Sunday, September 15, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #10


Untuk kedua kalinya di hari ini, Tari melangkahkan kaki di rumah sakit tempat Ari dirawat. Tangannya memegang kantung plastik berisi buah-buahan segar.
Sejujurnya, dalam perjalanannya kali ini pikiran Tari justru sedang sangat kusut. Sikap Ata, peringatan dari Angga, ancaman Vero, dan terakhir... Ridho.
Oke, ancaman Vero tidak terlalu ia pikirkan karena hanya alasan Vero lah yang paling klasik, karena perasaan suka yang mengakar. Justru tiga cowok itu yang sangat misterius. Sangat gelap, dan... menakutkan!
Terutama Angga, dan temannya yang bernama Bram. Yang telah tega menusuk Ari. Kalo sekarang sampai berani main fisik, berarti persoalan di antara mereka memang sangat serius! Lebih serius daripada sekedar tawuran antar sekolah belaka. Sayangnya, Tari tak dapat menebak apa yang menjadi pokok permasalahannya.
Ruang VIP. Tari mengintip lewat celah pintu. Ada Mamanya Ari yang setia menjaga anaknya, duduk tegap seraya mengelus rambut sang Matahari Senja. Hati Tari menjadi semakin terenyuh. Apa seseorang yang bertingkah buruk di masalalu hanya untuk mengejar bayangannya yang telah direnggut, cuma boleh merasakan kebahagiaan sesedikit itu? Hanya sekejap? Apalagi yang menunggu di depan sana untuk Kak Ari?
“Nak Tari...” suara lembut itu membuyarkan lamunan Tari. Kehadirannya rupanya telah disadari. Kikuk, Tari masuk ke dalam ruangan dan mengambil tempat di sebelah Mama Ari.
“Gimana keadaan Kak Ari, Tan?”
“Tadi lukanya sempat terbuka kembali, namun bisa diatasi dengan cepat oleh tim dokter,” jawab wanita itu sekenanya. Tari menghela napas lega. Ditatapnya wajah tampan yang saat ini sedang tertidur pulas.
Seorang ibu dengan kasih yang sangat besar tentu saja dapat mengartikan pandangan yang Tari berikan terhadap anaknya. Cinta masa muda, begitu ia menyebutnya. Tanpa menimbulkan suara, Mama Ari memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua.
Kak Ari... Sapa Tari, hanya dalam hati. Tangannya secara perlahan menyusuri wajah lelaki itu. Wajah tampan yang menyimpan seribu luka. Wajah yang selalu memasang topeng. Namun saat ini, topeng itu sempurna terlepas. Warna mukanya, serta keteraturan napasnya, seakan-akan cowok ini tidak pernah tidur dengan damai. Ada rasa syukur yang menyelinap di hati Tari saat melihatnya, walau sedih masih tetap menyusup karena Ari belum sadar juga.
“Lo itu... Keliatan gagah, kuat dan keren kalo pas lagi tawuran. Keliatan semangat ’45 kalo lagi gangguin gue,” Tari ngedumel pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan Ari, usil. “Sekarang, mana? Bangun, dong...”
Tari masih asyik mengetukkan jemarinya di lengan kanan Ari, tanpa menyadari bahwa lengan itu memberikan respon walau lemah.
Mata Ari perlahan membuka.
“Bangun dong, pahlawan kesiangan. Masa’ lo tega ngebiarin gue ngomong sendiri–“
“Gue denger, lho...”
Deg!
Tari langsung mengangkat kepala, menatap tepat di manik mata Ari. “Kak Ari!”
Betapa bersyukurnya Tari karena bisa mendengar suara orang ini. Saking bahagianya, sampai-sampai dipeluknya leher Ari hingga cowok itu gelagapan.
“Tar... Tari... Ini napasnya masih susah, lho.”
“Kyaaaa!!” Tersadar dari tindakan memalukannya, Tari langsung kembali duduk sembari menutup muka dengan kedua tangannya. Bodoh! Kenapa harus dipeluk segala coba, aaaah...
Ari tersenyum melihat tingkah gadis itu. “Lo nggak kenapa-napa, kan?”
“Nggak,” jawabnya ringkas, “tapi lo yang kenapa-napa!”
“Setidaknya lo baik-baik aja. Syukur, deh...”
“Gimana bisa baik-baik aja sementara Kak Ari luka parah gini...?” gumam Tari pelan, namun dapat didengar oleh Ari. Demi melihat wajah sedih itu, sebelah tangan Ari yang bebas mengusap puncak kepala Tari.
“Maaf...”
Tari terkesiap. Salah tingkah. Namun cepat-cepat diubahnya perasaan itu dengan sikap mengomeli Ari.
“Makanya kalo gue bilang jangan tawuran tuh nuruuut! Kalo udah gini, tuh... Lo juga kan yang rugi banyak? Cuma bisa tiduran doang di kamar, wuuuu –“
“Iya, maaf...” Ari mengulangi permintaan maafnya dengan tulus. “Harusnya gue dengerin kata-kata lo. Yah... Mau gimana lagi. Gue lebih sayang sama tawuran, sih.”
Lagi-lagi Tari terkesiap. Seketika mukanya merona. Ya ampuuuuuun, orang ini! Lagi sakit gini masih aja ngegodain!
“Jangan dibahas!”
“Bahas, dong!” Kilah Ari, nggak mau kalah. “Gue masih penasaran.” Ketika dilihatnya gelagat Tari ingin menutup telinga dari semua godaannya, Ari menarik sebelah tangan cewek itu. Genggamannya tidak begitu kuat, namun tetap saja Tari tak kuasa melawan. Pasrah, ditatapnya kedua mata Ari, yang saat ini balas menatapnya teduh.
“Harusnya lo nggak perlu teriak gitu di depan satu sekolah. Nggak takut sama gunting-gunting norak itu?” Ari meyinggung-nyinggung tentang Vero dan The Scissors nya, membuat Tari sesaat bergidik, teringat akan serangan Vero saat di sekolah tadi.
“Gue udah ngomong gitu juga lo tetep pergi – “
“Karena masalahnya nggak segampang itu, Tar,” kali ini suara Ari terdengar serius. “Mau denger satu rahasia lagi?”
Tari siap menyimak.
“Tawuran dengan Brawijaya... Bukan. Selama menjalaninya, gue nggak pernah ngerasa kalo Brawijaya yang nyerang kita.”
“Maksudnya?”
“Perkiraan gue, Angga nyerang gue atas nama pribadi. Tapi gue nggak tau kenapa.”
Tari memicingkan matanya, berlagak mikir. Tiba-tiba satu titik mulai terlihat, walau masih semu. Ternyata benar! Selama ini, target Angga hanya Ari. Hal ini semakin mempertegas ingatan Tari pada ancaman Angga kemarin mengenai keselamatan Ari.
Namun Tari merasa, masih belum saatnya bagi dirinya untuk mengutarakan ancaman Angga tersebut terhadap Ari. Langsung dienyahkannya pikiran tentang Angga.
Gelagat Tari yang seperti itu justru membuat Ari sewot. “Lo gak percaya gue ngomong buruk gini tentang Angga?”
Satu tangan Tari yang masih bebas digunakan untuk mencubit lengan Ari. Sontak, Ari mengaduh kesakitan.
“Kak Ari jangan ngaco, deh! Gue nggak ada perasaan apa-apa ke Angga.”
“Tuh!” Ari makin sewot. “Manggil gue mesti ada embel-embel ‘Kak’, kenapa buat dia langsung manggil nama?”
“Kan Kak Ari yang nyuruh supaya gue hormat dan sopan sama senior.”
“Kan Angga juga senior!”
“Tapi kan dia nggak satu sekolahan sama kita!”
“Ooooh!” Ari berseru dramatis. “Harus satu sekolahan dulu!”
“Lagian kalo gue langsung manggil nama ke Kak Ari, bisa-bisa gue digunting habis sama para fans lo, si gunting-gunting menawan itu!”
Ari ngos-ngosan. Sedikit terbatuk. Dengan sigap Tari langsung mengambilkan air mineral dan membantu Ari untuk minum.
“Dasar tukang ngeles. Tenaga gue langsung habis, nih.”
“Salah siapa, cobaaa...”
Keduanya tertawa hangat. Ari, dengan suara lembut namun tak terbantahkan, meminta Tari untuk membaringkan kepala di bahunya. Diusapnya puncak kepala gadis itu dengan sangat pelan.
“Benar... Apa jadinya kalo elo nggak ada, ya?”
Tari merasa seperti pernah mendengar kalimat itu. Entah kapan. Namun dari orang yang sama. Tersipu malu, namun dipeluknya leher Ari dengan lembut. Gue nggak bakal ngebiarin elo menghadapi semua ini sendirian, Kak Ari...
*
Ari lelah. Seharian ini, entah sudah berapa kali ia menerima kunjungan. Kebanyakan para cewek. Yang paling heboh tentu saja saat Vero dan antek-anteknya muncul. Begitu Oji memberitahukannya tentang kedatangan Vero, Ari langsung pura-pura tertidur. Berharap dengan aktingnya kali ini Vero nggak akan berlama-lama di rumah sakit.
Sialnya, dalam ruangan itu terdapat Mamanya Ari. Dan Vero langsung bertingkah sangat lebay.
“Maaf, Tante, baru datang sekarang. Tadinya Vero mau langsung ke rumah sakit, tapi guru-guru mencegat kami semua, Tan. Belum lagi pendalaman dan persiapan UN lainnya yang benar-benar melelahkan. Sejujurnya nih, Tan... Tadi Vero nggak konsen banget selama pelajaran. Kepikirannya Ari terus. Maklum deh, Tante, selama ini cuma Vero yang paling deket sama Ari. Vero takut Ari kesepian gitu, Tan...”
Baru setelah Vero pergi, Ari langsung membuka mata dan mengklarifikasi semuanya pada Mama.
“Jangan percaya sama ketua geng gunting itu, Ma! Satu-satunya cewek yang deket sama Ari – “
“Cuma Tari,” potong Mama lugas, namun tepat sasaran. “Benar, kan?”
Ari tersipu malu.
“Gak pa-pa kan, Ma?”
“Ternyata Ari benar-benar sudah besar, ya. Sudah mulai suka-sukaan sama lawan jenis,” hanya itu yang dikatakan oleh Mama seraya mengelus puncak kepala Ari.
Sementara di luar, Ata menyaksikan itu semua dengan bara meletup di matanya.
*
Tari tetap bersekolah seperti biasa. Selain karena Ari melarangnya untuk bolos – dengan alasan ingin membangun nama baik di depan Bu Sam – Tari juga ingin menyelidiki sesuatu. Menyelidiki Ata. Mengamati gerak-geriknya. Serta mengkonfirmasi ucapan Ridho yang kemarin.
Untuk memastikan bahwa Tari sudah sampai di sekolah, Ari – dengan sangat terpaksa – mengutus Oji untuk menjemput Tari serta mengantarkannya hingga sampai ke tempat duduknya di kelas. Jelas aja Tari jengkel. Emangnya dia anak TK!
“Halo? Bos, Tari udah nyampe di sekolah dengan sehat wal’afiat... Apa? Udah... Udah duduk manis di bangkunya, tuh. Sekalian gue beliin teh manis anget, malahan! Ntar duitnya gantiin, tiga ribu, tuh! Sip... Mau bicara sama Ibu Negara?” Oji mengoper ponselnya ke Tari. “Pangkalan pusat menunggu laporan, nih!”
Tari makin dongkol mendengarnya. Keki, diterimanya ponsel Oji dengan kasar. Sementara itu, Oji mulai beraksi dengan menggoda Fio.
“Jangan terpesona banget ya karena sekarang gue duduk tepat di depan lo. Lagi ngejagain Ibu Negara, nih!”
Demi sopan santun terhadap kakak kelasnya, Fio hanya bisa tertawa garing. Apa kata lo deh!
“Halo!” Tari berseru sewot pada orang di seberang telepon.
“Duh, orang sakit kok malah diteriakin, sih.”
“Habisnya rese banget siiiih, gue ngerasa kayak anak TK dianter sama orangtuanya untuk masuk sekolah pertama kali, tauuuu!”
Tawa Ari terdengar berderai di ujung sana, sementara Tari malah semakin keki. “Baik-baik ya, di sekolah. Kalo ada yang nakal, langsung lapor Oji. Oke?”
“Yaa lo tau sendiri dooong...” Tari berkata lirih, sangat pelan hingga bahkan Ari tidak mendengarnya dengan jelas. “Udahan ah telponannya, sekarang lo istirahat, gih.”
Oji bersiul usil. “Duileee... Perhatiannya!” Kemudian Oji kembali mengambil ponselnya dan berbicara, “Gue juga mau dong, Bos, diperhatiin gitu!”
Jawabannya tidak bisa Tari dengar karena Oji langsung melangkah keluar dari X-9. Tari menghela napas lega. Namun, dirasakannya suasana kelas mendadak sepi. Firasat gak enak, nih...
“CIYEEEEEE MATAHARI BERSINAR CERAH YAAA!!”
Suara itu! Seruan Nyoman – yang nggak kapok walaupun udah menghadapi Vero dan juga diceramahi oleh Fio – juga dibarengi dengan koor riuh rendah dari teman-teman sekelasnya, membuat Tari semakin pusing.
“Airlangga panas banget yaah, kebanyakan matahari nih!”
“Mataharinya lagi pada semangat memancarkan aura...”
“Aura kasih!”
“Hhahahahaa...”
Duuuuh, pada stres semuanya!
“Aaaaaa!! Fiooooo!!”
Fio hanya bisa menatap Tari dengan pandangan kasihan bercampur geli. “Elo sih!”
*
Ata melihat itu semua dalam jarak yang lumayan dekat, namun bisa dipastikan tak dapat diprediksi oleh objek pengamatannya. Bagaimana Oji begitu setia mengantarkan Tari ke kelasnya, demi Ari. Bagaimana Oji melaporkan dengan detail mengenai kondisi Tari, demi Ari. Bagaimana sorakan-sorakan itu tercipta, demi melihat Tari yang begitu mengkhawatirkan... Ari.
Ata melangkah menjauhi tempat itu menuju kebun belakang sekolah.
Ata muak!
Seakan seluruh dunia ini berputar mengelilingi Matahari Senja.
Ada kalanya Ata membenci kenyataan bahwa ia dan Ari begitu serupa. Begitu mirip satu sama lain. Sangat identik. Karena tak jarang, keidentikan ini justru membuat hatinya terbakar.
Terpujilah seorang Ari kecil yang pendiam, penurut, yang selalu gelayutan di kaki Mama. Sehingga terkutuklah Ata kecil yang selalu bertindak sebagai pahlawan namun ujung-ujungnya malah membuat teman-teman sepermainannya menangis. Seluruh perhatian terpusat pada Ari kecil. Semua orang terpesona pada Ari kecil.
Termasuk Ata kecil, yang saat itu rela memberikan segalanya asalkan saudara kembarnya itu baik-baik saja.
Sial...
Ata kecil, yang saat orangtuanya bercerai hanya bisa menangis. Yang saat orangtuanya berdebat hebat hanya bisa meringkuk dalam selimut kecilnya, awalnya tidak memiliki perasaan apapun ketika orangtua mereka memperebutkan siapa mengasuh siapa. Pun tidak protes ketika Ari bersama Papa, sedangkan dirinya bersama Mama. Ata kecil menurut.
Ata kecil pun tidak protes saat Mama setiap hari bepergian sampai lupa segalanya hanya untuk mencari Ari. Meninggalkannya sendirian di rumah, nggak peduli bahwa Ata kecil juga memiliki rasa takut. Sungguh, Ata kecil nggak pernah keberatan akan hal itu.
Namun... Ata kecil juga akhirnya merasa jenuh. Jenuh karena tidak diperhatikan. Jenuh karena Ari kecil tak kunjung ditemukan, sedang Mama terlihat seperti bukan Mama yang ia kenal.
Siaaalll...
Demi Mama, Ata rela berubah. Demi Mama, Ata rela menjadi seorang anak yang penurut, yang mau disuruh ke warung, yang mau disuruh beberes rumah, yang mau belajar tanpa disuruh. Demi Mama, Ata rela mengisi tempat Ari yang saat itu kosong.
Demi Mama, Ata rela menjadi Ari.
Itulah awal kejengkelan Ata terhadap Ari.
“Sialaaaaannnn!!!!”
Jeritannya menggelegar. Siapapun yang mendengarnya pasti akan bisa merasakan kesakitan disana. Luka hati yang mendalam. Kecemburuan yang mengakar. Pengorbanan yang begitu besar namun tak pernah terlihat.
Dipikirnya, nggak ada satu orang pun yang akan menginjakkan kaki di tempat ini.
“Woy!”
Ternyata ada. Ata menoleh ke arah sumber suara.
Ada Ridho  yang menjulurkan setengah badannya dari balik pohon beringin. Cepat-cepat Ata mengontrol air mukanya.
“Elo, Dho. Gue kira nggak bakal ada orang yang mau kesini,” sahutnya, basa-basi. Ata mengambil duduk di samping Ridho. “Ngapain lo disini?”
“Nah... justru karena anggapan yang begitu itu, yang bikin gue ngejadiin tempat ini sebagai tempat bertapa,” Ridho menjawab dengan gaya khas petapa. Ata pun melakukan hal yang sama, kemudian keduanya tertawa pelan.
“Lo nggak ikutan nganterin Tari?” Basa-basi lainnya dari Ata. “Tadi gue lewat depan kelas sepuluh, tuh. Pada rame.”
Ridho menjawabnya dengan tak acuh.
“Lagi mau rehat dari titah paduka raja. Gue capeeek.” Ketika dilihatnya Ata tidak mengerti, Ridho melanjutkan, “Kembaran lo itu, beuh... Sori nih ya, tapi lo pasti hapal dong sama sifat-sifatnya dia. Bossy, rese’, liar! Ampuuun deh. Waktu kecil juga dia udah begitu banget, ya?”
Gigi Ata gemeletuk, menahan jengkel. Lebih tepatnya, ia merasa tersindir. Namun ditahannya mati-matian segala emosi yang menggelegak di dasar hati.
“Tapi, Ta... Kok lo kemarin nggak ikut nganterin Ari ke rumah sakit?” Tanya Ridho polos.
“Yah... Gue ngerasa punya tanggung jawab moral aja untuk ngebantu sodara gue yang luka parah dengan ngelanjutin perjuangannya dia. Kayaknya kemarin bener-bener nggak ada waktu buat menye-menye,” jawabnya diplomatis. Ridho mengangguk-angguk, paham. “Lo sendiri kenapa kemarin nggak ikut ke rumah sakit? Kan lo sahabatnya.”
“Kacungnya, kali,” jawab Ridho pelan. Kali ini dengan nada serius. “Kan kemarin gue dapet titah untuk ambil alih pasukan dari dia. Ya, itu, karena mau ngurusin Tari yang jelas-jelas lagi sama elo. Lagipula... Rasa cinta gue untuk membela nama baik Airlangga jauh lebih besar daripada nganterin dia. Dia sih, udah pastilah banyak yang nganterin.”
Wow... Ata bersiul dalam hati. Bahkan yang diyakini sebagai orang terdekat Ari aja bisa ngomong begini. Lumayan... Buat nambah suporter!
“Gue salut sama elo, Dho. Kayaknya kita satu visi.”
Ridho mengernyit. “Satu visi apaan?”
Yang ditanya malah menderaikan tawanya keras-keras. “Bantu gue mengakrabkan diri sama anak-anak, dong! Kasian nih, gue, nggak punya temen!”
“Gampaaang! Tawaran main bakal banyak banget ngalir ke elo deh mulai sekarang, apalagi setelah ngeliat aksi lo yang – sumpah – lebih keren daripada Ari,” Ridho membesarkan hati Ata. Dengan ramah, diajaknya cowok itu bermain basket di lapangan sekolah.
Ini baru awal.
*
Ada yang aneh di sepanjang hari ini. Ridho... sama Ata? Ngapain?
Keduanya terlihat sangat akrab. Kemana-mana berdua. Ridho, dengan santainya mengenalkan Ata pada semua orang yang dijumpainya. Riuh rendah menyambut Ata, yang disebut-sebut sebagai pahlawan baru SMA Airlangga.
Oji, yang melihat itu semua, hanya bisa melongo tak percaya. Tuh orang gimana sih! Malah ngedeketin orang yang lagi dicurigai sebagai musuh dalam selimut!
Makanya, saat pelajaran berlangsung, Oji menyenggol keras rusuk Ridho.
“Apa?”
Dengan suara berbisik, Oji bertanya, “Lo ngapain akrab bener sama si Ata? Lo lupa sama misi kita?”
Ridho hanya menjawab singkat, “Bukan urusan lo,” sebelum kemudian ia memusatkan konsentrasinya kepada pelajaran. Oji menahan geram.
Sejak kapan lo bertingkah sebagai pengkhianat?!
*
Ada yang aneh di sepanjang hari ini. Ridho... sama Ata? Ngapain?
Keduanya terlihat sangat akrab. Kemana-mana berdua. Ridho, dengan santainya mengenalkan Ata pada semua orang yang dijumpainya. Riuh rendah menyambut Ata, yang disebut-sebut sebagai pahlawan baru SMA Airlangga.
Tari, yang melihat itu semua, hanya bisa melongo. Tak percaya dengan penglihatannya. Kenapa?Bukannya Ridho yang nasehatin gue supaya nggak ninggalin Ari? Kenap –
Seketika Tari memahami keseluruhan kondisinya. Apa yang sedang terjadi, dan perkiraan apa yang akan terjadi ke depannya.
Serangan baru... akan segera dimulai!
*
Ada yang sedang sendirian menahan sakit. Ada yang hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit.
Ari jengkel dengan kondisinya saat ini, yang membuatnya menjadi manusia yang sangat tidak produktif. Nggak bisa gangguin para guru, nggak bisa main futsal amupun basket dengan teman-teman sekelasnya, dan terutama... Nggak bisa mengawasi Tari.
Untuk tiga hari ke depan, sampai dirinya benar-benar diijinkan pulang oleh dokter, Ari terpaksa menitipkan keselamatan Tari di tangan Oji. Sejujurnya, Ari ingin tidak hanya Oji yang menjaga Tari, namun juga Ridho. Jika gadis kesayangannya berada di bawah pengawasan dua orang yang paling dipercayainya saat di sekolah, hati Ari pasti akan jauh lebih tenang.
Namun ini aneh. Sangat aneh.
Bahkan sejak ia sadar kemarin, Ari sama sekali belum melihat Ridho menjenguknya. Pagi ini, saat Ari mencoba menghubungi Ridho, ponsel sahabatnya itu sedang tidak aktif. Ada apa dengan Ridho?
Oji juga bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Ari.
“Gue sih daritadi fokus ngeliatin Tari, Bos. Sama ngerayu Bu Sam – doi serem banget tadi ngeliatin gue! Jadi nggak sadar juga yah, Ridho dimana,” begitu kilahnya saat mengunjungi Ari sore ini.
“Gue coba telepon dia juga, nomornya nggak aktif,” Ari berujar bete. “Tuh orang lagi suka sama cewek kali, ya? Trus kita-kita dilupain, gitu. Puh!”
Yee... Sodara kembar lo ternyata cewek! Oji berujar keki, namun hanya dalam hati. Mana mungkin Oji tega mengabarkan pada Ari tentang kondisi di sekolah, apalagi masalah Ridho.
“Pokoknya, Bos... Lo harus cepet sembuh,” kata Oji serius. “Sekolah ngebetein banget deh kalo nggak ada lo! Bahkan Bu Sam sampe keliatan lesuuuu banget, karena murid favoritnya nggak masuk.”
Keduanya tergelak, walau masing-masing tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Tawa ini serasa kurang lengkap tana satu orang lagi di sisi mereka.
Tak berapa lama, pintu ruangan tempat Ari dirawat terbuka.
“Eh, ada Nak Oji...” Sapa Mama, ramah. Oji buru-buru menghampiri Mamanya Ari, seraya membantu membawakan barang-barang bawaannya beliau.
“Mama sendirian?”
“Tadi sama Tante Lidya, cuma Tante Lidya konsultasi dulu sama dokternya, kebetulan di rumah sakit ini juga,” jawab Mama lembut. “Ari udah baikan?”
“Udah, dong, Ma...”
“Ari udah makan?”
“Belum. Baru aja mau minta Oji nyuapin Ari,” tutur cowok itu jahil seraya mengedip genit ke arah Oji. Melihat itu, Oji langsung memparodikan gaya orang muntah.
“Bos! Geli, ih! Yang ada tuh makanan masuknya ke mulut gue sendiri, woo...” Setelah berkata begitu, Oji memasang wajah tanpa dosa kepada Mamanya Ari seraya berkata, “Eh... Maaf, Tante.. Kebiasaan. Hehehe...”
Mama hanya tergelak melihat tingkah kedua anak muda ini.
“Oiya, Mama hampir lupa,” wanita itu lalu merogoh barang bawaanya, dan mengeluarkan sebuah...
“Baju, Ma?” Tanya Ari heran. Mama mengangguk.
“Baju sekolah kamu yang kemarin kan udah nggak mungkin dipakai lagi. Ini, semalam Mama jahitin seragam sekolah untuk kamu. Ukurannya pakai ukuran Ata, sih. Semoga Ari suka, ya...”
Ari – dan juga Oji yang menyaksikan hal tersebut – terharu. Setelah sekian lama, ini adalah kali pertama Ari dibuatkan baju oleh Mamanya.
“Ari sayaaaaang banget sama Mama. Terima kasih, Ma...”
“Sama-sama, Nak...”
Bahagia itu sederhana. Menyaksikan sahabat karibmu sendiri bahagia setelah sekian lama kamu hanya melihatnya bermuram durja. Seperti saat ini. Oji sangat bersyukur karena akhirnya Ari dapat merasakan kembali kasih sayang seorang ibu.
*
Ridho bukannya tidak melihat segala keharubiruan di dalam sana. Ia melihatnya dengan jelas, bersama Ata. Namun hanya dari luar. Keduanya tidak masuk ke dalam.
“Kenapa lo gak masuk aja, sih? Kembaran lo, tuh,” Tanyanya pada Ata.
“Kenapa lo gak masuk aja, sih? Sobat lo, tuh,” Ata membalikkan pertanyaan tersebut pada Ridho. Keduanya hanya terdiam. Sibuk dengan kemelut pikirannya masing-masing.
*
Hari Rabu. Harinya pelajaran olahraga bagi kelas X-9.
Sialnya, ada satu kelas lagi yang ikut bergabung main kasti bersama X-9. Kelasnya Vero. Karena suatu urusan, Pak Adang – yang juga guru olahraga kelas XII IPA 1, kelasnya Vero – menyatukan jadwal olahraga mereka.
Tari, Fio dan Nyoman langsung terdiam. Kalo Nyoman sih lebih ke takut, trauma melihat kehadiran Vero. Namun bagi Tari dan Fio, ini artinya... Bencana!
“Tar.. Nggak ada bala bantuan, nih?” bisik Fio pelan saat mereka melintasi lapangan.
“Saatnya berjuang sendiri! Dipikirnya dia siapa, gue bakalan takut gitu sama dia? Huuu... Nggak bakal!”
Dengan nada suara yang dilantang-lantangkan, Tari menjawab pertanyaan Fio. Walau dalam hatinya masih dagdigdug, tapi kali ini... Tari akan melawan!
Pak Adang, guru olahraga kedua kelas itu, hanya memberikan arahan sedikit, sebelum kemudian membiarkan para muridnya bermain dengan adil dan bijaksana. Maksudnya, maunya Pak Adang sih gitu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Dalam permainan kasti ini, seakan-akan aturan baku tidak berlaku. Semuanya pada gambreng menentukan siapa yang akan menjadi pemukul. Namun, untuk masalah siapa yang akan melempar bola, nggak ada gambreng-gambrengan. Karena sudah ada yang berinisiatif atas posisi itu.
Siapa lagi kalo bukan... Vero!
Tari, yang sialnya kebagian sebagai pemukul pertama kali, hanya bisa pasrah. Pokoknya mau nggak mau, gimanapun caranya, bola itu harus berhasil dia pukul!
“Minggir lo semua!” Seru Vero lantang. “Permainan ini milik gue sama si oranye-oranye norak itu!”
Oranye-oranye noraaaak?! Pekik Tari dalam hati. Dasar gunting buta warna!
“Siap-siap, ya...”
BRUUUKK!!
Lemparan pertama telak mengenai lengan Tari. Akibat kelengahannya! Tari jadi makin dongkol. Kali ini, nggak akan ia biarkan lemparan dari Vero menyentuh tubuhnya.
Nyatanya lemparan itu datang bertubi-tubi. Dari jarak yang bervariasi. Mulanya jauuuuh banget, kemudian mendekat, dekat, dan... Menjadi sangat dekat! Tari sampai kewalahan menangani pukulan bertubi-tubi itu. Jangankan Tari, semua yang ada di lapangan lebih memilih untuk menghindar daripada kena bola nyasar!
“Duh, Kak Vero gimana sih!” Tari ngedumel, kesal. “Permainan Kakak payah banget. Payah, PARAH!!”
Tari memancing. Dan, Vero jelas saja terpancing. Dengan langkah yang besar-besar, dihampirinya Tari hingga kemudian... PLAKK!!
Tamparan keras itu mendarat di pipi mulus Tari.
“Elo, ya, makin lama makin ngelunjak. Lo pikir lo siapa, hah?!”
Tari sudah melempar tongkat pemukulnya. Biar, kalo emang kali ini dia harus adu fisik dengan Vero, akan ia hadapi.
Dan itu terbukti dengan... PLAAK!! Tamparan balik dari Tari untuk Vero.
“Lo juga mikir, deh. Lo siapa, sih? Cuma senior yang hobinya ngegencet para juniornya, iya? Saking desperate nya karena cinta lo bertepuk sebelah tangan!”
Di ujung lapangan, Fio menepuk jidat. Tariiii lo cari mati banget, siiih!
Baru saja Fio akan berbalik untuk mencari bala bantuan, di sebelahnya terdengar suara Oji yang sedang berdecak kagum.
“Wow... Keren banget! Bos pasti suka, nih!”
Kelakuan Oji ini benar-benar bikin Fio makin nggak ngerti. Oji, bukannya ngebantuin Tari dulu, malah dia merekam peristiwa lempar-lemparan dan tampar-tamparan antara Vero dan Tari!
“Iiiiih ... Kak Oji! Dibantuin dulu, dong! Jangan malah direkaaaaam!”
“Wah... Justru harus direkam, Fi,” sahut Oji dengan nada diplomatis. “Ini barang bukti, tau! Biar Ari tau harus ngelakuin apa ke Vero waktu masuk nanti. Pinjem ponsel lo!”
Fio mengernyit. “Buat apa?” Tanyanya, membuat Oji berdecak nggak sabar.
“Yaa buat nelepon Ari, dong. Nih, lo tetep rekam kejadian ini, sementara gue pinjem pulsa lo buat ngebantuin sobat lo itu. Oke?”
Sinting! Namun, tak ayal Fio tetap melakukan semua yang diinstruksikan oleh Oji. Sambil berlari-lari ke tengah lapangan, Oji berseru, “Makasih yaa, Fioo! Lo harus inget, ini semua demi kebaikan Tari! Semoga kebaikan lo dibalas serupa bahkan lebih oleh Yang Maha Kuasa, dan juga kalo penggantian pulsa tagih ke Ari aja yaa!”
“Apa kata lo, deh!” Ujar Fio keki. Nyoman, yang berdiri di sisi lain Fio, hanya bisa tertawa geli sambil merekam dengan baik seluruh kejadian di depan sana. Amunisi gosip!
Sementara Oji berlari menghampiri keributan di tengah lapangan, yang terjadi disana sudah lebih heboh lagi. Berkali-kali Vero berteriak pada Tari dengan kata-kata yang super ngeselin, sementara Tari – yang memang tidak diberi kesempatan untuk angkat bicara – hanya tersenyum mengejek. Sesekali matanya membesar ketika kata-kata ketua The Scissors sudah tidak dapat ditolerir lagi. Sesekali diejeknya Vero dengan kata-kata yang sama.
Semua penonton tau, siapa yang berkuasa, dan siapa yang sedang memegang kekuasaan. Tentu saja, lebih daripada Vero yang sedang berkuasa, Tari berada jauuuuh melesat di atasnya! Duduk di singgasana yang sama dengan Ari, sebagai satu-satunya wanita yang dikejar-kejar dan dilindungi dengan pengawalan penuh.
Dalam perang ini, semua juga tau Vero nggak akan pernah menang. Malah harga dirinya yang semakin hancur.
“Hallooooo, Veronica-kuuuu, my babyyyy!”
Suara norak Oji menghentikan teriakan Vero. Mulutnya langsung terbungkam. Sementara Oji kembali berbicara namun bukan pada Vero. Melainkan pada sang pemberi instruksi.
“Dih, gue sapa dikit dia langsung diem, Bos! Wah... Sepertinya pesona gue makin parah hebatnya, hohohoho... Apa? Amplop yang kemarin lo kasih?” Seketika mata Vero mendelik mendengar kata-kata itu. “Gue bawa-bawa selalu, dong. Buat jaga-jaga. Eh, buat diliatin juga sih, Bos. Habisnya...” Oji bersiul genit. “Hot banget!”
Dan Oji membuktikan ucapannya. Dikeluarkannya amplop coklat dari balik kemeja sekolahnya. Mata Vero langsung terbelalak maksimal. Merah semerah-merahnya!
 “Oke. Gimana, Bos? Sebarin, nih? Habis dia udah keterlaluan banget, sih. Gue ada tuh, rekamannya. Ibu Negara ditampaaaar!”
Oji mengucapkan laporannya dengan sangat dramatis, yang justru meimbulkan efek geli bagi siapa saja yang mendengarnya. Sementara Tari hanya tersenyum puas. Sekali-sekali, deh. Gue bertingkah jahat gini! Syukurin lo, wuuu...
Vero tersadar dari keterdiamannya. Dihampirinya Oji dan segera dirampasnya amplop coklat itu.
“Bos, dirampaaas!” Oji langsung merengek layaknya anak bayi yang kehilangan permen. Kemudian, dengan gerakan yang tak terduga, sebelah tangannya langsung mencekal Vero.
“Lo harus diperingatin berapa kali sih, supaya jera? Hmm?” Kali ini suara Ari, yang terdengar jelas di telinga Vero. Oji sudah menempelkan benda tersebut hingga Vero bisa berkomunikasi langsung dengan Ari.
“Tindakan lo itu selamanya akan percuma,” ujar Ari lagi, dengan sangat datar. “Mulai dari awal lo ngejer-ngejer gue, saat ini, dan selamanya... Lo berada dalam level yang jauuuuuh banget. Stop buang-buang waktu lo buat gangguin Tari. Oke? Belajar buat UN aja biar bisa lulus.”
Vero merintih. Kali ini, di hadapan satu sekolah, dirinya sudah hancur sehancur-hancurnya. Memalukan! Yang tersisa dari apa yang terjadi hari ini hanyalah kehancuran harga dirinya sebagai ketua geng The Scissors.
”Sialaaaaaannnn!!!!”
*
 “Apa rencana lo selanjutnya?”
Angga mengajak Ata bertemu setelah pulang sekolah, untuk membicarakan strategi mereka dalam menyerang Ari.
“Gue ambil semua yang udah dia dapetin di Airlangga. Sahabat, perhatian, ketenaran, kekuasaan. Ada ide?”
Angga tersenyum licik. “Lo haus banget sama kekuasaan?”
“Gue haus terhadap semua yang bisa dia miliki dan gue gak bisa,” jawabnya datar. Angga tertawa, prihatin. Setelahnya, Angga mengeluarkan sebuah benda mungil.
“Nih, gue punya oleh-oleh. Tentang kembaran lo. Semoga berguna.”
Ata menaikkan sebelah alisnya, memandangi benda itu dengan bingung. Flash disk?
*
SMA Airlangga, selama absennya Ari, sang penguasa, ternyata tidak benar-benar berduka dan kesepian.
SMA Airlangga kini memiliki pahlawan baru. Ata.
Bukan hanya kisah romantis antara Tari dan Ari saja yang menjadi trending topic di kalangan siswa-siswa Airlangga, namun kisah heroik Ata menggantikan posisi Ari hingga berhasil memukul mundur Brawijaya adalah kisah yang terus diulang-ulang sepanjang waktu.
Ditambah lagi, pribadi Ata bukanlah seperti Ari yang meledak-ledak. Di hadapan semuanya, terlihat sekali bahwa Ata lebih tenang, lebih bersahabat, dan lebih rajin dalam pelajaran dibandingkan Ari.
Selama absennya Ari dari SMA Airlangga, Ata sudah menebarkan pesonanya di hampir seluruh penjuru sekolah. Di setiap angkatan, di setiap kantin, di antara para guru, hingga para cleaning service. Semuanya mengenal dengan baik tentang sosok Ata. Tentang keramahannya. Juga kepintarannya.
Kini, setiap Ata melangkahkan kakinya kemanapun di setiap penjuru sekolah... Ridho akan selalu berada di sampingnya, membayanginya!
Oji dan Tari adalah dua orang yang sangat kesal dengan perubahan kekuasaan yang tiba-tiba seperti ini.
“Mereka itu, ya!” Untuk yang kesekian kalinya, tari ngedumel di hadapan Oji. “Kayak kacang lupa kulit, tau gak! Pahlawan sejati mereka, pahlawan yang sebenarnya itu lagi terbaring di rumah sakit! Segitu doang simpatinya mereka terhadap Kak Ari?! Iiiiiiihhh!!”
“Ridho juga, dasar pengkhianat!” Kalo udah gini, Oji pasti akan ngomel balik ke Tari. “Kenapa dia harus nyebrang? Ke Ata, ke kembaran yang nggak tau diri itu!”
“Iya, ya. Kak Rdho...” Tari tercenung, memikirkan segala sikap aneh Ridho.
“Brengsek emang tuh orang. Mana kerjaannya menghindar terus, lagi!” Oji masih lanjut menumpahkan kekesalannya.
Sementara Tari sedang berpikir keras.
Angga. Ridho. Ata. Batinnya. Semua orang bersikap seakan-akan Kak Ari punya dosa besar yang tak termaafkan. Ada yang nyuruh gue untuk ngejauhin Kak Ari, itu Angga. Ada yang nyuruh gue untuk tetap di samping Kak Ari apapun yang terjadi, itu Ridho. Tapi Ata... Gak berkomentar apapun. Dia malah mengikutsertakan gue dalam drama sakit hati ini.
“Kak Oji...” Ujar Tari pelan. “Sepertinya kita emang harus curiga ama Kak Ata.”
“Itu udah gue sama Ridho lakuin dari dulu!” Sergahnya sakit hati. “Mata nggak bisa dibohongin lagi, Tar. Ata tuh beda ke Ari. Dan lagi... sampe sekarang dia nggak pernah ngejenguk Ari, kan?”
“Bener, Kak...” nada suara Tari terdengar sedih. “Oiya, sama kita harus menyelidiki motif Angga dan Bram yang sebenarnya sampe mereka tega nusuk kak Ari.”
Keduanya sama-sama terdiam, tenggelam dalam arus pikirannya masing-masing. Percakapan kali ini, selalu berakhir dengan masalah yang sama, tanpa menemukan pemecahannya sama sekali.
*
Senyum Ata tersungging sangat lebar. Ia timang-timang flashdisk pemberian Angga itu dengan sayang, seolah itu adalah benda yang paling berharga sedunia. And it is... Ata tertawa pelan. Angga memang tahu... apa yang saat ini sangat gue butuhkan.
"Lo ngapain? Gue cari dari tadi ternyata disini."
Ridho yang tiba-tiba berdiri di belakang Ata berdecak pelan.
"Ngapain, sih? Liat bokep, ya?" tuduh Ridho sadis.
Ata tertawa geli. Memang tidak salah Ridho mengira begitu. Seorang lelaki, di perpustakaan, sendirian, dengan laptop di depannya dan telinga yang tersumpal headset. Memang tidak salah bila Ridho mengira seperti itu.
"Dho, cari sensasi, yuk!" Ucap Ata kemudian, setelah tawanya reda.
Ridho mengernyitkan dahi. "Lo... nggak ngajak gue bikin video bokep, kan?"
Ata memilih untuk tidak mengacuhkan pertanyaan sesat Ridho dan melanjutkan ucapannya.
"Lo beneran jenuh sama Ari? Ada yang mau gue tunjukin. Lo pasti nggak nyangka."
Ridho menaikkan alis, kemudian duduk di sebelah Ata dan sama-sama memandangi layar laptop.
Yang terlihat di layar laptop ini membuat Ridho melongo maksimal.

-PRINCESS-

No comments:

Post a Comment