat dan semuanya jadi gelap.
*
“Lo ini udah hilang akal, apa gimana?!” teriak Bram frustasi. Yang diteriaki hanya tersenyum tenang seraya melipat kedua tangannya di dada.
Anggada dan Brahmana. Dua sahabat yang sangat akrab, sangat dekat. Mereka seakan satu pikiran yang ada di dua tubuh. Segala sesuatu di antara mereka sangat cocok. Hampir tidak pernah ada perselisihan diantara mereka sebelumnya – kecuali jika lomba makan cabe rawit di kantin dikategorikan sebagai perselisihan. Mereka dapat berkomunikasi hanya dengan tatapan. Mereka sudah dapat membaca hanya dengan gesture tubuh. Jenderal dan Panglima di medan perang. Dimana ada Angga, disitu ada Bram, begitu pula sebaliknya.
Dan sekarang… mereka berdua berdiri berhadapan di halaman depan rumah Angga. Yang satu dengan muka lempeng dan tenang, namun tak menutupi kekerasan hati. Yang satu terlihat jelas bahwa sedang sangat emosi. Sangat emosi!
Penyebabnya? Jelas saja Matahari Jingga!
Bram masih bisa menolerir bahwa Angga mempunyai satu tangan kanan lain. Bram masih bisa maklum jika Angga mempunyai rencana-rencana, tanpa melibatkan dirinya ikut rembug di dalamnya. Bahkan Bram masih dapat berbesar hati melihat persahabatan antara Ata dan Angga. Tapi kali ini, saat Angga baru saja keluar dari ruangan tempat Ari dirawat...
“Ta!”Angga berjalan cepat menuju Ata yang berada di ujung koridor. Muka Angga panik bercampur jengkel. Bram, cuma bisa menahan gondok karena tidak dipedulikan, sembari mengikuti Angga dari belakang.
“Kenapa? Lo habis ngomong apa sama Ari? Muka lo jadi jelek gitu…” Ata terkekeh.
“Gue minta DENGAN SANGAT ke elo. Gue… titip Anggita.”
Angga dengan singkat menceritakan Gita dan mengapa Gita dititipkan.
Tapi Bram tidak mendengarkan, pun tidak berkonsentrasi dengan obrolan Ata dan Angga. Jantungnya sudah melayang beberapa saat yang lalu.
“Lo deket sama Ata itu sesuatu. Tapi nitipin Gita... itu lain hal!”
“Tolong, Bram… tolong. Jangan bawa-bawa urusan pribadi – apalagi ini urusan hati lo – disini. Pikir secara rasional! Gita ada di kandang lawan. Dan gue – pun juga elo, nggak bisa ngelakuin apa-apa selain nitipin dia ke Ata! Lo…” Angga menarik napas. Menyiapkan hati. “Lo gak bisa bantuin gue disini… karena itu. Tolong, Bram… tolong. Jangan banyak tanya dan bantu gue dengan jadi arca batu.”
“Jadi cuma segitu aja nilai gue di elo, hah? Babu?” Bram mendelik, gusar. Angga balik mendelik, lebih gusar daripada yang dapat Bram rasakan.
“Gue nggak percaya bakalan bilang kaya gini ke elo. Sumpah ini corny banget. Please, Bram! Jangan childish! Lo nggak percaya sama gue?” Angga menepuk bahu Bram. ”Kita sahabatan udah lama, Bram…”
Bram mendorong bahu Angga keras, hingga Angga terjungkal. ”Kali ini aja, Ngga! Kali ini aja!”
Ia menaiki motornya kemudian mengendarainya dengan kecepatan penuh. Bram pergi dengan membawa sakit hati.
Angga masih tersungkur di tanah. Tak ada niatan ia berdiri. Dengan hati masygul ia tatap kepergian sahabat terbaiknya tersebut. Demi kamu, Kirana… demi kamu…

-FLOWER-

6 comments:

  1. Replies
    1. haloo, part 10 nya sudah tersaji di blog ini. semoga suka yaa semalamat membaca :)

      Delete
  2. part 10nya jangan lama-lama ya.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. haloo, part 10 nya sudah tersaji di blog ini. semoga suka yaa semalamat membaca :)

      Delete
  3. iya sudah baca kok.. kira2 mau bikin smp berapa part nih? :)

    ReplyDelete