Tuesday, October 1, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #16

Ari dan Angga. Keduanya berhadapan dengan tatapan ingin membunuh orang yang berada di depannya. Genderang perang telah berbunyi. Dan tidak ada jalan untuk menariknya kembali. Dari peperangan ini, semuanya tidak bisa lari.
Kemudian, dengan langkah gontai kedua pentolan Brawijaya tersebut pergi dari Airlangga.
Merasa semua urusannya sudah selesai – ditambah lagi bel masuk yang telah berbunyi nyaring – Ari turut melangkahkan kakinya menuju kelas. Namun teriak kekhawatiran dari Ridho menahannya.
“Jangan pernah lo dateng memenuhi tantangannya Angga! Tu orang pasti punya niatan busuk, Ri!!”
Ari tertawa datar. “Kenapa lo masih nguatirin gue, sih? Kan udah gue bilang, jangan pernah ninggalin Ata.”
“Ari!”
“Masalah tantangan dari Angga... Itu urusan gue.”
Ridho meremas rambutnya sendiri, jengkel dengan sikap dingin orang yang masih dianggapnya sebagai sahabat. “Denger ya, gue mulai bosen sama kata-kata ‘ini urusan gue’ yang selalu lo lontarin. Sejak kapan lo selalu bertindak sendirian, hah?!”
“Sejak keluarga gue hancur berantakan,” desisnya. “Puas lo?!”
Bukan itu! Ridho tidak pernah bermaksud menyinggung ke arah itu, namun Ari malah menangkap yang sebaliknya.
“Woy, Kuya! Gue serius. Pikirin lagi. Balapan itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng –“
“Trus lo maunya gue tolak? Dan bikin Angga tertawa puas, makin aja dia ngeremehin gue, gitu? Mau negasin ke semua orang kalo gue lembek? Itu maksud lo?” Ari tertawa miris. “Iya, lah. Pasti itu.”
PLAKK! “Woy, Kuya!”
Ridho menatap Ari dengan tatapan terluka. Ia merasa tersindir. Malu, namun juga sakit hati. Segala akting pengkhianatan yang ia lakukan kemarin emangnya untuk siapa? Untuk apa?  Sebenarnya ia tidak suka dan tidak mau mengumbar yang sudah dia lakukan. Namun Ari ini sepertinya harus diberi penjelasan. Kesalahpahaman ini, semuanya harus diluruskan.
“Lo mau menyinggung tentang sikap gue kemarin dulu? Oke, gue jelasin!” Saat ini, emosi Ridho yang sedang menggelegak sangat kontras dengan sikap Ari yang cuek. Namun Ridho tetap bicara. “Lo tau kenapa gue deketin Ata? Supaya gue tau motifnya yang sebenarnya! Sodara macam apa yang tega nyakitin sodaranya sendiri?! Tapi gue sadar, kalo seb –“
Ari mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan agar Ridho berhenti bicara. Ia menghela napas. Sebenarnya ia tidak perlu penjelasan dan Ridho tidak perlu mengklarifikasi. Terlepas dari makarnya Ridho itu dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, Ari sama sekali tidak mempermasalahkannya. Baginya, jika hal itu membuat Ridho lebih baik, Ari akan berbahagia untuknya. Apalagi Ridho berlari ke sisi saudara kembarnya yang membutuhkan penopang seperti ia dulu. Ari berharap, Ridho dapat menjaga Ata seperti Ridho menjaganya.
Namun, tidak dapat ia pungkiri, kembalinya Ridho ke sisinya – terlepas apakah cowok itu benar melakukan makar atau tidak – sangat meringankan hatinya. Hanya saja, pagi ini Ridho perlu diingatkan bagaimana caranya ia “bekerja”. Lebih dari apapun, harusnya Ridho mengerti bahwa untuk saat ini, Ari sangat butuh pelampiasan.
Menanggapi tantangan Angga merupakan salah satunya.
“Akhirnya lo sadar kalo sebenernya apa yang terjadi di antara kami murni urusan pribadi!” tukas Ari tandas. “Begitu juga dengan masalah gue dan Angga. Oke? Gue masuk dulu.”
Ridho ternganga mendengar jawaban dingin yang keluar dari mulut Ari. Dilihatnya Ari kembali menutup hati. Ingin sekali rasanya Ridho menghujani Ari dengan tinjuan yang bertubi-tubi, sekadar untuk menyadarkan sahabatnya itu kembali. Namun, jika diingatnya lagi apa yang sudah Ari jalani dalam kehidupannya akhir-akhir ini, mati-matian Ridho menahan agar emosinya tetap terjaga.
“Tar, TARI!! Lo jelasin ke kunyuk satu itu, Tar!”
Tari, yang sejak kepergian Angga hanya diam mematung, terlonjak mendengar teriakan frustasi Ridho tersebut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, seakan berpikir keras mengenai apa yang ia akan jawab.
Setelah didera perang bertubi-tubi dan berakhir dengan kekalahan. Setelah ditusuk sana-sini tanpa bisa melawan sama sekali... Tari mengerti bahwa Ari butuh pengakuan. Agar sedikit saja ia mendapatkan kembali pridenya yang telah dinjak-injak. Dan mungkin, mungkin…  - muka Tari memerah karena memikirkan hal ini – setelah Ari mendapatkan kembali sisa-sisa kekuatannya… ia akan tersadar bahwa sebenarnya Tari tidak membutuhkan apa-apa dari Ari – kekuasaannya dan  kekuatannya – kecuali keberadaan cowok itu disampingnya. Hanya disampingnya.
Setelah melewati pergolakan batin yang rumit, akhirnya Tari angkat bicara. Dengan suara berat karena flu yang dideritanya, dan juga karena apa yang akan ia katakan nanti... Tari berjalan pelan. Menjauh, meninggalkan keduanya.
“Kalo emang lo mau trek-trekan sama Angga... Silakan. Gue nggak punya kewenangan untuk mencegah. Juga Kak Ridho.”
Semakinlah Ridho menganga, stres melihat kelakuan kedua zombie yang telah berjalan menuju kelasnya masing-masing.
*
Pada akhirnya, Tari tetap tidak memiliki tenaga yang cukup untuk mengerjakan ulangan kimia. Itu semua gara-gara kedatangan Angga. Tari sangat takut. Paranoid, malah. Perasaannya berkata… akan ada badai yang sangat besar menerpa mereka. Lagi.
Tari memang berhasil bertahan di ruang kelasnya, namun bukan untuk mengerjakan soal di hadapannya. Yang ia lakukan hanyalah menatap kosong entah kemana, dengan tangan yang sama sekali tidak melakukan aktivitas tulis-menulis. Bu Pur yang tidak sampai hati melihat muridnya nelangsa seperti itu akhirnya memutuskan agar Tari dibawa ke UKS saja ditemani Fio.
“Kalian ulangan susulan saja.”
Sebenarnya anak-anak sekelas ingin protes, namun nggak tega karena kondisi Tari yang seminggu belakangan benar-benar parah. Sudah tidak ada lagi yang sampai hati mencemooh Tari.
Fio akhirnya menuntun Tari keluar kelas, namun tidak ke UKS. Tempat tujuan mereka adalah gudang yang telah dinobatkan sebagai markas mereka berdua.
Disitulah, tangis Tari kembali pecah.
Sungguh, bukannya Fio jahat atau bagaimana. Tapi melihat Tari yang terus-terusan menangis seperti ini, Fio benar-benar nggak tega. Maka, disinilah batas kesabaran Fio. Diangkatnya wajah Tari dan... PLAK!
Kontan saja Tari terkejut karena mendapat tamparan dari Fio. Tamparan tersebut tidaklah terlalu kuat, namun efeknya menggentarkan sampai ke dasar hati terdalam!
“Sadar, Tar! Sadar!” Giliran Fio yang histeris, lebih untuk menutupi perasaan bersalahnya akibat menampar Tari. “Bukannya lo sendiri yang bilang, lo mau jadi kuat demi kak Ari? Bukannya lo sendiri yang bilang, udah cukup tangis-tangisan nggak berguna? Kenapa semuanya selalu lo langgar sekarang, Tar?!”
Ketika dilihatnya Tari mematung dan tak bereaksi, Fio melanjutkan kata-katanya dengan intonasi yang lebih lembut. “Gue disini, sebagai sahabat... Cuma mau ngingetin lo atas semua yang pernah lo janjiin bakal dilakuin dulu. Katanya lo mau kuat demi Kak Ari. Kalo elo sendiri melemah gini, apa Kak Ari juga bakal jadi kuat? Nggak, kan?”
“Tapi, Fi...” suara Tari tersendat-sendat. “Dia selalu menghindar...”
“Tapi bukan jadi alasan buat lo melemah, kan? Coba... sekarang ada apa lagi, sih. Tar?”
“Angga... Angga ngajak dia balapan, Fi. Gue takut. Tapi... tapi gue nggak nyegah dia. Gue malah nyuruh dia pergi –“
Fio menghela napas. Ternyata masih ada satu masalah lagi. Angga.
“Yaudah... Coba lo tenang dulu ya,” dirangkulnya sahabatnya itu dengan penuh empati. “Apa yang lo lakuin udah bener, kok... Lo udah ngedukung Kak Ari. Tapi, lo jadi punya pe-er, Tar...”
Benar. Tari jadi punya pe-er baru. Yang harus segera ia selesaikan. Meskipun ia benci melakukan hal ini, tapi setidaknya... Patut untuk dicoba. Agar masih ada bagian dari dirinya yang tersisa untuk membantu Ari. Walau tidak dengan berjalan bersisian di samping cowok itu.
*
Siang ini Brawijaya kedatangan tamu istimewa. Sangat istimewa sehingga menimbulkan keributan. Bagaimana tidak, mereka sangat takjub melihat seorang gadis yang memakai bed sekolah musuh, dengan gagah berani berdiri di depan pintu gerbang.
Memang, hubungan Airlangga-Brawijaya sudah membaik. Namun, seperti kata salah satu sitcom di sebuah stasiun TV swasta, nggak gitu juga, kali! Permusuhan antara dua sekolah itu telah berakar, diturunkan entah dari berapa generasi. Keberadaan gadis itu dianggap sebagai tantangan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan – pengkhianatan Airlangga, misalnya, beberapa orang berinisiatif memanggil Panglima Perangnya dan menyeretnya untuk melihat sendiri ‘tantangan’ yang terpampang di pintu gerbang.
Jika tadi Angga yang dengan seenaknya melenggang di SMA Airlangga, maka sekarang dirinya justru terbengong-bengong karena melihat kedatangan Tari – sendirian – di SMA Brawijaya.
“Tari?!”
Segera Angga menyeret Tari menuju taman sepi yang terletak di belakang SMA Brawijaya untuk meminimalisir mulut-mulut usil yang suka mengambil kesimpulan sembarangan. Rahang Angga mengeras. Ditahannya mati-matian hasrat untuk memeluk gadis yang berada dalam gandengannya ini. Yang tangannya dingin dan mukanya sangat pucat.
Melihat Tari yang sepertinya tidak punya inisiatif untuk melakukan apapun kecuali menjadi arca batu, Angga dengan hati-hati mendudukkan cewek itu di sebuah bangku, sebelum kemudian mengambil duduk di sebelahnya.  Ditatapnya wajah Tari lekat-lekat, dengan rakus, seakan tidak mempunyai kesempatan untuk menatap wajah gadis ini keesokan hari.
Angga mengambil napas dalam-dalam, menyembunyikan kegetiran hatinya. Gadis yang berada di sampingnya ini lemas dan lunglai. Pucat dan tampak tidak sehat. Dan baru Angga sadari, berat badan gadis ini telah merosot tajam semenjak terakhir Angga melihatnya secara jelas. Angga shock. Kini, setelah dilihatnya Tari dengan lebih seksama... Cewek itu jelas hancur! Tak ada keraguan atasnya. Namun, dibalik kehancuran hatinya, Angga melihat cewek ini masih menyimpan harapan, walau sangat kecil.
“Gue... mau bicara sama elo,” Agak tersendat, gadis itu akhirnya berucap memecah keheningan. Suaranya bergetar, namun memaksa untuk mengucapkan setiap kata sejelas mungkin, setegas mungkin.
Setelah beberapa detik ketercengangan, Angga akhirnya tersadar. Ia mengerti tujuan Tari datang menemuinya.
“Ari yang ngutus elo?” tanya Angga sinis dan agak sakit hati. Ia belum bisa memastikan sakit hatinya ini karena gadis yang berada di sampingnya ini selalu saja menjadi perisai Ari dan menghambat ruang gerak Angga, atau karena gadis ini telah berlari pada punggung orang yang sangat amat dibencinya.
“Dia bahkan nggak tau kalo gue kesini,” Tari menjawab datar, kemudian ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Apa yang sebenernya lagi lo rencanain, Ga?”
Angga menghela napas panjang. Hatinya sedang bergulat, karena gadis di hadapannya ini. “Semuanya udah jelas. Nggak ada yang perlu gue jelasin lagi.”
“Bohong!” Sergah Tari murka. “Lo... Ngerencanain sesuatu yang berbahaya!”
“Makanya, datang ke gue, Tar! Supaya lo bisa terhindar dari bahaya tersebut!”
Teriakan Angga juga mengandung kesakitan yang mendalam, walau mungkin nggak akan sama bila dibandingkan dengan yang sedang Tari rasakan. “Setidaknya, gue nggak bakal bikin lo tersiksa batin kayak gini...”
“Lo yang pergi, dan lo juga yang datang terlambat...” Tari mendesah lemah. “Harus berapa kali gue tegasin ini, sih?”
“Kalo gitu... biarin Ari menjalani tantangan dari gue,” Angga berujar final. “Apa yang akan terjadi disana, serahkan semuanya pada nasib.”
Angga bangkit dari duduknya, bersiap meninggalkan Tari. Sebelum gadis itu sempat menahannya, Angga langsung menambahkan kalimat penegas.
“Nggak, Tar. Gue nggak akan merubah pikiran lagi tentang tantangan ini.”
Sia-sialah kedatangan Tari ke Brawijaya. Yang ada, Angga malah semakin terluka dan semakin besar tekadnya untuk melaksanakan balap motor tersebut.
*
Seorang ibu memiliki insting yang begitu kuat atas anak-anaknya. Sekecil apapun perubahan sikap anaknya, seorang ibu pasti akan menyadarinya.
Mama dari kedua kembar menyadari, anak-anaknya saat ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Keduanya seperti saling menghindar satu sama lain. Apalagi, beberapa minggu terakhir ini Ari jarang tidur di rumahnya. Juga berbagai keanehan lainnya.
Jika Ari ada di rumah, maka Ata tidak akan pernah terlihat di rumah. Sebaliknya, jika Ata sedang di rumah, Ari lebih memilih untuk langsung berpamitan pergi ke tempat lain. Mama sampai pusing dengan keanehan sikap kedua mataharinya itu.
“Mama jangan khawatir,” ucap Ari pada suatu ketika, saat ia coba mengorek keterangan. “Kami baik-baik aja, kok.”
“Benar, Ari sama Ata baik-baik aja? Nggak lagi berantem, kan?” pertanyaan cemas dari mamanya membuat Ari tertawa geli.
“Kami kan bukan anak SD lagi, Ma. Yang kalo berantem trus ngambek lamaaa banget. Yah... Biasa deh, Ma. Persoalan lelaki,” Ari menjawab dengan memasang mimik muka selucu mungkin, mencoba menghilangkan kegundahan hati sang mama.
Ari perlu menenangkan hatinya, demi menghadapi jadwal balapan dengan Angga yang semakin dekat.
Dan, menenangkan hatinya berarti juga menenangkan hati sang mama, agar menghilangkan kecurigaan pada sikap anak-anaknya yang memang sedang dirundung permasalahan serius.
*
Kantin kelas dua belas. Ata duduk sendirian disana, dengan sebelah tangan memegang rokok. Sudah sangat lama sejak Ata memutuskan untuk tidak merokok. Namun, kejadian akhir-akhir ini membuatnya kembali memasok tubuhnya dengan nikotin.
Kata-kata Gita saat itu selalu ia pikirkan, hingga kini. Kata-kata yang menohoknya dengan keras, namun mati-matian ia lakukan penyangkalan dan pembenaran. Ingin sekali rasanya Ata berteriak, Gita salah!
Apa semua orang selalu hanya melihat Ata sebagai orang yang bersalah? Apa nggak ada yang bisa melihat kalo dirinya juga hancur?
Miris. Bahkan setelah segala sabotase, konspirasi dan skenario yang telah ia susun dengan begitu rapi dan sempurna umtuk menjatuhkan kembarannya itu... kini kembali Ari yang menjadi pemenangnya. Ari yang baik. Ari yang menderita. Lagi-lagi… Ari!
Ata tidak pernah – sekalipun tidak pernah – mendapatkan sahabat seperti Ridho. Yang sangat memerhatikan detail terkecil dari sahabatnya. Yang begitu setia, yang mengobservasi dengan teliti, yang merengkuhnya saat jatuh. Tidak. Kesibukannya menjaga Ari membuatnya tidak sempat memikirkan hal-hal remeh seperti hubungan pertemanan. Bahkan hingga kepindahannya ke Malang saat SMA. Keberadaan Ridho disampingnya membawa secercah harapan untuknya. Bahwa ternyata Ata bisa memiliki teman yang begitu setia. Namun ketika kenyataan terungkap bahwa ternyata Ridho hanya mata-mata, bagaimana ia tidak murka? Karma… benar-benar memukulnya tepat di wajah.
Ata tidak pernah bermaksud menghancurkan segalanya. Target Ata jelas, hanya Ari! Bahkan Tari pun, sebelum ia memulai ini semua, sudah ia peringatkan. Namun gadis itu memilih maju, memilih pasang badan untuk melawan dan melindungi. Ata sudah pernah memperingatkan Tari.
Makanya Ata tidak pernah sekalipun melarang Tari berjuang bersama Ari, sebenarnya agar... ia sendiri bisa memperlunak sikapnya. Agar apa yang ia lakukan masih masuk dalam batas kewajaran.
Sewajar-wajarnya, segini saja sudah membuat semua pihak tersakiti. Dan dikira mereka semua, dirinya tidak ikut tersakiti?
“Kak Ata...” Gita menyapanya pelan.
Kedatangan Gita memaksa Ata untuk mengendurkan ketegangan di wajahnya. Kepada gadis yang beberapa hari ini membayangi langkahnya, kepada gadis yang tanpa rasa takut sedikitpun berada disampingnya, kepada gadis yang mati-matian berusaha memahami tanpa menghakimi… ia menaruh beribu hormat. Karena hanya gadis ini yang tanpa kenal lelah tetap bertahan menghadapi dirinya dan segala ketidakjelasan perasaannya. Dan dalam diri gadis ini pula dilihatnya sebuah harapan, meski Ata sama sekali tidak berani berharap.
Gita menepuk bahu Ata pelan sebelum ia mengambil tempat duduk di samping Ata. Ata membenarkan posisi duduknya, memberikan tempat yang lapang bagi Gita untuk duduk.
Gita memilin rambutnya, khas Gita menunjukkan kegelisahannya. Ata hanya menatap Gita tanpa melakukan apapun. Beberapa minggu bersama gadis ini ia belajar bahwa gadis ini sangat pemalu dan tidak terbiasa mengungkapkan apa yang dipikirannya secara lugas. Beberapa minggu bersama gadis ini, dia belajar untuk bersabar menunggu Gita menyusun kata-katanya terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena kalau Ata main menyela begitu saja, Gita langsung menelan segala kata-katanya, tidak jadi berbicara.
Setelah menarik napas panjang, seakan mengumpulkan keberaniannya, Gita membuka mulutnya,“Balapan Sabtu nanti, apa Kakak –“
“Gue datang,” jawabnya lugas. “Pasti.”
Gita menggigit bibir bagian bawahnya. Ata salah paham. Bukan itu maksud pertanyaan Gita. Apa yang ia maksudkan adalah...
“Nantinya... Kakak ada dimana?”
Dimana? Pertanyaan itu yang sampai sekarang belum mampu Ata jawab. Kesal, ditekannya puntung rokok kuat-kuat ke meja kantin.
*
Setelah mengiyakan tantangan Angga, Ari segera bersiap diri sebaik mungkin tanpa membuang-buang waktu. Harus sebaik mungkin, karena ia tidak mau ditumbangkan lagi. Harga dirinya tidak mengizinkan. Karenanya, disinilah Ari. Berdiri di sebuah bengkel milik teman lamanya, Raka, untuk memeriksakan keadaan motornya.
“Gimana, Ka?”
“Oke, motor lo dalam kondisi prima. Siap untuk meluncur.”
“Yakin?”
“Weits, lo masih ngeraguin keahlian gue?”
Suara Raka yang terdengar tersinggung membuat Ari tertawa geli. “Bercandaaaa. Thanks,  ya.”
Raka melap tangannya yang berlumuran oli, sebelum kemudian mengambil duduk di samping Ari. Sudah mengenal Ari sejak kecil, sekali melirik pun Raka sudah tahu bahwa ada sesuatu yang salah dan berbeda. Apalagi ditambah rona wajah Ari yang terlihat lebih kelam, tubuhnya pun lebih kurus daripada biasanya.
“Ada masalah, Bro?”
Ari tersenyum, jenis senyum yang dipaksakan.
“Lusa... Temenin gue, ya? Jaga-jaga kalo motor gue kenapa-napa...”
“Emangnya ada apa?” Tanya Raka heran. Ari hanya menjawab dengan rangkulan yang terasa dingin.
*
Besok adalah hari dimana Ari akan menyambut tantangan dari Angga. Tari sudah menyiapkan hati sejak jauh-jauh hari. Tentang kejadian apalagi yang akan mereka jumpai di depan sana, Tari sudah menyerahkan semuanya pada Yang Maha Menentukan.
Hanya saja, hati Tari tidak berhenti merasa gusar. Makanya malam ini, Tari memutuskan untuk curhat dengan mamanya.
Mama sangat mengerti kecemasan hati Tari. Setelah dituntunnya Ari menuju jalan pulang, kini anaknya harus membantu Ari untuk memecahkan serangkaian masalah rumit lainnya. Mama merasa iba pada Ari. Lebih iba lagi pada takdir yang harus dipikul oleh Jingga Matahari-nya, yang menjadi medium bagi banyak hati yang terluka itu. Bahkan harus ikut terluka lebih dalam, seiring dengan proses penyembuhan yang perlahan tapi pasti mulai menampakkan khasiatnya.
Apa yang bisa mama lakukan sekarang hanyalah menenangkan hati anaknya. Karena, jika hati Tari sendiri tidak tenang, luka-luka baru bisa saja tercipta.
*
Hari penentuan!
Hari ini, sengaja Ari datang ke rumah mamanya pagi-pagi. Manja minta dibuatkan sarapan. Manja minta disuapin. Berkali-kali merangkul lengan ibunya, seperti yang sering ia lakukan saat masih kecil.
Air muka Ari terlihat sangat tenang. Pada wajahnya tidak terlihat beban sedikitpun, malah senyum sumringah tak pernah lepas dari wajahnya.
Tidak, Ari bertekad tidak akan merusak moodnya hari ini, setidaknya di depan Mama.
Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Masih terlalu dini, memang. Tapi Ari butuh persiapan lain selain persiapan mental. Ia harus memahami medan perangnya nanti. Belum lagi berkonsultasi dengan Raka, sekaligus melakukan pengecekan terakhir atas kesehatan motornya.
Karena Ari sudah bertekad. Apapun alasannya, hari ini ia akan tetap maju dengan gagah. Kalah, apalagi mengalah, tidak ada dalam tujuan hidupnya kali ini. Apalagi mengalah pada orang yang menaruh amarah padanya tanpa alasan yang jelas.
“Ma...” Ari menyapa pelan mamanya yang sedang asyik merajut. Seketika mama menolehkan kepalanya.
“Ari mau pamit.”
“Lho... Kamu mau kemana?” tanya mama heran. Ari menjawab dengan senyum tenang.
“Ari mau main, Ma. Biasa, anak muda.”
Mama ikut tersenyum. Namun, hatinya merasa gusar. Apa ini? Kegusaran yang tak terpahami.
Ari mengecup punggung tangan mamanya dengan khidmat, dan lama. Menaruhkan harapan serta doa disana, berharap kali ini Tuhan tidak mengajaknya bermain lagi.
“Doain Ari ya, Ma. Semoga mainnya sukses, gitu,” Ari tertawa geli. “Dah, Mama...”
*
Ata menyaksikannya dari celah pintu kamarnya. Ari sudah pergi.
Sedang dirinya? Sampai saat ini belum mengambil keputusan.
Ada dimana? Di posisi mana kali ini lo berdiri?
Mendalangi kejadian-kejadian yang membuat kembarannya itu jatuh dan terpuruk sama sekali tidak membuat perasaannya merasa puas. Membalas sakit hatinya yang berakar ternyata tidak meringankan hatinya. Malah, kejadian demi kejadian membuatnya menorehkan luka yang baru, membuat hatinya makin tersayat.
Pada setiap kejatuhan dan keterpurukan yang Ari dapatkan, Ata menemukan hatinya serasa diremuk. Pada setiap luka yang ditorehkan pada kembarannya, mata pisaunya mengiris hatinya jauh lebih tajam. Pada setiap hati yang ia hancurkan, serasa dadanya dihunus pedang.
Perang ini juga menyakitinya. Perang ini… perang yang tidak dapat ia menangkan. Karena yang dihadapi adalah orang yang sembilan bulan telah berbagi rahim sang ibu  dengannya. Perang ini adalah perang yang tidak dapat ia menangkan. Karena yang dihadapinya adalah cermin!
Namun mengingat sakit hati itu… luka itu… jalan terjal yang harus dihadapi… Ata jadi ragu.
Ada dimana? Posisi mana kali ini lo berdiri?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di otaknya, membuatnya sakit kepala. Gusar, diambilnya ponselnya dan dihubunginya satu nomor.
“Git?” sapanya serak. “Kita pergi bareng, ya. Lo siap-siap. Gue otewe ke rumah lo.”
*
Ruang tamu rumah Tari beralih fungsi menjadi tempat transit. Oji, yang sudah lama tidak berkumpul Ridho plus dua gadis yang bisa ia goda menyambut pertemuan dengan sangat bersemangat. Atmosfernya memang panas dan tegang. Namun Oji berprinsip, selagi bersama, gunakan waktu sebaik mungkin untuk quality time!
Tapi harapan hanya harapan. Asumsi Oji itu, kalau tidak bisa dibilang bodoh, sangat berlebihan. Bahkan pemakaman lebih ramai daripada suasana di ruang tamu rumah Tari sekarang. Tidak ada yang berbicara, semuanya hanya menunjukkan raut wajah tegang – Tari, Fio dan Ridho. Hanya Oji yang berusaha rileks, berusaha melucu... Tapi gagal total.
Percuma.
Ketiga orang di hadapannya sedang menjelma menjadi arca batu. Hanya diam memandangi satu titik dengan wajah datar dan pucat. Padahal, apa yang mereka pikirkan sama dengan apa yang sedang Oji pikirkan.
“Udahlah...” ujar Oji pada akhirnya seraya bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tari. “Bermuram durja kayak gini nggak bakal menghasilkan apa-apa. Justru kita harus rileks, kita harus semangat, supaya Ari ntar bawa motornya konsen. Kalo muka kalian semua kayak zombie gitu, kalian pikir itu bisa bikin Ari menang tanpa tergores, apa?!”
Masuk akal. Fio yang pertama kali merespon kalimat Oji tersebut.
“Bener, Tar. Kita yang harusnya bersemangat! Kita yang harusnya kuat! Demi Kak Ari!”
Demi Kak Ari.... Kalimat itu hanya menggaung di relung hati Tari.
*
Arena 21, pukul 00.45.
Angga sudah bertengger manis di motornya bersama Bram. Di sebelahnya, Ari sedang mengamati Raka yang sekali lagi mengecek motor hitam milik Ari.
“Oli udah diganti. Mesin oke. Rem pakem. Jari-jari oke. Ban prima. Motor lo udah siap tempur,” ujar Raka sekali lagi. Melihat raut wajah suporter yang kaku, Raka dapat menebak bahwa ini bukanlah balapan biasa.
Suporter yang dimaksud oleh Raka adalah... siapa lagi kalo bukan Tari, Fio, Ridho dan Oji. Fio hanya berdiri di samping Tari seraya merangkul sahabatnya itu, takut tiba-tiba Tari pingsan karena kondisi tubuhnya yang masih lemah. Sementara Ridho dan Oji sedang galau, hanya mondar mandir antara tempat Tari berdiri dan Ari. Ingin mendekati Ari, namun takut cowok itu kalap atau menjadi tidak fokus.
Akhirnya, beberapa menit sebelum pukul satu dini hari, dua orang lagi datang ke Arena 21.
Ata dan Gita.
Senyum sinis Angga langsung tercetak lebar, sementara Bram hanya menatap keduanya dengan muka datar. Namun, baik Ata maupun Gita tidak mengambil posisi di dekat Ari atau juga di dekat Angga. Keduanya memilih netral.
“Akhirnya lo datang juga, Ta,” sapa Angga sok akrab. “Bentar lagi permainannya dimulai. Lo datang tepat waktu.”
Ata tidak menanggapi pentolan Brawijaya tersebut. Dilihatnya Angga melirik Bram yang sedang mengecek motor kedua “kontestan” dengan lirikan kemenangan. Ada firasat buruk yang menggerayap, namun tidak ia hiraukan. Ini efek tegang. Begitu ia menghibur dirinya sendiri. Ditariknya Gita agar lebih merapat untuk dipeluk,  sekadar menenangkan kegundahan yang tiba-tiba muncul.
“Sebelum kita mulai, Ri... Ada yang harus gue sampein.”
Ari menatap Angga seraya memicingkan mata. Begitupun dengan Ata. Skenario ini… sama sekali tidak terduga. Apakah Angga ingin membuat pidato intimidasi? Apa ini adalah bagian dari rencana?
“Gue mau minta maaf.”
Apa yang keluar dari mulut Angga tak ayal membuat Ari terheran-heran. Angga, minta maaf? Untuk apa?
“Gue minta maaf karna selama ini selalu menyerang lo tanpa alesan. Tapi sebenarnya... justru sangat beralasan.” Angga menggenggam erat stir motornya untuk menahan emosi. “Waktu kita SMP dulu, Ri. Lo pernah liat adek kelas kita yang kakinya pincang? Pernah?”
Ari menggeleng ragu-ragu. Sedangkan Ata malah menegang, tangannya mencengkram bahu Gita erat. Angga melanjutkan ceritanya.
“Gadis itu... Namanya Kirana. Ata pasti tau siapa dia,” Angga menyunggingkan seringai sinis. “Gadis itu sekarang di luar negeri. Tau alesannya kenapa?”
Pertanyaan itu tidak lagi ditujukan pada satu orang, namun pada Ari dan Ata sekaligus. Seketika Ata membeku di tempat.
“Gadis itu... ditolak cintanya sama elo, Matahari Senja!”
Ari, yang merasa sama sekali tidak tahu tentang hal tersebut langsung membantah, “Bentar, gue nggak ngerasa –“
“Emang nggak!” Potong Angga kasar. “Lo emang nggak pernah secara langsung menolaknya. Tapi kembaran lo itu... DIA NGEROBEK SURAT YANG ADEK GUE BIKIN KHUSUS BUAT ELO!! Ya, Kirana itu adek gue, asal kalian semua tau!!”
Bagai petir yang menyambar di tengah sunyinya arena balapan tersebut. Ata terduduk sempurna di tanah. Sementara Ari... masih berusaha mencerna informasi ini. Ditatapnya Angga dengan pandangan tidak mengerti.
“Asal lo tau, Ri,” kali ini suara Angga melengking tak terkendali. “Kirana suka banget sama lo. Bahkan sampe taraf memuja! Cuma karena lo pernah nolongin dia waktu SMP. Tapi kembaran lo itu, yang waktu SMP selalu nguntit kemanapun lo pergi, bikin adek gue jadi patah hati!! Karena Ata, yang dikira adek gue adalah elo, ngerobek surat yang Kirana kasih tanpa sekalipun dibaca isinya! Tanpa penjelasan! Tanpa klarifikasi!
Satu fakta lain yang membuat Ari akhirnya ikut tersungkur. Ata? Mengikuti dia? Dipandanginya wajah pias saudara kembarnya, yang kini telah didekap oleh sepupunya Angga. Shock!
Fakta bahwa Kirana adalah adik dari orang yang selama ini berkomplot dengannya untuk menggulingkan Ari benar-benar membuat otaknya kosong. Pantas saja! Pantas saja Angga jadi berubah setelah ia bercerita tentang si Gadis Pincang! Ata memandangi Gita dengan wajah pucat.
“Lo... udah tau?” Gita hanya mengangguk tanpa suara. Semakin membuat Ata lemas! “Dan lo... nggak ngasih tau gue?”
Maaf, Kak... Bahkan untuk menyuarakan kata itu saja, Gita sudah tidak sanggup. Ia speechless. Tega sekali sepupunya itu membocorkan fakta ini saat sebelum mereka bertanding. Untuk apa?!
Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Ari berjalan pelan menuju Ata. Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Ari mengajukan pertanyaan yang paling ia ingin dengar langsung dari mulut Ata.
“Bener, waktu kita SMP, lo... Lo masih...?”
Ari tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Namun, anggukan pelan dari Ata justru menjawab segalanya. Mendadak hati Ari terasa mencelos.
Ternyata benar. Ternyata selama ini Ari tidak berhalusinasi. Ternyata rumor yang Ari dengar juga benar.
Saat SMP dulu, Ari sering mendapat laporan tentang kemunculan dirinya di berbagai tempat, kebanyakan tempat musuh. Padahal, Ari tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di daerah lawan kecuali memang keadaannya sangat mendesak. Ternyata... jawabannya baru tersaji bertahun-tahun kemudian!
“Udah, cukup klarifikasinya!!” Angga kembali bersuara dengan lantang. “Sebenernya gue nggak terlalu merasa bersalah ke elo, karna emang lo sumber masalahnya, dan kembaran lo itu yang meledakkannya! Gue yakin, kalian pasti akrab dengan yang namanya rasa sakit. Balas dendam atas tersakitinya orang yang kalian sayangi. Saudara kalian. Well...
Angga menstarter motornya.
“Tolong, Ri. Sebagai orang yang pernah sangat dicintai oleh adek gue, tolong penuhi keinginan gue supaya kelakuan Kakak kembar lo itu... termaafkan!”
Ata langsung bangkit menghampiri Angga, meski jalannya agak terhuyung. Fakta ini benar-benar mengguncangnya.
“Ga! Lo jangan seenaknya aja! Ini masalah pribadi gue sama elo, jangan bawa-bawa Ari!”
Angga tertawa getir. An eye for an eye, Ta! Lo sakitin adek gue… gue bales ke adek lo! Impas, kan?!”
Ridho, yang sejak tadi hanya terdiam saja melihat percakapan ketiga orang itu, tiba-tiba merasa ikut terbakar hatinya dan ingin angkat bicara. Mereka juga harus memahami bagaimana perasaan Ata saat menyakiti Kirana dua tahun silam. Karena disana, Ata bukan hanya merobek hati Kirana, namun juga hatinya sendiri!
“Tapi sebenernya Ata –“
Ucapan Ridho itu dipotong Ata dengan isyarat tangan yang menyuruh Ridho untuk tutup mulut. Ata memang salah dan Ridho tidak perlu mengajukan pledoi untuknya. Dengan badan yang dipaksa berdiri tegak dan wajah yang dipaksa untuk tenang, ia menghampiri Ari.
Siniin kontak lo.”
Ari menggeleng, menggenggam erat kontak motornya, mengisyaratkan jangan harap gue bakal kasih dengan sukarela. Karena Ari sangat paham. Begitupun dengan semua – termasuk Ata yang sebenarnya tidak rela – yang mendengar permintaan Angga barusan.
Pada akhirnya, ini semua adalah urusan hati. Urusan bagaimana menyembuhkan hati dengan cara melukai hati yang lain. Dan hati yang terluka di depannya ini... menuntut dirinya langsung yang turun agar sakitnya segera hilang. Agar balas dendam ini segera berakhir.
Angga menuntut Ari, dan bukan Ata, yang menjalani pembalasan ini. Karena yang tersakiti adalah saudaranya, maka akan lebih menyenangkan jika kisah pembalasan ini dilakukan bersama-sama dengan saudara dari orang yang menyakiti hati Kirana. Bukannya impas?
Bram sudah siap melakukan pengecekan.
“Bisa kita mulai.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Ari, yang entah sejak kapan sudah bersiap di motornya. Dirinya sudah siap. Bahkan lebih dari siap. Dipandangi satu persatu wajah orang-orang yang hadir mendukungnya. Ridho, Oji, Fio.... dan Tari. Tari yang sejak tadi hanya terdiam. Tari yang terlihat menggigil. Tari yang pucat. Tari yang pada wajahnya tidak menyiratkan apapun selain kehampaan. Pada wajah itu, Ari tersenyum. Senyum pertama sejak ia memutuskan untuk menyerah atas gadis itu.
Dan... pertandingan pun dimulai!
Kedua motor sport yang dikendarai oleh Ari dan Angga melaju kencang melintasi area balap yang awalnya hanya lurus, namun menjelang pertengahan lintasan terdapat banyak tikungan tajam. Sejauh apapun motor-motor tersebut melaju, keduanya masih dalam jarak pandang.
Angga melaju rapat di sisi Ari. Keduanya terlihat sangat berkonsentrasi. Ari berusaha mendahului. Ditariknya gas motornya agar ia melesat lebih kencang. Sayang, perhitungannya kurang matang. Beberapa detik lagi Ari akan menemui tikungan yang tajam ke kanan. Sebelum semakin terlambat, ditekannya rem kuat-kuat.
Namun...
Tidak berfungsi!
Sementara Angga sudah tertinggal di belakangnya, Ari terus mencoba menekan remnya kuat-kuat. Nihil!
Sebelum ia sempat merutuki nasib, motornya telah membentur pagar pembatas yang menandakan tikungan. Bak kejadian di film action, motor yang dikendarai Ari terpental melayang sebelum akhirnya jatuh berdebum dan menyeret tanpa awak. Si pengendara yang terlempar beberapa meter, terjatuh di pinggir lapangan rumput dekat lintasan kemudian… menggelepar.
Demi melihat terpentalnya Ari dari motor, semuanya hanya bisa mematung. Dan yang bereaksi pertama... tentu saja Tari.
“KAK ARIIIIII!!!!”
Dengan kalap, Tari berlari ke tempat dimana Ari terjatuh. Tak peduli jaraknya sejauh apapun, tak peduli segala sumpah serapah yang keluar dari mulut Oji, ataupun tindakan pertama yang Ridho lakukan dengan mengambil sedan putihnya untuk mengangkut Ari.
Semuanya berlarian menghampiri Ari, yang saat dihampiri... Badannya bersimbah darah! Darah keluar dimana-mana. Mulut, hidung, telinga dan bagian tubuh Ari lainnya yang tergores. Matanya terpejam. Badannya menggelepar seperti ikan yang ditaruh di darat.
Raka dan Oji berteriak dan memaki entah siapa, untuk menahan tangis mereka yang akan tumpah. Ata hanya bisa mematung sementara Gita memeluknya erat. Ridho, tangannya memegang setir namun badannya berguncang hebat. Tari menangis histeris seraya memeluk badan yang bersimbah darah tersebut. Sama sekali ia tidak mau melepaskan pelukannya. Baru menurut ketika Fio – yang juga tergugu – membujuknya lembut untuk melepas peluknya agar Ari bisa diangkut di mobil Ridho.
Angga, yang telah memarkir motornya dari posisi yang tak jauh dari tempat mereka start, akhirnya tersenyum puas. Rasakan!!!


 -PRINCESS-

19 comments:

  1. yaaaah.. ari berdarah-darah lagi.. :(((

    ReplyDelete
  2. Anjiiirrrr :"""( lanjutannya kak :( :(

    ReplyDelete
  3. yaaah,tuhkan menggalau lagiii..nangis lgi deh U.U
    ditunggu part selanjutnya...

    ReplyDelete
  4. aaaahhh galau aku kaaaaaaakkkkkkkk :'(

    ReplyDelete
  5. tolong banget kasih pelajaran yang berat dan sakit banget buat angga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya tuh angga tegaan banget ke ari padahal kirana kan udh ikhlas :'(

      Delete
  6. angga jahat banget si:( aaah ariiiiiiiiiiiiiiiii:'(

    ReplyDelete
  7. kalo aku ketemu angga , udh aku gebukin kali tu orang....
    kaaa ari ennga akan matii kan ?? ;'(

    ReplyDelete
  8. angga sialan! brengsek! iiiiiiihhhhhh....kalau disini ada angga sudah gue mutilasi dan mayatnya gue bakar sampe jadi abu

    ReplyDelete
    Replies
    1. sabaaaar, marah ga akan menyelesaikan masalah! *lho* hehehe :D

      Delete
  9. wuaaaaaaaaa nangis lagi
    ata tolongin dong kembaran lo
    kasian.............. T.T
    angga memang brengsek kamu..... sialan

    ReplyDelete
  10. moter memang media yg pas buat mencurankan emosi yg tidak terkendali. Tapi cara lo menceritakan balapan motor kurang pas.

    ReplyDelete