Ari dan Angga. Keduanya berhadapan dengan tatapan ingin membunuh orang yang berada di
depannya. Genderang perang telah berbunyi. Dan tidak ada jalan untuk menariknya kembali. Dari
peperangan ini, semuanya tidak bisa lari.
Merasa semua urusannya sudah selesai –
ditambah lagi bel masuk yang telah berbunyi nyaring – Ari turut melangkahkan
kakinya menuju kelas. Namun teriak kekhawatiran dari Ridho menahannya.
“Jangan pernah lo dateng memenuhi
tantangannya Angga! Tu orang pasti punya niatan busuk, Ri!!”
Ari tertawa datar. “Kenapa lo masih
nguatirin gue, sih? Kan udah gue bilang, jangan pernah ninggalin Ata.”
“Ari!”
“Masalah tantangan dari Angga... Itu
urusan gue.”
Ridho meremas rambutnya sendiri, jengkel
dengan sikap dingin orang yang masih dianggapnya sebagai sahabat. “Denger ya,
gue mulai bosen sama kata-kata ‘ini urusan gue’ yang selalu lo lontarin. Sejak
kapan lo selalu bertindak sendirian, hah?!”
“Sejak keluarga gue hancur berantakan,”
desisnya. “Puas lo?!”
Bukan
itu!
Ridho tidak pernah bermaksud menyinggung ke arah itu, namun Ari malah menangkap
yang sebaliknya.
“Woy, Kuya! Gue serius. Pikirin lagi.
Balapan itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng –“
“Trus lo maunya gue tolak? Dan bikin
Angga tertawa puas, makin aja dia ngeremehin gue, gitu? Mau negasin ke semua
orang kalo gue lembek? Itu maksud lo?” Ari tertawa miris. “Iya, lah. Pasti
itu.”
PLAKK! “Woy, Kuya!”
Ridho menatap Ari dengan tatapan terluka. Ia merasa
tersindir. Malu, namun juga sakit hati. Segala akting pengkhianatan yang ia
lakukan kemarin emangnya untuk siapa? Untuk apa? Sebenarnya ia tidak
suka dan tidak mau mengumbar yang sudah dia lakukan. Namun Ari ini sepertinya
harus diberi penjelasan. Kesalahpahaman ini, semuanya harus diluruskan.
“Lo mau menyinggung tentang sikap gue
kemarin dulu? Oke, gue jelasin!” Saat ini, emosi Ridho yang sedang menggelegak
sangat kontras dengan sikap Ari yang cuek. Namun Ridho tetap bicara. “Lo tau
kenapa gue deketin Ata? Supaya gue tau motifnya yang sebenarnya! Sodara macam
apa yang tega nyakitin sodaranya sendiri?! Tapi gue sadar, kalo seb –“
Ari
mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan agar Ridho berhenti bicara. Ia
menghela napas. Sebenarnya ia tidak perlu penjelasan dan Ridho tidak perlu
mengklarifikasi. Terlepas dari makarnya Ridho itu dilakukan dengan sukarela
atau terpaksa, Ari sama sekali tidak mempermasalahkannya. Baginya, jika hal itu
membuat Ridho lebih baik, Ari akan berbahagia untuknya. Apalagi Ridho berlari
ke sisi saudara kembarnya yang membutuhkan penopang seperti ia dulu. Ari
berharap, Ridho dapat menjaga Ata seperti Ridho menjaganya.
Namun,
tidak dapat ia pungkiri, kembalinya Ridho ke sisinya
– terlepas apakah
cowok itu benar melakukan
makar atau tidak – sangat meringankan hatinya. Hanya saja, pagi ini Ridho
perlu diingatkan bagaimana caranya ia “bekerja”. Lebih dari apapun, harusnya
Ridho mengerti bahwa
untuk saat ini, Ari sangat butuh pelampiasan.
Menanggapi
tantangan Angga merupakan salah satunya.
“Akhirnya lo sadar kalo sebenernya apa
yang terjadi di antara kami murni urusan pribadi!” tukas Ari tandas. “Begitu juga
dengan masalah gue dan Angga. Oke? Gue masuk dulu.”
Ridho
ternganga mendengar jawaban dingin yang keluar dari mulut
Ari. Dilihatnya
Ari kembali menutup hati. Ingin
sekali rasanya Ridho menghujani Ari dengan tinjuan yang bertubi-tubi, sekadar untuk menyadarkan sahabatnya itu kembali.
Namun, jika diingatnya lagi apa yang sudah Ari jalani dalam kehidupannya
akhir-akhir ini, mati-matian Ridho menahan agar emosinya tetap terjaga.
“Tar, TARI!! Lo jelasin ke kunyuk satu
itu, Tar!”
Tari, yang sejak kepergian Angga hanya
diam mematung, terlonjak mendengar
teriakan frustasi Ridho tersebut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, seakan
berpikir keras mengenai apa yang ia akan jawab.
Setelah
didera perang bertubi-tubi dan berakhir dengan kekalahan.
Setelah ditusuk sana-sini
tanpa bisa melawan sama sekali... Tari mengerti bahwa Ari butuh pengakuan. Agar sedikit
saja ia mendapatkan kembali pridenya
yang telah dinjak-injak. Dan mungkin, mungkin… -
muka Tari memerah karena memikirkan hal ini – setelah Ari mendapatkan kembali
sisa-sisa kekuatannya… ia akan tersadar bahwa sebenarnya Tari tidak membutuhkan
apa-apa dari Ari – kekuasaannya dan
kekuatannya – kecuali keberadaan cowok itu disampingnya. Hanya
disampingnya.
Setelah
melewati pergolakan batin yang rumit, akhirnya Tari angkat bicara. Dengan suara berat
karena flu yang dideritanya, dan juga karena apa yang akan ia katakan nanti...
Tari berjalan pelan. Menjauh, meninggalkan keduanya.
“Kalo emang lo mau trek-trekan sama
Angga... Silakan. Gue nggak punya kewenangan untuk mencegah. Juga Kak Ridho.”
Semakinlah Ridho menganga, stres melihat
kelakuan kedua zombie yang telah berjalan menuju kelasnya masing-masing.
*
Pada akhirnya, Tari tetap tidak memiliki
tenaga yang cukup untuk mengerjakan ulangan kimia. Itu semua gara-gara
kedatangan Angga. Tari
sangat takut. Paranoid, malah. Perasaannya berkata… akan ada badai yang sangat
besar menerpa mereka. Lagi.
Tari memang berhasil bertahan di ruang
kelasnya, namun bukan untuk mengerjakan soal di hadapannya. Yang ia lakukan
hanyalah menatap kosong entah kemana, dengan tangan yang sama sekali tidak
melakukan aktivitas tulis-menulis. Bu Pur yang tidak sampai hati melihat
muridnya nelangsa seperti itu akhirnya memutuskan agar Tari dibawa ke UKS saja
ditemani Fio.
“Kalian ulangan susulan saja.”
Sebenarnya anak-anak sekelas ingin
protes, namun nggak tega karena kondisi Tari yang seminggu belakangan
benar-benar parah. Sudah tidak ada lagi yang sampai hati mencemooh Tari.
Fio akhirnya menuntun Tari keluar kelas,
namun tidak ke UKS. Tempat tujuan mereka adalah gudang yang telah dinobatkan
sebagai markas mereka berdua.
Disitulah, tangis Tari kembali pecah.
Sungguh, bukannya Fio jahat atau
bagaimana. Tapi melihat Tari yang terus-terusan menangis seperti ini, Fio
benar-benar nggak tega. Maka, disinilah batas kesabaran Fio. Diangkatnya wajah
Tari dan... PLAK!
Kontan saja Tari terkejut karena
mendapat tamparan dari Fio. Tamparan tersebut tidaklah terlalu kuat, namun
efeknya menggentarkan sampai ke dasar hati terdalam!
“Sadar, Tar! Sadar!” Giliran Fio yang
histeris, lebih untuk menutupi perasaan bersalahnya akibat menampar Tari.
“Bukannya lo sendiri yang bilang, lo mau jadi kuat demi kak Ari? Bukannya lo
sendiri yang bilang, udah cukup tangis-tangisan nggak berguna? Kenapa semuanya
selalu lo langgar sekarang, Tar?!”
Ketika dilihatnya Tari mematung dan tak
bereaksi, Fio melanjutkan kata-katanya dengan intonasi yang lebih lembut. “Gue
disini, sebagai sahabat... Cuma mau ngingetin lo atas semua yang pernah lo
janjiin bakal dilakuin dulu. Katanya lo mau kuat demi Kak Ari. Kalo elo sendiri
melemah gini, apa Kak Ari juga bakal jadi kuat? Nggak, kan?”
“Tapi, Fi...” suara Tari
tersendat-sendat. “Dia selalu menghindar...”
“Tapi bukan jadi alasan buat lo melemah,
kan? Coba... sekarang ada apa lagi, sih. Tar?”
“Angga... Angga ngajak dia balapan, Fi.
Gue takut. Tapi... tapi gue nggak nyegah dia. Gue malah nyuruh dia pergi –“
Fio menghela napas. Ternyata masih ada
satu masalah lagi. Angga.
“Yaudah... Coba lo tenang dulu ya,”
dirangkulnya sahabatnya itu dengan penuh empati. “Apa yang lo lakuin udah
bener, kok... Lo udah ngedukung Kak Ari. Tapi, lo jadi punya pe-er, Tar...”
Benar. Tari jadi punya pe-er baru. Yang
harus segera ia selesaikan. Meskipun ia benci melakukan hal ini, tapi
setidaknya... Patut untuk dicoba. Agar masih ada bagian dari dirinya yang tersisa
untuk membantu Ari. Walau tidak dengan berjalan bersisian di samping cowok itu.
*
Siang ini
Brawijaya kedatangan tamu istimewa. Sangat istimewa sehingga menimbulkan
keributan. Bagaimana tidak, mereka sangat takjub melihat seorang gadis
yang memakai bed sekolah
musuh, dengan gagah berani berdiri di depan pintu gerbang.
Memang,
hubungan Airlangga-Brawijaya sudah membaik. Namun, seperti kata salah satu
sitcom di sebuah stasiun TV swasta, nggak
gitu juga, kali! Permusuhan antara dua sekolah itu telah berakar,
diturunkan entah dari berapa generasi. Keberadaan gadis itu dianggap sebagai
tantangan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan – pengkhianatan
Airlangga, misalnya, beberapa orang berinisiatif memanggil Panglima Perangnya
dan menyeretnya untuk melihat sendiri ‘tantangan’ yang terpampang di pintu
gerbang.
Jika tadi Angga yang dengan seenaknya
melenggang di SMA Airlangga, maka sekarang dirinya justru terbengong-bengong
karena melihat kedatangan Tari – sendirian – di SMA Brawijaya.
“Tari?!”
Segera
Angga menyeret Tari menuju taman sepi yang terletak di belakang SMA Brawijaya untuk
meminimalisir mulut-mulut usil yang suka mengambil kesimpulan
sembarangan. Rahang Angga
mengeras. Ditahannya mati-matian hasrat untuk memeluk gadis yang berada dalam
gandengannya ini. Yang tangannya dingin dan mukanya sangat pucat.
Melihat
Tari yang sepertinya tidak punya inisiatif untuk melakukan apapun kecuali
menjadi arca batu, Angga dengan hati-hati mendudukkan cewek
itu di sebuah bangku,
sebelum kemudian mengambil
duduk di sebelahnya.
Ditatapnya wajah Tari
lekat-lekat, dengan rakus, seakan tidak mempunyai kesempatan untuk menatap
wajah gadis ini keesokan hari.
Angga
mengambil napas dalam-dalam, menyembunyikan kegetiran hatinya. Gadis yang
berada di sampingnya ini lemas dan lunglai. Pucat dan tampak tidak sehat. Dan
baru Angga sadari, berat badan gadis ini telah merosot tajam semenjak terakhir
Angga melihatnya secara jelas. Angga shock. Kini, setelah dilihatnya Tari dengan lebih seksama... Cewek
itu jelas hancur! Tak ada keraguan atasnya. Namun, dibalik kehancuran hatinya,
Angga melihat cewek ini masih menyimpan harapan, walau sangat kecil.
“Gue... mau bicara sama elo,” Agak tersendat, gadis itu akhirnya
berucap
memecah keheningan. Suaranya
bergetar, namun memaksa untuk mengucapkan setiap kata sejelas mungkin, setegas
mungkin.
Setelah beberapa detik ketercengangan,
Angga akhirnya tersadar. Ia mengerti tujuan Tari datang menemuinya.
“Ari yang ngutus elo?” tanya Angga sinis dan agak sakit hati. Ia belum bisa memastikan sakit hatinya ini karena
gadis yang berada di sampingnya ini selalu saja menjadi perisai Ari dan
menghambat ruang gerak Angga, atau karena gadis ini telah berlari pada punggung
orang yang sangat amat dibencinya.
“Dia bahkan nggak tau kalo gue kesini,” Tari menjawab datar, kemudian ia menghela napas sebelum melanjutkan,
“Apa yang sebenernya lagi lo rencanain, Ga?”
Angga menghela napas panjang. Hatinya
sedang bergulat, karena gadis di hadapannya ini. “Semuanya udah jelas. Nggak
ada yang perlu gue jelasin lagi.”
“Bohong!” Sergah Tari murka. “Lo...
Ngerencanain sesuatu yang berbahaya!”
“Makanya, datang ke gue, Tar! Supaya lo
bisa terhindar dari bahaya tersebut!”
Teriakan Angga juga mengandung kesakitan
yang mendalam, walau mungkin nggak akan sama bila dibandingkan dengan yang
sedang Tari rasakan. “Setidaknya, gue nggak bakal bikin lo tersiksa batin kayak
gini...”
“Lo yang pergi, dan lo juga yang datang
terlambat...” Tari mendesah lemah. “Harus berapa kali gue tegasin ini, sih?”
“Kalo gitu... biarin Ari menjalani tantangan
dari gue,” Angga berujar final. “Apa yang akan terjadi disana, serahkan
semuanya pada nasib.”
Angga bangkit dari duduknya, bersiap
meninggalkan Tari. Sebelum gadis itu sempat menahannya, Angga langsung
menambahkan kalimat penegas.
“Nggak, Tar. Gue nggak akan merubah
pikiran lagi tentang tantangan ini.”
Sia-sialah kedatangan Tari ke Brawijaya.
Yang ada, Angga malah semakin terluka dan semakin besar tekadnya untuk
melaksanakan balap motor tersebut.
*
Seorang ibu memiliki insting yang begitu
kuat atas anak-anaknya. Sekecil apapun perubahan sikap anaknya, seorang ibu
pasti akan menyadarinya.
Mama dari kedua kembar menyadari,
anak-anaknya saat ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Keduanya seperti
saling menghindar satu sama lain. Apalagi, beberapa minggu terakhir ini Ari
jarang tidur di rumahnya. Juga berbagai keanehan lainnya.
Jika Ari ada di rumah, maka Ata tidak
akan pernah terlihat di rumah. Sebaliknya, jika Ata sedang di rumah, Ari lebih
memilih untuk langsung berpamitan pergi ke tempat lain. Mama sampai pusing
dengan keanehan sikap kedua mataharinya itu.
“Mama jangan khawatir,” ucap Ari pada
suatu ketika, saat ia coba mengorek keterangan. “Kami baik-baik aja, kok.”
“Benar, Ari sama Ata baik-baik aja?
Nggak lagi berantem, kan?” pertanyaan cemas dari mamanya membuat Ari tertawa
geli.
“Kami kan bukan anak SD lagi, Ma. Yang
kalo berantem trus ngambek lamaaa banget. Yah... Biasa deh, Ma. Persoalan
lelaki,” Ari menjawab dengan memasang mimik muka selucu mungkin, mencoba
menghilangkan kegundahan hati sang mama.
Ari perlu menenangkan hatinya, demi
menghadapi jadwal balapan dengan Angga yang semakin dekat.
Dan, menenangkan hatinya berarti juga
menenangkan hati sang mama, agar menghilangkan kecurigaan pada sikap
anak-anaknya yang memang sedang dirundung permasalahan serius.
*
Kantin kelas dua belas. Ata duduk
sendirian disana, dengan sebelah tangan memegang rokok. Sudah sangat lama sejak
Ata memutuskan untuk tidak merokok. Namun, kejadian akhir-akhir ini membuatnya
kembali memasok tubuhnya dengan nikotin.
Kata-kata Gita saat itu selalu ia
pikirkan, hingga kini. Kata-kata
yang menohoknya dengan keras, namun mati-matian ia
lakukan penyangkalan dan
pembenaran.
Ingin
sekali rasanya Ata berteriak, Gita salah!
Apa semua orang selalu hanya melihat Ata
sebagai orang yang bersalah? Apa nggak ada yang bisa melihat kalo dirinya juga
hancur?
Miris.
Bahkan setelah segala sabotase, konspirasi dan skenario yang telah ia susun
dengan begitu rapi dan sempurna umtuk menjatuhkan kembarannya itu...
kini kembali Ari yang menjadi
pemenangnya. Ari yang baik. Ari yang menderita. Lagi-lagi… Ari!
Ata tidak pernah – sekalipun tidak
pernah – mendapatkan sahabat seperti Ridho. Yang sangat memerhatikan detail
terkecil dari sahabatnya. Yang begitu setia, yang mengobservasi dengan teliti,
yang merengkuhnya saat jatuh. Tidak. Kesibukannya menjaga Ari membuatnya tidak
sempat memikirkan hal-hal remeh seperti hubungan pertemanan. Bahkan hingga
kepindahannya ke Malang saat SMA.
Keberadaan
Ridho disampingnya membawa
secercah harapan untuknya. Bahwa ternyata Ata bisa memiliki teman yang begitu setia. Namun ketika
kenyataan terungkap bahwa ternyata Ridho hanya mata-mata, bagaimana ia tidak
murka? Karma… benar-benar memukulnya tepat di wajah.
Ata tidak pernah bermaksud menghancurkan
segalanya. Target Ata jelas, hanya Ari! Bahkan Tari pun, sebelum ia memulai ini
semua, sudah ia peringatkan. Namun gadis itu memilih maju, memilih pasang badan
untuk melawan dan melindungi. Ata sudah pernah memperingatkan Tari.
Makanya Ata tidak pernah sekalipun
melarang Tari berjuang bersama Ari, sebenarnya agar... ia sendiri bisa
memperlunak sikapnya. Agar apa yang ia lakukan masih masuk dalam batas
kewajaran.
Sewajar-wajarnya, segini saja sudah
membuat semua pihak tersakiti. Dan dikira mereka semua, dirinya tidak ikut tersakiti?
“Kak Ata...” Gita menyapanya pelan.
Kedatangan
Gita memaksa Ata untuk
mengendurkan ketegangan di wajahnya. Kepada gadis yang beberapa hari ini membayangi
langkahnya, kepada gadis yang tanpa rasa takut sedikitpun berada disampingnya,
kepada gadis yang mati-matian berusaha memahami tanpa menghakimi… ia menaruh
beribu hormat. Karena hanya gadis ini yang tanpa kenal lelah tetap bertahan
menghadapi dirinya dan segala ketidakjelasan perasaannya. Dan dalam diri gadis
ini
pula dilihatnya
sebuah harapan, meski Ata sama sekali tidak berani berharap.
Gita
menepuk bahu Ata pelan sebelum ia mengambil tempat duduk
di samping Ata.
Ata membenarkan posisi duduknya,
memberikan tempat yang lapang bagi Gita untuk duduk.
Gita
memilin rambutnya, khas Gita menunjukkan kegelisahannya. Ata hanya menatap Gita
tanpa melakukan apapun. Beberapa minggu bersama gadis ini ia belajar bahwa
gadis ini sangat pemalu dan tidak terbiasa mengungkapkan apa yang dipikirannya
secara lugas. Beberapa minggu bersama gadis ini, dia belajar untuk bersabar
menunggu Gita menyusun kata-katanya terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena
kalau Ata main menyela begitu saja, Gita langsung menelan segala kata-katanya,
tidak jadi berbicara.
Setelah
menarik napas panjang, seakan mengumpulkan keberaniannya, Gita membuka
mulutnya,“Balapan Sabtu nanti, apa Kakak –“
“Gue datang,” jawabnya lugas. “Pasti.”
Gita
menggigit bibir bagian bawahnya. Ata salah paham. Bukan
itu maksud pertanyaan Gita. Apa yang ia maksudkan adalah...
“Nantinya... Kakak ada dimana?”
Dimana?
Pertanyaan
itu yang sampai sekarang belum mampu Ata jawab. Kesal, ditekannya puntung rokok kuat-kuat ke
meja kantin.
*
Setelah
mengiyakan tantangan Angga, Ari segera bersiap diri sebaik mungkin tanpa
membuang-buang waktu. Harus sebaik mungkin, karena ia tidak mau
ditumbangkan lagi. Harga dirinya tidak mengizinkan. Karenanya, disinilah Ari.
Berdiri di sebuah bengkel milik teman lamanya, Raka, untuk memeriksakan keadaan
motornya.
“Gimana, Ka?”
“Oke, motor lo dalam kondisi prima. Siap
untuk meluncur.”
“Yakin?”
“Weits, lo masih ngeraguin keahlian
gue?”
Suara Raka yang terdengar tersinggung
membuat Ari tertawa geli. “Bercandaaaa. Thanks, ya.”
Raka melap tangannya yang berlumuran
oli, sebelum kemudian mengambil duduk di samping Ari. Sudah mengenal Ari sejak kecil,
sekali melirik pun Raka
sudah tahu bahwa ada
sesuatu yang
salah dan berbeda.
Apalagi ditambah rona
wajah
Ari yang terlihat lebih kelam, tubuhnya pun lebih kurus daripada biasanya.
“Ada masalah, Bro?”
Ari tersenyum, jenis senyum yang
dipaksakan.
“Lusa... Temenin gue, ya? Jaga-jaga kalo
motor gue kenapa-napa...”
“Emangnya ada apa?” Tanya Raka heran.
Ari hanya menjawab dengan rangkulan yang terasa dingin.
*
Besok adalah hari dimana Ari akan
menyambut tantangan dari Angga. Tari sudah menyiapkan hati sejak jauh-jauh
hari. Tentang kejadian apalagi yang akan mereka jumpai di depan sana, Tari
sudah menyerahkan semuanya pada Yang Maha Menentukan.
Hanya saja, hati Tari tidak berhenti
merasa gusar. Makanya malam ini, Tari memutuskan untuk curhat dengan mamanya.
Mama sangat mengerti kecemasan hati
Tari. Setelah dituntunnya Ari menuju jalan pulang, kini anaknya harus membantu Ari untuk memecahkan serangkaian
masalah rumit lainnya. Mama merasa iba pada Ari. Lebih iba lagi pada takdir
yang harus dipikul oleh Jingga Matahari-nya, yang menjadi medium bagi banyak
hati yang terluka itu. Bahkan harus ikut terluka lebih dalam, seiring dengan
proses penyembuhan yang perlahan tapi pasti mulai menampakkan khasiatnya.
Apa yang bisa mama lakukan sekarang
hanyalah menenangkan hati anaknya. Karena, jika hati Tari sendiri tidak tenang,
luka-luka baru bisa saja tercipta.
*
Hari penentuan!
Hari ini, sengaja Ari datang ke rumah
mamanya pagi-pagi. Manja minta dibuatkan sarapan. Manja minta disuapin.
Berkali-kali merangkul lengan ibunya, seperti yang sering ia lakukan saat masih
kecil.
Air muka Ari terlihat sangat tenang.
Pada wajahnya tidak terlihat beban sedikitpun, malah senyum sumringah tak
pernah lepas dari wajahnya.
Tidak, Ari bertekad tidak akan merusak
moodnya hari ini, setidaknya di depan Mama.
Jarum jam menunjukkan pukul lima sore.
Masih terlalu dini, memang. Tapi Ari butuh persiapan lain selain persiapan
mental. Ia harus memahami medan perangnya nanti. Belum lagi berkonsultasi
dengan Raka, sekaligus melakukan pengecekan terakhir atas kesehatan motornya.
Karena Ari sudah bertekad. Apapun
alasannya, hari ini ia akan tetap maju dengan gagah. Kalah, apalagi mengalah,
tidak ada dalam tujuan hidupnya kali ini. Apalagi mengalah pada orang yang
menaruh amarah padanya tanpa alasan yang jelas.
“Ma...” Ari menyapa pelan mamanya yang
sedang asyik merajut. Seketika mama menolehkan kepalanya.
“Ari mau pamit.”
“Lho... Kamu mau kemana?” tanya mama
heran. Ari menjawab dengan senyum tenang.
“Ari mau main, Ma. Biasa, anak muda.”
Mama ikut tersenyum. Namun, hatinya
merasa gusar. Apa ini? Kegusaran yang
tak terpahami.
Ari mengecup punggung tangan mamanya
dengan khidmat, dan lama. Menaruhkan harapan serta doa disana, berharap kali
ini Tuhan tidak mengajaknya bermain lagi.
“Doain Ari ya, Ma. Semoga mainnya sukses,
gitu,” Ari tertawa geli. “Dah, Mama...”
*
Ata menyaksikannya dari celah pintu
kamarnya. Ari sudah pergi.
Sedang dirinya? Sampai saat ini belum
mengambil keputusan.
Ada
dimana? Di posisi mana kali ini lo berdiri?
Mendalangi
kejadian-kejadian yang membuat kembarannya itu jatuh dan terpuruk
sama sekali tidak membuat
perasaannya merasa puas.
Membalas sakit hatinya yang berakar ternyata tidak meringankan hatinya. Malah,
kejadian demi kejadian membuatnya menorehkan luka yang baru, membuat hatinya
makin tersayat.
Pada setiap
kejatuhan dan keterpurukan yang Ari dapatkan, Ata menemukan hatinya serasa
diremuk. Pada setiap
luka yang ditorehkan
pada kembarannya, mata pisaunya mengiris hatinya jauh lebih tajam. Pada setiap hati yang ia hancurkan,
serasa dadanya dihunus pedang.
Perang ini
juga menyakitinya. Perang ini… perang yang tidak dapat ia menangkan. Karena
yang dihadapi adalah orang yang sembilan bulan telah berbagi rahim
sang ibu dengannya. Perang ini
adalah perang yang
tidak dapat ia menangkan. Karena yang dihadapinya adalah cermin!
Namun
mengingat sakit hati itu… luka itu… jalan terjal yang harus dihadapi… Ata jadi
ragu.
Ada dimana? Posisi mana kali ini lo berdiri?
Pertanyaan
itu terngiang-ngiang di otaknya, membuatnya sakit kepala. Gusar,
diambilnya ponselnya dan dihubunginya satu nomor.
“Git?” sapanya serak. “Kita pergi
bareng, ya. Lo siap-siap. Gue otewe ke rumah lo.”
*
Ruang tamu
rumah Tari beralih fungsi menjadi tempat transit. Oji, yang sudah lama tidak
berkumpul Ridho
plus dua gadis yang bisa ia goda menyambut pertemuan dengan sangat bersemangat. Atmosfernya memang panas
dan tegang. Namun Oji berprinsip, selagi bersama, gunakan waktu sebaik mungkin
untuk quality time!
Tapi
harapan hanya harapan. Asumsi Oji itu, kalau tidak bisa dibilang bodoh, sangat
berlebihan. Bahkan pemakaman lebih ramai daripada suasana di ruang tamu rumah Tari sekarang. Tidak ada yang berbicara, semuanya hanya
menunjukkan raut wajah tegang – Tari, Fio dan Ridho. Hanya Oji yang berusaha
rileks, berusaha melucu... Tapi gagal total.
Percuma.
Ketiga orang di hadapannya sedang
menjelma menjadi arca batu. Hanya diam memandangi satu titik dengan wajah datar
dan pucat. Padahal, apa yang mereka pikirkan sama dengan apa yang sedang Oji
pikirkan.
“Udahlah...” ujar Oji pada akhirnya
seraya bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tari. “Bermuram durja kayak gini
nggak bakal menghasilkan apa-apa. Justru kita harus rileks, kita harus
semangat, supaya Ari ntar bawa motornya konsen. Kalo muka kalian semua kayak
zombie gitu, kalian pikir itu bisa bikin Ari menang tanpa tergores, apa?!”
Masuk akal. Fio yang pertama kali
merespon kalimat Oji tersebut.
“Bener, Tar. Kita yang harusnya
bersemangat! Kita yang harusnya kuat! Demi Kak Ari!”
Demi
Kak Ari.... Kalimat itu hanya menggaung di relung
hati Tari.
*
Arena
21, pukul 00.45.
Angga sudah bertengger manis di motornya
bersama Bram. Di sebelahnya, Ari sedang mengamati Raka yang sekali lagi
mengecek motor hitam milik Ari.
“Oli udah diganti. Mesin oke. Rem pakem.
Jari-jari oke. Ban prima. Motor lo udah siap tempur,” ujar Raka sekali lagi.
Melihat raut wajah suporter yang kaku, Raka dapat menebak bahwa ini bukanlah
balapan biasa.
Suporter yang dimaksud oleh Raka
adalah... siapa lagi kalo bukan Tari, Fio, Ridho dan Oji. Fio hanya berdiri di
samping Tari seraya merangkul sahabatnya itu, takut tiba-tiba Tari pingsan
karena kondisi tubuhnya yang masih lemah. Sementara Ridho dan Oji sedang galau,
hanya mondar mandir antara tempat Tari berdiri dan Ari. Ingin mendekati Ari,
namun takut cowok itu kalap atau menjadi tidak fokus.
Akhirnya, beberapa menit sebelum pukul
satu dini hari, dua orang lagi datang ke Arena 21.
Ata dan Gita.
Senyum sinis Angga langsung tercetak
lebar, sementara Bram hanya menatap keduanya dengan muka datar. Namun, baik Ata
maupun Gita tidak mengambil posisi di dekat Ari atau juga di dekat Angga.
Keduanya memilih netral.
“Akhirnya lo datang juga, Ta,” sapa
Angga sok akrab. “Bentar lagi permainannya dimulai. Lo datang tepat waktu.”
Ata tidak menanggapi pentolan Brawijaya
tersebut. Dilihatnya
Angga melirik Bram yang sedang mengecek motor kedua “kontestan” dengan lirikan
kemenangan. Ada firasat
buruk yang menggerayap, namun tidak ia hiraukan. Ini efek tegang. Begitu ia menghibur dirinya sendiri.
Ditariknya Gita agar
lebih merapat untuk
dipeluk, sekadar menenangkan kegundahan
yang tiba-tiba muncul.
“Sebelum kita mulai, Ri... Ada yang
harus gue sampein.”
Ari menatap Angga seraya memicingkan
mata. Begitupun dengan Ata.
Skenario ini… sama sekali tidak terduga. Apakah Angga ingin membuat pidato
intimidasi? Apa ini adalah bagian dari rencana?
“Gue mau minta maaf.”
Apa yang keluar dari mulut Angga tak
ayal membuat Ari terheran-heran. Angga,
minta maaf? Untuk apa?
“Gue minta maaf karna selama ini selalu
menyerang lo tanpa alesan. Tapi sebenarnya... justru sangat beralasan.” Angga
menggenggam erat stir motornya untuk menahan emosi. “Waktu kita SMP dulu, Ri.
Lo pernah liat adek kelas kita yang kakinya pincang? Pernah?”
Ari menggeleng ragu-ragu. Sedangkan Ata
malah menegang, tangannya
mencengkram bahu Gita erat. Angga melanjutkan ceritanya.
“Gadis itu... Namanya Kirana. Ata pasti
tau siapa dia,” Angga menyunggingkan seringai sinis. “Gadis itu sekarang di
luar negeri. Tau alesannya kenapa?”
Pertanyaan itu tidak lagi ditujukan pada
satu orang, namun pada Ari dan Ata sekaligus. Seketika Ata membeku di tempat.
“Gadis itu... ditolak cintanya sama elo,
Matahari Senja!”
Ari, yang merasa sama sekali tidak tahu
tentang hal tersebut langsung membantah, “Bentar, gue nggak ngerasa –“
“Emang nggak!” Potong Angga kasar. “Lo
emang nggak pernah secara langsung menolaknya. Tapi kembaran lo itu... DIA
NGEROBEK SURAT YANG ADEK GUE BIKIN KHUSUS BUAT ELO!! Ya, Kirana itu adek gue,
asal kalian semua tau!!”
Bagai petir yang menyambar di tengah
sunyinya arena balapan tersebut. Ata terduduk sempurna di tanah. Sementara
Ari... masih berusaha mencerna informasi ini. Ditatapnya Angga dengan pandangan
tidak mengerti.
“Asal lo tau, Ri,” kali ini suara Angga
melengking tak terkendali. “Kirana suka banget sama lo. Bahkan sampe taraf
memuja! Cuma karena lo pernah nolongin dia waktu SMP. Tapi kembaran lo itu,
yang waktu SMP selalu nguntit kemanapun lo pergi, bikin adek gue jadi patah
hati!! Karena Ata,
yang dikira adek gue adalah elo, ngerobek surat yang Kirana
kasih tanpa sekalipun dibaca isinya! Tanpa penjelasan! Tanpa klarifikasi!”
Satu fakta lain yang membuat Ari
akhirnya ikut tersungkur. Ata? Mengikuti dia? Dipandanginya wajah pias saudara
kembarnya, yang kini telah didekap oleh sepupunya Angga. Shock!
Fakta bahwa Kirana adalah adik dari
orang yang selama ini berkomplot dengannya untuk menggulingkan Ari benar-benar
membuat otaknya kosong. Pantas saja! Pantas saja Angga jadi berubah setelah ia
bercerita tentang si Gadis Pincang! Ata memandangi Gita dengan wajah pucat.
“Lo... udah tau?” Gita hanya mengangguk
tanpa suara. Semakin membuat Ata lemas! “Dan lo... nggak ngasih tau gue?”
Maaf,
Kak... Bahkan untuk menyuarakan kata itu saja, Gita sudah
tidak sanggup. Ia speechless. Tega
sekali sepupunya itu membocorkan fakta ini saat sebelum mereka bertanding.
Untuk apa?!
Dengan mengumpulkan sisa-sisa
kekuatannya, Ari berjalan pelan menuju Ata. Dengan mengumpulkan sisa-sisa
kekuatannya, Ari mengajukan pertanyaan yang paling ia ingin dengar langsung
dari mulut Ata.
“Bener, waktu kita SMP, lo... Lo
masih...?”
Ari tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
Namun, anggukan pelan dari Ata justru menjawab segalanya. Mendadak hati Ari
terasa mencelos.
Ternyata benar. Ternyata selama ini Ari
tidak berhalusinasi. Ternyata rumor yang Ari dengar juga benar.
Saat SMP dulu, Ari sering mendapat
laporan tentang kemunculan dirinya di berbagai tempat, kebanyakan tempat musuh.
Padahal, Ari tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di daerah lawan kecuali
memang keadaannya sangat mendesak. Ternyata... jawabannya baru tersaji
bertahun-tahun kemudian!
“Udah, cukup klarifikasinya!!” Angga
kembali bersuara dengan lantang. “Sebenernya gue nggak terlalu merasa bersalah
ke elo, karna emang lo sumber masalahnya, dan kembaran lo itu yang
meledakkannya! Gue yakin, kalian pasti akrab dengan yang namanya rasa sakit.
Balas dendam atas tersakitinya orang yang kalian sayangi. Saudara kalian. Well...”
Angga menstarter motornya.
“Tolong, Ri. Sebagai orang yang pernah
sangat dicintai oleh adek gue, tolong penuhi keinginan gue supaya kelakuan
Kakak kembar lo itu... termaafkan!”
Ata
langsung bangkit menghampiri Angga, meski jalannya agak terhuyung. Fakta ini
benar-benar mengguncangnya.
“Ga! Lo
jangan seenaknya aja! Ini masalah pribadi gue sama elo, jangan bawa-bawa Ari!”
Angga
tertawa getir. ”An eye for an
eye, Ta! Lo sakitin adek gue… gue bales ke adek lo! Impas, kan?!”
Ridho, yang sejak tadi hanya terdiam
saja melihat percakapan ketiga orang itu, tiba-tiba merasa ikut terbakar
hatinya dan ingin angkat bicara. Mereka juga harus memahami bagaimana perasaan
Ata saat menyakiti Kirana dua tahun silam. Karena disana, Ata bukan hanya
merobek hati Kirana, namun juga hatinya sendiri!
“Tapi
sebenernya Ata –“
Ucapan
Ridho itu dipotong Ata dengan isyarat tangan yang menyuruh Ridho untuk tutup
mulut. Ata memang salah dan Ridho tidak perlu mengajukan pledoi untuknya.
Dengan badan yang dipaksa berdiri tegak dan wajah yang dipaksa untuk tenang, ia
menghampiri Ari.
“Siniin kontak lo.”
Ari menggeleng, menggenggam erat kontak motornya,
mengisyaratkan jangan
harap gue bakal kasih dengan sukarela. Karena Ari sangat paham. Begitupun
dengan semua – termasuk Ata
yang sebenarnya tidak rela – yang mendengar permintaan Angga
barusan.
Pada akhirnya, ini semua adalah urusan
hati. Urusan bagaimana menyembuhkan hati dengan cara melukai hati yang lain. Dan
hati yang terluka di depannya ini... menuntut dirinya langsung yang turun agar
sakitnya segera hilang. Agar balas dendam ini segera berakhir.
Angga menuntut Ari, dan bukan Ata, yang
menjalani pembalasan ini. Karena yang tersakiti adalah saudaranya, maka akan
lebih menyenangkan jika kisah pembalasan ini dilakukan bersama-sama dengan
saudara dari orang yang menyakiti hati Kirana. Bukannya impas?
Bram sudah siap melakukan pengecekan.
“Bisa kita mulai.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Ari,
yang entah sejak kapan sudah bersiap di motornya. Dirinya sudah siap. Bahkan
lebih dari siap. Dipandangi satu persatu wajah orang-orang yang hadir
mendukungnya. Ridho, Oji, Fio.... dan Tari. Tari yang sejak tadi hanya terdiam.
Tari yang terlihat menggigil. Tari yang pucat. Tari yang pada wajahnya tidak
menyiratkan apapun selain kehampaan. Pada wajah itu, Ari tersenyum. Senyum
pertama sejak ia memutuskan untuk menyerah atas gadis itu.
Dan... pertandingan pun dimulai!
Kedua motor sport yang dikendarai oleh Ari dan Angga melaju kencang melintasi
area balap yang awalnya hanya lurus, namun menjelang pertengahan lintasan
terdapat banyak tikungan tajam. Sejauh apapun motor-motor tersebut melaju,
keduanya masih dalam jarak pandang.
Angga melaju rapat di sisi Ari. Keduanya
terlihat sangat berkonsentrasi. Ari berusaha mendahului. Ditariknya gas
motornya agar ia melesat lebih kencang. Sayang, perhitungannya kurang matang.
Beberapa detik lagi Ari akan menemui tikungan yang tajam ke kanan. Sebelum
semakin terlambat, ditekannya rem kuat-kuat.
Namun...
Tidak berfungsi!
Sementara Angga sudah tertinggal di
belakangnya, Ari terus mencoba menekan remnya kuat-kuat. Nihil!
Sebelum ia sempat merutuki nasib,
motornya telah membentur pagar pembatas yang menandakan tikungan. Bak kejadian di film action, motor yang dikendarai Ari
terpental melayang sebelum akhirnya jatuh berdebum dan menyeret tanpa awak. Si pengendara
yang terlempar beberapa
meter, terjatuh di pinggir lapangan rumput dekat lintasan kemudian… menggelepar.
Demi melihat terpentalnya Ari dari
motor, semuanya hanya bisa mematung. Dan yang bereaksi pertama... tentu saja
Tari.
“KAK ARIIIIII!!!!”
Dengan kalap, Tari berlari ke tempat
dimana Ari terjatuh. Tak peduli jaraknya sejauh apapun, tak peduli segala
sumpah serapah yang keluar dari mulut Oji, ataupun tindakan pertama yang Ridho
lakukan dengan mengambil sedan putihnya untuk mengangkut Ari.
Semuanya berlarian menghampiri Ari, yang
saat dihampiri... Badannya bersimbah
darah! Darah keluar dimana-mana. Mulut, hidung, telinga dan bagian tubuh Ari
lainnya
yang tergores. Matanya
terpejam.
Badannya menggelepar seperti
ikan yang ditaruh di darat.
Raka dan
Oji berteriak dan memaki entah siapa, untuk menahan tangis mereka yang akan
tumpah. Ata hanya bisa mematung sementara Gita memeluknya erat. Ridho, tangannya
memegang setir namun badannya berguncang hebat. Tari menangis histeris seraya
memeluk badan yang bersimbah darah tersebut. Sama sekali ia tidak mau
melepaskan pelukannya. Baru menurut ketika Fio – yang juga tergugu –
membujuknya lembut untuk melepas peluknya agar Ari bisa diangkut di mobil
Ridho.
Angga, yang telah memarkir motornya dari
posisi yang tak jauh dari tempat mereka start,
akhirnya tersenyum puas. Rasakan!!!
-PRINCESS-
yaaaah.. ari berdarah-darah lagi.. :(((
ReplyDeleteiyaa demi menyembuhkan hati angga yang terluka :'(
DeleteAnjiiirrrr :"""( lanjutannya kak :( :(
ReplyDeletesegera meluncuuurr tunggu yaa :')
Deleteyaaah,tuhkan menggalau lagiii..nangis lgi deh U.U
ReplyDeleteditunggu part selanjutnya...
*sodorin tissue* hihi sabar yaaahh :)
Deleteaaaahhh galau aku kaaaaaaakkkkkkkk :'(
ReplyDeleteaaaaaakkk samaaa ikutan galau juga jadinyaah :'(
Deletetolong banget kasih pelajaran yang berat dan sakit banget buat angga.
ReplyDeleteiya tuh angga tegaan banget ke ari padahal kirana kan udh ikhlas :'(
Deleteangga jahat banget si:( aaah ariiiiiiiiiiiiiiiii:'(
ReplyDeleteuntuk menyembuhkan luka hatinya say :'(
Deletekalo aku ketemu angga , udh aku gebukin kali tu orang....
ReplyDeletekaaa ari ennga akan matii kan ?? ;'(
wow . hehehe gimana yaaa liat part 17 nya deeh ;)
Deleteangga sialan! brengsek! iiiiiiihhhhhh....kalau disini ada angga sudah gue mutilasi dan mayatnya gue bakar sampe jadi abu
ReplyDeletesabaaaar, marah ga akan menyelesaikan masalah! *lho* hehehe :D
Deletewuaaaaaaaaa nangis lagi
ReplyDeleteata tolongin dong kembaran lo
kasian.............. T.T
angga memang brengsek kamu..... sialan
waduh. hahaha. demi menyembuhkan hati2 yang terluka ;)
Deletemoter memang media yg pas buat mencurankan emosi yg tidak terkendali. Tapi cara lo menceritakan balapan motor kurang pas.
ReplyDelete