Sunday, September 22, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #12


Ucapan itu terdengar seperti permintaan polos, namun dengan seribu makna terkandung di dalamnya.
Tapi... Permintaan itu berhasil membuat mulut Gita membuka lebar. Dikerjap-kerjapkan matanya berkali-kali. Siapa tau ini semua hanya mimpi. Siapa tau ini semua bagian dari khayalannya.

Ata tersenyum tipis melihat reaksi cewek di depannya. Perlahan hatinya mengingat sudah berapa kali Gita mengerjapkan matanya jika Ata mengajukan suatu pertanyaan mau permintaan yang menurut logika “aneh”.
“Gimana?”
“Kak Ata...” Gita menelan ludah. Grogi! “Serius? Eh, maksudnya... Kenapa?”
Ingin sekali rasanya Ata mencubit pipi Gita saking gemasnya. Selalu bertanya, padahal ia tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan Ata.
“Raja baru butuh pendamping hidup. Mungkin itu alesannya, ya?”
Gita mengatupkan kedua tangannya. “Kak Ataa!”
Tawa Ata berderai, keras dan terdengar sangat geli. “Kenapa lo selalu nanya, sih? Apa di balik setiap tindakan harus ada alasannya, hmm? Gitu?”
“Yah... Maksud saya, sih...” Tanpa sadar, wajah Gita merona merah. “Ini semua terlalu tiba-tiba. Nggak logis, Kak. Kecuali....”
Gita terdiam. Kali ini otaknya benar-benar mengingat segala detail. Bener! Pasti itu!
“Kecuali apa?” Goda Ata, lagi. Kali ini Gita menatapnya dengan sangat serius.
“Karna... Angga...” cicitnya. Begitu pelan, begitu lirih, namun menegaskan kekisruhan hatinya beberapa hari terakhir ini.
Benar dugaan Ata, gadis ini memang cerdas. Walau Angga adalah alasan kedua, diterimanya pemikiran tersebut. Ata tersenyum manis. Dielusnya puncak kepala Gita dengan lembut.
“Selama lo di samping gue, lo akan aman. Nggak akan gue biarin satu orang pun nyakitin elo. Nggak semudah itu,” ujarnya dengan ketenangan yang terkontrol. “Jadi... Gimana nih, jawabannya? Gue lagi nembak, lho.”
Aaaaaa! Dapat dirasakannya bahwa saat ini pipinya sedang merona merah. Maka, Gita cepat-cepat mengalihkan wajahnya dari pandangan Ata. Namun, matanya justru menangkap sosok lain.
Seorang gadis yang sedang berjalan di koridor kelas sepuluh dengan mata yang sembab – bahkan dari jarak sejauh ini pun semua orang dapat melihatnya. Sepanjang perjalanannya, gadis itu selalu disoraki, diejek, bahkan sampai dilempari kacang. Hanya satu orang yang bersedia berjalan beriringan di sebelah gadis itu.
Gadis itu adalah Tari, dan yang bersama dengannya saat ini adalah Fio.
Pemandangan ini begitu nelangsa! Bahkan pin matahari cerah yang biasa Tari sematkan di seragamnya tak dapat menutupi kesuraman yang menyelimuti Tari.
Gita menelan ludah. Kepada Matahari yang satu itu, dirinya merasa teramat sangat bersalah. Sejak awal. Sejak keberadaannya diketahui oleh Ari. Gita tahu dengan jelas – sejelas seluruh warga SMA Airlangga – bagaimana penderitaan yang harus Tari rasakan dulu di awal-awal perkenalannya dengan Ari: bagaimana Tari harus menghindari kejaran Ari, bagaimana Ari selalu membuat Tari menangis hingga malu di hadapan satu sekolah.
Gita tahu dengan pasti, dirinya ikut mengambil peran dalam setiap drama tersebut, walau secara tidak langsung. Juga terhadap drama yang terjadi pagi ini. Otaknya langsung mencerna, video tersebut tidak mungkin lahir begitu saja tanpa ada sesuatu yang memicunya.
“Halooo... Git?” Ata menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan mata Gita. Gadis itu langsung mengerjapkan matanya. “Yee... Ngelamun! Ayo dong, waktu gue nggak banyak, nih. Masih ada agenda lain. Kunjungan kenegaraan,” matanya mengerdip jahil, lagi-lagi menggoda.
Segala keputusan yang akan diambil saat ini adalah keputusan yang benar-benar penuh pertimbangan. Seberapa banyak tawa yang dapat dikembalikan lagi. Walau sulit. Walau hanya sedikit. Setidaknya ada usaha baik untuk mengurangi rasa bersalahnya sendiri.
Gita tersenyum. Lebih untuk menyemangati dirinya sendiri. Dengan wajah memerah – yang disangka Ata sebagai wajah malu-malu – gadis itu itu mengangguk sangat lembut. Ata tersenyum penuh kemenangan. Dielusnya lagi puncak kepala gadis yang saat ini resmi menjadi pacarnya.
Berita bahagia ini buat elo... Brahmana!
*
Thx kadonya. Hari ini sukses.
Siapin upacara penyambutan di Brawijaya, siang ini.
Angga membaca SMS itu dengan perasaan bahagia bukan kepalang. Akhirnya Ari tumbang! Angga membayangkan bagaimana ekspresi Ari saat ia dipukul mundru justru oleh orang yang di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya. Pasti sangat sakit!
Ini baru permulaan. Kirana bahkan lo sakitin lebih daripada ini.
Angga menyeringai. Hatinya akan selalu teriris tiap kali mengingat nama gadis itu. Yang tawanya telah direnggut secara tiba-tiba. Yang tangisnya bahkan tak pernah berhenti. Yang harus pergi dari sisinya dan meninggalkannya seorang diri di kota ini.
Saat matanya menoleh ke depan kelas, dilihatnya Bram melintas dengan wajah kusut.
“Woy, Br –“
Seketika suaranya tertahan. Angga menghela napas. Diurungkannya niat untuk memanggil sahabatnya tersebut, membeitahukan kabar bahagia ini. Nggak bisa. Untuk saat ini, Angga tidak ingin melibatkan emosi-emosi yang nggak berguna menguasai hati dan pikirannya. Untuk saat ini, setelah sekian lama berdiam diri, ia harus fokus pada tujuan utamanya.
Maka, alih-alih memanggil Bram, Angga beranjak menuju tempat duduk Moko dan Bako.
Guys, hari ini bakal ada kejadian seru. Tolong kumpulin anak-anak buat jadi saksi. Okee?”
*
Kantin kelas dua belas SMA Airlangga. Semuanya sedang heboh mengerubungi panglima baru. Menyampaikan segala keluh kesahnya. Mengomel tentang rezim Ari. Bahkan anak-anak kelas sebelas pun berani menyuarakan isi hatinya!
Namun mereka tidak takut. Bukan, tapi dilawannya rasa takut itu karena percaya bahwa Ata akan melindungi mereka. Dengan segala kebaikan, keramahan, serta segala kesempurnaan pada diri Ata yang mereka amati hanya dalam hitungan minggu, semua tahu bahwa Ata bukan tipe penindas. Dan jika Ari mengancam, Ata pasti akan berada di baris terdepan untuk membela mereka!
Ari berjalan melewati kerumunan tersebut seakan cuek. Namun, matanya tak ayal mencari-cari sosok Ridho di antara mereka semua. Dan ketemu!
Ridho yang sedang tertawa lepas, yang duduk di samping kembar identiknya! Seakan Ari melihat dirinya sendiri yang tengah tertawa bersama Ridho. Hati Ari terenyuh. Lukanya tergores lagi, menoreh semakin dalam.
Salah seorang kerumuman tersebut yang juga termasuk pasukan kamikaze di setiap tawuran melihat Ari, lantas nyeletuk, “Mantan Presiden lewat!”
Rahang Ari mengatup menahan amarah. Apalagi saat dilihatnya satu persatu mata yang menatapnya dengan pandangan merendahkan. Pandangan sakit hati. Pandangan yang merasa dikhianati.
Apa mereka tidak bisa melihat kalau disana, Ari juga sedang dikhianati!
Demi untuk menetralkan hatinya, Ari bergegas meninggalkan tempat itu.
“Ta,” celetuk Iwan, “Walau gimanapun juga, gue nggak terima Brawijaya ngerendahin martabat sekoah kita sampe segitunya! Kita harus bales mereka!”
Koor “SETUJUUUU!” membahana di kantin. Ata hanya tersenyum kalem. Dengan bantuan Ridho, ditenangkannya massa yang sedang terbakar rasa sakit hati itu.
“Kita akan membalas mereka,” ujarnya kalem, “yang udah menorehkan banyak luka. Tapi kita harus lebih pinter dari mereka! Kita harus pake strategi. Orang-orang yang cuma pake ototnya tanpa mengikutsertakan otak tuh cuma bikin repot! Dan gue nggak suka!”
Semakinlah mereka terpana dengan pesona Ata. Akan ada strategi baru, di tangan pemimpin baru.
*
Entah sudah berapa kali Gita dikagetkan oleh orang ini sepanjang hari ini. Hampir setahun hidup aman tenteram damai di SMA Airlangga, mungkin baru kali ini hidupnya dijungkirbalikkan, pada akhirnya. Karena bertambah satu orang lagi yang mengetahui rahasisanya sebagai sepupu Angga. Namun, orang ini tidak seperti orang yang sebelumnya. Orang ini menyeretnya juga ke dalam segala kehebohan ini.
Seperti saat pualng sekolah siang ini. Sebelum bel berbunyi, Ata dan sudah berdiri tegak di depan kelas X-3! Kontan saja kasak-kusuk heboh merayapi kelas tersebut.
“Kak Ata ngapain disitu?”
“Nyariin gue kali ya, waah...”
“Ge-er, lo! Buat apa coba?”
“Nagih hutang!”
“Hahahahhaa...”
Tanpa sadar Gita mengedarkan pandangannya pada Sarah, yang juga balas menatapnya dengan pandangan minta maaf. Yah... Sarah tidak pernah bisa mengenyahkan rasa bersalah dari hatinya. Karena terbuai oleh pesona Ridho saat itu, identitas Gita sebagai sepupu Angga terdengar ke kuping Ari. Saat ini juga pasti begitu!
“Kak Ata ngapain disini?” Tanya Gita heran saat ia sudah berada di luar. Beberapa pasang mata menatap mereka dengan tatapan ingin tahu.
“Mau pulang bareng, dong. Kan sekarang lo pacar gue.”
Kata-kata itu dilontarkan dengan lumayan keras dan penuh percaya diri, sehingga kerumunan yang tercipta di sekeliling mereka bersorak “-oooh!” secara bersamaan. Ada yang bertepuk riang mengucapkan selamat, namun tak sedikit yang patah hati – biasanya dari kalangan cewek.
Gita dapat merasakan wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdebar kencang. Antara malu, namun juga senang. Duh, ni orang! Gimana hati gue bisa netral kalo diginiin teruuus? Gita jadi mengerti dengan baik bagaimana perasaan Tari selama ini menghadapi kelakuan Ari.
“Yuk,” Ata mengulurkan tangannya, dengan pandangan yang langsung menusuk di kedua manik mata. Pandangan lembut, namun tersirat bahwa tidak boleh ada penolakan! Diterimanya uluran tangan itu dengan hati-hati. Tangan yang... hangat.
“Gue emang tadi bilangnya mau ngajak pulang bareng,” ujar Ata santai namun serius. “Tapi sebelum itu, ada yang harus gue kelarin. Kunjungan kenegaraan dulu, ya?”
Gita menatapnya tak mengerti. Namun, ramainya parkiran sekolah mereka dengan cowok-cowok yang mengendarai motor – seakan seluruh cowok di Airlangga berkumpul – serta sepotong keterangan dari Ata selanjutnya membuat Gita bergidik.
“Kita kelarin dulu masalah harga diri Airlangga yang sempat tergores. Kita... menuju Brawijaya!”
*
Tari melihatnya dengan jelas. Ata, dengan menggandeng seorang cewek, masuk ke mobil Ridho. Sedan putih itu kemudian meluncur... diikuti dengan rombongan bermotor yang ia yakin sekali adalah para tukang tawurannya SMA Airlangga. Diguncang-guncangkannya lengan Fio dengan panik.
“Mereka mau kemana coba, Fi?!”
Fio juga berpikir tak kalah keras. Namun suara yang menjawab pertanyaan Tari membuat mereka terlonjak kaget.
“Brawijaya,” kata Ari pelan. “Kemana lagi kalo bukan Brawijaya?”
Tari refleks memindahkan pegangannya sekarang lengan kokoh Ari. Usaha tersirat untuk mencegah Ari bertindak gegabah.
“Lepas, Tar.”
“Percuma!” Tari bersikeras untuk menguatkan pegangannya. “Lo nyusulin mereka pun bakalan percuma, Kak. Mendingan lo –“
“Apanya yang percuma sih, Tar?!” Ari membentak gadisnya dengan keras. Perkataan Tari tadi sungguh menyakitkan!
“Gue udah diinjek-injek sama mereka di depan satu sekolah. Harga diri gue udah entah kemana. Dan lo ngomong gitu... buat apa? Buat negasin kalo gue lemah, gitu?!”
Dihempaskannya tangan Tari dengan kuat. Tari tergugu. Bukan gitu!
“Gue, Tar...” bisik Ari pelan, “cuma peduli sama mereka. Itu aja. Gue nggak yakin mereka pergi dengan persiapan matang. Salah, Tar?”
“Ada Kak Ata dan Ridho disana... Mereka pasti tau apa yang mereka lakukan.”
Percakapan ini, setiap katanya menoreh luka. Setiap katanya meneteskan darah, baik pada Ari maupun Tari. Tentang kedua nama yang tak dapat dipahami dengan logika, segala gerak-geriknya itu.
“Justru,” Ari menghela napas, panjang dan dalam, “gue harus liat dengan mata gue sendiri. Seberapa mampunya mereka menangani ini semua.”
Ia menoleh, menatap Tari yang sudah berkaca-kaca lagi.
“Kalo gue yakin, kalo gue melihat sendiri... Gue tenang. Gue bisa melepas semuanya dengan tenang.”
Tangis gadis itu langsung pecah. Kerelaan yang Ari tunjukkan... melukainya. Ketidakberdayaan Ari sekarang ini membuat Tari merasa lebih tidak berdaya. Sementara Tari ditenangkan oleh Fio, perlahan Ari berjalan menuju mobilnya
Begitu sampai parkiran, Ari melihat sedan hitamnya yang tadi pagi dikendarai oleh Oji sedang bertengger melintang di tengah jalan.
“Lo mau pergi pake apa?” Tanya Oji seraya tangannya memainkan kunci mobil Ari. “Ini dari tadi pagi masih dipegang sama gue.”
Ari malah balas menyahut dengan dingin, “Balikin, Ji. Gue nggak punya waktu.”
Pada kekeraskepalaan sahabatnya ini, rasanya Oji ingin sekali mengamuk.
“Berasa paling kuat lo, selalu maksain diri lo sendiri untuk nuntasin segalanya?!” Tutur Oji sengit. Ari membelalak, tangannya terkepal. Oji balas menatapnya, nantang!
“Sekarang lo masuk. Kita pergi sama-sama.”
“Ini urusan gue. Minggir, Ji!”
“Tapi gue jug –“
Namun Ari memotong perkataan Oji dengan teriakan, “INI URUSAN GUE, JI! JANGAN IKUT CAMPUR!”
PLAAAKKK!!
“Kak Ojiii!!”
Tari, yang baru tersadar bahwa Ari telah menghilang, segera mengejarnya ke parkiran bersama dengan Fio dan melihat Oji memukul Ari dengan sekuat tenaga.
Oji terluka dengan perkataan Ari. “Lo pikir yang tadi pergi cuma sodara kembar lo?! Si brengsek yang nyetir mobil tadi itu Ridho, sahabat gue! Sahabat KITA!”
“Sial –“ Ari berniat membalas pukulan Oji, namun langsung dihalangi Tari yang sekarang beridri di antara mereka.
“Tonjok gue, Kak!” Tari berkata lantang. “Terus aja kalian main tonjok-tonjokan. Trus kalian pikir masalahnya selesai?!”
Tari mengumpulkan semua keberanian. Cukup! Nggak ada lagi nangis-nangisan nggak jelas.
“Kita pergi bareng. Ya?”
Permintaan lembut itu membuatnya luruh. Ari mengalihkan tinjunya ke kap mobil. Bahkan rasa sakit yang menjalari kepal tangannya tak bisa mengalihkan rasa sakit di hati. Tanpa menjawab apapun, Ari langsung masuk ke dalam sedan hitam di hadapannya.
Fio hanya memandangi mereka semua dengan iba. Masalahnya melebar semakin nggak jelas, namun jalannya denga pasti melukai hati kesemuanya.
*
Deru gas motor terdengar semakin dekat. Bibir Angga membentuk seringai tipis.
Kendaraan pertama yang sampai di depan gerbang SMA Brawijaya adalah sebuah sedan putih. Lalu disusul dengan kendaraan-kendaraan lain, yang jumlah massanya lumayan banyak. Massa yang menuntut penjelasan. Juga pemutihan nama baik yang tercemar!
Angga, juga anak-anak Brawijaya lain yang telah menunggu di depan gerbang SMA mereka, menatap dengan seringai mengejek. Sementara tak jauh dari Angga, Bram juga ikut mengawasi. Sengaja tidak mengambil tempat di samping Angga hanya untuk menjaga agar amarahnya tetap terkontrol.
Namun, pemandangan yang ia lihat selanjutnya malah membuatnya tak bisa menahan diri.
Dari sedan putih tersebut, keluarlah tiga orang yang membuatnya melongo maksimal. Ridho serta Ata yang... menggandeng tangan Anggita Prameswari!
“Apa maksudnya ini, Ga?!” Bram meneriakkan protes keras pada Angga, yang juga sempat terpana melihat pemandangan tersebut. Kenapa Ata bawa-bawa Gita kesini?
“Woy!!” Bram mendorong bahu Angga keras, hingga hampir saja cowok itu terjungkal. Namun Angga hanya mengirimkan ekspresi diam-dan-liat-aja-dulu, sama sekali tidak membantu meredakan emosi Bram.
“Gue datang. Sesuai janji,” ujar Ata santai setelah berdiri cukup dekat dengan Angga. Kedua pentolan sekolah masing-masing tampak tenang dan tidak terlihat ada bara api yang meletup di mata mereka, namun massa masing-masing justru yang saling tatap dengan tatapan ingin membunuh.
Ata tersenyum geli. “Jangan bilang kalo temen-temen lo nyangkanya Ari yang sekarang ini berdiri di sini.”
Angga menoleh ke belakang, mengecek pasukannya. “Biar mereka liat sendiri.”
Ata berbicara dengan wajah yang dibuat setenang mungkin, serta sikapnya yang dibuat sok akrab, sanggup membuat massa dari Brawijaya terheran-heran.
“Gue Ata, bukan Ari. Yah... Kami emang kembar identik banget. Dan sekarang, gue yang mengisi posisi Ari terdahulu. Mohon bantuannya, yaaa...”
Namun, keramahan itu... Tak ada yang menanggapi. Ata tidak peduli.
“Kunjungan gue dan temen-temen gue kesini juga bukan sekedar kunjungan perkenalan diri. Cuma menuntut penjelasan. Langsung dari mulut Angga.”
Anggada sudah siap. Apapun pertanyaan dari Airlangga mengenai kejadian saat itu, akan ia jawab semua. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. Maka dimulailah proses tanya jawab tersebut. Dengan sangat alot dan memakan waktu lama.
Ata hanya diam dan menikmati keadaan di sekitar. Tangan kanannya kini merangkul Gita, yang membuatnya dipelototi terang-terangan oleh Bram.
Gita melihat tatapan kemarahan, yang menurutnya karena saat ini dia menunjukkan status ke-Airlangga-annya secara terang-terangan. Gita sendiri bukannya nggak paham dengan arti tatapan Bram. Tapi.... Gita nggak salah, dong! Dia seorang Airlangga, bukan Brawijaya. Jadi dukungan moriil ini bukanlah sebuah pengkhianatan bagi siapapun, termasuk untuk Angga dan Bram.
Padahal, kalo Gita bisa melihat jauh ke dalam hati Bram... Hati itu sedang tersayat! Hati itu sedang terbakar api cemburu. Hati itu juga kesal karena tidak mampu melakukan apapun untuk mengatasinya. Bisa repot urusannya kalau sampai tindakan cerobohnya diketahui oleh warga Airlangga yang lain dan keselamatan Gita semakin terancam. Ditatapnya kedua mata Ata dengan bara api yang menyala.
Ata puas. Sangat puas melihat ekspresi Bram. Ia malah semakin memperketat rangkulannya – selain karena suasana disana menjadi semakin ramai dan mulai terjadi dorong-dorongan. Luka hati dibalas dengan menorehkan luka di hati juga. Baginya, itulah arti impas.
“Oke, cukup!” Ata mengangkat tangannya, membuat semua keriuhan ini akhirnya berhenti.
“Jelas, kan?” Ata bertanya lagi kepada rombongan SMA Airlangga. “Lo semua udah ngerti duduk permasalahan yang sebenarnya? Lo semua udah tau alesan kenapa Ari ngelakuin itu semua, padahal ceweknya nggak diapa-apain sama sekali, cuma ngobrol santai dengan penuh kerelaan?”
Gumaman kesal, caci maki, semuanya saling sahut-menyahut.
“Gue menghargai tiap orang yang berkepala dingin,” Angga membuka mulut, “Gue hargai maksud kalian semua datang kesini dengan baik-baik. Gue, atas nama seluruh siswa Brawijaya mengusulkan.... perdamaian!”
Angga melihat reaksi teman-temannya. Namun mereka sudah paham mengenai aksi damai ini.
“Kalian terima atau enggak, itu terserah kalian. Yah... Kita menghargai kedatangan Ata sebagai pemimpin baru kalian.”
Beragam reaksi muncul di antara siswa-siswa Airlangga. Ada yang percaya, ada yang meragukan, bahkan ada yang tidak percaya sama sekali.
“Kalo emang bener kita damai, nih, berarti... Sekolah aman, kan?”
“Bisa maen ke Brawijaya sepuasnya, nih?”
“Gue bisa ngelanjutin pedekate yang tertunda!”
“Yah, setidaknya tiap mau sekolah gue sama Abang nggak perlu gagah-gagahan lagi deh, siapa yang sekolahnya paling kuat...”
“Tapi serius nggak, tuh orang?”
“Keputusan lo gimana, Ta?” Ridho akhirnya angkat bicara.
Ata tersenyum jumawa. Hatinya semakin melambung, sesak dengan kepuasan dan kesombongan.
“Demi kebaikan kita bersama.... Gue terima tawaran itu!”
Disana, disaksikan oleh kedua belah pihak, Ata dan Angga berjabat tangan erat. Senyum kemenangan tercetak di bibir masing-masing.
Suasana kegembiraan membuncah disana. Aksi saling jabat tangan, saling rangkul, bahkan saling bercanda, lega karena mereka tidak harus menghadapi serangan-serangan melelahkan lagi.
*
Dari kejauhan, Ari, Tari, Oji dan Fio dapat melihat jabatan tangan itu – juga euforia yang terjadi di hlaman SMA Brawijaya – dengan jelas. Oji ribuan kali mengeluarkan makian serta sumpah serapah yang memekakkan telinga. Fio hanya menutup telinga, tidak tahan mendengar kata-kata Oji yang sangat mengerikan.
Sementara Tari hanya mengamati ekspresi Ari. Tari cemas. Ingin bertanya, tapi sebagian hatinya takut. Takut cowok ini akan kalap. Pengkhianatan yang terjadi di depan matanya adalah pengkhianatan kelas berat. Konspirasi! Dan itu sangat tidak diragukan lagi.
Wajah Ari memerah menahan geram. Sudah takdirnya, sudah sejak ia belum menginjakkan kaki di SMA Airlangga, permusuhan kedua sekolah itu tidak pernah mencapai kata usai. Terlebih saat ia dan Angga yang duduk di posisi tertinggi, yang Ari tahu dengan pasti serangan itu ditujukan pada dirinya – walau entah karena apa.
Perdamaian ini jelas menegaskan bahwa Angga hanya mengincar Ari, bukan Airlangga!
Tapi... kenapa harus Ata?
“Ji, kita pulang aja.”
Oji segera menghentikan aktivitas sumpah serapahnya demi melihat wajah lelah Ari. Tanpa banyak tanya lagi, Oji segera mengendarai mobil Ari menjauhi hiruk pikuk perdamaian di SMA Brawijaya.
*
Ata akhirnya mengantarkan Gita pulang.
“Maaf, ya,” ujar Ata pelan, “gue cuma pingin lo jadi saksi atas perdamaian ini.”
Gita diam. Dibiarkannya Ata terus berbicara.
“Gue juga mau lo liat, gue sama sepupu lo itu... Yah, katakanlah berteman akrab.”
“Kak Ata...” potong Gita pelan.
“Hmm?”
Gita tak sanggup mengeluarkan kalimat selanjutnya. Baginya, apa yang dilihatnya siang tadi semuanya palsu. Sinar mata Ata dan Angga tak dapat membohongi matanya. Pasti ada sesuatu di antara mereka.
“Lo mau ngomong apa barusan?”
Gita mengehela napas. “Nggak pa-pa. Makasih ya, udah dianterin pulang. Saya masuk dulu, Kak.”
Seiring dengan berlalunya Gita, senyum di wajah Ata ikut menghilang. Ia pun membalikkan badan.
Disana, di ujung jalan, sudah ada Bram. Ata tersenyum mengejek.
“Beraninya bawa-bawa cewek!” Teriak Bram murka.
“Ralat,” sahut Ata santai, “Harusnya lo bilang ‘beraninya bawa-bawa pacar’ gitu dong!”
Bram membelalakkan matanya, kaget. Ata berjalan melewatinya dengan santai, namun nada suaranya terdengar begitu mematikan.
“Lo diem aja. Jangan ikut campur dengan urusan gue. Keselamatan Gita... tergantung dari tindakan gegabah lo!”
*
Setelah mengantarkan Tari dan Fio pulang, Ari meminta Ridho untuk melajukan mobilnya ke tempat dimana Ari biasa menenangkan diri. Saat mereka sampai disana, matahari sudah sempurna terbenam dan digantikan oleh sinar rembulan.
Ari langsung melemparkan dengan asal sepatunya dan.... BYUUURRR!! Ari menyelam masuk ke dalam dinginnya danau. Oji hanya bisa menatapnya dengan pandangan prihatin. Lebih tepatnya, nelangsa!
Segalanya jadi jelas di mata mereka. Ata dan Angga bekerja sama. Ata melindungi Gita di Airlangga, dan sebagai gantinya... Angga menyerahkan kejatuhan Ari pada Ata untuk menggulingkan rezim Ari.
Bagi Oji, semuanya terlihat jelas. Ata hanya haus kekuasaan! Ata hanya ingin berada di tempat yang sama dengan yang telah diraih Ari, namun dengan cara mendepak Ari dari posisi tersebut. Padahal... Ata nggak perlu melakukan itu. Tanpa Ata harus repot-repot menyingkirkan Ari pun, cowok itu akan segera mendapatkan segala kekuasaan dan pamor yang Ari sandang.
Ari bukan tipe yang bertindak sebagai orang yang berkuasa. Ari diangkat, bukan mengangkat diri. Ari ditunjuk secara ikhlas, karena semua mengetahui sepak terjang Ari. Ari tidak menyuap mereka dengan janji-janji busuk, ataupun keramahan palsu. Ari menjalankan perannya sebagai pemimpin perang dengan apa adanya.
Tidak, Ari tidak pernah memasukkan tujuan pribadi selama memimpin berbagai tawuran mereka dengan SMA lain, termasuk dengan Brawijaya.
Oji nelangsa. Kejatuhan demi kejatuhan yang menimpa Ari ini... Bagaimana ia harus membantu sahabatnya itu agar bangkit? Apalagi yang harus dihadapi Ari adalah bayangannya sendiri. Ata.
Dengan badan menggigil, Ari naik dan mengambil tempat di sebelah Oji. Oji lantas mengulurkan handuk yang selalu Ari bawa-bawa di tasnya. Diperhatikannya sahabatnya tersebut dalam diam. Terkadang, diam adalah dukungan terbaik yang dapat kamu berikan dibandingkan dengan kata-kata. Tak jarang, diam justru mengartikan segalanya yang nggak dapat diungkapkan.
“Gue.... capek...” Ari merintih pelan. Terlentang lurus di saung kecil itu, dengan mata terpejam. Oji paham. Untuk malam ini, ditemaninya Ari beristirahat disini, jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Jauh dari sosok Ata yang memorakporandakan hatinya juga, tentunya.
*
“Ata... Kok Ari belum pulang, ya?”
“Pulang ke rumahnya kali, Ma.”
Ata hanya menjawab cuek. Mau bagaimana lagi? Ata memang tidak tahu kemana Ari pergi, atau apa yang sedang dilakukannya. Sudah lama sejak ia berhenti mengawasi Ari.
Namun Mama tetap tidak tenang. Wajahnya diliputi kecemasan.
“Daritadi Mama coba hubungi ponselnya tapi nggak aktif, Ta.”
“Ma...” Ata berujar pelan. “Nggak usah khawatir. Ari pasti bisa jaga diri. Ata masuk ke kamar dulu ya, Ma, capek.”
Ya, Ata capek. Tidak hanya fisik, namun juga hati. Ia pun berlalu meninggalkan mama yang masih dirundung kecemasan. Mau sampai kapan mama selalu mencemaskan Ari?
Ata membanting tubuhnya di atas kasur. Kesal pada dirinya sendiri.
Terhadap semua hal yang terjadi hari ini, kenapa hatinya justru terasa hampa? Terhadap semua pembalasan dendam ini, kenapa hatinya sendiri mulai terasa lelah?
“Nggak mungkin,” bantahnya pada diri sendiri. “Nggak.”
Ata pun mencoba mengenyahkan semua perasaan tidak enak dalam hatinya dan tertidur.
*
Gita diinterogasi, lagi, oleh Angga dan Bram. Sebenarnya lebih banyak Bram yang menuntut penjelasan.
“Kenapa harus jadian sih, Git?!” Tanya Bram emosi. Gita jadi geram juga mendengar pertanyaan semacam itu. Mau gue jadian sama siapa, kek, ya terserah gue, dong!
Namun bukan itu yang keluar dari mulut Gita.
“Supaya gue juga ikutan perang, seperti kalian.”
Jawaban itu terdengar mantap, dan membuat kedua cowok di hadapannya seketika bungkam. Angga menyipitkan matanya.
“Maksud lo?”
“Gue... kasian sama Tari.”
Mendengar nama Tari disebut, kontan badan Angga membeku. Ia sampai lupa dengan keselamatan gadis itu!
“Kasian banget, dia sekarang dijauhi. Ya itu, gara-gara video Kak Ari sujud di depan elo,” Gita berkata sinis kepada Bram, “diputar di depan satu sekolah.”
“Itu resiko dia deket sama Ari, nggak ada kaitannya sama elo!”
“Jelas ada!” Sergahnya kesal. “Gimana, sih? Gue yang tiap hari selalu ngeliat Tari dikerjain habis-habisan sama Kak Ari. Nggak jarang malah Kak Ari ngelakuin itu di depan mata gue!”
Bram semakin murka mendengar Gita yang malah membela Tari, namun masih tetap tidak menemukan korelasi di antara itu semua.
“Pake gue buat ngelindungin Tari, Ga. Gue sekarang berdiri di posisi yang sama dengan Tari, bahkan lebih.”
Anggita menujukan kalimat itu langsung pada Angga. Gadis itu sangat pandai membaca perasaan sepupunya itu. Ia tahu, perlakuan Angga pada Tari lebih daripada sekedar ingin merebut cewek itu dari Ari. Angga, secara tidak sadar, telah melibatkan hatinya disana.
Angga tercenung.
Kalo masih tersisa harapan untuk melindungi Tari...
*
Tari menunggu di depan gerbang SMA Airlangga bersama dengan Fio. Namun, sosok yang mereka cari belum juga tiba disana. Padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi, dan gerbang akan segera ditutup.
“Mereka pasti datang kan, Fi?” tanyanya cemas.
“Pastilah,” sahut Fio, menenangkan. “Kak Ari dan Kak Oji harus datang, Tar. Kalo mereka nggak masuk hari ini, tuh setan bakalan makin ngerasa di atas awan.”
Setan yang dimaksud Fio melintas di hadapan mereka. Namun cowok itu tidak menoleh. Ia sedang sibuk bercanda dengan Ridho dan kawan-kawan yang lain. Tari jadi tidak dapat menahan diri untuk meneriaki mereka.
“PENG –“
Namun mulutnya dibekap dari belakang. Tari gelagapan panik, lalu meronta sekuat tenaga.
“Lo mau ngapain?”
Suara itu!
Ari melepaskan bekapannya dan membalikkan badan gadis itu agar dapat melihat kedua matanya. Wajah Tari merona.
“Kak Ari...”
“Iya, ini gue,” sahutnya cuek. “Lo mau ngapain tadi, hmm? Mau nyari perhatian?”
Namun Tari nggak tega menjawab pertanyaan tersebut saat dilihatnya Ari dengan lebih seksama. Wajahnya kusut, dan badannya sedikit hangat. Pandangannya jadi melembut. Dan Ari tahu arti pandangan tersebut.
“Jangan khawatir, gue nggak kenapa-napa,” ujarnya menenangkan. Digenggamnya tangan Tari dengan lembut, seraya mengajaknya berjalan masuk karena bel sudah berbunyi.
Kepergian keduanya diiringi dengan tatapan cemas dari dua pasang mata yang lain: milik Fio dan Oji. Lantas keduanya jadi saling tatap.
“Apa lo liat-liat?” Seru Oji galak. “Mau minta digandeng juga kayak si Tari?”
Dengan mood yang berantakan, Oji meninggalkan Fio di gerbang dan berjalan sendiri menuju kelasnya. Fio jadi keki.
“Yeee... Sempet-sempetnya tuh orang nguji kesabaran gue!”

-PRINCESS-

7 comments:

  1. waah... makin cepet ya ngepostnya.. :D tiap ngecek sdh ada postingan baru.. :)

    ReplyDelete
  2. haha :) terimakasih ya sudah selalu baca karya kami :)

    ReplyDelete
  3. ya ampun...dag dig dug nih bacanya...
    he...like this...
    ditunggu klanjutannya ya...

    ReplyDelete
  4. Ada beberapa typo tuh. Tp ceritanya tetp keren kok. Bikin penasaran. Lanjutannya ditunggu, yaaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, terimakasih koreksinya! xD nanti akan kami perbaiki, terimakasih ya telah membaca karya kami :)

      Delete