Kata Hati Chalya: Jadi... Kita LDR-an?
I
love you but it’s not so easy to make you here with me. I wanna touch and hold
you forever, but you’re still in my dream. I can’t stand to wait ‘till night is
coming to my life. (Endah n Rhesa –
When You Love Someone)
“Halo? Pak Dokter Erland, harap segera
bangun, mandi, sarapan, dan kuliah. Ayo banguuun!”
“Hmm...”
“Pak Dokter Erland, banguuun! Masa hari
pertama kuliah di semester tiga udah mau ngebolos, sih?”
“Ini udah bangun, hoaahm –“
“Pak Dokter Erlaaand!”
“Iya, Chalya Nadira Sayang. Jangan
teriak-teriak, ah.”
“Hohoho...” Klik! Sambungan telepon terputus.
Ralat. Lebih tepatnya, aku tutup. Karena
memang percakapan di pagi hari seperti ini hanya akan berakhir jika Erland
sudah menyebutkan nama lengkapku. Yang artinya, Erland sudah sepenuhnya bangun
tidur.
Yah... Beginilah kami sebagai pasangan
yang menjalani LDR. Tau kan, ya? Long distance
relationship. Satu model pacaran yang sepertinya sangat populer dijalani
kebanyakan pasangan muda. Bukan hal yang mudah untuk dijalani, apalagi saat
usia hubungan kami belum menginjak setahun.
Benar. Enam bulan setelah aku dan Erland
jadian, kami akhirnya resmi LDR-an. Tanggalnya pun cantik, 20 Agustus 2012. 20-08-2012
yang terlihat seperti 2008-2012. Yah... 2008 adalah tahun dimana pertama kali
aku dan Erland saling kenal, kemudian berteman dengan akrabnya. 2012 adalah
tahun dimana kami resmi menjadi sepasang kekasih. Aku, layaknya gadis-gadis
lain di berbagai belahan dunia yang sedang jatuh cinta, sangat senang menghapal
berbagai tanggal kejadian penting dalam hubungan kami sebagai kekasih. Tiap
harinya, tiap minggunya, tiap bulannya, jika terjadi sesuatu yang spesial
antara aku dan Erland, semuanya selalu aku ingat dan catat dengan baik.
Walaupun kami berjauhan. Selalu saja ada kejadian spesial di antara kami.
Untungnya, semua kejadian spesial itu
adalah hal-hal baik. Untungnya, kami belum pernah bertengkar sampai ke taraf
sama sekali tidak saling berkomunikasi. Kami – untungnya dari sekian banyak
pasangan LDR – selalu dalam hubungan yang adem ayem, nyaman, damai.
Sarapan hari ini buryam mas gembul. Slse.
Otw kampus. Km jgn lupa sarapan jg.
Sms dari Erland itu membuatku tersenyum
lega. Yah... Telepon di pagi hari, sms saat memulai aktivitas, adalah beberapa
hal yang selalu kami lakukan. Saling mengingatkan, saling membantu, saling
menjaga. Inilah bentuk hubungan kami. Walaupun jauh, bukan berarti kita nggak
bisa melakukan apapun untuk pasangan kita. Sebaliknya, kita justru bisa
melakukan apapun. Walau lewat pesan singkat.
Itulah salah satu komitmen awal yang
kami putuskan saat Erland pergi ke Jogja pada 20 Agustus tahun lalu.
*
Stasiun
Hall Bandung, 20 Agustus 2012
Pukul empat sore. Masih tiga jam lagi
sebelum kereta tujuan Jogja berangkat, namun aku dan Erland sudah tiba disini
lengkap dengan segala barang bawaan milik Erland. Sengaja kami tiba lebih awal,
untuk menyiapkan hati atas perpisahan yang akan terjadi dalam waktu lama.
Walaupun cowok jangkung ini berjanji
akan pulang setiap liburan semester, rasanya tetap saja terlalu lama. Atau
bahkan kalau ada harpitnas – tahu kan, Hari Kejepit Nasional – yang panjang
akan ia usahakan untuk kembali ke Bandung, tetap saja rasanya terlalu lama.
Malah sebaiknya jangan terlalu berharap pada hal itu. Kehidupan sebagai
mahasiswa kedokteran bukanlah kehidupan dimana waktu luang bisa digunakan untuk
bepergian ke luar kota seenaknya, apalagi untuk waktu yang tidak hanya
semalam-dua malam saja.
“Yah... jangan dijanjiin kapan kamu
pulang, deh,” kataku dengan nada pasrah. “Yang penting setiap libur semester
kamu harus balik ke Bandung, oke?”
Erland tersenyum, suatu bentuk senyuman
yang sangat aku sukai darinya. Kalau disuruh membaca bahasa tubuhnya,
keahlianku jelas dalam hal membaca raut wajah Erland. Bagaimana wajahnya saat
senang, kesal, jahil, sedih, kecewa. Semuanya aku tahu, karena Erland memiliki
mata dan bibir yang benar-benar menjadi cermin hatinya, jendela jiwanya.
“Pasti, dong. Kan orang tuaku masih
tinggal di Bandung.”
“Orang tua aja, nih?”
“Hmm...” Tangan kanannya mengetuk-ngetuk
bahuku lembut, jahil pura-pura berpikir. “Emang ada siapa lagi?”
Walaupun tahu kalau ini hanyalah salah
satu bentuk keisengannya, tetap saja aku kesal. Erland benar-benar nggak bisa
bersikap romantis, bahkan dalam waktu yang sangat berharga ini! Dan menunjukkan
wajah merengut benar-benar membuat tawanya lepas. Rangkulannya semakin
dipererat.
“Karna di Bandung ada kamu, makanya aku
harus selalu balik ke Bandung. Rindu itu bukan cuma kamu yang punya, lho,
Sayang. Aku juga.”
Pasti wajahku merona merah saking
bahagianya mendengar ungkapan itu. Yah... Betapapun Erland susah bersikap
romantis, tapi sikapnya itu akan benar-benar total saat ia melakukannya. Karna
Erland bukanlah pria yang mengumbar keromantisannya begitu saja.
“Kayaknya aku harus beli jam weker deh
buat di kosan.”
“Kok?” Tanyaku, sebelum kemudian
mengingat satu hal. “Ah, iya... Kamu kan bangunnya susah, ya. Alarm HP sama
sekali nggak membantu.”
“Makasih lho udah dipertegas,” Erland
menyentil keningku lembut. “Kamu yang bangunin deh, ya? Telpon aku tiap pagi,
aku pasti bakal bangun.”
Aku mengernyit keheranan. “Kok bisa
ngaruh? Kan sama aja suara HP.”
“Beda, lah... Ringtone-nya beda. Feel-nya
juga beda daripada sekedar alarm doang, walaupun sama-sama dari HP. Okeee?”
“Di-oke-in nggak, yaa?” Aku pura-pura
mikir. Eh, beneran mikir, sih. “Karna tinggal di Jogja, jam bangunmu harus lima
belas menit lebih awal dari aku. Kalo aku harus ngebangunin kamu, berarti aku harus
bangun lima belas menit lebih awal daripada jam bangun tidurku biasanya.
Hmmm...”
“Hey, Chalya Nadira!” Pletak! Satu sentilan, lagi, dalam waktu
yang nggak terlalu lama. “Kamu tega hitung-hitungan waktu? Sama pacar sendiri,
lho!”
“Hohoho...” Wajah merengutnya
benar-benar lucu! “Iya, Mas Pacar... Bakal dibangunin, deh. Wuuuu –“
“Wah, terima kasih, yaa..”
Stasiun kereta. Bangku panjang untuk
menunggu. Menunggu kedatangan, juga kepergian. Pelukan hangat, tangisan,
senyuman, semuanya merupakan pemandangan yang biasa terjadi di stasiun. Baik untuk
melepas kepergian, maupun menyambut kedatangan. Seperti pemandangan di depan
kami saat ini.
Kupandangi wajah tegas milik Erland
dalam-dalam. Mengisi memori dengan raut wajahnya sebanyak mungkin, sejelas
mungkin, agar ingatanku unya stok yang cukup untuk selalu mengukir wajahnya.
Agar perasaan rasa rindu yang natinya datang tidak akan terasa begitu menyiksa.
Juga untuk menguatkan apa yang telah dimulai bersama.
Erland balas menatapku, membuatku
sedikit terharu, terbawa suasana. Tanan kanannya yang merangkulku, kini
mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
“Aku juga punya satu permohonan...”
“Apa?”
Kuraih tangan kanannya sedemikian rupa
sehingga aku dapat memeluk lengannya. Sisi ini...
“Sisi kanannya kamu... Jangan sampe ada
cewek lain yang mengisi bagian ini. Sisi ini cuma aku yang boleh menempati.”
Saat tangan kirinya menopang kepalanya
dan pandangannya hanya tertuju padaku yang duduk di sebelah kanannya, saat tangan
kanannya mengenggam jemariku, saat tangan kanannya menyentil lembut keningku,
aku suka. Saat hanya aku satu-satunya gadis yang selalu berada di sisi sebelah
kanannya, aku sangat suka. Sisi kanan milik Erland, rasanya telah termaterai
hanya untuk diisi oleh Chalya seorang.
“Cuma kamu yang boleh berada di sisi
ini... adalah hal yang selalu aku jaga, bahkan sebelum kamu memintanya.”
*
Pernah dengar lagunya Endah n Rhesa yang
judulnya When You Love Someone? Itu
salah satu lagu kesukaanku. Liriknya mengandung makna yang sangat dalam. Jelas,
aku tidak mencernanya sebagai seseorang yang memendam cinta. Justru aku
menghayati setiap liriknya dalam posisi sebagai seseorang yang menjalani
hubungan jarak jauh. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, apa bedanya orang yang
LDR dengan yang memendam cintanya? Sama-sama bergantung pada harapan, bukan?
Kembali menjalani hidup sebagai seorang
mahasiswi setelah satu setengah bulan tidak ada kegiatan perkuliahan itu
menyenangkan. Karena akhirnya, ada hal lain yang harus dipikirkan dan
dikerjakan selain hanya tugas organisasi. Bagi orang-orang yang terlibat dalam
organisasi, yang namanya libur kuliah bukan berarti libur segalanya.
Tugas-tugas dalam organisasi tidak mengenal kata libur. Rapat juga tidak
mengenal kata libur.
Walaupun, ada hal yang harus disesali
dari berakhirnya masa liburan: apalagi kalau bukan kembali LDR-an dengan pacar
tercinta.
“Chalya!”
Tanpa harus menoleh pun aku sudah tahu.
Suara itu milik Ketua BEM Universitas Soenarya.
“Anak-anak mana? Belom pada ngumpul?
Yang konfirm datang rapat berapa orang? Siapa aja? Laporan terakhir udah masuk,
kan?” Arnanda – itu namanya – langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan,
mengganggu konsentrasiku yang sedang merapikan laporan catatan beberapa rapat
BEM akhir-akhir ini. Sebagai BEM tingkat universitas, banyak sekali hal yang
harus dikerjakan di awal semester ini, apalagi dalam penyambutan mahasiswa baru
kemarin. Dan yang paling direpotkan dalam semua kegiatan ini, selain para ketua
panitia acara, tentu saja adalah sang sekretaris, yang mana jabatan itu diemban
oleh seorang Chalya Nadira.
“Sabar, Bapak Presiden. Rapatnya masih
jam empat nanti. Sekarang baru jam tiga, Bapak Presiden,” jawabku tanpa
memalingkan kepala sedikitpun. Arnanda tetap mendesakku agar memberikan jawaban
pasti. “Para menteri bisa dateng semua, cuma menkominfo izin datang jam
setengah lima karena praktikum. Kalo panitia nanti bakal datang full team, jadi nanti kita rapat di
sekber – sekre bersama – yang memungkinkan untuk menampung banyak orang.”
Perlu diketahui. Nama kabinet yang
diusung oleh Arnanda sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Soenarya adalah
Kabinet Eksklusif. Sebagai seorang Ketua BEM, Arnanda memiliki kemampuan untuk
menarik orang-orang spesial – para menteri, atau biasanya dalam kebanyakan
organisasi disebut sebagai kepala divisi – masuk ke dalam jajaran kepengurusan
BEM tahun ini. Ketelitiannya, keterbukaannya terhadap hal-hal baru, kemampuan
memimpinnya, membuat orang-orang di sekelilingnya tanpa ragu mau bekerja sama
dengannya. Termasuk aku.
“Bagus. Karena ini rapat persiapan
menuju eksekusi, mereka semua harus hadir,” ujarnya lega. “Trus lo lagi
ngapain?”
“Ngerapihin catatan. Gue harus nyicil
LPJ – laporan pertanggungjawaban – dari sekarang,” jawabku serius. Dan emang
serius. Walaupun kami baru dilantik tiga bulan yang lalu dan masih ada waktu sembilan
bulan lagi sebelum pergantian kepengurusan, semuanya harus dicicil dari
sekarang. Sebagai seorang Sekretaris Umum, hal itu juga yang aku tekankan
kepada para sekretaris acara dan para menteri, supaya ke depannya tidak perlu
repot di akhir kepengurusan. Arnanda hanya mendengus, sebelum kemudian ia
menyalakan laptop dan duduk di sudut favoritnya di sekre BEM:di bawah tangga.
“Nan, lo dapet salam dari cowok gue.”
“Salam apaan? Salam tempel?” Selorohnya
ngasal. Aku terkikik.
“Salam kangen. Trus katanya lo nggak
boleh bikin gue capek dan juga gue harus pulang di bawah jam sepuluh malam.”
Arnanda hanya nyengir, “Dih, salam macam
apa itu...” dan kembali berkonsentrasi dengan laptopnya.
Ini beneran, lho. Erland memang kirim
salam untuk Arnanda. Juga peringatan supaya tidak membuatku terlalu capek
mengurusi BEM. Semua jajaran Kabinet Eksklusif sudah mengenal Erland dengan
baik. Gimana nggak kenal, karena selama liburan semester kemarin Erland
beberapa kali hadir dalam kegiatan kami. Bahkan Erland menjadi alarmku.
“Ini kan cuma organisasi mahasiswa, masa
iya kamu harus pulang jam jam sepuluh, jam sebelas, jam dua belas? Ini malah
jam tiga rapatnya baru selesai! Kamu tuh cewek, lho. Mana aman pulang tengah
malam gitu!” Begitu katanya saat pertama kali menjemputku dari musyawarah kerja
kabinet kami yang pertama jam tiga dini hari. Nggak heran kalo dia marah. Tapi
aku sama sekali nggak meminta supaya dijemput. Berhubung hal ini sudah
kuperkirakan sebelumnya, aku sudah membawa perlengkapan untuk menginap di
lantai dua sekre kami.
“Namanya ngurusin organisasi emang gitu,
Sayang. Yah, latian buat menghadapi dunia kerja, deh –“
“Dunia kerja juga nggak sekejam itu,
Chalya!”
Aku hanya mengelus lengan kanannya untuk
menenangkan. Erland selalu begitu, dan aku akan selalu menanggapinya seperti
ini.
“Aku suka sama hal-hal seperti ini.
Rapat, berinteraksi dengan orang nge-lobby,
deket sama orang-orang rektorat, ngobrol sama orang-orang hebat yang jadi
bintang tamu dalam setiap acara, semuanya menyenangkan. Semua kesibukan ini
bener-bener menyenangkan dan juga... Efektif.”
“Efektif?” Ulangnya bingung.
“Iya, Sayang. Efektif untuk ngobatin
kerinduanku sama pacarku yang kuliah di Jogja.”
Iya. Hanya ini pelarian yang aku miliki. BEM dan tugas-tugas perkuliahan yang
menggunung. Hanya itu cara supaya aku bertahan dalam hubungan jarak jauh ini.
Hanya supaya aku tidak harus menyerah dalam hubungan ini. Karena ternyata,
kerinduan yang amat dalam itu sangat menyesakkan.
Untunglah Erland bisa mengerti, walau
selalu menyuarakan protes keras. Karena, sebagaimana diriku, Erland juga
memiliki pelariannya sendiri.
Pelarian
Erland ada pada komputer, dengan
berbagai permainan serta fasilitas internet di dalamnya.
Dilihat dari sisi manapun, sebenarnya aku
heran Erland mengambil jurusan kedokteran. Karena Erland yang aku kenal
benar-benar seorang pengamat teknologi informasi. Apapun perkembangan terbaru,
Erland pasti tahu. Erland benar-benar memanfaatkan segala kemudahan yang
diberikan oleh dunia maya dengan sangat baik, termasuk untuk berjejaring.
Kesukaan Erland dalam mengeksplorasi
segala jenis social media yang
tersedia di dunia maya benar-benar bertolak belakang denganku. Seumur hidup,
satu-satunya hal yang bersentuhan dengan dunia maya yang aku miliki hanyalah e-mail address. Aku nggak pernah yang namanya membuat akun facebook, twitter, atau apapun lainnya
yang semakin hari semakin bertambah saja. Jangankan membuat, mengaksesnya saja
aku tidak pernah. Ponselku yang pintar ini
isinya hanya permainan-permainan yang aku suka, tidak ada aplikasi lain.
Ah... Ada. Karena alamat email saat ini
tidak hanya digunakan untuk berkirim dokumen elektronik, namun juga bisa untuk chatting dan video call, maka hanya fungsi-fungsi itulah yang aku manfaatkan
untuk berinteraksi dengan Erland. Setidaknya, fungsi itu bisa membuat kami
saling bertatapan, walau raganya tetap saja jauh.
Namun, aku sangat menghormati apapun
keputusan Erland. Menjadi dokter juga hal yang sangat cocok buat Erland. Kalau
dipikir-pikir, apapun yang berkaitan dengan dunia eksak cocok buat Erland,
karena dia seorang jenius. Sedangkan aku, tidak pernah sekalipun terlintas
untuk punya cita-cita lain selain menjadi seorang jurnalis. Seorang jurnalis
yang dikejar deadline, memiliki
kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitar, memiliki kemampuan untuk
menyusun kata-kata dalam tempo singkat. Jurnalis yang seperti itu.
Sepuluh menit lagi jam empat sore.
Saatnya bersiap untuk rapat dalam rangka penerimaan mahasiswa baru Universitas
Soenarya. Yah... Sepertinya menjadi sekretaris organisasi merupakan lahan
pembelajaran yang baik untuk karir sebagai seorang jurnalis nantinya.
*
Untunglah rapat hari ini selesai sebelum
jam sembilan malam, jadi aku bisa sampai rumah tepat waktu. Harus tepat waktu,
karena malam ini aku sudah janji dengan Erland.
Malam ini, kami bakal kencan. Film yang sangat kami suka malam
ini akan diputar – lagi – di televisi. The
Last Samurai.
Iya, filmnya udah sering diputar. Iya,
mungkin udah ratusan kali ditonton. Tapi yang ini beda. Pokoknya beda. Kalo
nontonnya bareng pacar pasti akan terasa beda.
Setelah mandi dan sedikit berias untuk kencan malam ini, aku turun ke ruang
keluarga sambil menenteng laptop. Mamah yang masih duduk di depan TV namun
fokusnya ada pada ponsel yang sedang digenggamnya langsung mendongak begitu
melihatku.
“Mamah kok belum tidur? Udah malem lho,
Mah...” ujarku ramah, jelas basa-basi belaka. Mamah mencibir, sudah mengerti
dengan baik apa artinya kalau putri sulungnya menenteng-nenteng laptop ke ruang
keluarga.
“Sejak Teteh punya pacar, Mamah jadi
sangat paham dengan baik konsep bioskop
masuk rumah,” sindirnya tajam. Aku hanya bisa nyengir dan mengambil tempat
duduk di samping beliau.
“Land, Mamah mau ikut nonton bareng
kita, nih,” Aku mengadu setelah wajah Erland muncul di layar laptop. Terlihat
disana bahwa Erland langsung tersenyum lebar, merespon pengaduanku.
“Oiya? Wah, bagus, dong! Jadi nontonnya
makin seru karna Tante juga ikutan nonton, iya kan Tante?”
Keduanya malah jadi asyik
berbincang-bincang. Erland paling bisa mengambil hati Mamah. Ditambah lagi
karna Mamah nggak punya anak cowok, Erland benar-benar sempurna mencuri simpati
Mamah.
“Teh,” Mamah mengguncang bahuku. “Icha
menang lomba, lho!”
Mendengar satu nama itu, raut wajahku
langsung berubah. Nggak ada yang harus kutanggapi dari apa yang baru saja Mamah
katakan.
“Jadi ada lomba di twitter, tentang
bikin kata-kata romantis dari penerbit apaaa gitu. Hadiahnya paket buku yang
semuanya ditandatangani sama penulisnya masing-masing. Keren ya, Teh! Dari
twitter aja bisa dapet rezeki yang ‘wah’ gitu.”
“Biasa aja, Mah,” sahutku datar.
“Itu hebat lho, Teh. Mamah juga sering
lho ikutan kuis-kuis di FB, di twitter, tapi sampe sekarang belum menang. Icha
hebat ya, Teh!”
Aku paling malas kalau Mamah sudah
membahas tentang Icha. Aku paling malas kalau harus berhubungan dengan
orang-orang yang keranjingan social media.
Seperti narkoba yang punya efek candu, begitu juga dengan dunia maya. Sangat
tidak realistis. Menjauhkan yang dekat, tapi juga belum tentu membuat yang jauh
menjadi dekat.
Yah... semua alasan itu pengecualiannya
hanya terhadap hubunganku dan Erland.
“Mamah tidur deeeh, Teteh mau nonton
bareng Erland!” seruku bete. Di layar laptop, aku dapat melihat Erland yang
sedang tersenyum penuh pengertian. Mamah menarik hidungku dengan gemas.
“Oke, deh, okeee. Mamah tidur dulu.
Dasar anak muda!”
lanjutannya kapan nih ?
ReplyDeletelanjutannya sudah adaaa.. silahkan dibaca :)
Delete