Wednesday, September 25, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #14

Sudah dua jam Ridho merebahkan diri di kasur empuknya, namun tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya masih saja berlarian pada Ata dan Ari.
Fakta yang terkuak dari hasil mendekati Ata ternyata begitu mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya diberitahukan secuil saja informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui sepotong kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah kembar tersebut.

Keduanya... hanyalah trauma. Keduanya mencari pelarian dengan caranya masing-masing. Cara yang ternyata sama!
Tiba-tiba saja, Ridho dapat memaklumi segala perbuatan Ata terhadap Ari – apalagi yang melibatkannya. Ata hanya ingin menggapai sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya. Seperti Ari dulu, yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya.
Tidak ada salah yang benar-benar salah disini. Walaupun begitu, segala sakit hati dan perebutan ini haruslah segera diakhiri, sebelum tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan untuk kembali.
*
“Halo, Cantik...”
“Halo, gombal...” balas perempuan di seberang sana sambil terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit lembut pipi Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya itu berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela napas.
Wajah kalut itu tertangkap oleh penglihatan Kirana. “Kenapa, Kak?”
Angga tahu, gadis itu memang selalu mengerti jika dirinya sedang gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat mereka sangat akrab satu sama lain.
“Kamu disana gimana? Kak Angga... Kangen,” ujarnya sambil menelan ludah, “harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki...”
Giliran Kirana yang menegang di kursinya. Kenangan itu... Walau telah lama berlalu, namun sakitnya tidak terlupa. Lebih tepatnya, rasa tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap baik bisa bertingkah segitu kejamnya.
“Udah berlalu, Kak...” sahut Kirana, menenangkan, “lagian aku bahagia, kok, disini. Ap –“
“Tapi yang terbayang di kepala Kakak bukan raut kebahagiaannya kamu!” potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana terkejut.
“Bahkan tanpa surat itu dirobek pun... Harusnya aku yang tau diri.” Pada wajah gadis itu tercetak senyuman pasrah. Suaranya bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang terjadi di masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah kejadian kecil.
*
Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena toilet penuh, ia jadi terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan matematika! Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam menyelesaikan soal rumit tersebut.
Namun, ketergesa-gesaannya itu malah membuat langkahnya goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk, mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu!
“Yah... telat!” suara seorang cowok terdengar di belakangnya. Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal. “Tadinya mau ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh. Maaf, ya.”
Cowok itu mengulurkan tangannya. Dengan wajah memerah dan terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan cowok tersebut. “Makasih...” cicitnya pelan.
“Buru-buru sih boleh, tapi jalanan juga harus diliat,” ujar cowok itu menasehati. “Yuk, gue anter sampe ke kelas!”
“Eh!” Kirana langsung gelagapan. “Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya bisa jalan sendiri.”
“Gitu? Lo kelas berapa?”
“Delapan satu, Kak. Duh...” Kirana melirik jam tangannya, cemas. “Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu Ambar. Per –“
Namun, cowok itu malah menarik tangannya dengan kelembutan yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju kelasnya. “Jangan bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga.”
“Mana mungkin! Aduh.. Saya –“
Kirana malu. Takut seisi kelasnya akan heboh. Karena cowok yang sedang memapahnya ini bukanlah cowok biasa. Namun, lagi-lagi perkataannya dipotong.
“Jelas bisa, dong! Percaya deh sama gue. Karena gue... Matahari Senja!”
Semudah itu. Ari menolongnya, dan membuatnya dapat waktu ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat teman-temannya histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malu-malu yang dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak melihatnya sama sekali. Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk terdekat dengannya saat di kantin, cowok itu tidak menghiraukannya. Walau dalam setiap pertandingan basket di waktu senggang selalu Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya.
Namun, selama bisa melihat sosok Matahari Senja, nggak masalah. Kirana nggak keberatan.
Sampai suatu ketika, gadis itu memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
Kirana memekik senang karena Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari gerbang sekolah. Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya gadis itu melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, “Kak!”
Cowok itu lantas menoleh, kemudian menghentikan langkahnya. Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya sampai di depan pujaannya.
 “Ya?”
Dag... dig... dug... “Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya selalu ingat Kakak…” Kirana tidak sempat memerhatikan ekspresi cowok di hadapannya. Matanya tertuju ke sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya terlihat lebih pendek daripada yang satunya. “… dan ini… ini buat Kakak.”
Disodorkannya sebuah surat yang ia tulis semalaman suntuk, seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu. Namun, ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti yang ia lihat satu bulan lalu.
Orang di hadapannya saat ini memancarkan ekspresi murka yang sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan wajah itu semakin terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop pemberian Kirana – bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa memerdulikan Kirana yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas itu.
Kirana curhat habis-habisan pada Angga. Tentang Ari. Tentang penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang tertulis disana. Kirana bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat wajah murka cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi.
*
Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya. Walau hatinya berdenyut setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat menolongnya dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan begitu tinggi.
Namun Angga tetap tidak bisa menerimanya. Tangisan itu... Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata memang Ata pelakunya. Cerita keduanya cocok!
“Ki...” suara Angga bergetar menahan amarah, “Akan Kak Angga balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin dia membayar semua kesalahannya!”
Kirana menggeleng, letih. “Buat apa sih, Kak? Aku juga udah nggak kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas, ya...”
Nggak akan! Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!!
*
Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar memberikan dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada di sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga tidak membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan tekun. Rajin datang pendalaman materi. Duduk manis di kelas, mengacungkan tangan jika ada hal yang tidak ia mngerti terkait dengan pelajaran!
Terang saja. Ari mampu mengontrol emosinya dengan baik, sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya yang sebenarnya.
Walaupun, jika dipikir-pikir lagi... Begini lebih baik.
Perlahan, Ari kembali dengan sifat aslinya. Ari yang sekarang lebih ramah – walau hanya ditunjukkan pada teman-teman sekelasnya dan juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi pelecehan yang dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia tanggapi dengan serius.
Biarlah. Ata sudah membuktikan kehebatannya, membuat Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun alasan yang menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala kekuasaannya di SMA Airlangga.
Bahkan ketika dilihatnya Ridho sedang berjalan beriringan dengan saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak lagi tersulut. Biarlah... Toh, saudara kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang baik. Ari percaya, kehadiran Ridho di samping Ata setidaknya akan membuat kembarannya punya kekuatan lebih untuk mengontrol Airlangga. Dan lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari. Pasti, Ridho juga akan menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai perisai dengan sempurna.
Dari ujung tangga, Ari menatap pada satu titik. Kelas X-9. Tempat dimana gadisnya berada.
Untuk saat ini... Ia hanya akan menyimpan tenaganya untuk melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan yang ditujukan untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya untuk menopang jiwa Ari yang rapuh.
Dari kejauhan, Ari dapat melihat sebentuk senyum milik Tari yang dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas senyuman itu. Demi untuk menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas budi. Akan dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya.
Ari memejamkan matanya sesaat, berdoa. Berharap kali ini akan berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah menghampiri kelas Tari dengan langkah seringan kapas.
*
Siapapun dapat melihat bahwa hari ini, mendung menyelimuti wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa ia pasang di wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan tentang Gadis Pincang.
Gita, yang akhir-akhir ini sangat berinisiatif membayangi Ata kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan sikap ‘pacarnya’ dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak menggodanya seperti biasa.
“Kak Ata sakit? Nggak enak badan?” tanya gadis itu cemas, yang hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin bingung. Ia paling tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka ditekuk. Keterdiaman yang justru lebih mengerikan.
Tiba-tiba raut wajah Ata menegang sambil memandang ke satu titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh pada kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah paling lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.
Namun, apa yang terpancar di wajah Ata sungguh berkebalikan dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar kemuakan yang begitu nyata!
“Gue...” desis Ata pelan, “bukan Ari.”
Gita terdiam mendengar pernyataan tersebut.
“Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!” Ditatapnya mata Gita tepat di manik mata. “Lo tau itu, kan?! Lo sadar itu, kan?!”
Gita tersenyum maklum. Ia mengerti. Lelaki di hadapannya ini sedang mengalami pergolakan hati yang hebat.
“Yang sekarang ada di depan saya... memang Kak Ata. Tapi bukan yang di depan teman-teman satu sekolah.”
Kalimat itu begitu sederhana, namun maksudnya terpampang jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Lo... berani-beraninya!”
“Berani-beraninya berkata benar?” tukas gadis itu, tandas.  Wajahnya masih menyampirkan senyum penuh pengertian. “Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang dipendam. Bahkan tentara paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang –“
“DIAM!”
Pembicaraan itu, yang tadinya berlangsung sangat pelan sehingga tidak ada orang yang menyadari, akhirnya turut menjadi perhatian publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita lantas terkejut, begitu juga yang lain.
Ata, yang selama ini terkenal dengan keramahannya, berani membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar?
“Lo, orang baru,” desisnya, “jangan pernah sok tau!”
Kemudian Ata melenggang pergi dengan muka yang semakin ditekuk.
Saat itu, Gita – dan juga seluruh siswa yang mendengar bentakan tersebut – belum benar-benar menyadari apa yang sesungguhnya sedang mereka lihat.
*
Ari sedang tertawa geli, sangat geli. Gadis yang duduk di sampingnya saat ini sedang gila!
Tari dengan menggebu-gebu sedang bercerita tentang kejadian seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat tape. Dimana teman-temannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking antusiasnya, beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah kelas biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan.
“Kehidupan SMA tuh semenyenangkan itu ternyataaaa!”
“Trus lo bawa apaan?”
Tari merendahkan suaranya. “Bawa bento bikinan Mama, sih. Tapi nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu makannya pada anarkis semua!”
“Pelit!” Ari mengacak lembut rambut Tari yang hari ini dikucir rapi, membuat gadis itu sewot. “Aaaa jadi berantakan!”
Sungguh, pemandangan keduanya yang nampak akur membuat takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari.... Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan di depan umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana. Membuat para junior merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru. Yang nggak galak. Yang enak banget untuk diajak ngobrol.
Seperti sekarang ini!
*
Ada sepasang mata lain yang mengamati pasangan paling fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu turut menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu untuk ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama.
Namun tugasnya belum selesai. Bahkan, saat ini ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya lagi. Yang masih terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri.
“Ngapain lo ngintip-ngintip? Samperin dong.”
Ridho menoleh ke belakang. Oji memergokinya! Dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji tanpa sepatah katapun.
*
Ata tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Belum pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang ini sejak kasus penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan idenya sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain!
Kali ini, akan dibuatnya Ari memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan memenangkan seluruhnya dengan sempurna!
Dho, yuk cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket.
*
Mood Tari hari ini sedang sangat bagus. Gangguan-gangguan untuk dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga dengan pandangan sinis merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari semakin membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya.
Inilah sumber kelegaan terbesar Tari, yang membuatnya sangat mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan panjang itu akhirnya berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah sendiri. Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng yang ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak perlu dilakukan lagi.
Karena sekarang, Ata telah hadir, mengambil posisinya sendiri.
Dengan kehadiran Ata, Ari tidak harus membawa bayang-bayang Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya setegar batu karang. Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata bukan berarti kabar baik bagi episode kehidupannya.
Namun setidaknya, Ata telah kembali.
Berbekal kenyamanan hatinya mengenai kondisi Ari, tiba-tiba Tari merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok Ridho di luar kelasnya. Cowok itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari untuk keluar menghampirinya.
“Ngapain, ya?” tanya Fio ingin tahu. Tari hanya mengangkat bahu, tidak tahu. “Mukanya serem gitu, Tar.”
“Makanya harus disamperin, kan,” ujar Tari, agak ragu dengan perkataannya sendiri. “Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor Kak Ari, ya....”
Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan suara, yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari sampai di luar kelas, Ridho langsung menggenggam tangannya.
“Ada apa, Kak?”
Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju lantai tiga dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam pulang sekolah. Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan.
Makanya Tari agak sedikit meronta, menuntu penjelasan. Begitu sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan.
“Apapun yang akan terjadi nanti... Sebaiknya lo nurut aja, Tar. Oke?”
Sebelum Tari sempat menyerukan pertanyaan lagi, Ridho telah menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong. Disana... Ata sudah bersiap.
“Yuk, Tar. Duduk disini.”
Suara Ata terdengar sangat manis, bahkan hingga menyunggingkan senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari bersiap untuk lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang menahannya.
“Lepasin, Kak!” Tari meronta hebat. Percuma saja. Badan Ridho yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta, dirinya tidak akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho.
Ata hanya tertawa geli.
“Emangnya mau diapain sih, Tar?” tanyanya dengan polos. Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. “Gue mau ngajak kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi lo harus diem dulu disini, oke? Dijagain sama Ridho, kok.”
“Kakak mau ngapain?!”
“Mau maiiin!” Ata menjawabnya dengan seruan kesal, seakan-akan Tari nggak mengerti definisi “main” itu seperti apa. Tari menatap Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan pandangan nurut aja.
Ketika akhirnya tidak ada satupun dari kedua cowok ini yang mau memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia berhenti meronta. Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. “Pinteeeer.”
Ridho menuntun Tari untuk duduk di kurso yang telah ditunjuk oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali untuk mengikat tangan dan kaki cewek itu.
Tari sempat akan berseru protes, namun sekali lagi dilihatnya sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya Tari bungkam, urung menyuarakan aksi protesnya.
Namun penjelasan itu datang dari mulut Ata.
“Sori, Tar. Lo harus diiket dulu. Biar gue sama kembaran gue mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo tetep bisa nonton permainan kami. Dari sini.”
Ata menepuk bahu Ridho sebagai ucapan terima kasih, sebelum akhirnya berjalan keluar.
“Kak Ata!” Seru Tari keras. Langkah Ata terhenti. Ditatapnya Tari dengan menaikkan sebelah alis. “Mau sampe kapan Kakak bersikap begini?”
Senyum di wajah Ata menghilang, digantikan dengan kelam yang pekat.
“Kakak pasti capek...” Tari mendesah pelan.
Ata menendang pintu di sampingnya, membuat Tari terlonjak. “Itu bukan urusan lo!”
*
Bel pulang sekolah. Ari dan Oji melangkah gontai meninggalkan kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya, sekilas Ari memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah lapangan.
“Kak Ari!”
Fio menghampirinya dengan suara panik. Gadis itu menenteng dua tas, miliknya dan... milik Tari!
“Tari mana, Fio?!” Tanya Ari panik. Fio sendiri juga panik, namun tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat.
Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Tari dijemput oleh Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio panik, namuan tidak berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh sahabatnya. Ari menggeram, “Sial!”
Cowok itu tahu ia sedang berurusan dengan siapa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju lapangan basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu.
“Woy, Ri! Lama banget!”
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan merangkulnya. Namun Ari hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut.
“Yuk!”
Ari menatap Ata dengan pandangan bertanya. Ajakan untuk apa?
Melihat kembarannya hanya mematung, Ata jadi nggak sabaran. Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara asal, membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari bola nyasar.
“Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa sekarang jadi lemot gini? Oh... Jangan bilang gara-gara cewek!” Ata berseru dramatis. “Tari bikin adik gue lemah!”
“Mau lo apa, Ta?!” Ari akhirnya angkat suara, nggak tahan karena Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari!
Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan itu membekukan segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan penonton lainnya.
Tidak ada kembar yang benar-benar beda.
“Mau gue?!” Ata balik berseru keras. Emosinya sedang sangat membuncah. “Mau gue... Kita tanding!”
Bola basket yang tadi dilemparnya secara asal sudah kembali.
“Simpel aja. Basket. Nggak pake batasan waktu. Nggak pake istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah satu tumbang!”
Ata berteriak kalap. “Tumbang! Dan lo harus menyerah terhadap semuanya!”
Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih karena melihat kekalapan saudaranya? Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata menatapnya dengan pandangan benci yang sangat kental.
“Lo harus menyerah terhadap semua kejayaan yang udah lo toreh disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!”
Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari langsung sigap. Segera ia berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba, pertandingan mereka dimulai.
Apa yang berada di tengah lapangan saat ini adalah fenomena lain yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari yang – anggapan awalnya – saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang kejam. Ata yang ramah.
Namun sekarang... keduanya melebur!
Ata dan Ari... sejenis. Keduanya adalah benda dan bayangan yang serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi, mana Ata dan mana Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang sangat identik dalam segala hal!
“Apa harus begini, Ta?” tanya Ari tajam saat sedang berada di depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk memasukkan bola. Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat tembakan three point.
“Harus!”
Siaaal!
“Tari dimana?!”
Sebagai jawabannya, Ata hanya menatap pada satu titik di lantai tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini Tari sedang duduk manis menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho!
*
Tari melihatnya. Disana, dua orang yang serupa saling memperebutkan sebuah bola.
Tari juga mendengarnya, pekikan serta seruan menyemangati untuk kedua orang itu.
Suasana yang sangat kontras dengan apa yang terjadi disini, di tempat ia dan Ridho berada.
“Gue nggak tau harus ngelakuin apalagi, Tar...” ucap Ridho frustasi.
Tari mengerti. Ridho telah menceritakan segalanya sejak Ata meninggalkan mereka berdua setengah jam yang lalu. Kisah lengkap tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai dengan kenangan masalalu.
Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih menempuh jalan yang paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya. Yang sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila disentuh!
“Tapi mereka harus segera dihentikan, Kak...” Tari mendesah pelan. “Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata.”
Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum keduanya sangat kelelahan, semuanya harus dihentikan. Terutama Ata.
“Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo Kakak mau. Biar saya yang nemenin Tari.”
Gita telah berdiri di ujung tangga. Sontak keduanya terkejut. Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari pandangan.
“Gue nggak minta bantuan lo. Turun!”
“Saya cuma mau membantu, Kak –“
“Tapi gue nggak butuh bantuan lo!” seru cowok itu murka. “Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya Angga? Musuh Ari? Musuh Airlangga? Jangan mimpi!”
“Bukannya Kakak juga sedang akrab dengan Brawijaya?” Gita menyerang balik. “Bukannya Kakak temannya Kak Ata? Bukannya mereka berdua sekarang lagi bersatu?”
Ridho tercengang dengan serangan balik itu. Ia merasa mati langkah!
“Saya bukannya nggak tau apa yang jadi motif Kak Ata sekarang ini,” Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara perlahan. “Saya... tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa bersalah banget karena kejadian dulu.”
Tari sudah mengerti. Hanya Ridho yang belum mampu memercayai orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti.
“Kak Ridho pergi aja,” pinta Tari dengan halus. “Saya percaya sama Gita.”
“Tapi, Tar...”
“Yang penting sekarang, Kak Ridho harus menyelamatkan mereka.” Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan, dimana pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar dari mulutnya.
Akhirnya, dengan menekan perasaan tidak percayanya hingga ke dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu Angga untuk diawasi. Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain.
Menyelamatkan kedua matahari yang saat ini sedang mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga.
*
SMS dari Ridho membuat Oji sewot.
“Apaan, Kak?” Tanya Fio penasaran. Sebagai gantinya, Oji menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati.
Tari baik2 aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS semacam itu, sudah sejak tadi Oji mengawasi pertandingan gila ini!
Ata dan Ari terlihat begitu serius bertaruh. Keduanya menampilkan permainan basket yang begitu keras, begitu sadis. Kontak fisik yang berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa yang menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan, takut dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini!
Ata sama sekali tidak membiarkan Ari menembus pertahanannya dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari memegang bola terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola basketnya dengan gampang. Tidak akan semudah itu!
“Gimana?” Seru Ridho setelah tiba di pinggir lapangan, bergabung dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji melayangkan tinju pada orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang tidak memungkinkan.
“Kacau.”
Hanya itu. Dan memang terlihat sangat kacau.
“Kak Ridho, Tari dimana?” Tanya Fio cemas, karena Ridho hanya berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi penyekapan Tari, yang tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya meringis.
Pertandingan ini berlangsung selama dua jam lebih tanpa henti, hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket besar itu ke arah Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah terkuras habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi Ari untuk berdiri dan kembali melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu, dengan kedua mata yang dipejamkan untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oji dan Ridho segera melangkah ke tengah lapangan.
Ata menghampiri adiknya, menunduk agar bisa berbicara dengan jelas.
“Capek?” tanyanya, namun dengan tidak menyiratkan kekhawatiran sedikitpun. “Brenti aja, ya? Supaya lo bisa menjalani kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo.”
Ari membuka matanya, kaget dengan apa yang ia dengar dari Ata!
“Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke sekolah. Sengaja nyamperin gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal, Ri.” Suara Ata bergetar menahan geram. “Seenaknya aja dia menghakimi gue seperti itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue miliki. Salah, Ri?”
Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya menatap saudara kembarnya dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya, bahkan kekuatan otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram.
“JAWAB GUE, RI!!”
Ata berteriak kalap. Ditariknya kerah baju Ari, bmembuat badan cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji segera menghampiri keduanya dan melerai.
“Cukup, Ta.”
Suara lemah itu berasal dari mulut Ridho. Ata yang meronta seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi Ari dengan pandangan tercengang.
“Udah, cukup... Lo nggak bisa melampiaskan semuanya pada Ari. Ari nggak salah apa-apa –“
“NGGAK SALAH?!” Bantahnya murka. “Nggak salah, kata lo?! Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia?!”
“Jadi lo pamrih?! Itu emang kewajiban lo sebagai kakak!”
Ata meronta lagi, membuat Oji kewalahan memeganginya. Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya diam, tidak menunjukkan reaksi perlawanan apapun.
Mana pernah Oji melihat Ari selemah ini. Mana pernah Oji melihat ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka! Ia sama sekali nggak suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini.
“BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo selemah ini?!”
Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang menghalangi pandangannya dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu saudara kembarnya sebagai penopang.
“Lepasin Ata, Ji,” perintahnya dengan suara tak terbantahkan. Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata Ata. “Maaf, ya? Gue emang adek yang nggak tau diuntung.”
Segalanya luruh disana. Ari, dengan sisa-sisa sifat Ata yang menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya untuk membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya tersebut.
Di lapangan sekolah sore itu, Ari sempurna menerima kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang yang pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan yang pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun.
Ari berjalan pelan meninggalkan lapangan basket. Ridho sudah akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis oleh Ari.
“Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan ninggalin abang gue. Jangan coba-coba.”
“Nggak lucu, Bos!” Oji meneriaki sahabatnya itu dengan frustasi. “Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah pikiran –“
“Nggak pa-pa, Ji,” sahut Ari menenangkan. “Lagian gue bukan Bos elo.”
Senyum menenangkan dipancarkan oleh Ari lewat tarikan bibirnya. Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kalau untuk kebaikan saudara kembarnya... Tidak mengapa. Ari akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap kekuasaan. Terhadap pengaruh dan pertemanannya.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang harus ia usahakan untuk direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan jalan terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata, orang tersebut pun juga akan Ari tinggalkan.
Kesanalah saat ini langkah Ari menuju. Lantai tiga gedung barat SMA Airlangga.
*
Fio sibuk menenangkan Tari, segera setelah ia tiba di tempat Tari diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala yang ia tahu. Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata memang sudah Tari dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun... mendengarnya dua kali dalam selang waktu yang singkat bukan berarti bisa membuatnya lebih tenang.
Skenario terburuk yang mungkin terjadi hari ini adalah... Tari tahu, namun tidak mampu membayangkannya. Meninggalkan Ari dalam kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari. Tidak setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu tegar. Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah berani.
Namun... Siapa yang bisa benar-benar bertekuk lutut, jika lawan tangguh di seberang sana justru adalah orang yang ada tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya?
Derap langkah pelan terdengar sedang menaiki tangga lantai tiga, tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik Ari. Yang pada wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat.
“Tolong tinggalin kami berdua.”
Tanpa harus disuruh dua kali, Fio dan Gita melangkah pelan meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri di hadapan gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kaki gadis itu dengan sangat hati-hati.
“Baik-baik aja, kan? Ikatannya nggak kuat, kok... Nggak ninggalin bekas.”
Suara itu... Tari bisa mendengarnya. Suara itu dipaksakan sehingga terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati di dalam sana terdengar tanpa harus disuarakan.
Kepada seseorang yang mati-matian meminta penyelamatan padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua beban itu dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari.
Kepada seseorang yang selama ini selalu ia kejar, kali ini... Ari melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari Tari, namun dengan pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari akan merelakan segalanya pergi. Terutama Tari.
“Gue...” Ari memulai dengan suara tercekat. “nggak tau, bahaya apalagi yang ada di depan sana.”
Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak bisa, karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini.
“Gue cuma mau nyampein dua hal. Tolong didenger baik-baik, ya?” Sambil menatap kedua bola mata Tari – pada akhirnya – Ari melanjutkan, “Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan kedua... Maaf,” suara Ari mulai bergetar menahan isakan. “Maaf, karena setelah semua yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah.”
Tari menggeleng, tidak percaya dengan apa yang sedang ia dengarkan. Bukan. Bukan seperti ini jalan ceritanya!
“Selama yang berdiri di ujung sana adalah Ata, gue... Sampai kapanpun nggak akan sanggup untuk menang,” Ari tertawa pelan, miris. “Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas, Tar.”
“Gue udah lama bebas, Kak...” Tari tergugu. “Apa yang gue lakuin untuk lo selama ini ikhlas, bukan –“
Ari menempelkan jarinya di bibir gadis itu, membuatnya seketika diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan penjelasan gadis ini lebih banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum keputusannya berubah.
Kedua tangannya menyentuh pipi Tari dengan lembut. Mata Tari terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir yang ia bayangkan harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari bayangkan akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan terkejam, kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa?
Yang Tari tidak sadari, justru keputusan ini telah memakan jiwa Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan, menancap dengan sangat dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal ini. Memangkas habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya.
Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan lembut. Lama, seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.

-PRINCESS-

4 comments: