Fio memandangi sahabat yang duduk di
depannya dengan gamang. Prihatin! Dia ikut sedih dengan apa yang menimpa
sahabatnya itu. Entah dosa apa yang sudah Tari lakukan di masa lalu sampai bisa
mendapat ‘cobaan’ yang bertubi-tubi itu. Tanpa sadar pandangannya tertumbuk
pada seseorang yang berjalan menuju kursi mereka. Tari tidak melihat, karena
Tari memunggungi orang itu. Fio menahan napasnya agar tidak terlalu kentara
terkejut.
“Tar… gue kayaknya kudu pergi, deh,” ucap
Fio sambil meringis.
Tari mengernyitkan dahi, bingung. “Lho, lho… kenapa? Gue ikut –“
“Kayaknya nggak usah deh. Lo disini aja.
Gue emang sayang ama elo, Tar. Tapi lo tau, kan, kalo gue baru aja sembuh? Elo
nggak mau kan gue jantungan gara-gara deketan sama syaitonnirrojim?”
“Well,
said, Fio. Gue emang setan. Dan memang setan yang ini…” Yang dimaksud Fio
langsung duduk di sebelah Tari, kemudian merangkulnya erat, ”butuh ngomong sama
sahabat lo. Berdua.”
Tari menoleh ke arah samping. Ia
langsung melotot.
”Kak Ata!”
Tari melirik Fio, seakan berkata awas aja lo ninggalin gue! Fio Ccuma
bisa meringis, menampilkan ekspresi rasa bersalahnya setulus mungkin, kemudian
berlalu.
“Kak Ata maunya apa?” desis Tari pelan,
namun tajam.
“Mau gue?” Ata tergelak. ”Banyak, Tari.
Banyak! Dan itu… termasuk elo!”
“Hoy bro!” Suara lantang terdengar dari
lapangan. Serempak, Tari dan Ata menoleh.
Oji!
Ia tersenyum lebar seraya mengacungkan
bola basket, isyarat untuk menawari Ata bermain basket. Ata mengangguk,
kemudian tersenyum dan berjalan menuju Oji.
“Gimana, Tar? Setannya udah pergi, kan?
Maaf, Tar, Cuma Kak Oji yang kepikiran di otak gue tadi...” Ucap Fio sembari
terengah. Ia baru saja duduk di samping Tari.
“Jadi lo yang tadi panggil bala bantuan?
Lo bilang apa ke Kak Oji, coba? Duhh, kalo dia bilang macem-macem ke Ari
gimana, Fioooo?” Tari berseru panik.
Fio memandang sahabatnya dengan
pandangan sebal. Untung dibantuin!
“Terus lo maunya gue ninggalin lo berdua sama setan, gitu?”
Tari mendesah. ”Ya enggak, sih. Gue
makasih banget lo udah berusaha nyingkirin Ata. Tapi Ari…”
“Gue nggak bego, tau…” Potong Fio
sembari mendengus dengan penuh keangkuhan. ”Gue cuma bilang gini ke Kak Oji, ‘Kak
Oji, itu Kak Ata tolong diajak ngapain, kek, daripada dia ikutan nimbrung gue
ama Tari yang lagi girl’s talk.’
Gitu. Walaupun dia ge-er, ngerasa lagi diomongin sama kita... Yaudah, lah. Yang
penting sekarang lo aman.”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya. ”Nggak
terlalu aman juga, sih…”
Tari kemudian menunjukkan ponselnya pada
Fio.
Tadi
ngomong apa sama Ata?
From
: Ari
Gue
belum selesai. Ata.
From
: 086664441313
*
Ari sengaja cabut pelajaran setelah
istirahat. Ia butuh berpikir jernih. Melihat saudara kembarnya mengobrol pada
jarak yang sangat dekat dengan gadisnya membuatnya pongah. Hatinya ambigu. Ia
merasa sangat cemburu sehingga bisa mencabik-cabik Ata. Namun ia merasa menjadi
saudara yang paling tidak tahu adab jika belum-belum sudah marah dengan Ata
hanya karena persoalan sepele. Hanya gara-gara gadis. Meski gadis itu adalah
gadis terpenting kedua setelah mamanya.
Ari memacu motornya dengan kecepatan
tinggi, berharap angin dapan membawa kabur segala keambiguan yang menerpanya.
Segalanya begitu tiba-tiba. Kedatangan Mama dan saudara kembarnya. Hadirnya
Tari dalam hidupnya. Seharusnya ia sudah tau, bahwa tidak ada satupun orang
yang berhak menjadi sebahagia ini. Tidak ada.
Tanpa terasa ia membelokkan motornya ke
arah rumahnya. Ya, rumahnya. Bukan rumah Tante Lidya, bukan rumah Tari. Namun
rumahnya. Yang megah namun dingin. Yang seperti istana namun sepi. Ya. Rumah
itu. Sistine.
Sebelum masuk ke dalam, ia pandangi
rumahnya dari balik pagar. Lekat-lekat. Hatinya menjadi miris. Mengapa ayahnya
membangun istana, bukan keluarga bahagia? Di kolong jembatan pun Ari rasa pasti
akan jauh lebih baik. Asalkan ia bersama Mama, Ata dan Papa. Ah, Ari menjadi
sangat melankolis. Ia menggelengkan kepala, kemudian memasuki rumahnya yang tidak
terasa seperti rumah.
“Kamu sudah pulang, Ari?”
Suara berat yang sedikit serak akibat
rokok, menyapa Ari dengan nada menegur. Ari terkejut. Astaga! Papanya! Papanya
ada di rumah! Keajaiban apa lagi ini?
“Papa tumben pulang.”
Meski Ari marah pada Papanya, tapi
bagaimanapun ia tidak bisa membenci Papanya. Lagipula, ia sudah terlalu lelah marah
setelah bertahun-tahun. Ari sebenarnya marah untuk apa? Untuk siapa? Mamanya
sudah disini.
“Kebetulan, Ari, kebetulan kerjaan Papa
sudah Papa selesaikan sebelum tenggat waktu sehingga Papa bisa beristirahat.
Kamu kenapa sudah pulang? Bikin onar lagi? tuduh Papanya, namun dengan nada
tidak menggurui. Malah terkesan sedikit tidak peduli. Ari sedikit sakit hati,
sebenarnya. Cuma, mungkin Papanya sudah terbiasa dengan kelakuan abnormal Ari
selama ini.
“Nggak pa-pa. Lagi suntuk,” jawab Ari
ringkas, memberi sinyal bahwa sekarang ia sedang dalam keadaan mood yang tidak
baik untuk berbicara, berbincang, atau apalah namanya. Ia hanya ingin sendiri. ”Ari
ke kamar, Pa…”
“Sebentar, Ari… Papa mau bertanya. Tadi
Kepala Sekolah menelepon Papa. Ada murid baru yang bernama Matahari Jingga, pindahan
dari Malang. Ata datang ke Jakarta?”
-FLOWER-
ayo, segera lanjutin ya...!!
ReplyDeleteditunggu sangad karyanya..
TOP bgt...
terimakasih atas kesediaannya membaca karya kami :)
ReplyDeletekereennn kereenn ,, klo mungkin aku bacanya pas sebelum ada part 4 bisa uring2an ni,, makasih kakak cerbungaa kereennn :)
ReplyDeleteterimakasih telah membaca karya kami :)
DeleteNovel ini gw udh baca dari smp dan ternyata masih ad lanjutannya ya. Makasih ya udh di share
DeleteSughoii...
ReplyDeleteAkhirnya bisa nglanjutin baca.
Udah nunggu lama biar bisa baca novel ini...
Terimakasih sudah di share