Wednesday, October 16, 2013

Second : Heart of Us #1

PROLOG
Menurut Erland:
“Kalo suka, perjuangin!”
Kata-kata itu gue print gede-gede di kamar, gue jadiin gambar latar di laptop, gue jadiin... Semua, deh, pokoknya. Supaya gue fokus sama apa yang gue kejar.
Dan sekarang, di penghujung masa SMA yang penuh petualangan ini, gue... Duh. Ingin melepas seragam SMA dengan indah. Seindah melepas status jomblo.
Target? Jelas udah ada, dong. Udah gue jadiin sasaran utama dari dulu, malahan, dari jaman culun kelas satu dulu. Sayang, nggak dapet-dapet.
Ralat.
Bukan nggak dapet-dapet, sih. Lebih karena... malu. Segan. Canggung. Kikuk. Errr... Gitu, deh.
Kata siapa jadi cowok enak, bisa dengan leluasa ngungkapin perasaannya? Cuma kata cewek! Beda sama yang dirasain oleh para cowok sesungguhnya. Kita, para kaum Adam, bisa banget ngumbar kata-kata manis sesukanya yah... selama nggak bawa hati. Lain ceritanya kalo ke cewek yang udah-nancep-di-hati-banget. Kikuk, dong! Pencitraan, dong! Salah melangkah dikit bisa-bisa kandas, gagal dipacarin. Semuanya butuh perencanaan yang matang... Menurut gue, sih.
Seperti ke cewek yang satu ini, yang udah berhasil bikin gue jumpalitan.
Pertanyaan terbesar gue dari sejak ketemu dia dan kepincut pesonanya sampe sekarang mau lulus-lulusan adalah: apa gue salah melangkah? Dia malah jadi nyaman banget sama gue sebagai temen yang selalu ada untuknya, yang selalu siap dengerin curhatannya dia, yang selalu hadir bantuin dia kapanpun dibutuhkan. Terjebak friendzone?
Bener sih, para cowok biasanya hati-hati melangkah di depan cewek yang dia suka. Kayak gue ini. Kelewat hati-hati malah jadinya... Makin susah untuk melangkah lebih jauh!
Itulah alasan kenapa gue harus bikin diri gue fokus dengan nge-print kata-kata “Kalo suka, perjuangin!” supaya gue kali ini berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh untuk ngedapetin cewek ituuu!
Eh, kebetulan. Lagi dikhayalin tiba-tiba orangnya lewat. Liat, tuh...
Kaki jenjangnya setengah berlari, rambut hitamnya yang panjang sepunggung jadi berkibar-kibar, matanya yang bulat sedang menyipit karena senyum yang tersungging di wajah tirusnya, dan semua itu... ditujukan ke gue. Iya, lah!
“Erland!”
Kalo kata gue sih, cewek cantik itu banyak. Banget. Yang muna juga banyak. Tapi yang ini, ah... Pengecualian. Dia, si pemilik kecantikan yang alami, yang aktif dalam berbagai organisasi dan nggak ngeluh kalo harus berjalan di tengah panas terik hujan badai dan berbagai gangguan cuaca lainnya. Tahan banting!
Dia, dengan sedikit ngos-ngosan langsung duduk di samping gue, plus membabat habis es teh manis yang sama sekali gue minum. Iya, nggak sopan. Tapi gue rela, ikhlas, pake masang muka bete dikit, yang cuma ditanggapi dengan cengiran tanpa dosa.
“Maaf, maaf. Haus banget nih lari-lari dari kelas cuma buat nyariin elo,” begitu pembelaannya. “Mau minta tolong.”
Cengirannya semakin lebar. Gemes! Gue udah tau apa arti ekspresi itu dengan sangat baik. Gue juga tau pertolongan macam apa yang dia minta. Keliatan banget dari buku kimia yang dipegang sama jari-jari lentiknya, kukunya yang terawat, kulit tangannya yang halus... Oke, fokus.
Kalian harus tau apa yang selalu gue lakuin kalo lagi gemes sama makhluk Tuhan yang satu ini: menyebutkan nama lengkapnya dan menyentil lembut kening yang tertutup poni itu. Mau tau nama lengkapnya?
“Hmm... Chalya Nadira!”
*


Kata Hati Chalya:
Ah... Dia melakukannya. Lagi. Selalu begitu setiap aku meminta bantuannya: menyebut nama lengkapku dan menyentilkan jarinya lembut di keningku yang tertutup poni. Kelakuan khasnya membuat cengiran tanpa dosa yang aku perlihatkan berubah jadi senyuman gugup.
Gugup? Jelas saja! Walau yang ada di hadapanku ini adalah cowok yang menyandang gelar sebagai teman, dekat pula, sejak pertengahan kelas satu SMA, sangat aneh sekali rasanya ketika ia melakukan hal-hal seperti ini. Sentilannya, senyum sok mengejeknya, sikapnya yang pura-pura malas dan menghindar tapi sebenarnya justru terlihat sungguh-sungguh... Cowok ini. Erland.
“Gimana?”
 Lihat gayanya! Tangan kanannya mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja, sedangkan tangan kirinya menopang kepala yang saat ini kedua pasang matanya menatapku dengan tajam. Kelakuan khas Erland setiap habis mengajariku. Kelakuan yang munkin dilakukannya secara refleks, namun selalu berhasil menghipnotisku. Karena, pada saat seperti ini, Erland selalu terlihat... Cakep. Iya, cakep.
Nggak masalah dong jika seorang teman berpendapat bahwa temannya itu cakep? Iya, kan?
“Chalya Nadira!”
“Aw!”
Yang selalu aku sesali setiap terpesona pada Erland adalah ini, respon yang terlalu lambat atas pertanyaannya. Yang tentu saja berakhir dengan sentilan di kening.
“Gue lagi mencerna semua yang udah lo jelasin tadi, ih...” sahutku jengkel. “Oke, Pak Guru! Gue udah ngerti. Makasiiiiih –“
Cepat-cepat kuambil buku yang ada di hadapan Erland supaya bisa langsung kabur, Tapi cowok itu malah menangkap pergelangan tanganku dan berkata, “Eits, mau lari kemana lo? Ini gue ngajarinnya nggak gratis!”
Khas Erland banget, ngajarin tapi pamrih! Yah... Nggak bisa disalahin juga, sih. Tapi kan teman. Sesama teman harus saling membantu, dong?
Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memasang tampang memelas, minta dikasihani. Walaupun percuma, sih, karena Erland nggak gampang luluh dengan sikap seperti ini. Yang akhirnya malah bikin menyerah.
“Iya deh nggak gratis. Mau ditraktir somay lagi? Atau bakso? Atau martabak?”
Erland tersenyum mendengar penawaranku. Bukan senyum jahil seperti yang biasa ia tunjukkan setelah berhasil membuatku pasrah begini, melainkan... Ah, gimana menjelaskannya? Senyum itu lembut. Senyum itu hangat. Senyum itu... sarat permohonan.
Perlahan, jemarinya yang mencengkeram pergelangan tanganku berpindah posisi, turun menggenggam telapak tanganku. Membuat aliran darah di jantungku berdesir pelan.
“Jadian, yuk?” ujarnya lembut, namun mantap. “Ribuan kali aku nyari momen yang pas untuk ngajuin diri jadi pacar kamu, dari kelas satu dulu, tapi nggak pernah ada. Sebelum semuanya lebih terlambat lagi, makanya... Jadian, yuk?”
Aku tahu Erland jujurnya. Matanya selalu menggambarkan setiap gejolak hatinya dengan sangat jelas. Aku juga tahu bahwa untuk gejolak hatinya yang satu ini, akulah yang sering menutup mata. Agar semua yang terjadi antara kami tetap normal. Selalu normal.
Walau... Saat-saat seperti ini justru juga sangat aku inginkan.
Erland mengelus tanganku lembut. “Gimana?”
Tidak ada salahnya untuk mencoba. Toh, aku dan Erland pasti bisa tetap bersikap normal seperti kami yang sebelumnya, aku yakin itu. Maka, dengan memasang senyum untuk menutupi kegugupan, aku menjawab tawaran dari Erland.
“Yuk, kita jadian.”
Kantin, yang entah sejak kapan sepi, tiba-tiba saja bergemuruh ramai menyuarakan kata selamat untuk kami!
“Ciyeeee ada yang jadian!”
“Akhirnya, Land! Pengejaran lo nggak sia-sia!”
“Emangnya tawanan?! Hahahaha...”
“Bisa kali, nama Chalya di hape langsung diubah jadi Chayang –“
“Aaaah alay lo! Hahahaha...”
Seruan-seruan itu tentu saja membuat wajahku memerah malu! Namun Erland malah berdiri dari duduknya dan menanggapi seruan-seruan itu dengan tak kalah hebohnya.
“Iya dong, mulai sekarang Chalya itu chayang gue! Lo pada jangan macem-macem yaa!”
“Oke, Booos!”
Hahahaha... Catat tanggal hari ini, ya. Selasa, 21 Februari 2012. Dua minggu sebelum ulang tahunku. Dua bulan sebelum ujian Nasional. 21-02-2012. Tanggal cantik untuk hari yang juga sangat indah bagi aku dan Erland.
*

Dari sisi Nadie
Oke. Kamu. Harus. Tahan. Emosi. Stay calm… Stay cool… Tarik napas perlahan… hembuskan. Ah, leganya…
Oke, oke. Aku bohong. Aku enggak lega. Badanku masih gemetaran. Rahangku masih mengatup, menutupi gigiku yang sedang bergemelatuk. Aku harap Mams melihatku, kemudian menyadari bahwa anaknya ini sedang emosi tingkat tinggi!
Namun harapan hanya harapan. Asumsiku sangat berlebihan, kalau tidak mau dibilang bodoh. Mams masih tetap asyik menatap layar laptopnya, dengan akun facebooknya terpampang disana. Mams sedang chatting dengan tanteku, adik kembar Mams, Tante Dhyta. Aku menghela napas. Betapa aku sangat menyesali mengenalkan jejaring social bernama facebook pada Mams, jika hasilnya akan seperti ini.
Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa reaksiku berlebihan menanggapi keautisan ibuku dengan facebooknya. Bukannya aku peduli bahwa ini sudah pukul 3 sore dan belum ada satupun makanan tersedia di meja makan. Bukannya aku peduli bahwa Mams sama sekali tidak mengepel rumah hari ini – gara-gara keasyikan chatting. Sungguh, bukannya aku peduli bahwa Mams terlalu asyik bermain Farmville dan chatting dengan tanteku sehingga sama sekali beliau tidak mempedulikan anaknya yang sedang kelaparan dan sangat lelah setelah menuntut ilmu seharian – ditambah bimbel, pula! Sungguh… sungguh!
Yang membuatku sebegini emosi sebenarnya… pertanyaan Mams barusan, setelah aku menyelesaikan ucapan salamku, pertanda aku sudah pulang sekolah. Bukan, Mams bukan menanyakan apakah aku baik-baik saja atau kegiatanku hari ini. Tetapi…
“Non, kamu kok belum punya pacar, sih?”
Pertanyaan itu, sungguh membuat dadaku serasa dipukul dengan godam keras-keras dari dalam. Membuat aku seketika kehilangan kemampuan motorikku dan terpaku beberapa saat. Pertanyaan itu sungguh enggak sopan!
Berbicara tentang ketidaksopanan, maafkan aku telah mengomel panjang lebar tanpa mengenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Clarissa Nadie, umur 17 tahun dan masih single. Bukannya aku belum pernah pacaran, tetapi kisah cintaku itu tidak terlalu baik sehingga aku merasa tidak ada gunanya untuk bercerita pada Mams. Dan semenjak putus dengannya sekitar tiga tahun silam, aku belum berminat untuk pacaran lagi.
Ya, ya. Mungkin orang-orang menilai bahwa aku sangat melankolis karena tidak bisamove on dari orang itu. Mengutip istilah lagu, mereka berkata bahwa aku adalah the girl who can’t be move. Pendapat mereka sebenarnya tidak terlalu salah juga. Sebut aku berlebihan, karena torehan luka karena putus cinta dengan orang itu – itu cinta pertama, pula – membuatku sangat amat trauma!
Bukan, bukan trauma yang sebegitunya sehingga aku merasa bahwa semua lelaki sama saja dan aku memutuskan untuk jadi lesbian saja. Tidak, bukan begitu. Sebenarnya aku trauma karena... dibilang jelek.
Sungguh. Kata-kata orang itu padaku ketika memutuskanku dua tahun yang lalu itu, sangat membekas di hatiku. Tidak pernah aku melupakannya. Lukanya masih menganga sampai sekarang. Sejujurnya… akupun tidak tahu apakah luka itu bisa sembuh atau tidak. Sebut aku berlebihan, karena kenyataannya memang begitu.
“Aku selingkuh bukan karena kamu jauh. Aku selingkuh bukan karena perhatianmu nggak cukup buat aku. Aku selingkuh… karena aku malu punya pacar yang nggak pantas disandingkan sama aku!”
Kata-kata itu bagai peluru tajam yang menghujam dada seorang anak yang belum lama meninggalkan masa ABG nya. Kata-kata itu membuatku sungguh kehilangan segala daya dan upaya bahkan untuk berbicara… dan menurunkan rasa percaya diriku di titik minus nol!
Bukan salahku kalau aku tidak hobby dandan seperti cewek-cewek kebanyakan. Bukan salahku jika aku lebih suka mengotak-atik gadgetku daripada mengotak-atik isi lemariku – yang membuat bajuku sungguh tidak up to date. Bukan salahku jika aku lebih memilih mempercantik website yang aku buat dengan Erik, sahabatku, daripada mempercantik wajahku. Bukan salahku bila kegiatan pacaran favoritku adalah nonton DVD bersama dirumahku, atau membaca komik bersama, daripada makan di luar atau ngemall.
Sungguh bukan salahku. Karena, toh aku pun tidak mempromosikan bahwa aku cantik, supel, ramah dan menyenangkan, agar orang itu mau berpacaran denganku. Aku tidak melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Dia saja yang tiba-tiba tertarik denganku karena katanya waktu itu, aku alami. Huh. Alami my ass!! Alami tidak membantuku untuk mempertahankan pacar pertamaku. Alami tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai alasan untuk bertahan dengan gadis nerd yang cranky, culun dan sangat membosankan sepertiku.
Aku sakit hati. Karenanya aku bersumpah untuk tidak pacaran. Setidaknya, sampai aku menemukan ada lelaki yang benar-benar ingin bertahan denganku, tanpa berkata bahwa aku harus memantaskan diri untuk bersanding dengannya. Halah.
“Non. Ditanyain kok diem aja.”
Teguran Mams barusan membuyarkan lamunanku yang sudah terlampau jauh. Aku mendengus. Lihat siapa yang berbicara. Menegurku karena tidak menjawab pertanyaan, tapi sendirinya malah asyik bermain poker di facebook!
“Nggak penting amat, sih, Mams.”dengusku kesal.
Kata-kataku barusan ternyata dapat menarik perhatian Mams. Beliau meninggalkan keasyikan bermain pokernya sejenak, kemudian menatapku dengan tatapan seolah-olah kata-kataku melukainya teramat sangat. Ah, sudahkah aku berkata ibuku ini sangat jago berakting?
“Mams cuma prihatin aja sama kamu, Non. Masa udah mau lulus SMA gini belum punya pacar. Kalo istilah anak muda jaman sekarang, cupu, begitu. Iya, bener, cupu.”Mams terkikik sendiri mendengar kata-katanya.
Tuhan. Mengapa aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang agak psikopat dan senang dengan kenyataan bahwa anaknya satu-satunya itu… cupu?

“Biarin cupu. Yang penting pinter!”sanggahku cuek, sembari mengambil air putih dari kulkas.
“Ih, kamu sih terlalu cuek. Makanya nggak punya pacar. Temen aja Cuma Erik blekuthuk itu doang.”cibir Mams.
Aku hanya terkikik mendengar sahabatku dari kecil, yang juga tetanggaku sebelah rumah,  disebut blekuthuk atau bahasa Indonesianya adalah kusam.
Sama sekali Erik tidak… istilahnya, blekuthuk, seperti yang ibuku bilang. Erik sangat rapih, lebih rapih bahkan, dari kebanyakan orang yang aku kenal. Ralat. Ia adalah orang paling rapih yang pernah aku kenal. Gila kebersihan juga… gila parfum. Ia begitu wangi sehingga kadang baunya membuatku pusing. Mams menyebut Erik blekuthuk hanya karena dulu, dulu sekali ketika kami masih kecil dulu, Erik pernah mengajakku mandi di comberan depan rumah kala hujan – yang sangat membuat Mams sangat murka dan membuat Pops meringis ketika memandikan kami dengan selang di depan rumah.
“Makanya. Sekali-kali dandan, dong, Non. Terus yang sumeh – gampang senyum, sama orang-orang. Jangan jutek. Kaya Acha, tuh. Orangnya menik-menik, ramah, supel, temennya banyak, lagi.”

Aku melengos. Lagi-lagi… Acha! Yang Mulia Acha! Acha yang Sempurna! Yay! Long live, Acha!!
Yang disebut Acha ini adalah sepupuku. Anaknya Tante Dhyta, kembaran Mama, yang tadi sedang di chat ibuku via facebook itu. Umurnya sebaya denganku.
Hubunganku dengan Acha tidak bisa dibilang baik. Kami bukanlah sepupu yang bergandengan tangan menghadapi segalanya berdua, saling bercerita tentang segala, menjadipartner in crime, sepupu sekaligus sahabat. Tidak. Kami tidak seperti itu. Padahal kami sebaya. Lahir dari ibu yang kembar dan sangat dekat satu sama lain, pula!
Aku juga tidak mengerti alasan mengapa aku dan Acha tidak akrab. Padahal waktu kecil kami tidak terpisahkan. Mungkin karena sifat kami yang sangat bertolak belakang. Mungkin karena seiring waktu kami beranjak dewasa, kami menemukan bahwa kedekatan itu tidak bisa dipaksakan, bahkan dengan saudara sendiri. Mungkin… karena aku yang membatasi diri karena terlalu malas dibanding-bandingkan dengan Acha. Acha yang baik, yang ramah, yang pintar, yang organisatoris, yang ikut lomba ini itu. Sedang aku? Nadie yang jutek, yang kaku, yang pendiam, yang selalu berbicara sarkas.
Bukan, bukannya aku iri atau bagaimana. Tapi aku tidak menyukai orang-orang yang tidak apa adanya. Acha ini… terlalu ingin menyenangkan semua orang. Sehingga untukku segala perilakunya terkesan palsu. Yang membuatku sebal adalah, meski Acha bermil-mil jauhnya dariku, kesempurnaannya selalu menjadi tolak ukur perilakuku!
Non kenapa nggak ikut ekskul? Nggak kaya Acha…
Non jutek banget, sih? Nggak kaya Acha…
Makanya Non yang baik sedikit, contoh tuh Acha…
Dan segala macamnya. Bosan. Aku bosaaaan!
“Non.”
Lagi-lagi kata-kata Mams membuyarkan lamunanku. Aku mendekat ke arah Mams, seraya memijit bahunya. Bagaimanapun, duduk seharian sembari menatap layar, cukup membuat lelah wanita paruh baya berusia 40 tahun.
“Acha udah punya pacar, lho, Non. Kamu kapan?”
Tuhan. Ambil aku segeraaaa!!
*

Menurut Erland
Bisa pacaran sama Chalya itu bener-bener bikin hati gue lega. Aksi nekat gue ternyata ditanggapi dengan baik sama dia. Ah... Tiba-tiba gue nyesel. Tau gitu, udah dari dulu gue bilang suka. Nggak perlu nunggu selama ini. Nggak perlu nunggu sampe kelas tiga gini.
Kenapa?
Karena gue harus membuat keputusan yang paling sulit dalam hidup gue saat ini. Memilih tempat kuliah.
Gampang sih sebenernya. Di Bandung ini banyak banget perguruan tinggi – negeri maupun swasta – yang bagus. Yang bersaing. Yang punya nama. Kuliah di Bandung juga bikin gue nggak perlu repot karena disini ada orang tua.
Tapi bukan itu. Cita-cita gue dari awal bukan kuliah di Bandung. Dari sejak lulus SMP, gue udah berikhtiar. Gue nggak akan nerusin kuliah di Bandung. Hidup gue dari lahir selalu di Bandung. Gue pingin keluar, pingin mencari suasana baru. Gue pingin tau, gimana rasanya tinggal di kota lain yang beda banget sama Bandung. Alesan lainnya juga karena gue cowok, dan gue anak pertama dari tiga bersaudara. Mau sampe kapan gue selalu bergantung sama orang tua? Gue harus belajar hidup mandiri, ngurus segala sesuatunya sendiri.
Yah... Rencana gue udah sangat matang. Tekad gue udah bulat. Tapi ada satu orang lagi yang harus gue kasih pengertian tentang cita-cita ini. Chalya.
Karena dua tahun lebih kedekatan kami nggak lantas bikin gue bisa berbagi banyak hal bersamanya. Salah satunya tentang rencana hidup gue ke depannya. Maksudnya, nggak akan gue ceritain sampe dia jadi pacar gue. Dan karna Chalya sekarang udah jadi pacar gue, justru disinilah masalahnya.
Tiba-tiba gue pingin balik ke masa-masa awal kedekatan kami, waktu dia nanya tentang rencana gue setelah lulus SMA. Harusnya gue jujur saat itu juga, jadi nggak perlu terjebak dengan situasi canggung seperti... sekarang ini.
Entah kenapa pengumuman SNMPTN jalur undangan harus jatuh di hari Sabtu. Malam minggu, malamnya ngapelin pacar. Entah kenapa juga pengumumannya harus pas banget jam enam sore. Bener-bener bikin stres, karna Chalya ngajak gue untuk ngeliat pengumumannya bersama-sama.
Chalya daritadi udah bersorak gembira karna diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Soenarya, Bandung. Cita-citanya emang jadi jurnalis yang siap terjun ke lapangan apapun resikonya. Yah... cewek gue ini paling doyan sama yang namanya tantangan.
“Okeee, sekarang kita liat punya kamu!”
Kata-katanya yang diucapkan dengan lembut namun bersemangat itu justru bikin gue lemas. Gue sih cukup percaya diri bisa keterima, toh nilai gue selalu bagus, prestasi juga banyak, jadi nggak begitu khawatir. Gue Cuma khawatir sama reaksi dia.
“Erlaaaand, ayo liat pengumumannya kamu,” bujuknya, lagi. Yah... whatever will be, will be lah. Pasrah, gue suruh dia liat sendiri ke layar ponsel yang gue sodorin. Chalya menggumam pelan, menyuarakan tiap kata yang tertera di laman pengumuman.
“Selamat, Anda diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Bhakti Dharma... Yogyakarta?” Mata bulatnya terlihat semakin membulat, bingung. Tatapannya sekarang langsung musuk ke mata gue langsung. “Kamu mau kuliah di Jogja? Serius?”
Gue cuma bisa ngangguk. Ngamatin dulu reaksinya dia seperti apa, baru gue bisa ngambil tindakan.
Nggak kayak sebelumnya saat mengetahui bahwa dirinya berhasil masuk ke jurusan yang diinginkan, kali ini Chalya cuma diam. Mematung, dengan kedua mata yang masih menatap gue. Gue balas tatapan itu dengan pandangan memohon pengertian.
Chalya akhirnya bersuara. “Tapi... kita udah jadian selama tiga bulan, lho.”
“Rencana untuk kuliah di Jogja...” saking groginya, gue sampe nelan ludah berkali-kali. “udah aku susun jauh sebelum kita jadian. Tolong pengertiannya ya, Sayang?”
Mata itu masih menatap gue tajam. Tangannya yang tadi memegang ponsel gue sekarang terlihat agak bergetar. Waktu gue genggam, tangan itu terasa dingin.
“Maafin aku ya, karna setiap kamu nanya tentang rencana kuliahku nggak pernah aku jawab. Banyak yang aku takutin, walaupun aku udah mantap nggak akan merubah keputusanku. Maaf –“
“Jadi,” Chalya memotong penjelasan gue dengan suara bergetar. “Kita LDR-an?”

*

BEHIND THE SCENE
"Flo... fanfic rauwis-uwis kita sudah selesai..."
"Lalu?"
"Mari menulis kembali sesuatu yang lebih cetar, Flo. Sesuatu... kita."
"Astaga Prin... hal yang sama ingin kukatakan padamu."
"Apa yang ingin kita tulis?"
"Apa yang ingin kita tulis?"
"Begini, Flo... karena kita menulis jarak jauh, bagaimana kita menulis tentang LDR?"
"Prin, ini bukan proyek curhat, bukan?"
"Flo! Apakah kamu ingin dibuang ke Timbuktuuuu???"

2 comments: