PROLOG
Menurut Erland:
“Kalo suka, perjuangin!”
Kata-kata itu gue print gede-gede di kamar, gue jadiin gambar latar di laptop, gue
jadiin... Semua, deh, pokoknya. Supaya gue fokus sama apa yang gue kejar.
Dan sekarang, di penghujung masa SMA yang penuh petualangan
ini, gue... Duh. Ingin melepas seragam SMA dengan indah. Seindah melepas status
jomblo.
Target? Jelas udah ada, dong. Udah gue
jadiin sasaran utama dari dulu, malahan, dari jaman culun kelas satu dulu.
Sayang, nggak dapet-dapet.
Ralat.
Bukan nggak dapet-dapet, sih. Lebih
karena... malu. Segan. Canggung. Kikuk. Errr... Gitu, deh.
Kata siapa jadi cowok enak, bisa dengan
leluasa ngungkapin perasaannya? Cuma kata cewek! Beda sama yang dirasain oleh
para cowok sesungguhnya. Kita, para kaum Adam, bisa banget ngumbar kata-kata
manis sesukanya yah... selama nggak bawa hati. Lain ceritanya kalo ke cewek
yang udah-nancep-di-hati-banget. Kikuk, dong! Pencitraan, dong! Salah melangkah
dikit bisa-bisa kandas, gagal dipacarin. Semuanya butuh perencanaan yang matang...
Menurut gue, sih.
Seperti ke cewek yang satu ini, yang
udah berhasil bikin gue jumpalitan.
Pertanyaan terbesar gue dari sejak
ketemu dia dan kepincut pesonanya sampe sekarang mau lulus-lulusan adalah: apa
gue salah melangkah? Dia malah jadi nyaman banget sama gue sebagai temen yang selalu
ada untuknya, yang selalu siap dengerin curhatannya dia, yang selalu hadir
bantuin dia kapanpun dibutuhkan. Terjebak friendzone?
Bener sih, para cowok biasanya hati-hati
melangkah di depan cewek yang dia suka. Kayak gue ini. Kelewat hati-hati malah
jadinya... Makin susah untuk melangkah lebih jauh!
Itulah alasan kenapa gue harus bikin
diri gue fokus dengan nge-print kata-kata
“Kalo suka, perjuangin!” supaya gue kali ini berusaha dengan sangat
bersungguh-sungguh untuk ngedapetin cewek ituuu!
Eh, kebetulan. Lagi dikhayalin tiba-tiba
orangnya lewat. Liat, tuh...
Kaki jenjangnya setengah berlari, rambut
hitamnya yang panjang sepunggung jadi berkibar-kibar, matanya yang bulat sedang
menyipit karena senyum yang tersungging di wajah tirusnya, dan semua itu...
ditujukan ke gue. Iya, lah!
“Erland!”
Kalo kata gue sih, cewek cantik itu
banyak. Banget. Yang muna juga banyak. Tapi yang ini, ah... Pengecualian. Dia,
si pemilik kecantikan yang alami, yang aktif dalam berbagai organisasi dan
nggak ngeluh kalo harus berjalan di tengah panas terik hujan badai dan berbagai
gangguan cuaca lainnya. Tahan banting!
Dia, dengan sedikit ngos-ngosan langsung
duduk di samping gue, plus membabat habis es teh manis yang sama sekali gue
minum. Iya, nggak sopan. Tapi gue rela, ikhlas, pake masang muka bete dikit,
yang cuma ditanggapi dengan cengiran tanpa dosa.
“Maaf, maaf. Haus banget nih lari-lari
dari kelas cuma buat nyariin elo,” begitu pembelaannya. “Mau minta tolong.”
Cengirannya semakin lebar. Gemes! Gue
udah tau apa arti ekspresi itu dengan sangat baik. Gue juga tau pertolongan
macam apa yang dia minta. Keliatan banget dari buku kimia yang dipegang sama
jari-jari lentiknya, kukunya yang terawat, kulit tangannya yang halus... Oke,
fokus.
Kalian harus tau apa yang selalu gue
lakuin kalo lagi gemes sama makhluk Tuhan yang satu ini: menyebutkan nama
lengkapnya dan menyentil lembut kening yang tertutup poni itu. Mau tau nama
lengkapnya?
“Hmm... Chalya Nadira!”
*
Kata
Hati Chalya:
Ah... Dia melakukannya. Lagi. Selalu
begitu setiap aku meminta bantuannya: menyebut nama lengkapku dan menyentilkan
jarinya lembut di keningku yang tertutup poni. Kelakuan khasnya membuat
cengiran tanpa dosa yang aku perlihatkan berubah jadi senyuman gugup.
Gugup? Jelas saja! Walau yang ada di
hadapanku ini adalah cowok yang menyandang gelar sebagai teman, dekat pula,
sejak pertengahan kelas satu SMA, sangat aneh sekali rasanya ketika ia
melakukan hal-hal seperti ini. Sentilannya, senyum sok mengejeknya, sikapnya
yang pura-pura malas dan menghindar tapi sebenarnya justru terlihat sungguh-sungguh...
Cowok ini. Erland.
“Gimana?”
Lihat
gayanya! Tangan kanannya mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja, sedangkan
tangan kirinya menopang kepala yang saat ini kedua pasang matanya menatapku
dengan tajam. Kelakuan khas Erland setiap habis mengajariku. Kelakuan yang
munkin dilakukannya secara refleks, namun selalu berhasil menghipnotisku.
Karena, pada saat seperti ini, Erland selalu terlihat... Cakep. Iya, cakep.
Nggak masalah dong jika seorang teman
berpendapat bahwa temannya itu cakep? Iya, kan?
“Chalya Nadira!”
“Aw!”
Yang selalu aku sesali setiap terpesona
pada Erland adalah ini, respon yang terlalu lambat atas pertanyaannya. Yang
tentu saja berakhir dengan sentilan di kening.
“Gue lagi mencerna semua yang udah lo
jelasin tadi, ih...” sahutku jengkel. “Oke, Pak Guru! Gue udah ngerti.
Makasiiiiih –“
Cepat-cepat kuambil buku yang ada di
hadapan Erland supaya bisa langsung kabur, Tapi cowok itu malah menangkap
pergelangan tanganku dan berkata, “Eits, mau lari kemana lo? Ini gue
ngajarinnya nggak gratis!”
Khas Erland banget, ngajarin tapi
pamrih! Yah... Nggak bisa disalahin juga, sih. Tapi kan teman. Sesama teman
harus saling membantu, dong?
Jadi, yang bisa kulakukan sekarang
hanyalah memasang tampang memelas, minta dikasihani. Walaupun percuma, sih,
karena Erland nggak gampang luluh dengan sikap seperti ini. Yang akhirnya malah
bikin menyerah.
“Iya deh nggak gratis. Mau ditraktir
somay lagi? Atau bakso? Atau martabak?”
Erland tersenyum mendengar penawaranku.
Bukan senyum jahil seperti yang biasa ia tunjukkan setelah berhasil membuatku pasrah
begini, melainkan... Ah, gimana menjelaskannya? Senyum itu lembut. Senyum itu
hangat. Senyum itu... sarat permohonan.
Perlahan, jemarinya yang mencengkeram
pergelangan tanganku berpindah posisi, turun menggenggam telapak tanganku. Membuat
aliran darah di jantungku berdesir pelan.
“Jadian, yuk?” ujarnya lembut, namun
mantap. “Ribuan kali aku nyari momen yang pas untuk ngajuin diri jadi pacar
kamu, dari kelas satu dulu, tapi nggak pernah ada. Sebelum semuanya lebih
terlambat lagi, makanya... Jadian, yuk?”
Aku tahu Erland jujurnya. Matanya selalu
menggambarkan setiap gejolak hatinya dengan sangat jelas. Aku juga tahu bahwa
untuk gejolak hatinya yang satu ini, akulah yang sering menutup mata. Agar
semua yang terjadi antara kami tetap normal. Selalu normal.
Walau... Saat-saat seperti ini justru
juga sangat aku inginkan.
Erland mengelus tanganku lembut. “Gimana?”
Tidak ada salahnya untuk mencoba. Toh,
aku dan Erland pasti bisa tetap bersikap normal seperti kami yang sebelumnya,
aku yakin itu. Maka, dengan memasang senyum untuk menutupi kegugupan, aku
menjawab tawaran dari Erland.
“Yuk, kita jadian.”
Kantin, yang entah sejak kapan sepi,
tiba-tiba saja bergemuruh ramai menyuarakan kata selamat untuk kami!
“Ciyeeee ada yang jadian!”
“Akhirnya, Land! Pengejaran lo nggak
sia-sia!”
“Emangnya tawanan?! Hahahaha...”
“Bisa kali, nama Chalya di hape langsung
diubah jadi Chayang –“
“Aaaah alay lo! Hahahaha...”
Seruan-seruan itu tentu saja membuat
wajahku memerah malu! Namun Erland malah berdiri dari duduknya dan menanggapi
seruan-seruan itu dengan tak kalah hebohnya.
“Iya dong, mulai sekarang Chalya itu
chayang gue! Lo pada jangan macem-macem yaa!”
“Oke, Booos!”
Hahahaha... Catat tanggal hari ini, ya. Selasa,
21 Februari 2012. Dua minggu sebelum ulang tahunku. Dua bulan sebelum ujian
Nasional. 21-02-2012. Tanggal cantik untuk hari yang juga sangat indah bagi aku
dan Erland.
*
Dari sisi Nadie
Oke. Kamu. Harus. Tahan. Emosi. Stay calm…
Stay cool… Tarik napas perlahan… hembuskan. Ah, leganya…
Oke, oke. Aku bohong. Aku enggak lega. Badanku masih
gemetaran. Rahangku masih mengatup, menutupi gigiku yang sedang bergemelatuk.
Aku harap Mams melihatku, kemudian menyadari bahwa anaknya ini sedang emosi
tingkat tinggi!
Namun harapan hanya harapan. Asumsiku sangat
berlebihan, kalau tidak mau dibilang bodoh. Mams masih tetap asyik menatap
layar laptopnya, dengan akun facebooknya terpampang disana. Mams sedang chatting dengan
tanteku, adik kembar Mams, Tante Dhyta. Aku menghela napas. Betapa aku sangat
menyesali mengenalkan jejaring social bernama facebook pada Mams,
jika hasilnya akan seperti ini.
Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa reaksiku
berlebihan menanggapi keautisan ibuku dengan facebooknya. Bukannya
aku peduli bahwa ini sudah pukul 3 sore dan belum ada satupun makanan tersedia
di meja makan. Bukannya aku peduli bahwa Mams sama sekali tidak mengepel rumah
hari ini – gara-gara keasyikan chatting. Sungguh, bukannya aku
peduli bahwa Mams terlalu asyik bermain Farmville dan chatting dengan
tanteku sehingga sama sekali beliau tidak mempedulikan anaknya yang sedang
kelaparan dan sangat lelah setelah menuntut ilmu seharian – ditambah bimbel,
pula! Sungguh… sungguh!
Yang membuatku sebegini emosi sebenarnya… pertanyaan
Mams barusan, setelah aku menyelesaikan ucapan salamku, pertanda aku sudah
pulang sekolah. Bukan, Mams bukan menanyakan apakah aku baik-baik saja atau
kegiatanku hari ini. Tetapi…
“Non, kamu kok belum punya pacar, sih?”
Pertanyaan itu, sungguh membuat dadaku serasa dipukul
dengan godam keras-keras dari dalam. Membuat aku seketika kehilangan kemampuan
motorikku dan terpaku beberapa saat. Pertanyaan itu sungguh enggak sopan!
Berbicara tentang ketidaksopanan, maafkan aku telah
mengomel panjang lebar tanpa mengenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku
Clarissa Nadie, umur 17 tahun dan masih single. Bukannya aku belum
pernah pacaran, tetapi kisah cintaku itu tidak terlalu baik sehingga aku merasa
tidak ada gunanya untuk bercerita pada Mams. Dan semenjak putus dengannya sekitar
tiga tahun silam, aku belum berminat untuk pacaran lagi.
Ya, ya. Mungkin orang-orang menilai bahwa aku sangat
melankolis karena tidak bisamove on dari orang itu.
Mengutip istilah lagu, mereka berkata bahwa aku adalah the girl who can’t be
move. Pendapat mereka sebenarnya tidak terlalu salah juga. Sebut aku
berlebihan, karena torehan luka karena putus cinta dengan orang itu – itu cinta
pertama, pula – membuatku sangat amat trauma!
Bukan, bukan trauma yang sebegitunya sehingga aku
merasa bahwa semua lelaki sama saja dan aku memutuskan untuk jadi lesbian saja.
Tidak, bukan begitu. Sebenarnya aku trauma karena... dibilang jelek.
Sungguh. Kata-kata orang itu padaku ketika
memutuskanku dua tahun yang lalu itu, sangat membekas di hatiku. Tidak pernah
aku melupakannya. Lukanya masih menganga sampai sekarang. Sejujurnya… akupun
tidak tahu apakah luka itu bisa sembuh atau tidak. Sebut aku berlebihan, karena
kenyataannya memang begitu.
“Aku selingkuh bukan karena kamu jauh. Aku selingkuh
bukan karena perhatianmu nggak cukup buat aku. Aku selingkuh… karena aku malu
punya pacar yang nggak pantas disandingkan sama aku!”
Kata-kata itu bagai peluru tajam yang menghujam dada seorang
anak yang belum lama meninggalkan masa ABG nya. Kata-kata itu membuatku sungguh
kehilangan segala daya dan upaya bahkan untuk berbicara… dan menurunkan rasa
percaya diriku di titik minus nol!
Bukan salahku kalau aku tidak hobby dandan seperti
cewek-cewek kebanyakan. Bukan salahku jika aku lebih suka mengotak-atik
gadgetku daripada mengotak-atik isi lemariku – yang membuat bajuku sungguh
tidak up to date. Bukan salahku jika aku lebih memilih
mempercantik website yang aku buat dengan Erik, sahabatku, daripada
mempercantik wajahku. Bukan salahku bila kegiatan pacaran favoritku adalah
nonton DVD bersama dirumahku, atau membaca komik bersama, daripada makan di
luar atau ngemall.
Sungguh bukan salahku. Karena, toh aku pun tidak
mempromosikan bahwa aku cantik, supel, ramah dan menyenangkan, agar orang itu
mau berpacaran denganku. Aku tidak melakukan apapun untuk menarik perhatiannya.
Dia saja yang tiba-tiba tertarik denganku karena katanya waktu itu, aku alami.
Huh. Alami my ass!! Alami tidak membantuku untuk mempertahankan pacar
pertamaku. Alami tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai alasan untuk bertahan
dengan gadis nerd yang cranky, culun dan sangat
membosankan sepertiku.
Aku sakit hati. Karenanya aku bersumpah untuk tidak
pacaran. Setidaknya, sampai aku menemukan ada lelaki yang benar-benar ingin
bertahan denganku, tanpa berkata bahwa aku harus memantaskan diri untuk
bersanding dengannya. Halah.
“Non. Ditanyain kok diem aja.”
Teguran Mams barusan membuyarkan lamunanku yang sudah
terlampau jauh. Aku mendengus. Lihat siapa yang berbicara. Menegurku karena
tidak menjawab pertanyaan, tapi sendirinya malah asyik bermain poker di
facebook!
“Nggak penting amat, sih, Mams.”dengusku kesal.
Kata-kataku barusan ternyata dapat menarik perhatian
Mams. Beliau meninggalkan keasyikan bermain pokernya sejenak, kemudian
menatapku dengan tatapan seolah-olah kata-kataku melukainya teramat sangat. Ah,
sudahkah aku berkata ibuku ini sangat jago berakting?
“Mams cuma prihatin aja sama kamu, Non. Masa udah mau
lulus SMA gini belum punya pacar. Kalo istilah anak muda jaman sekarang, cupu,
begitu. Iya, bener, cupu.”Mams terkikik sendiri mendengar kata-katanya.
Tuhan. Mengapa aku dilahirkan dari rahim seorang ibu
yang agak psikopat dan senang dengan kenyataan bahwa anaknya satu-satunya itu…
cupu?
“Biarin cupu. Yang penting pinter!”sanggahku cuek,
sembari mengambil air putih dari kulkas.
“Ih, kamu sih terlalu cuek. Makanya nggak punya pacar.
Temen aja Cuma Erik blekuthuk itu doang.”cibir Mams.
Aku hanya terkikik mendengar sahabatku dari kecil,
yang juga tetanggaku sebelah rumah, disebut blekuthuk atau
bahasa Indonesianya adalah kusam.
Sama sekali Erik tidak… istilahnya, blekuthuk,
seperti yang ibuku bilang. Erik sangat rapih, lebih rapih bahkan, dari
kebanyakan orang yang aku kenal. Ralat. Ia adalah orang paling rapih yang
pernah aku kenal. Gila kebersihan juga… gila parfum. Ia begitu wangi sehingga
kadang baunya membuatku pusing. Mams menyebut Erik blekuthuk hanya
karena dulu, dulu sekali ketika kami masih kecil dulu, Erik pernah mengajakku
mandi di comberan depan rumah kala hujan – yang sangat membuat Mams sangat
murka dan membuat Pops meringis ketika memandikan kami dengan selang di depan
rumah.
“Makanya. Sekali-kali dandan, dong, Non. Terus
yang sumeh – gampang senyum, sama orang-orang. Jangan jutek.
Kaya Acha, tuh. Orangnya menik-menik, ramah, supel, temennya
banyak, lagi.”
Aku melengos. Lagi-lagi… Acha! Yang Mulia Acha! Acha
yang Sempurna! Yay! Long live, Acha!!
Yang disebut Acha ini adalah sepupuku. Anaknya Tante
Dhyta, kembaran Mama, yang tadi sedang di chat ibuku via facebook itu. Umurnya
sebaya denganku.
Hubunganku dengan Acha tidak bisa dibilang baik. Kami
bukanlah sepupu yang bergandengan tangan menghadapi segalanya berdua, saling
bercerita tentang segala, menjadipartner in crime, sepupu sekaligus
sahabat. Tidak. Kami tidak seperti itu. Padahal kami sebaya. Lahir dari ibu
yang kembar dan sangat dekat satu sama lain, pula!
Aku juga tidak mengerti alasan mengapa aku dan Acha
tidak akrab. Padahal waktu kecil kami tidak terpisahkan. Mungkin karena sifat
kami yang sangat bertolak belakang. Mungkin karena seiring waktu kami beranjak
dewasa, kami menemukan bahwa kedekatan itu tidak bisa dipaksakan, bahkan dengan
saudara sendiri. Mungkin… karena aku yang membatasi diri karena terlalu malas
dibanding-bandingkan dengan Acha. Acha yang baik, yang ramah, yang pintar, yang
organisatoris, yang ikut lomba ini itu. Sedang aku? Nadie yang jutek, yang
kaku, yang pendiam, yang selalu berbicara sarkas.
Bukan, bukannya aku iri atau bagaimana. Tapi aku tidak
menyukai orang-orang yang tidak apa adanya. Acha ini… terlalu ingin
menyenangkan semua orang. Sehingga untukku segala perilakunya terkesan palsu.
Yang membuatku sebal adalah, meski Acha bermil-mil jauhnya dariku,
kesempurnaannya selalu menjadi tolak ukur perilakuku!
Non kenapa nggak ikut ekskul? Nggak kaya Acha…
Non jutek banget, sih? Nggak kaya Acha…
Makanya Non yang baik sedikit, contoh tuh Acha…
Dan segala macamnya. Bosan. Aku bosaaaan!
“Non.”
Lagi-lagi kata-kata Mams membuyarkan lamunanku. Aku
mendekat ke arah Mams, seraya memijit bahunya. Bagaimanapun, duduk seharian
sembari menatap layar, cukup membuat lelah wanita paruh baya berusia 40 tahun.
“Acha udah punya pacar, lho, Non. Kamu kapan?”
Tuhan. Ambil aku segeraaaa!!
*
Menurut
Erland
Bisa pacaran sama Chalya itu bener-bener
bikin hati gue lega. Aksi nekat gue ternyata ditanggapi dengan baik sama dia.
Ah... Tiba-tiba gue nyesel. Tau gitu, udah dari dulu gue bilang suka. Nggak
perlu nunggu selama ini. Nggak perlu nunggu sampe kelas tiga gini.
Kenapa?
Karena gue harus membuat keputusan yang
paling sulit dalam hidup gue saat ini. Memilih tempat kuliah.
Gampang sih sebenernya. Di Bandung ini
banyak banget perguruan tinggi – negeri maupun swasta – yang bagus. Yang
bersaing. Yang punya nama. Kuliah di Bandung juga bikin gue nggak perlu repot
karena disini ada orang tua.
Tapi bukan itu. Cita-cita gue dari awal
bukan kuliah di Bandung. Dari sejak lulus SMP, gue udah berikhtiar. Gue nggak
akan nerusin kuliah di Bandung. Hidup gue dari lahir selalu di Bandung. Gue
pingin keluar, pingin mencari suasana baru. Gue pingin tau, gimana rasanya
tinggal di kota lain yang beda banget sama Bandung. Alesan lainnya juga karena
gue cowok, dan gue anak pertama dari tiga bersaudara. Mau sampe kapan gue
selalu bergantung sama orang tua? Gue harus belajar hidup mandiri, ngurus
segala sesuatunya sendiri.
Yah... Rencana gue udah sangat matang.
Tekad gue udah bulat. Tapi ada satu orang lagi yang harus gue kasih pengertian
tentang cita-cita ini. Chalya.
Karena dua tahun lebih kedekatan kami
nggak lantas bikin gue bisa berbagi banyak hal bersamanya. Salah satunya
tentang rencana hidup gue ke depannya. Maksudnya, nggak akan gue ceritain sampe
dia jadi pacar gue. Dan karna Chalya sekarang udah jadi pacar gue, justru
disinilah masalahnya.
Tiba-tiba gue pingin balik ke masa-masa
awal kedekatan kami, waktu dia nanya tentang rencana gue setelah lulus SMA.
Harusnya gue jujur saat itu juga, jadi nggak perlu terjebak dengan situasi
canggung seperti... sekarang ini.
Entah kenapa pengumuman SNMPTN jalur
undangan harus jatuh di hari Sabtu. Malam minggu, malamnya ngapelin pacar. Entah
kenapa juga pengumumannya harus pas banget jam enam sore. Bener-bener bikin
stres, karna Chalya ngajak gue untuk ngeliat pengumumannya bersama-sama.
Chalya daritadi udah bersorak gembira
karna diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Soenarya, Bandung. Cita-citanya
emang jadi jurnalis yang siap terjun ke lapangan apapun resikonya. Yah... cewek
gue ini paling doyan sama yang namanya tantangan.
“Okeee, sekarang kita liat punya kamu!”
Kata-katanya yang diucapkan dengan
lembut namun bersemangat itu justru bikin gue lemas. Gue sih cukup percaya diri
bisa keterima, toh nilai gue selalu bagus, prestasi juga banyak, jadi nggak
begitu khawatir. Gue Cuma khawatir sama reaksi dia.
“Erlaaaand, ayo liat pengumumannya kamu,”
bujuknya, lagi. Yah... whatever will be,
will be lah. Pasrah, gue suruh dia liat sendiri ke layar ponsel yang gue
sodorin. Chalya menggumam pelan, menyuarakan tiap kata yang tertera di laman
pengumuman.
“Selamat, Anda diterima di Fakultas
Kedokteran Universitas Bhakti Dharma... Yogyakarta?” Mata bulatnya terlihat
semakin membulat, bingung. Tatapannya sekarang langsung musuk ke mata gue
langsung. “Kamu mau kuliah di Jogja? Serius?”
Gue cuma bisa ngangguk. Ngamatin dulu
reaksinya dia seperti apa, baru gue bisa ngambil tindakan.
Nggak kayak sebelumnya saat mengetahui
bahwa dirinya berhasil masuk ke jurusan yang diinginkan, kali ini Chalya cuma
diam. Mematung, dengan kedua mata yang masih menatap gue. Gue balas tatapan itu
dengan pandangan memohon pengertian.
Chalya akhirnya bersuara. “Tapi... kita
udah jadian selama tiga bulan, lho.”
“Rencana untuk kuliah di Jogja...”
saking groginya, gue sampe nelan ludah berkali-kali. “udah aku susun jauh
sebelum kita jadian. Tolong pengertiannya ya, Sayang?”
Mata itu masih menatap gue tajam.
Tangannya yang tadi memegang ponsel gue sekarang terlihat agak bergetar. Waktu
gue genggam, tangan itu terasa dingin.
“Maafin aku ya, karna setiap kamu nanya
tentang rencana kuliahku nggak pernah aku jawab. Banyak yang aku takutin,
walaupun aku udah mantap nggak akan merubah keputusanku. Maaf –“
“Jadi,” Chalya memotong penjelasan gue
dengan suara bergetar. “Kita LDR-an?”
*
BEHIND THE SCENE
"Flo... fanfic rauwis-uwis kita sudah selesai..."
"Lalu?"
"Mari menulis kembali sesuatu yang lebih cetar, Flo. Sesuatu... kita."
"Astaga Prin... hal yang sama ingin kukatakan padamu."
"Apa yang ingin kita tulis?"
"Apa yang ingin kita tulis?"
"Begini, Flo... karena kita menulis jarak jauh, bagaimana kita menulis tentang LDR?"
"Prin, ini bukan proyek curhat, bukan?"
"Flo! Apakah kamu ingin dibuang ke Timbuktuuuu???"
mana lanjutannya? :D
ReplyDeletemaaf yaa lama, lanjutannya sudah adaaa silakan dibaca :')
Delete