Wednesday, October 30, 2013

Second: Heart Of Us #2

Kata Hati Chalya: Jadi... Kita LDR-an?
I love you but it’s not so easy to make you here with me. I wanna touch and hold you forever, but you’re still in my dream. I can’t stand to wait ‘till night is coming to my life. (Endah n Rhesa – When You Love Someone)

“Halo? Pak Dokter Erland, harap segera bangun, mandi, sarapan, dan kuliah. Ayo banguuun!”
“Hmm...”

“Pak Dokter Erland, banguuun! Masa hari pertama kuliah di semester tiga udah mau ngebolos, sih?”
“Ini udah bangun, hoaahm –“
“Pak Dokter Erlaaand!”
“Iya, Chalya Nadira Sayang. Jangan teriak-teriak, ah.”
“Hohoho...” Klik! Sambungan telepon terputus.
Ralat. Lebih tepatnya, aku tutup. Karena memang percakapan di pagi hari seperti ini hanya akan berakhir jika Erland sudah menyebutkan nama lengkapku. Yang artinya, Erland sudah sepenuhnya bangun tidur.
Yah... Beginilah kami sebagai pasangan yang menjalani LDR. Tau kan, ya? Long distance relationship. Satu model pacaran yang sepertinya sangat populer dijalani kebanyakan pasangan muda. Bukan hal yang mudah untuk dijalani, apalagi saat usia hubungan kami belum menginjak setahun.
Benar. Enam bulan setelah aku dan Erland jadian, kami akhirnya resmi LDR-an. Tanggalnya pun cantik, 20 Agustus 2012. 20-08-2012 yang terlihat seperti 2008-2012. Yah... 2008 adalah tahun dimana pertama kali aku dan Erland saling kenal, kemudian berteman dengan akrabnya. 2012 adalah tahun dimana kami resmi menjadi sepasang kekasih. Aku, layaknya gadis-gadis lain di berbagai belahan dunia yang sedang jatuh cinta, sangat senang menghapal berbagai tanggal kejadian penting dalam hubungan kami sebagai kekasih. Tiap harinya, tiap minggunya, tiap bulannya, jika terjadi sesuatu yang spesial antara aku dan Erland, semuanya selalu aku ingat dan catat dengan baik. Walaupun kami berjauhan. Selalu saja ada kejadian spesial di antara kami.
Untungnya, semua kejadian spesial itu adalah hal-hal baik. Untungnya, kami belum pernah bertengkar sampai ke taraf sama sekali tidak saling berkomunikasi. Kami – untungnya dari sekian banyak pasangan LDR – selalu dalam hubungan yang adem ayem, nyaman, damai.
Sarapan hari ini buryam mas gembul. Slse.
Otw kampus. Km jgn lupa sarapan jg.

Sms dari Erland itu membuatku tersenyum lega. Yah... Telepon di pagi hari, sms saat memulai aktivitas, adalah beberapa hal yang selalu kami lakukan. Saling mengingatkan, saling membantu, saling menjaga. Inilah bentuk hubungan kami. Walaupun jauh, bukan berarti kita nggak bisa melakukan apapun untuk pasangan kita. Sebaliknya, kita justru bisa melakukan apapun. Walau lewat pesan singkat.
Itulah salah satu komitmen awal yang kami putuskan saat Erland pergi ke Jogja pada 20 Agustus tahun lalu.
*
Stasiun Hall Bandung, 20 Agustus 2012
Pukul empat sore. Masih tiga jam lagi sebelum kereta tujuan Jogja berangkat, namun aku dan Erland sudah tiba disini lengkap dengan segala barang bawaan milik Erland. Sengaja kami tiba lebih awal, untuk menyiapkan hati atas perpisahan yang akan terjadi dalam waktu lama.
Walaupun cowok jangkung ini berjanji akan pulang setiap liburan semester, rasanya tetap saja terlalu lama. Atau bahkan kalau ada harpitnas – tahu kan, Hari Kejepit Nasional – yang panjang akan ia usahakan untuk kembali ke Bandung, tetap saja rasanya terlalu lama. Malah sebaiknya jangan terlalu berharap pada hal itu. Kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran bukanlah kehidupan dimana waktu luang bisa digunakan untuk bepergian ke luar kota seenaknya, apalagi untuk waktu yang tidak hanya semalam-dua malam saja.
“Yah... jangan dijanjiin kapan kamu pulang, deh,” kataku dengan nada pasrah. “Yang penting setiap libur semester kamu harus balik ke Bandung, oke?”
Erland tersenyum, suatu bentuk senyuman yang sangat aku sukai darinya. Kalau disuruh membaca bahasa tubuhnya, keahlianku jelas dalam hal membaca raut wajah Erland. Bagaimana wajahnya saat senang, kesal, jahil, sedih, kecewa. Semuanya aku tahu, karena Erland memiliki mata dan bibir yang benar-benar menjadi cermin hatinya, jendela jiwanya.
“Pasti, dong. Kan orang tuaku masih tinggal di Bandung.”
“Orang tua aja, nih?”
“Hmm...” Tangan kanannya mengetuk-ngetuk bahuku lembut, jahil pura-pura berpikir. “Emang ada siapa lagi?”
Walaupun tahu kalau ini hanyalah salah satu bentuk keisengannya, tetap saja aku kesal. Erland benar-benar nggak bisa bersikap romantis, bahkan dalam waktu yang sangat berharga ini! Dan menunjukkan wajah merengut benar-benar membuat tawanya lepas. Rangkulannya semakin dipererat.
“Karna di Bandung ada kamu, makanya aku harus selalu balik ke Bandung. Rindu itu bukan cuma kamu yang punya, lho, Sayang. Aku juga.”
Pasti wajahku merona merah saking bahagianya mendengar ungkapan itu. Yah... Betapapun Erland susah bersikap romantis, tapi sikapnya itu akan benar-benar total saat ia melakukannya. Karna Erland bukanlah pria yang mengumbar keromantisannya begitu saja.
“Kayaknya aku harus beli jam weker deh buat di kosan.”
“Kok?” Tanyaku, sebelum kemudian mengingat satu hal. “Ah, iya... Kamu kan bangunnya susah, ya. Alarm HP sama sekali nggak membantu.”
“Makasih lho udah dipertegas,” Erland menyentil keningku lembut. “Kamu yang bangunin deh, ya? Telpon aku tiap pagi, aku pasti bakal bangun.”
Aku mengernyit keheranan. “Kok bisa ngaruh? Kan sama aja suara HP.”
“Beda, lah... Ringtone-nya beda. Feel-nya juga beda daripada sekedar alarm doang, walaupun sama-sama dari HP. Okeee?”
“Di-oke-in nggak, yaa?” Aku pura-pura mikir. Eh, beneran mikir, sih. “Karna tinggal di Jogja, jam bangunmu harus lima belas menit lebih awal dari aku. Kalo aku harus ngebangunin kamu, berarti aku harus bangun lima belas menit lebih awal daripada jam bangun tidurku biasanya. Hmmm...”
“Hey, Chalya Nadira!” Pletak! Satu sentilan, lagi, dalam waktu yang nggak terlalu lama. “Kamu tega hitung-hitungan waktu? Sama pacar sendiri, lho!”
“Hohoho...” Wajah merengutnya benar-benar lucu! “Iya, Mas Pacar... Bakal dibangunin, deh. Wuuuu –“
“Wah, terima kasih, yaa..”
Stasiun kereta. Bangku panjang untuk menunggu. Menunggu kedatangan, juga kepergian. Pelukan hangat, tangisan, senyuman, semuanya merupakan pemandangan yang biasa terjadi di stasiun. Baik untuk melepas kepergian, maupun menyambut kedatangan. Seperti pemandangan di depan kami saat ini.
Kupandangi wajah tegas milik Erland dalam-dalam. Mengisi memori dengan raut wajahnya sebanyak mungkin, sejelas mungkin, agar ingatanku unya stok yang cukup untuk selalu mengukir wajahnya. Agar perasaan rasa rindu yang natinya datang tidak akan terasa begitu menyiksa. Juga untuk menguatkan apa yang telah dimulai bersama.
Erland balas menatapku, membuatku sedikit terharu, terbawa suasana. Tanan kanannya yang merangkulku, kini mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
“Aku juga punya satu permohonan...”
“Apa?”
Kuraih tangan kanannya sedemikian rupa sehingga aku dapat memeluk lengannya. Sisi ini...
“Sisi kanannya kamu... Jangan sampe ada cewek lain yang mengisi bagian ini. Sisi ini cuma aku yang boleh menempati.”
Saat tangan kirinya menopang kepalanya dan pandangannya hanya tertuju padaku yang duduk di sebelah kanannya, saat tangan kanannya mengenggam jemariku, saat tangan kanannya menyentil lembut keningku, aku suka. Saat hanya aku satu-satunya gadis yang selalu berada di sisi sebelah kanannya, aku sangat suka. Sisi kanan milik Erland, rasanya telah termaterai hanya untuk diisi oleh Chalya seorang.
“Cuma kamu yang boleh berada di sisi ini... adalah hal yang selalu aku jaga, bahkan sebelum kamu memintanya.”
*
Pernah dengar lagunya Endah n Rhesa yang judulnya When You Love Someone? Itu salah satu lagu kesukaanku. Liriknya mengandung makna yang sangat dalam. Jelas, aku tidak mencernanya sebagai seseorang yang memendam cinta. Justru aku menghayati setiap liriknya dalam posisi sebagai seseorang yang menjalani hubungan jarak jauh. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, apa bedanya orang yang LDR dengan yang memendam cintanya? Sama-sama bergantung pada harapan, bukan?
Kembali menjalani hidup sebagai seorang mahasiswi setelah satu setengah bulan tidak ada kegiatan perkuliahan itu menyenangkan. Karena akhirnya, ada hal lain yang harus dipikirkan dan dikerjakan selain hanya tugas organisasi. Bagi orang-orang yang terlibat dalam organisasi, yang namanya libur kuliah bukan berarti libur segalanya. Tugas-tugas dalam organisasi tidak mengenal kata libur. Rapat juga tidak mengenal kata libur.
Walaupun, ada hal yang harus disesali dari berakhirnya masa liburan: apalagi kalau bukan kembali LDR-an dengan pacar tercinta.
“Chalya!”
Tanpa harus menoleh pun aku sudah tahu. Suara itu milik Ketua BEM Universitas Soenarya.
“Anak-anak mana? Belom pada ngumpul? Yang konfirm datang rapat berapa orang? Siapa aja? Laporan terakhir udah masuk, kan?” Arnanda – itu namanya – langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan, mengganggu konsentrasiku yang sedang merapikan laporan catatan beberapa rapat BEM akhir-akhir ini. Sebagai BEM tingkat universitas, banyak sekali hal yang harus dikerjakan di awal semester ini, apalagi dalam penyambutan mahasiswa baru kemarin. Dan yang paling direpotkan dalam semua kegiatan ini, selain para ketua panitia acara, tentu saja adalah sang sekretaris, yang mana jabatan itu diemban oleh seorang Chalya Nadira.
“Sabar, Bapak Presiden. Rapatnya masih jam empat nanti. Sekarang baru jam tiga, Bapak Presiden,” jawabku tanpa memalingkan kepala sedikitpun. Arnanda tetap mendesakku agar memberikan jawaban pasti. “Para menteri bisa dateng semua, cuma menkominfo izin datang jam setengah lima karena praktikum. Kalo panitia nanti bakal datang full team, jadi nanti kita rapat di sekber – sekre bersama – yang memungkinkan untuk menampung banyak orang.”
Perlu diketahui. Nama kabinet yang diusung oleh Arnanda sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Soenarya adalah Kabinet Eksklusif. Sebagai seorang Ketua BEM, Arnanda memiliki kemampuan untuk menarik orang-orang spesial – para menteri, atau biasanya dalam kebanyakan organisasi disebut sebagai kepala divisi – masuk ke dalam jajaran kepengurusan BEM tahun ini. Ketelitiannya, keterbukaannya terhadap hal-hal baru, kemampuan memimpinnya, membuat orang-orang di sekelilingnya tanpa ragu mau bekerja sama dengannya. Termasuk aku.
“Bagus. Karena ini rapat persiapan menuju eksekusi, mereka semua harus hadir,” ujarnya lega. “Trus lo lagi ngapain?”
“Ngerapihin catatan. Gue harus nyicil LPJ – laporan pertanggungjawaban – dari sekarang,” jawabku serius. Dan emang serius. Walaupun kami baru dilantik tiga bulan yang lalu dan masih ada waktu sembilan bulan lagi sebelum pergantian kepengurusan, semuanya harus dicicil dari sekarang. Sebagai seorang Sekretaris Umum, hal itu juga yang aku tekankan kepada para sekretaris acara dan para menteri, supaya ke depannya tidak perlu repot di akhir kepengurusan. Arnanda hanya mendengus, sebelum kemudian ia menyalakan laptop dan duduk di sudut favoritnya di sekre BEM:di bawah tangga.
“Nan, lo dapet salam dari cowok gue.”
“Salam apaan? Salam tempel?” Selorohnya ngasal. Aku terkikik.
“Salam kangen. Trus katanya lo nggak boleh bikin gue capek dan juga gue harus pulang di bawah jam sepuluh malam.”
Arnanda hanya nyengir, “Dih, salam macam apa itu...” dan kembali berkonsentrasi dengan laptopnya.
Ini beneran, lho. Erland memang kirim salam untuk Arnanda. Juga peringatan supaya tidak membuatku terlalu capek mengurusi BEM. Semua jajaran Kabinet Eksklusif sudah mengenal Erland dengan baik. Gimana nggak kenal, karena selama liburan semester kemarin Erland beberapa kali hadir dalam kegiatan kami. Bahkan Erland menjadi alarmku.
“Ini kan cuma organisasi mahasiswa, masa iya kamu harus pulang jam jam sepuluh, jam sebelas, jam dua belas? Ini malah jam tiga rapatnya baru selesai! Kamu tuh cewek, lho. Mana aman pulang tengah malam gitu!” Begitu katanya saat pertama kali menjemputku dari musyawarah kerja kabinet kami yang pertama jam tiga dini hari. Nggak heran kalo dia marah. Tapi aku sama sekali nggak meminta supaya dijemput. Berhubung hal ini sudah kuperkirakan sebelumnya, aku sudah membawa perlengkapan untuk menginap di lantai dua sekre kami.
“Namanya ngurusin organisasi emang gitu, Sayang. Yah, latian buat menghadapi dunia kerja, deh –“
“Dunia kerja juga nggak sekejam itu, Chalya!”
Aku hanya mengelus lengan kanannya untuk menenangkan. Erland selalu begitu, dan aku akan selalu menanggapinya seperti ini.
“Aku suka sama hal-hal seperti ini. Rapat, berinteraksi dengan orang nge-lobby­, deket sama orang-orang rektorat, ngobrol sama orang-orang hebat yang jadi bintang tamu dalam setiap acara, semuanya menyenangkan. Semua kesibukan ini bener-bener menyenangkan dan juga... Efektif.”
“Efektif?” Ulangnya bingung.
“Iya, Sayang. Efektif untuk ngobatin kerinduanku sama pacarku yang kuliah di Jogja.”
Iya. Hanya ini pelarian yang aku miliki. BEM dan tugas-tugas perkuliahan yang menggunung. Hanya itu cara supaya aku bertahan dalam hubungan jarak jauh ini. Hanya supaya aku tidak harus menyerah dalam hubungan ini. Karena ternyata, kerinduan yang amat dalam itu sangat menyesakkan.
Untunglah Erland bisa mengerti, walau selalu menyuarakan protes keras. Karena, sebagaimana diriku, Erland juga memiliki pelariannya sendiri.
Pelarian Erland ada pada komputer, dengan berbagai permainan serta fasilitas internet di dalamnya.
Dilihat dari sisi manapun, sebenarnya aku heran Erland mengambil jurusan kedokteran. Karena Erland yang aku kenal benar-benar seorang pengamat teknologi informasi. Apapun perkembangan terbaru, Erland pasti tahu. Erland benar-benar memanfaatkan segala kemudahan yang diberikan oleh dunia maya dengan sangat baik, termasuk untuk berjejaring.
Kesukaan Erland dalam mengeksplorasi segala jenis social media yang tersedia di dunia maya benar-benar bertolak belakang denganku. Seumur hidup, satu-satunya hal yang bersentuhan dengan dunia maya yang aku miliki hanyalah e-mail address. Aku nggak pernah yang namanya membuat akun facebook, twitter, atau apapun lainnya yang semakin hari semakin bertambah saja. Jangankan membuat, mengaksesnya saja aku tidak pernah. Ponselku yang pintar ini isinya hanya permainan-permainan yang aku suka, tidak ada aplikasi lain.
Ah... Ada. Karena alamat email saat ini tidak hanya digunakan untuk berkirim dokumen elektronik, namun juga bisa untuk chatting dan video call, maka hanya fungsi-fungsi itulah yang aku manfaatkan untuk berinteraksi dengan Erland. Setidaknya, fungsi itu bisa membuat kami saling bertatapan, walau raganya tetap saja jauh.
Namun, aku sangat menghormati apapun keputusan Erland. Menjadi dokter juga hal yang sangat cocok buat Erland. Kalau dipikir-pikir, apapun yang berkaitan dengan dunia eksak cocok buat Erland, karena dia seorang jenius. Sedangkan aku, tidak pernah sekalipun terlintas untuk punya cita-cita lain selain menjadi seorang jurnalis. Seorang jurnalis yang dikejar deadline, memiliki kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitar, memiliki kemampuan untuk menyusun kata-kata dalam tempo singkat. Jurnalis yang seperti itu.
Sepuluh menit lagi jam empat sore. Saatnya bersiap untuk rapat dalam rangka penerimaan mahasiswa baru Universitas Soenarya. Yah... Sepertinya menjadi sekretaris organisasi merupakan lahan pembelajaran yang baik untuk karir sebagai seorang jurnalis nantinya.
*
Untunglah rapat hari ini selesai sebelum jam sembilan malam, jadi aku bisa sampai rumah tepat waktu. Harus tepat waktu, karena malam ini aku sudah janji dengan Erland.
Malam ini, kami bakal kencan. Film yang sangat kami suka malam ini akan diputar – lagi – di televisi. The Last Samurai.
Iya, filmnya udah sering diputar. Iya, mungkin udah ratusan kali ditonton. Tapi yang ini beda. Pokoknya beda. Kalo nontonnya bareng pacar pasti akan terasa beda.
Setelah mandi dan sedikit berias untuk kencan malam ini, aku turun ke ruang keluarga sambil menenteng laptop. Mamah yang masih duduk di depan TV namun fokusnya ada pada ponsel yang sedang digenggamnya langsung mendongak begitu melihatku.
“Mamah kok belum tidur? Udah malem lho, Mah...” ujarku ramah, jelas basa-basi belaka. Mamah mencibir, sudah mengerti dengan baik apa artinya kalau putri sulungnya menenteng-nenteng laptop ke ruang keluarga.
“Sejak Teteh punya pacar, Mamah jadi sangat paham dengan baik konsep bioskop masuk rumah,” sindirnya tajam. Aku hanya bisa nyengir dan mengambil tempat duduk di samping beliau.
“Land, Mamah mau ikut nonton bareng kita, nih,” Aku mengadu setelah wajah Erland muncul di layar laptop. Terlihat disana bahwa Erland langsung tersenyum lebar, merespon pengaduanku.
“Oiya? Wah, bagus, dong! Jadi nontonnya makin seru karna Tante juga ikutan nonton, iya kan Tante?”
Keduanya malah jadi asyik berbincang-bincang. Erland paling bisa mengambil hati Mamah. Ditambah lagi karna Mamah nggak punya anak cowok, Erland benar-benar sempurna mencuri simpati Mamah.
“Teh,” Mamah mengguncang bahuku. “Icha menang lomba, lho!”
Mendengar satu nama itu, raut wajahku langsung berubah. Nggak ada yang harus kutanggapi dari apa yang baru saja Mamah katakan.
“Jadi ada lomba di twitter, tentang bikin kata-kata romantis dari penerbit apaaa gitu. Hadiahnya paket buku yang semuanya ditandatangani sama penulisnya masing-masing. Keren ya, Teh! Dari twitter aja bisa dapet rezeki yang ‘wah’ gitu.”
“Biasa aja, Mah,” sahutku datar.
“Itu hebat lho, Teh. Mamah juga sering lho ikutan kuis-kuis di FB, di twitter, tapi sampe sekarang belum menang. Icha hebat ya, Teh!”
Aku paling malas kalau Mamah sudah membahas tentang Icha. Aku paling malas kalau harus berhubungan dengan orang-orang yang keranjingan social media. Seperti narkoba yang punya efek candu, begitu juga dengan dunia maya. Sangat tidak realistis. Menjauhkan yang dekat, tapi juga belum tentu membuat yang jauh menjadi dekat.
Yah... semua alasan itu pengecualiannya hanya terhadap hubunganku dan Erland.
“Mamah tidur deeeh, Teteh mau nonton bareng Erland!” seruku bete. Di layar laptop, aku dapat melihat Erland yang sedang tersenyum penuh pengertian. Mamah menarik hidungku dengan gemas.

“Oke, deh, okeee. Mamah tidur dulu. Dasar anak muda!”

2 comments: