Tuesday, September 17, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #11


Sudah tiga hari ini Ata mengamatinya. Ia suka warna biru. Rambut hitam legam sepinggangnya selalu diurai dan dipakaikan bando,  jika tidak dikepang rapi. Orangnya sedikit kikuk dan pendiam. Mungkin karena hal itu ia tidak punya teman dekat, setidaknya begitu sepengetahuan Ata yang tidak pernah melihat gadis itu bersama orang lain – hanya dia sendiri. Meski begitu,  gadis yang diamati Ata selama tiga hari ini mempunyai senyum yang luar biasa manis, yang sanggup membuat Ata tertegun beberapa detik.

Jika Ata tidak mengingat gadis itu adalah ‘proyek’, sudah ia kejar gadis itu habis-habisan. Namun, untuk saat ini, Ata belum mau menjalin hubungan dengan gadis manapun, karena masih ada hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan. Gadis itu hanya salah satu batu pijakan untuk meraih misi dan ambisinya… juga untuk membalas Bram yang telah menusuk kembarannya!
*
Anggita gelisah. Sudah tiga hari ini ia merasa diperhatikan oleh seseorang. Bahkan, kalau memang Gita tidak salah terka dan tidak besar rasa, orang itu sampai berani mengikutinya masuk bus perjalanan pulang! Serem, kan?
Mungkin kalau orang itu adalah orang biasa, ia akan melaporkannya pada kakak sepupunya, Angga, si preman SMA Brawijaya, atau Bram yang merupakan tangan kanan Angga, agar si stalker itu dihabisi segera. Tapi masalahnya... Ah, bagaimana Gita harus menjelaskan bahwa sebenarnya ia agak tersanjung juga diperhatikan oleh salah satu Matahari? Apalagi Matahari yang ini. Matahari yang begitu… sempurna. Ah, bagaimana Gita dapat menjelaskan?
Berbeda dengan saudaranya yang blangsak dan cenderung urakan, Matahari yang ini begitu tenang pembawaannya. Begitu sopan. Begitu penurut. Tidak berulah. Juga pintar. Dan maksud Gita adalah benar-benar pintar! Fakta ini pun tidak sengaja ia ketahui Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia, memintanya untuk mengambil diktat yang ketinggalan di ruang guru,. Saat Gita masuk, ternyata disana beberapa guru sangat heboh membicarakan Matahari Jingga!
“Beda sekali dengan saudaranya! Yang ini angel, yang sana trouble maker!”
“Responsi fisika kemarin… Ata mendapat nilai sempurna! Padahal itu responsi dadakan!”
“Tidak pernah… tidak pernah sama sekali membuat kacau di kelas!”
“Cuma Ata yang jadi top scorer waktu basket kemarin, setelah saya suruh scotch jump 100 kali!”
Dan yang paling membuat Gita – pun juga sebagian besar warga Airlangga – terkesan pada Ata… keheroikannya kemarin saat tawuran. Tanpa banyak tingkah dan banyak perintah sana-sini, ia pukul mundur Brawijaya hanya dalam waktu 10 menit!
Udah ganteng, baik, pinter, jago berantem, pula!
“Eits! Hati-hati!”
Suara teriakan itu membuyarkan lamunan Gita sekaligus mengejutkannya sehingga ia hentikan langkahnya secara mendadak. Ia tertegun. Di depannya menganga lubang besar, bekas galian, entah galian apa. Jika tidak ada yang memeringatkannya, mungkin sekarang ia sudah tersuruk disana, entah pingsan, lecet atau gegar otak. Gita menoleh, mencari sumber suara, ingin mengucapkan terimakasih atas peringatannya.
Tapi nampaknya Gita tidak perlu susah-susah mencari. Orang itu berdiri tepat di depannya. Sedikit menunduk, memegang kedua bahu Gita lembut dan menatap Gita tepat di matanya.
Orang itu Matahari Jingga.
Ya ampuuuuuuunnnn!
“Lo nggak pa-pa?” Tanya Ata.
Gita hanya bisa terdiam. Oke, ralat. Gita hanya bisa bengong. Melongo, dengan mulut sedikit terbuka saking shocknya.
“Hei? Lo nggak kenapa-napa, kan? Halo?” Ata mengguncangkan pundak Gita agak keras. Gita tersadar dan ia langsung gelagapan, berulang kali membetulkan letak kacamatanya.
“Eh, enggak… Nggak pa-pa. Makasih, ya, Kak. Permisi.”
“Hei, tunggu dulu…” Ata terkekeh geli. ”Gue ngikutin lo dari sekolah sampe sini bukan cuma untuk lo tinggal pergi gitu aja, tau… gue pengen nganterin lo sampe rumah. Boleh?”
“Oh, Kakak mau – “ namun Gita terkesiap, lantas tanpa sadar memekik, “APAA?!”
“Nganterin lo pulang.” Ata nyengir. ”Yuk! Nunggu bus nomor tiga di halte aja.”
“Mmm... Kakak tau darimana kalo saya naik bus nomor tiga?” Tanya Gita dengan penuh selidik. Sebenarnya untuk memastikan juga bahwa memang benar dari kemarin dia diikuti.
Ata memasang raut wajah sedang berpikir keras. Ia ketuk-ketukkan telunjuk di keningnya.
”Kok bisa tau? Hmm... karena dari kemarin gue ngikutin elo terus kali, ya,”  jawab Ata santai.
Tuhan, ini lebih dari sekedar indaaah! Pekiknya riang dalam hati. Namun tiba-tiba Gita was-was. Seorang Ata, yang jelas-jelas merupakan kembarannya Ari, yang – lagi – merupakan musuh bebuyutannya Angga di medan perang, ngikutin dia untuk apa?
“Kenapa? Lo ragu?” Tanya Ata, setelah beberapa saat Gita hanya diam saja memandanginya. “Apa perlu alasan untuk dulu baru bisa pulang bareng elo?”
Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Orang ini... bisa baca pikiran kali, ya! “Soalnya heran aja sih, Kak. Ngg... Aneh aja, gitu...”
Ata tergelak, gemas dengan tingkah lugu gadis ini.
”Okeee gue kasih tau alesannya,”  Jari-jari Ata mulai berhitung.  “Satu, lo pasti nggak mau ambil resiko jatuh di lubang mana karena ngelamun sendirian. Dua, karena jam segini tuh bus lagi padet-padetnya sehingga lo butuh orang yang bisa ngejagain lo di dalam bus. Dan ketiga…”
Ata tiba-tiba menyodorkan ponselnya. Refleks, Gita menggeleng dan menjauhkan ponsel itu dari hadapannya. Tapi Ata memaksa. Ia tempelkan ponsel itu di telinga Gita. Sehingga mau tidak mau, Gita akhirnya menerima ponsel itu.
“Halo…”
“Hei, Git…”
Gita langsung mendelik. Suara yang diseberang sana… kakak sepupunya! Tanpa sadar Gita langsung meninggikan suara.
“Kok... Kak Ata bisa nelepon elo, sih?! Kok... kalian... Apa sih iniiii?!”
Suara di seberang, bukannya menenangkan atau menentramkan, malah berbicara dengan lirih, seperti berbicara di pemakaman. “Pokoknya lo ati-ati, ya, Git. Nurut sama Ata. Lo harus inget, gue sayang sama lo. Oke?”
Dan sambungan telepon putus seketika.
Gita lemas selemas-lemasnya. Tangannya dingin. Tulangnya serasa rontok. Astaga… inilah resikonya jadi adik preman sekolah musuh! Dilayangkannya pandangan pasrah pada Ata, yang sedang balik menatapnya dengan menaikkan alis.
“Karena kata sepupu saya nggak kenapa-napa, iya, deh... Saya pulang bareng Kak Ata...” Gita berujar pasrah.
Tanpa dinyana, Ata langsung tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penuturan Gita barusan.
”Lo jangan mikir yang macam-macam, dong. Gue emang beneran pengen nganterin lo pulang, lagi...”  ucap Ata setelah tawanya reda.
Gita menggeleng, namun dibiarkannya Ata ikut berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan beriringan, tanpa berbicara sepatah kata apapun. Masih kaku.
“Gue tau lo sepupunya Angga. Gue tau lo adek kelas gue, anak X-3. Tapi kita belom kenalan langsung,” suara Ata memecah keheningan. Ia mengulurkan tangannya.
”Ata.”
Dengan malu-malu, Gita membalas uluran tangan itu.
”Anggita.”
“Anggita…” Ata bergumam, ”Nama yang bagus.”
Mereka sampai di halte. Percakapan yang cukup seru mengalir antara Gita dan Ata. Baru setelah bus nomor tiga yang keenam datang, mereka pun memutuskan untuk naik, dan terpaksa melanjutkan obrolan yang terputus di dalam bus.
*
“Yakin mau masuk sekolah?”
“Yakin.”
“Lo masih sakit dan butuh recovery, Kak…”
“Gampanglah itu. Gue udah bosen di rumah mulu.”
“Tapi –“
“Jingga Matahari,” Ari memegang kedua bahu Tari, erat. Ditatapnya Tari lekat-lekat. ”Sampai kapan kita mau berdebat?”
Tari cemberut, mengernyitkan dahinya, tanda tak suka. Tapi Ari tahu, ini pertanda bahwa ‘perang’ ini sudah hampir ia menangkan. Sambil tersenyum geli, diacaknya rambut Tari dengan sayang dan dikecupnya kening Tari lembut.
Senin pagi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul o6.35 dan mereka masih berdiri di teras rumah kontrakan Mama Ari, yang tak jauh dari rumah Tante Lidya. Memang, setelah Ari keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, Mama dan Papa Ari sepakat agar untuk sementara waktu Ari dirawat oleh mamanya, sampai ia sehat betul. Dan sekarang… disinilah Ari. Dengan Tari di depannya, masih belum putus asa untuk membujuk hari ini Ari tidak masuk sekolah Perdebatan mereka masih belum usai karena Tari sama keras kepalanya dengan Ari.
Berawal dari kekeraskepalaan Ari untuk masuk sekolah hari ini, karena sudah bosan dirumah. Mama, yang sudah kehabisan cara untuk membujuknya agar tetap dirumah, langsung menghubungi Oji agar turut membujuk Ari. Dan seperti dugaan – bujukan Oji yang menakut-nakuti Ari bahwa hari ini Bu Sam lagi PMS hingga lebih mengerikan dari biasanya tidak berhasil.
 Terpaksa Mama Ari mengeluarkan senjata pamungkasnya: Tari! Itu juga masih tidak mempan. Wanita paruh baya itu hanya bisa mengelus dada seraya berdoa dengan khusyuk, supaya Tari bisa menang melawan sikap ngotot anaknya.
“Sebenernya apa yang lo kuatirin sih, hmm? Gue udah sehat begini. Ibarat kata tawuran lagi, nih…” Ari mengucapkan kata ‘tawuran’ dengan pelan agar Mamanya tidak mendengar, ”gue udah kuat buat ngebabat habis mereka, lho.”
Tari melotot,”Jadi motivasi lo –“
Ari panik, langsung membekap mulut Tari.
”Sshh… ya nggak, lah! Memangnya lo nggak bosen di sekolah dikawal Oji mulu?” Ari berujar sembari melirik Oji yang sedang asyik menikmati arem-arem buatan Mama. Yang dilirik cuma nyengir seraya mengacungkan arem-arem. Tari mendengus kesal.
“Memangnya kalo lo masuk sekolah, gue nggak dikawal lagi?”
“Ya dikawal, sih. Tapi sama gue, bukan sama Oji,” jawab Ari santai.
“Kak Ariiiii!” pekiknya menahan gemas.
“Hmmm?”
Tari menarik napas panjang. Sebenarnya hatinya berat mengizinkan Ari masuk sekolah. Perasaannya sangat tidak enak. Selama ‘serangan-serangan’ itu belum jelas betul bagaimana arahnya, selama ancaman-ancaman masih mengintai dan hanya menunggu tanggal main untuk dieksekusi… tentu sekolah adalah tempat yang sangat berbahaya bagi Ari! Apalagi dengan berbelotnya si tangan kanan, Ridho… Tari ngeri membayangkan apa-apa saja yang akan terjadi nanti. Melarang Ari ke sekolah dan membuat Ari stay di tempat yang aman dan netral adalah salah satu caranya melindungi Ari. Karena bagaimanapun, Tari tidak bisa menceritakan segala peringatan-peringatan, ancaman-ancaman, juga serangan yang samar tapi nyata pada Ari. Sesuatu sedang berlangsung, meski Tari tidak mengetahui apa sesuatu itu. Dan jelas ia tidak bisa menjelaskannya pada Ari. Tentang Angga, Ata, dan terutama… Ridho.
Peringatan Angga… Pasti akan disalahartikan oleh Ari. Dan dicemburui Ari adalah hal terakhir yang diinginkan Tari. Karena hati yang terbakar akan membuat Ari tidak dapat berpikir jernih dan kelengahan Ari itu yang dicari Angga.
Ancaman Ata… Apakah Ari akan mempercayainya jika saudara kembar Ari sendiri sedang merencanakan sesuatu untuk Ari yang sifatnya destruktif? Baru saja kedua saudara itu bertemu. Baru saja Ari merasa utuh.
Pengkhianatan Ridho… dapat membuat Ari ambruk dan jatuh seketika. Ari, Ridho dan Oji adalah tiga bagian tak terpisahkan. Mereka bertiga bukan hanya sahabat, tapi sudah seperti satu kesatuan. Satu jiwa dalam tiga tubuh. Kehilangan salah satunya akan membuat segalanya tidak seimbang, membuat pincang dan lumpuh seketika. Ridho dan Oji adalah penopang Ari. Bagaimana bisa Ari berdiri tanpa salah satu diantara mereka? Tari tak sanggup menghancurkan hati Ari lebih buruk lagi.
“Udah, deh, Tar… biarin aja dia masuk sekolah. Gue juga bosen nih di kelas tanpa Ari,” celetuk Oji tiba-tiba, yang langsung disambut dengan pelototan Tari. Kak Oji nih gimana, siiih?
“Akhirnya… ada juga yang dukung gue.”
Ari nyengir, kemudian pergi ke dalam untuk mengambil tas. Di teras hanya ada Tari dan Oji.
“Kak Oji gimana, sih? Kalo ada apa-apa gimana?” omel Tari pelan.
“Sampe kapan lo mau kurung dia terus, Tar? Mungkin lebih baik gini… biar dia tau realita yang terjadi di lapangan,” jawab Oji sok bijak. Tari terdiam. Perkataan Oji ada benarnya. ”udah, Tar… lo tenang aja. Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama. Oke?” Oji menepuk pundak Tari pelan, seakan menyuntikkan semangat tambahan.
Tari menarik napas. Panjang dan berat. Whatever will be… will be!
*
Pukul 06.55! Pukul 06.55 yang fantastis, yang menandakan bahwa ia masih bisa melihat semesta. Tari berulang kali mengucap syukur pada Tuhan karena masih mengizinkan Tari untuk berada di dunia ini.
Perjalanan dari rumah Ari sampai ke sekolah seyogyanya ditempuh dalam waktu setengah jam. Tapi berkat Oji yang sepertinya ingin menyaingi Michael Schummacher, perjalanan itu ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit saja! Sepuluh menit yang menegangkan dan membuat setengah nyawa Tari melayang. Entah sudah berapa lampu merah yang mereka terobos. Entah sudah berapa orang dan kendaraan yang terpaksa menepi atau mengalah berkat cara nyetir Oji yang bisa membuat orang dengan penyakit jantung langsung lewat seketika.
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju lapangan untuk upacara. Tari, dengan badan lemas, sedang Oji dan Ari yang terlihat sangat baik-baik saja dan malah saling bercanda. Lapangan sudah dipenuhi oleh lautan siswa yang sedang berbaris. Namun anehnya, disana sama sekali tidak ada persiapan upacara. Tidak ada guru. Murid-murid bergerombol,  berkasak-kusuk dan melihat dengan khusyuk big screen yang terpampang di tengah podium.
“Ini ada apa, sih?”
Semua orang mengungkapkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang belum terjawab, namun sebentar lagi akan terjawab.
“Tari! Tari!” Fio berlari menghampiri Tari sembari melambaikan tangan. Ia sedikit terengah-engah.
“Ini ada apa, sih, Fi? Kok nggak upacara?” Tanya Tari. Pertanyaan yang serupa diajukan pula oleh Oji dan Ari.
“Memang nggak. Guru-guru lagi pada rapat di kantor yayasan. Jam pertama sampe ketiga kosong. Tapi…”
“Tapi apa? Kok ngegerombol disini semua? Ada apa?” Tanya Tari.
Fio menggigit bibirnya, berpikir keras. Aduh… bilang apa nggak, ya?
“Itu Kak, nggg... Kata Kak Ridho…”
“Apa kata Ridho?!” Tanya Oji, defensif.
Namun pertanyaan itu tak terjawab. Suara Ridho yang memakai megaphone menggema, memenuhi seluruh lapangan.
“Halo… Halo… Selamat pagi Airlangga. Maaf ya, gue ngebuat kalian semua kumpul disini. Panas-panas pula. Seperti apa yang sudah gue bilang lewat pengumuman tadi, ada hal yang sangat mengejutkan! Sangat mengejutkan, tentang panglima perang kalian, Matahari Senja!”
Suasana hening hingga bahkan bila ada jarum jatuh pun akan terdengar dentingnya. Semua perhatian mengarah pada Ridho yang sedang berdiri dengan percaya diri di podium. Semuanya mendengarkan dengan khidmat, penasaran dengan kelanjutan kata-kata Ridho.
Ata, yang duduk tepat di belakang Ridho bak Raja yang sedang menikmati pertunjukan murahan yang sedang dilangsungkan oleh rakyatnya, tersenyum jumawa. Ia Nampak menikmati hal tersebut. Revenge is sweet! Apalagi dilakukan tanpa mengotori tangannya tanpa sekali.
Ridho, seperti mengerti apa kemauan Ata,  sengaja mengulur kata-katanya agar seluruh orang makin penasaran. Matanya melihat sekeliling, mencari sosok orang. Kemudian ia tersenyum melihat Ari berdiri mematung di barisan belakang, dan Tari berada di sebelahnya dengan wajah sangat pias.
“Nah… itu orangnya di belakang!”
Ridho menunjuk Ari. Sontak semuanya langsung menatap ke arah Ari. Ari hanya berdiri tenang dengan rahang mengatup. Tapi semua tahu. Terlihat jelas di mata Ari ada hawa pembunuh!
“Gue mau lo ke depan, Ri.”
Giliran Ata yang berbicara. Ia berdiri di sebelah Ridho sambil menyunggingkan senyum. Senyum itu mengerikan. Senyum itu berdarah.
Ari pun beranjak dari posisinya. Tapi Tari langsung menariknya.
“Lo mau kemana?” tanya Tari dengan suara bergetar.
Ari hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung melepaskan dekapan Tari, kemudian berjalan. Menuju podium, di sebelah Ata.
“Ikutin, Kak! Ikutin!!” pekik Fio sembari mendorong Oji. Tanpa disuruhpun, Oji sudah melesat di belakang Ari bak bayangannya. Hal tersebut diikuti Tari yang berjalan seperti zombie, dengan Fio yang berada disamping Tari untuk membimbingnya berjalan.
“Mau lo apa?” Tanya Ari keras, cukup keras hingga terdengar sampai lapangan paling ujung.
“Mau gue?” Ata tersenyum. ”Mau gue… ini. Puter, Dho.”
Ari otomatis menolehke arah Ridho yang saat ini ada di balik podium dengan laptop di pangkuannya. Wajahnya tampak bengis dan hanya mendengus ketika Ari berusaha berkomunikasi dengannya lewat tatapan. Ridho mengangguk mantap, menjawab permintaan Ata. Hati Ari mencelos dan diliputi penuh tanda tanya. Ari memang tidak tahu apa yang sedang berlangsung, tapi sekarang ia sudah merasa sakit luar biasa. Apalagi, ini?!
Pertanyaan Ari terjawab segera dengan pemutaran sebuah video yang terpampang jelas di big screen. Jantung Ari serasa berhenti berdetak melihat video yang diputar Ridho tersebut. Sepertinya tulang di badan rontok semua dan ingin luruh segera. Tapi harga diri membuatnya tetap berdiri tegak-tegak menyaksikan video itu. Video beberapa bulan yang lalu.
Video dimana ia berlutut di hadapan Bram, tangan kanannya Angga.
Yang bahkan kejatuhan Ari disana bukan di hadapan panglima perang Brawijaya, namun di hadapan anak buahnya!
Suasana langsung riuh. Sebagian yang menyoraki Ari dengan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Sebagian lagi hanya menyuarakan kekagetannya. Namun yang paling menyesakkan hati Ari adalah saat mendengar pekik histeris Tari, saat melihat tatapan kecewa milik Oji, serta... Wajah tanpa ekspresi milik Ridho.
“Silahkan duduk kembali, Duli Paduka. Izinkan saya menjelaskan semuanya di hadapan publik,” ucap Ridho sambil menepuk pundak Ata, tampak sangat akrab. Ia menekankan pada kata ‘Duli Paduka’. Ata tertawa geli seraya mempersilahkan Ridho untuk mengambil alih.
Ari menatap Ridho dengan tak percaya. Ridho, sahabatnya… sejak kapan??
Ridho berdiri dua langkah di depan Ari.
”Jadi video ini adalah video beberapa bulan yang lalu. Di video itu, orang yang kalian anggap ketua suku, panglima perang, atau apalah namanya, dengan mudahnya tunduk di bawah kaki musuh. Dan itu cuma buat...” Ridho tertawa licik, kemudian menunjuk ke satu titik. “Ceweknya!”
Refleks, semua orang melihat ke arah Tari. Semua yang di lapangan melempar pandangan tajam dan tidak suka, seakan ingin menguliti Tari hidup-hidup!
Tapi Tari tidak peduli. Ia lari ke atas podium. Berdiri tepat disamping Ari, dengan air mata berlinang. Tangannya memeluk lengan Ari erat-erat. Ia tahu betul saat itu. Ia tahu betul bahwa itu saat ia dan Fio jadi tawanan Brawijaya. Dan ia baru tahu bahwa dirinya dilepas karena sang Panglima Perang berlutut tunduk di kaki musuh!
“Ckckck… corny, tapi gue suka! Jadi semua orang tahu bahwa biang keroknya elo, Tar!” Ridho tergelak sembari menunjuk Tari. Kemudian ia kembali memusatkan perhatiannya pada orang-orang yang telah ramai mengecam Ari dan Tari itu.
Thank’s to our new hero, Ata, yang saat tawuran kemarin TIDAK TUMBANG dan dapat membuat Brawijaya kocar-kacir dalam waktu sepuluh menit! Ata melakukan negoisasi yang hebat dengan Brawijaya sampe berhasil dapet video itu. Sehingga kita tau, selama ini kita dipimpin sama orang yang lemah. Lembek. Tidak memprioritaskan harga diri Airlangga! Lo semua liat! Ini orang yang membuat harga diri Airlangga diinjak-injak musuh hanya demi cewek!!”
Ridho berkoar-koar dengan sangat provokatif, membakar hati orang-orang.
 “Sialan…” desis Ari pelan hinggahanya Ata, Ridho dan Tari yang dapat mendengarnya. Ia hentakkan tangannya yang dipegang Tari, berusaha menyerang Ridho. Ari tidak peduli kalau dia yang diserang. Tapi membawa Tari dalam masalah ini… itu hal lain! Dan Ari tidak bisa membiarkan hal itu. Namun tangan Ari yang melayang di udara tiba-tiba saja berhenti sebelum sempat mengayun.
Ia tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Karena yang dihadapannya adalah… Ridho.
Ata tertawa mengejek melihat hal itu. Ia berdiri tepat di depan Ari.
”Jadi lembek lo, sekarang? Udah lupa caranya berantem?”
 Jika tadi Ari berhenti karena yang dihadapinya adalah Ridho, tapi sekarang Ata yang kembali meletupkan bara. Dan Ari sudah selangkah lagi menuju meledak dan memutuskan untuk melampiaskannya pada Ata.
Namun Ridho terlalu mengenal Ari. Sekali lihat Ridho tahu, bahwa jika tidak ditahan maka Ari akan menyerang. Ia pun langsung berdiri di depan Ata, seolah perisai.
”Mundur, lo. Mundur! Atau lo pengen Tari lebih menderita lagi?!” bentak Ridho.
Lagi-lagi… serangan Ari terhalang lagi.
Ridho kembali memegang kendali di podium. Ia menggeleng, memasang tampang prihatin.
”Astaga. Baru gue liat sendiri kenyataannya sekarang. Panglima Perang Airlangga… LEMAH!” Ridho meludah, melecehkan.
“Woy, rakyat Airlangga! Sekarang gue tanya sama kalian semua. Masih mau dipimpin sama orang lembek kaya gini?!”
Gemuruh suara kompak berseru, “TIDAK MAUUUU!!!”
Dan sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan Ari mendengar pengkhianatan teman-temannya itu. Dedikasinya, hidupnya, segalanya… tidak dianggap!
“KUDETA! KUDETA! KUDETA!!”
“Apa? Kudeta?!” Ridho tergelak. ”Baiklah kalo itu mau kalian. Dengan berat hati, disini… gue mengkudeta elo, Matahari Senja!”
Ridho berbicara tepat di hidung Ari.
“Jadi… siapa yang setuju adanya pergantian tahta?!”
Semua orang, kecuali Oji, Fio, Tari dan Ari, mengangkat tangan dengan bersemangat. Dan dalam barisan orang yang bersemangat itu sayangnya termasuk… Ridho. Wajhnya menyeringai bengis.
“Dengan ini… MATAHARI SENJA SECARA SAH DINYATAKAN MUNDUR DENGAN TIDAK HORMAT DARI JABATANNYA DAN TAMPUK KEKUASAAN DIALIHKAN SECARA PAKSA KE TANGAN... MATAHARI JINGGA!”
Riuh rendah orang bertepuk tangan dan mengelu-elukan nama Ata. Ari berdiri mematung dan hanya bisa memandang Ata dan Ridho, dengan tatapan tajam.
“Sori, Brother…” Ata menepuk bahu Ari, kemudian pergi.
*
Di taman belakang sekolah. Ari, Tari, Oji dan Fio duduk saling berhadapan. Tidak perlu dikatakan awan apa yang menyelimuti mereka saat ini. Tak perlu dijelaskan bahwa hati mereka berempat sama remuknya dengan alasan yang berbeda-beda tapi serupa.
Sakit hati! Pengkhianatan! Merasa sangat amat tidak berdaya!
“Maaf, Kak… Maaf…”
Tari menangis tergugu sembari memeluk lengan kanan Ari. Ari tidak mengacuhkan Tari, masih asyik dengan pikirannya sendiri.
Hati Ari hancur. Remuk. Dikhianati kanan-kiri. Ditusuk dari belakang. Dan melewatkan banyak hal yang sudah terlihat sejak dulu, meski samar! Mengapa ia tidak dapat menduga? Sekarang dirinya tampak begitu bodoh. ‘Dibunuh’ dengan sadis di depan seluruh Airlangga… rasanya ia tidak punya harga diri sama sekali. Tidak ada yang bisa menegakkan ke-aku-annya. Tidak dengan sahabat yang masih setia disampingnya meski dengan tatapan kecewa. Tidak dengan gadis yang menjadi separuhnya yang sedari tadi terus menangis dan meminta maaf karena merasa rasa bersalah. Padahal bukan salah Tari.
Ini salah Ari sepenuhnya, karena ia tidak dapat membaca apa yang tersirat. Karena ia terlalu terlena dengan sesuatu yang too good to be true – kembalinya Mama dan saudaranya. Karena ia terlalu menikmati kebahagiaannya sendiri dan mengira semuanya sudah berakhir sehingga tidak bisa melihat banyak pertanda yang sekarang baru ia sadari. Harusnya Ari sadar bahwa segalanya tidak akan berjalan semulus itu. Harusnya ia sadar bahwa memang memakai topeng adalah takdirnya!
Ini salahnya. Salahnya sepenuhnya! Dan segalanya malah menjadi semakin rumit, tanpa ia bisa berbuat apa-apa karena kekuasaannya telah jatuh dengan paksa! Kalau sudah begini, bagaimana bisa Ari melindungi orang-orang yang ia sayang?
“Diem, Tar! Lo ngebuat semuanya semakin rumit, tau!” bentak Oji.
Tari terkesiap. Seumur-umur, tidak pernah ia melihat Oji seperti ini. Oji yang biasanya jahil, yang biasanya cuek, saat ini malah membentaknya. Tari menunduk, semakin merasa menyesal.
“Maaf, Kak Oji…”
“Maaf nggak ngobatin sakitnya Ari, Tar!” bentak Oji, lagi. ”Lo pikir, dong, pikir! Apa yang harus lo lakuin buat memperbaiki semuanya. Hal ini terjadi karena si Bego ini jatuh cinta sama elo, Tar!”
Sebenarnya Oji tidak marah dengan Tari. Ia hanya terlalu kecewa dengan keadaaan. Terutama dengan Ari yang selama ini telah ia dewa-dewakan. Ari yang gagah berani. Ari yang kuat. Ari yang tegar. Namun Ari yang ia lihat tadi pagi  hanya diam saja ketika diserang sedemikian rupa!
Tapi terutama yang membuatnya meradang seperti ini ialah rasa sakit hatinya. Sangat sakit sekali rasanya melihat seorang sahabat dihancurkan sehancur-hancurnya oleh sahabatnya mereka sendiri, setelah selama ini dengan tertatih-tatih sahabatnya itu membuat perisai. Ari telah ditusuk… tepat dijantungnya!
“Kak Oji jangan nyalahin Tari terus, dong!”
Kali ini Fio angkat bicara. Dengan gagah berani ia berdiri tepat di depan Oji sambil berkacak pinggang. ”Tari juga nggak mau bikin Kak Ari sampai sebegininya. Lagipula bukan Tari yang ngekhianatin Kak Ari! Tapi kembarannya yang nggak tau diri, tuh!!”
Kata-kata Fio sebenarnya membuat Ari ingin tertawa terbahak-bahak. Pengkhianatan Ata bahkan bukan apa-apa! Ia menyadari dan sangat mahfum atas apa yang Ata lakukan, meski Ari sendiri tidak mengerti motifnya. Mungkin memang rentang waktu sembilan tahun selama itu, sehingga membuat Ata tak lagi ia kenali. Ari paham. Ia menyadari bahwa segalanya tak lagi sama. Memang tak mungkin keluarganya serta merta menjadi harmonis dan bahagia. Memang tidak mungkin.
Yang memukulnya telak sebenarnya adalah… Ridho.
Seorang sahabat yang selama ini ia jadikan tempat sandaran. Yang selama tidak hanya ia anggap sebagai sahabat lagi, melainkan bagian dari dirinya. Yang kepadanya, Ari rela memperlihatkan kehancurannya yang nyata. Yang sudah kepadanya Ari bersedia membuka topeng tanpa memasang pertahanan sama sekali.
Tapi pertanyaannya… Mengapa?
Ari menghembuskan napas, berharap hembusan napas itu mengeluarkan sesak di dada. Ia merasa sangat tidak berdaya.
*
Ridho menghisap rokoknya dalam-dalam. Otaknya sangat kacau sehingga ia memutuskan bahwa saat ini ia membutuhkan asupan nikotin. Sebanyak mungkin!
Tanpa menunggu rokoknya habis, ia langsung melempar rokok yang baru dua kali hisap itu ke tanah dan memutar-mutarkan putungnya sampai remuk. Ridho memang bukan perokok, makanya ia tidak sayang membuang rokok yang masih banyak itu. Ia hanya butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa dihancurkan. Apapun itu, asal itu mengobati kehancurannya sendiri!
 “Sialan! Sialan! Sialaaaaaannn!!!”
Bila saja kepalanya transparan, tentu orang-orang dapat melihat bahwa otak Ridho sedang berdenyut kemudian membesar… dan hanya menunggu untuk meledak.
Disini, di kebun belakang sekolah dimana ada pohon beringin yang terkenal angker, Ridho duduk dan berusaha menenangkan diri. Dikuatkan dirinya, meski ia hampir mati. Disini, Ridho tidak dapat bersembunyi. Disini, Ridho tidak bisa berbohong. Hatinya remuk. Melihat Ari dihancurkan sehancur-hancurnya... sebenarnya menghancurkannya lebih. Melihat sahabatnya di serang dari berbagai arah, menyakitinya sedemikian rupa. Namun hanya ini… hanya ini yang dapat ia lakukan agar ia dapat membaca apa yang blur itu. Agar ia dapat melindungi sebanyak yang ia bisa. Hanya ini yang dapat ia lakukan, meski harus ditebus dengan perginya ia dari hidup Ari.
Maafin gue, Bro... Tahan sebentar lagi aja, tolong...
“Kak Ridho…”
Ridho memejamkan matanya, membuang kristal yang ada di pelupuk mata. Kemudian ia melihat ke arah suara. Tari. Matanya sangat bengkak. Dalam hati Ridho meringis, semakin merasa bersalah.
Tanpa meminta persetujuan, Tari duduk di samping Ridho. Sejenak, keheningan menyeruak diantara mereka. Hanya desau angin dan samar-samar suara orang berlalu lalang yang terasa sangat jauh di belakang yang mengisi keheningan dingin tersebut. Keheningan yang penuh luka.
 “Sebenernya apa rencana Kak Ridho?”
Pertanyaan lembut Tari, namun sarat pengertian, memecahkan keheningan pekat yang ada disana.
“Maksud lo apa?”
Tari tersenyum tipis. Ada orang bijak yang berkata, people who love you will never hurt you. And if they do, you will look in their eyes… they’re hurting too. Karena sudah berpengalaman dalam menangani Ari, hanya dari sekali tatap Tari melihat bahwa Ridho melakukan hal ini bukan dengan sukarela. Tari melihat bahwa Ridho juga terluka.
Mata Ridho tidak dapat membohonginya.
*
Gita menekuri novel yang sedang berada di depannya, Namun pikirannya sama sekali bukan pada novel, melainkan pada kejadian tadi pagi. Kudeta yang dilakukan Ata pada kembarannya sendiri, meski lewat tangan Ridho. Tapi Gita dapat melihat dengan jelas bahwa Ata adalah dalang dari semua.
Apakah Ata memang semengerikan itu? Apakah selama ini Gita salah menerka? Apakah selama ini Gita lalai dalam menilai? Apa ini Ata yang sama dengan  yang kemarin mengobrol bersamanya hingga tidak tahu waktu? Ata yang sama yang mengantarnya pulang naik bus, dan masih mengobrol dengan seru disitu? Ata yang berkunjung kerumahnya tiga hari berturut-turut? Ata yang berhasil mengambil hati kedua orang tuanya yang biasanya strict pada teman lelaki anak perempuannya?
Ataukah Ata yang hari ini… bukanlah Ata yang sebenarnya?
Gita memijat pelipisnya. Kepalanya sudah mulai berdenyut. Ata yang sebenarnya… yang mana?
“Baca apa, sih? Seru amat.”
Gita terperanjat. Dan seketika ia merasa terpergok.
“Kaget lo sampe segitunya ngeliat gue?” Ata tersenyum geli. ”Kenapa ngelamun?”
Gita merapikan kembali hatinya yang sempat terjungkir balik. Tenang, Git. Tenang...
“Kak Ata kok disini? Ada apa?”
Ata tersenyum tipis mendengar pertanyaan yang dilontarkan Gita. Yang Ata mengerti konotasi sebenarnya. Memang benar, adik Angga ini… sangat jeli! Dalam hati Ata memutuskan untuk lebih hati-hati.
“Nggak pa-pa. Gue mau nanyain sesuatu hal sama lo. Eh, nggak ding... Gue nggak mau nanya. Tapi ini… anggaplah pengkhultusan,” ujar Ata santai.
Gita menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak mengerti. “Pengkhultusan... apa?”

“Lo… jadi Ibu Negara, ya?”

-FLOWER-

8 comments:

  1. Wah keren2. Nggak ketebak lanjutannya gimana. Ditunggu yaaaaa :)

    ReplyDelete
  2. terimakasih. ini ada sedikit update an silahkan dibaca :)

    ReplyDelete
  3. makin seru.. apa2an itu ridho??! hahaha.. ditunggu next partnya.

    ReplyDelete
  4. kereeen bangeettt....aq sampe kebawa suasana....
    lanjutannyaaa doong,,

    ReplyDelete