“Pake gue buat
ngelindungin Tari, Ga. Gue sekarang berdiri di posisi yang sama dengan Tari,
bahkan lebih.”
Kata-kata Gita
terngiang-ngiang dalam benak Angga seperti kaset yang direwind dan selalu memutar hal yang sama. Angga tercenung,
pikirannya berkecamuk.
Saking konsentrasinya ia dengan proyek balas dendamnya
dengan Ata, ia melupakan satu hal : Tari. Yang selama ini menjadi obyek
sengketa antara ia dan mantan Panglima Perang Airlangga itu. Yang karena
keberadaannya, menjadi perebutan antara dua belah kubu yang saling berlawanan.
Kini, pada dasarnya, Tari telah ‘bebas’. Rezim Ari telah runtuh, Ari bukan
siapa-siapa dan sudah tidak punya power lagi. Seharusnya, merebut Tari kembali adalah hal
mudah, bukan?
Tapi Angga tidak lupa, bahwa sudah
cukup lama ia melepas Tari. Banyak sekali hal yang terjadi, yang mungkin
terlewat dari matanya dan membuat segalanya tak lagi sama. Hati Tari sudah
lepas dari genggamannya, bahkan mungkin sudah tak teraih. Namun bagaimanapun
perasaan gadis itu padanya, ia tetap masih mempunyai hati pada gadis itu. Ia
merasa bersalah. Sudah tidak bisa melindungi, diseretnya pula Tari pada
kehebohan ini. Kehebohan yang membuat Tari banyak terluka, banyak berdarah,
banyak meneteskan air mata dan banyak mengorbankan hati!
Baru ia sadari bahwa ada dampak dari
hancurnya Ari yang membuat Angga sangat nelangsa: Tari sudah tidak terlindungi.
Menurut apa yang ia dengar dari adik sepupunya tadi siang, sekarang bahkan Tari
ikut disakiti karena ia adalah orang yang paling dekat dengan Ari. Dampak itu tidak
diperhitungkan. Dan demi kesehatan jiwanya, ketenangan batinnya… ia harus
melindungi Tari. Apapun caranya, apapun resikonya!
Ironisnya, Angga hanya mempunyai dua
opsi. Dua opsi yang sama sekali tidak bisa diandalkan keefektifannya. Untuk
itu, dia hanya bisa merutuki dirinya sendiri karena pernah sangat bodoh
melepaskan Tari.
Opsi pertama adalah menyerahkan
urusan perlindungan itu pada sepupu kesayangannya, Anggita Prameswari. Hal itu
berarti satu: Gita harus jadi Ibu Negara. Meskipun Ata sekarang jadi partner
in crime nya dalam menghancurkan Ari, tetap saja Angga tidak bisa
mempercayakan Gita pada Ata, yang notabene adalah saudara kembar musuh
bebuyutannya. Ata memang sangat membenci Ari – entah apa alasannya, Angga tidak
peduli. Namun bagaimanapun juga, darah lebih kental dari air. Sebenci-bencinya
Ata dengan Ari, mereka tetap saudara. Kembar, pula!
Dan bukan hanya itu. Hal ini
menyangkut Gita. Sepupu kesayangannya. Yang sudah dari kecil sangat ia jaga.
Untuk melepaskan Gita pada seorang lelaki, laki-laki itu harus bisa membuktikan
banyak hal padanya. Untuk melepas Gita pada Brahmana yang jelas-jelas
sahabatnya saja, Angga masih harus berpikir seribu kali. Apalagi kepada Ata, yang
belum jelas betul motifnya apa!
Dan opsi kedua… opsi kedua ini yang
membuat Angga berada di depan rumah Tari sejak dua jam yang lalu, tanpa berani
mengetuk pintu. Angga pesimis sekali memikirkan opsi kedua ini. Namun ia harus
berusaha, bagaimanapun hasilnya. Mudah-mudahan. Semoga saja… Tari terbuka
pikirannya!
Angga menarik napas, panjang dan
berat. Seraya membulatkan tekadnya, diseretnya langkah menuju depan pintu rumah
Tari. Kemudian ia ketuk pintunya diiringi ucapan salam. Tak berapa lama terdengar
suara orang berlari-lari kecil mendekati pintu. Angga menghela napas,
menguatkan diri untuk apapun yang terjadi.
Pintu terbuka. Sedetik, matanya dan
si pembuka pintu itu beradu. Perih! Tapi sedetik kemudian pintu kembali
mengayun, sebagai isyarat agar sebaiknya Angga tidak melewati batas. Agar tidak
lagi-lagi Angga muncul di depannya, di hidupnya.
Namun Angga yang sudah dapat
memperkirakan hal itu langsung menahan pintu agar tidak tertutup.
Mereka berdua, Tari dan Angga,
saling berhadapan, saling bertatapan.
Tari, melipat kedua tangannya,
menatap Angga dengan tatapan murka. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup. Raut
mukanya dipasang datar, meski hal itu tak menyembunyikan emosinya yang hampir
meledak. Orang ini… yang dulu, dulu sekali… pernah membuat hatinya berdesir.
Yang pernah membuatnya merona. Sekaligus yang meninggalkannya. Yang sekarang telah
menyakiti lelakinya. Separuhnya!
Beraninya
Angga! Beraninya! Setelah perbuatannya pada Ari! Beraninya Angga!
Angga, menggenggam tangannya,
menatap Tari dengan tatapan nanar. Bukannya ia tidak melihat badan yang
bergetar menahan emosi itu. Bukannya ia tak melihat tatapan murka yang tampak
jelas. Berkali-kali ia menahan diri agar tidak memeluk gadis yang berdiri di
depannya. Agar sedikit saja… beban yang ada di pundak gadis itu berkurang. Agar
sedikit saja, rasa kangen dan perasaan jungkir balik yang ada dalam hatinya
berkurang.
Angga mendesah. Gadis ini. Mengapa
harus gadis itu terlibat? Dan yang terpenting... dari sekian banyak lelaki, mengapa
gadis itu memilih untuk berlari menyongsong lelaki yang juga musuh
bebuyutannya?
“Tari…” ucap Angga lembut, ”lo nggak
mau mempersilahkan gue duduk?”
Mata Tari melebar. Orang ini, begitu
tidak tahu malunya! Tari berjalan seperti zombie mendekati Angga. Emosinya
sudah tidak terbendung lagi. Dipukulnya Angga keras-keras, sekuat mungki dan sepenuh
tenaga di bagian manapun yang terjangkau olehnya. Orang ini berani sekali! Tidak tahu malu!
“Lo… brengsek!!” maki Tari pelan,
agar tidak terdengar orang rumah.
“Tari!” Angga memegang kedua tangan
Tari erat-erat, menghentikan pukulan-pukulan yang dilayangkan Tari. Pukulan itu
memang tidak menyakitinya secara fisik, namun melihat Tari emosi seperti itu…
hatinya jadi nelangsa.
“Lo… brengsek!! Mau apa lagi, lo?!
Mau apaaaa?!!” bentak Tari seraya menghentakkan tangannya, melepaskan diri dari
genggaman Angga.
“Tar… lo dengerin gue dulu…”
“Apa yang mesti gue denger, Ga?
Apaaa?” sela Tari, tidak membiarkan Angga melanjutkan kata-katanya. Tari sudah
tidak tahan lagi. Air matanya menetes, kemudian menderas… dan tanpa sadar ia
menangis tergugu.
Angga memejamkan mata. Berusaha
mematikan hati melihat pemandangan di depannya ini. Tangis Tari yang tergugu
ini benar-benar menyakiti hatinya. Terkutuklah Ari! rutuknya dalam
hati. Gadis ini memilih menyongsong badai, meski sudah ia peringatkan
sebelumnya. Gadis ini memilih untuk berlari menjadi perisai lawannya, tanpa
mengetahui apa yang akan menimpanya. Seharusnya Angga bisa acuh. Toh, itu
pilihan Tari. Tetapi, gadis di depannya ini, yang sudah merebut hatinya, tidak
bisa ia abaikan begitu saja.
Dan melihat gadis yang ia sayangi
kesakitan seperti ini… sungguh, bukannya ini yang ia harapkan. Namun masih ada
satu cara. Andai Tari mau koorperatif, sedikit saja…
Angga maju selangkah, mendekati
Tari. Ia peluk gadis itu, bukan hanya dengan raganya, namun dengan keseluruhan
hatinya. Berharap Tari bisa merasakan. Berharap bahwa masih ada rasa yang
tertinggal disana.
“Tar… pergi dari medan perang. Lari
ke gue. Biarin gue yang ngelindungin elo. Biarin gue yang ambil alih
segalanya.”
Mendengar perkataan yang mengandung
perintah tersirat tersebut, Tari langsung menghentikan tangisnya dan melepaskan
diri dari pelukan Angga. Tari memandang Angga dengan tatapan seperti Angga adalah
makhluk dari angkasa luar.
Sungguh, tawaran Angga barusan ingin
membuat Tari tertawa terbahak-bahak!
“Lo tau, Ga?” Tari tersenyum tipis.
”Tawaran lo tuh basi! Semuanya udah terlambat, Ga. Sangat terlambat. Karena
buat gue sekarang... cuma ada Ari. Cuma ada Ari, Ga…”
Tari meremas tangan Angga pelan,
kemudian masuk ke dalam rumah dan tidak mengindahkan pertanyaan orangtuanya
maupun Geo mengenai siapa yang habis bertamu itu.
Sementara Angga hanya bisa terpaku.
Hatinya tertohok dan ia merasa dipukul dengan godam. Kata-kata Tari barusan
menghantamnya telak! Sudah terlambat...
Rasanya Angga ingin tertawa
keras-keras, alih-alih menangis. Memang benar, penyesalan selalu datang
terlambat. Penyesalan yang ini datang terlalu terlambat, bahkan. Meski sudah
diduga, kenyataan Tari sudah tidak terjangkau lagi benar-benar menghantamnya
telak. Angga menelan ludah.
Ternyata opsi kedua harus
dilaksanakan juga.
Diambilnya ponsel dari saku dan ditekannya
nomor yang sudah ia hapal di luar kepala. Nomor Anggita.
”Git…” sapanya, ketika telepon
tersambung, ”jalanin peran lo sebagai ibu Negara sebaik mungkin. Jaga diri lo,
dan juga...” Ata menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menguatkan hati,
“jaga Tari...”
*
Hari yang baru, hari yang cerah, dan
tidak ada tugas. Seharusnya hari ini adalah hari yang cukup membahagikan buat
Tari. Setidaknya… tidak membuat mukanya ditekuk seribu dan paranoid seperti
sekarang ini!
Bagi Tari sekarang, tidak ada yang
lebih mengerikan dibanding sekolah. Bagi Tari, sekolah sekarang adalah hutan
belantara dimana monyet-monyet disana sepertinya hobi sekali menyoraki Tari.
Kejadian Ari turun tahta memang berdampak besar baginya, orang yang dianggap
sebagai biang kerok kejatuhan Panglima Perang Airlangga yang selama ini
terkenal kuat dan tak kenal takut. Semenjak hari itu, selalu ada mulut-mulut
nyinyir tak kenal filter, tangan-tangan jahil yang butuh ditampar
juga bisik-bisik yang membuat kupingnya panas – menyertainya kemanapun ia
melangkah.
Terkadang Tari lelah dengan semua
ini. Betapa ia ingin meneriakkan, LO SEMUA GAK TAU APA-APA!! Dan
betapa ia ingin melemparkan granat, bom, TNT dan bahan peledak lainnya, ketika
melihat Ata yang tersenyum jumawa, memamerkan kemenangannya. Namun hal tersebut
tidak ia lakukan. Gadis itu hanya bisa menulikan telinga dan mematikan hati
ketika hal tersebut terjadi, hanya bisa memaki dalam hati. Menangis di depan
Fio merupakan bentuk pelarian lain, bila segalanya sudah tidak tertahankan
lagi. Meski setelahnya, ia kembali memasang topengnya, memasang senyumnya dan
melakukan segala bentuk penghiburan di depan Ari.
Karena hatinya telah memilih. Karena
dirinya telah memilih. Dan mendampingi adalah satu-satunya hal yang bisa ia
lakukan untuk lelaki yang paling berarti dalam hidupnya saat ini.
Walau bagaimanapun juga, sekuat
apapun Tari, di sekolah tanpa Fio, Oji atau Ari benar-benar seperti mimpi buruk
yang menakutkan!
Tari merutuk dalam hati karena ia
lupa mengerjakan PR matematikanya semalam. Kejadian Angga menguras habis
tenaganya sehingga ia langsung tertidur ketika menyentuh bantal… tanpa ingat PR
matematikanya sama sekali. Akibatnya, sekarang ia terpaksa pagi-pagi sekali
berangkat ke sekolah, tanpa Fio berada disampingnya, tanpa pengawalan Oji dan
tanpa ada Ari!
Komat-kamit Tari berdoa agar pagi
ini dihindarkan dari gangguan-gangguan yang dapat menguras tenaga dan
pikirannya. Tari berjalan cepat menuju kelasnya, berharap tidak ada seorangpun
yang menyadari keberadaannya. Tanpa ada siapapun disampingnya sebagai
pendukung, ia merasa sangat kerdil.
“Eh, eh… mau ngapain lo jalan
cepet-cepet?!”
Siaaaaaall!! Tari
memaki dalam hati. Didepannya, Vero berdiri dengan senyum penuh kemenangan.
Tari hanya bisa menelan ludah dan memaksakan dirinya dalam posisi ready
to war.
“Ngapain diem aja? Kemaren-kemaren
berani bales…” ledek Vero. ”Cat get your tongue? Atau setelah
jadi MANTAN ibu Negara, keberanian lo menguap entah kemana?!”
“Mau lo apa sih sebenernya? Demen banget
gangguin orang! Kayak nggak ada hal lain yang bisa dilakuin!” bentak Tari. Kata-kata mantan ibu Negara yang
mengingatkannya pada kejatuhan Ari, membuat seluruh kekuatannya bangkit
seketika. Demi martabat Ari yang sekarang di tangannya!
“Banyak bacot lo! Inget, sekaranh lo
udah gak punya backingan lagi!”
Vero langsung menarik rambut Tari
keras-keras. Tari menjerit kemudian membalas melakukan hal yang sama. Adu
fisikpun tak terelakkan lagi. Vero yang lebih tinggi dari Tari dengan mudah
melakukan cakaran, pukulan atau pitingan. Namun Tari melakukan perlawanan yang
cukup sengit. Dengan sisa-sisa tenaganya ia balas apa yang Vero perbuat
padanya.
Seketika mereka menjadi tontonan.
Orang-orang melingkar, berkerumun dan tidak ada satupun yang berniat untuk
melerai. Melihat pergulatan Vero dan Tari seakan kegiatan adu fisik ini adalah
pertunjukan menarik. Orang-orang menyoraki. Dan semuanya… mendukung Vero.
“Hajar, Ver! Hajaaar! Cewek ngeselin
itu, Ver! Yang jatuhin martabat Airlangga!”
“Piting ‘pala si Helen dari Troya,
Veeer!!”
“Jambak lebih keras! Itu cewek yang
bikin mantan Presiden ngejual harga diri Airlangga!”
“Vero! Vero! Vero! Vero!”
Hati Tari remuk mendengar semua itu.
Rasanya ia ingin memaki mereka semua. Tapi itu tidak penting! Sekarang, ia
harus menyelamatkan harga dirinya yang tersisa terlebih dahulu, dengan
mengalahkan Vero!
“Pertunjukan kacangan kayak gini yang
mau lo persembahin buat kepala suku yang baru buat narik perhatiannya?!” terdengar
suara dari tengah-tengah kerumunan. Otomatis kegiatan adu fisik itu langsung
berhenti. Vero dan Tari melihat ke sumber suara.
Lingkaran kerumunan itu sudah bubar,
digantikan oleh orang-orang yang berbaris berhadapan untuk memberi jalan pada
Ridho, Ata, serta seorang cewek yang berdiri di samping Ata dengan mata
terbelalak – seperti ketakutan.
“Vero, Vero…” Ridho menggeleng,
memasang tampang sedih, ”sejak kapan sih lo belajar bahwa lo itu emang enggak
bakal dapet perhatian dari siapapun kepala suku yang menjabat? Dan kalo boleh
gue tambahkan, nyerang Tari gabakal ngebuat Ata langsung naksir elo. Jangan
lupa, yang lo serang itu… iparnya kepala suku!”
Mendengar perkataan Ridho, Ata
langsung tertawa terbahak-bahak. Kemudian pada Vero, ia memasang tampang
kasihan.
”Sori, Ver. Gue gak tertarik ngeladenincara
murahan lo, yah... Juga sama lo. Gue udah punya pacar.”
Ata tersenyum jumawa sembari
mengetatkan pelukannya pada gadis disampingnya itu. Si gadis menutup mukanya
dengan kedua tangannya. Malu!
“Brengsek, lo!” Vero setengah
berlari menghampiri Ata, mencoba menampar Ata. Tapi sebelum hal itu terjadi,
tangannya langsung dicengkram erat-erat oleh Ridho.
“Gue nggak mau ngerusak tangan mulus
lo. Tapi kalo lo maksa…” ancam Ridho.
“BRENGSEK!!!” Vero menampar Ridho
keras-keras, kemudian pergi. Harga dirinya benar-benar jatuh kali ini!
Ata menepuk bahu Ridho pelan. ”Ke
UKS sana. Periksa, gigi lo ada yang patah nggak, habis ditampar tuh monster.
Sekalian bubarin kerumunan. Gue mau bicara sama ipar gue!” ucap Ata keras,
kemudian tergelak.
Perintah Ata adalah titah. Segera
saja setelah mendengar perkataan barusan, kerumunan pun bubar. Tari meringis
menyadari hal itu, karena yang memerintah di depannya sekarang bukan Ari! Ketika
sekarang Ata melakukan hal-hal yang dulu dilakukan oleh Ari… Kenyataan tersebut
membuatnya murka!
“Pengkhianat!!” maki Tari tiba-tiba.
Tari memukuli Ata, di tempat manapun yang terjangkau olehnya.
”Berani-beraninya. Ari itu sodara lo! Lo ambil tempat dia, lo ambil temen-temen
dia, lo ambil sahabat dia… Lo ambil semuanya!!!”
“Lo boleh maki gue apapun yang lo
mau. Tapi itu nggak merubah kenyataan kalo Ari bener-bener tumbang, ucap Ata
setengah mengejek, dan itu membuat Tari semakin kesetanan memukuli Ata.
“Cukup, Tar, cukup!”
Tiba-tiba seseorang berdiri di depan
Ata bak perisai. Tari menghentikan aktivitasnya dan memandang orang itu. Gadis
yang sedari tadi berdiri di samping Ata. Yang diaku sebagai pacar oleh Ata.
Gadis itu sedikit gemetar, memaksakan keberaniannya. Tapi sepertinya tekadnya
lebih kuat dari ketakutannya melihat Tari yang seperti kesetanan. Dengan gagah
berani, ia balas tatapan tajam Tari.
“Emosi cuma ngebuang tenaga lo.
Mendingan lo simpen itu buat ngehibur Ari,”cewek itu berujar pelan, namun
menohok. Tanpa mengucapkan apapun lagi, diiringi senyum penuh kemenangan Ata,
gadis itu pergi dari hadapan Tari.
Siapa cewek yang ngakunya pacar Ata
itu?! Tari mendengus kesal dan melirik ke arah gadis itu.
Bersama dengan Ata, mereka memasuki ruangan kelas X-3. Jantung Tari serasa
berhenti berdetak. Cewek itu! Jangan-jangan…
*
Ata tak bisa berhenti menyunggingkan
senyumnya sembari memandangi Gita yang duduk di sebelahnya bak barang
favoritnya yang paling berharga! Kejadian tadi cukup menyanjung hati Ata. Gue
enggak salah pilih partner.
Sedang Gita, agak rikuh ditatap
seperti itu. Bukannya apa-apa, hal tersebut mengundang bisik-bisik nggak jelas
oleh seluruh mata memandang. Gita sendiri merasa tidak nyaman dengan hal itu.
Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian. Dan dia tidak ingin menjadi pusat
perhatian. Apalagi perhatian yang mengundang desas-desus nggak penting!
“Kak Ata… Kakak kembali ke kelas
aja.”
Ata tertawa sembari membelai rambut
gadis yang berada disampingnya. “Kenapa, emang? Gue masih mau duduk di sebelah
lo.”
“Saya nggak enak sama temen-temen,
Kak. Nggak nyaman dari tadi diliatin,” ucap Gita setengah menggerutu.
Ata melihat sekeliling. Terdapat
pemandangan orang-orang yang gugup atau mendadak mengalihkan pandangan kearah
lain. Ata tersenyum.
“Yaudah. Gue balik. Tapi nanti
istirahat gue samper lagi, ya.” Ata bangkit seraya mengacak rambut gadis di
hadapannya dengan sayang.
“Nggak usah, Kak!” Gita buru-buru
mencegah. ”Nanti kita ketemuan di kantin aja. Saya... mau ngurus sesuatu dulu, sebentar.”
Ata menaikkan alis, namun tidak
bertanya lebih jauh lagi. Anggap saja itu adalah hadiah karena telah menjadi
pacar yang manis tadi pagi. Ata mengiyakan perkataan Gita, kemudian berbalik.
Namun setelah beberapa langkah, Ata menghentikan jalannya dan berbalik kembali
menuju Gita. Gita menahan napas. Takut Ata mengetahui sesuatu.
“Ada apa, Kak? Ada yang kelupaan?”
Ata tersenyum dan mengangguk, kemudian
mengecup pipi Gita pelan.
“Ini yang kelupaan. Makasih, ya.”
Ata pun langsung meninggalkan kelas
Gita.
YA AMPUN GUSTIIII!!! Gita hanya
bisa lemas diperlakukan seperti itu. Tabah… tabah… tabaaaaahh!!! Ia
mengurut dadanya yang berdebar sangat kencang. Sementara disekitarnya,
bisik-bisik nggak jelas pun kembali mengheboh.
*
Berkali-kali Tari melihat jam
tangannya dan melirik jam yang berada di belakang kelas. Berkali-kali pula ia
mendengus kecewa. Jam istirahat masih lima menit lagi. Lima menit yang
menyiksa! Tari benar-benar gelisah. Duduknya lasak, seperti cacing kepanasan.
Fio hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia tidak mau iseng
bertanya atau apa karena ogah ambil resiko ketahuan ngobrol saat pelajaran dan
dihukum Bu Miyati, guru bahasa Jepang yang meski kalem namun terkenal tega
memberi hukuman. Menulis kanji nama teman-teman sekelas sebanyak dua puluh kali
dalam semalam!
Namun akhirnya bel yang
ditunggu-tunggu itu berdering juga. Tari mendesah lega. Setelah mengusir Fio
secara halus dengan menyuruhnya ke kantin duluan, Tari bergegas menuju meja Nyoman,
untuk menuntaskan satu tanya yang membuatnya gelisah sepanjang pelajaran.
Kamu merasa bingung? Tidak kenal
lingkunganmu? Tanyakan saja pada Nyoman! Begitu slogan yang sering diteriakkan oleh Nyoman. Tanpa
menunggu persetujuan, Tari langsung menariknya menuju pojokan kelas yang sepi.
“Eh, eh… apaan, Tar? Lo nggak lagi
stress gara-gara masalah Kak Ari terus memutuskan jadi lesbi dengan nembak gue,
kan?”
Tari melotot. Mulut Nyoman ini
cablak sekali! Mana keras, lagi, ngomongnya! Demi Tuhan, drama di hidupnya
sudah cukup banyak dan ia tidak memerlukan adanya gosip tambahan!
“Hahaha. Sori, Bu, sori. Habisnya lo
mencurigakan gitu, sih, ngajak gue ke pojokan. Lo nggak lagi ngumpulin kekuatan
buat bales perlakuan Nenek Lampir tadi pagi, kan? Lo emang temen baik gue, Tar.
Iya sih gue nggak rela lo dianiaya sama itu Lampir. Tapi sori. Kalo itu tujuan
lo, gue bantu doa aja, ya. Gue masih mau hidup,” Nyoman dengan cueknya
mengambil kesimpulan sendiri. Tari melongo kemudian berdecak kagum. Harusnya
Tari tidak heran lagi. Hampir satu tahun sekelas dengan Nyoman membuatnya
mengerti bahwa gosip dan Nyoman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan! Tari
harus mengakui, radar Nyoman mendengar gosip terbaru luar biasa dahsyatnya.
“Ck, ck… dasar bigos – biang gosip!
Nggak, Man. Gue nggak lagi menghimpun kekuatan untuk melawan Gunting. Well,
setidaknya nggak sekarang. Gue mau nanya ke elo, nih. Kan lo orang yang paling tau semuanya,
paling update.”
Tari mengacungkan jempolnya tepat di
depan muka Nyoman, yang menganggap hal tersebut sebagai pujian sehingga
hidungnya kembang-kempis, tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
“Lo mau nanya apa, Tar?” Tanya
Nyoman sambil membusungkan dada. Tari nyengir. Kena, lo!
“Lo tau, nggak, Man, cewek yang
sekarang kemana-mana sama Ata? Rambutnya panjang. Kayaknya anak X-3. Lo tau?”
“Anggita Prameswari maksud lo?” Nyoman
mengendikkan bahu. “Itu orangnya di belakang lo.”
Tari langsung membalikkan badannya.
Meski berusaha sewajar mungkin, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya melihat Gita dari jarak dekat. Face to face! Tanpa
sadar ia menganalisis Ini… adik Angga!
Gadis yang berdiri di depannya ini
manis. Sangat manis, khas wanita Indonesia – kulit sawo matang yang bersih,
rambut hitam legam yang panjang, hidung bangir, senyum manis, wajah lugu dan
sorot matanya lembut. Tapi dengan sekali tatap Tari mengetahui bahwa gadis yang
berdiri di depannya ini tidak selugu wajahnya. Sorot matanya itu, meski lembut
namun tidak menyembunyikan kecerdasan dan juga kilatan senjata yang tidak segan
ia keluarkan bila terdesak! Lagipula, yang kita bicarakan disini adalah adik
Angga. Mana mungkin Angga membiarkan adiknya keluar ‘sarang’ tanpa dibekali
suatu hal apapun.
Tari melipat kedua tangannya,
memasang posisi ready to war.
”Ada apa?” Tanya Tari defensif.
Jangan salahkan Tari bila sekarang
ia menjadi sinis dan sarkas. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia mengeraskan
hati. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi orang yang berburuk sangka
pada semua.
Kejadian Ari membuatnya tersadar
bahwa tidak ada yang bisa benar-benar ia percaya di dunia ini. Kejadian Ari
membuatnya harus selalu siap sedia untuk berperang setiap saat. Kejadian Ari
memaksanya untuk terus waspada dan mendorong dirinya untuk tetap kuat dan
tegar, dimanapun dan kapanpun. Hingga tanpa sadar ia membangun tembok setinggi
mungkin dan mengasah pisau setiap saat, menusuk setiap orang mencurigakan yang
mencoba untuk mendekat.
Menatap Tari yang langsung memasang
benteng pertahanannya, Gita tersenyum setulus mungkin. Ia sebenarnya iba pada
Tari. Pasti gadis itu lelah sekali memforsir tubuh, hati dan pikirannya untuk
selalu on setiap saat. Gadis itu tangguh! Sekarang Gita
mengerti mengapa Tari menjadi obyek sengketa antara Ari dan Angga.
“Halo, Tari. Seperti perkataan
Nyoman yang murah hati,” Gita tersenyum pada Nyoman, ”Gue Gita.”
Gita mengulurkan tangannya. Untuk
formalitas, Tari membalas uluran tangan itu, tanpa mengendurkan kewaspadaan
sama sekali.
“Ada apa?” Tari mengulang
pertanyaannya.
“Maaf, tapi waktu gue bener-bener
enggak banyak,” ucap Gita gugup sembari melihat jam. ”Gue pengen ngobrol sama
elo, Tar. Kalo boleh... berdua aja.”
Tari dan Nyoman saling bertatapan.
Tari tahu, Nyoman sangat tidak rela meninggalkan Tari berdua saja dengan Gita.
Bukan, Tari rasa alasannya bukan untuk mencari gosip terbaru. Tapi lebih karena
ia mengkhawatirkan keselamatan Tari. Untuk menenangkan Nyoman, Tari memeluk
Nyoman sekilas, kemudian menyuruhnya menyusul Fio ke kantin.
Di kelas X-9... tinggal dua Srikandi
sendiri! Mereka berdua saling menatap, saling menilai secara singkat.
Gita menatap Tari. Tari tampak sangat
lelah, namun sama sekali tidak menurunkan powernya. Di depan Gita, Tari
masih mengangkat senjatanya. Ini pe-er serius untuk Gita: membuat Tari percaya
padanya.
Tari menatap Gita. Gadis yang
berdiri di depannya ini menyorotkan tatapan bersahabat, namun Tari tidak mau
ambil resiko. Kewaspadannya tidak ia kendurkan. Karena ia masih belum tahu,
yang didepannya ini kawan atau lawan!
“Maafin gue karena udah buang waktu
lo. Juga atas tindakan lancang gue tadi pagi, yang rasanya perlu dikonfirmasi.
Maaf ya Tar, kalo elo malah nganggepnya itu penghinaan. Tapi, sumpah, itu tadi
gue lakuin murni buat ngebelain elo,” ujar Gita cepat, menutupi kegelisahannya.
Tari jadi agak tersinggung. “Gue
enggak butuh dibela sama elo.”
“Tapi harus, Tar. Harus! Kalo tadi
pagi gue biarin lo mukulin Ata kayak orang kesetanan gitu, nggak cuma citra lo
yang buruk, Tar. Tapi juga Ari! Gue yakin, gosip bahwa mantan Ibu Negara lost
control… bakal jadi headlines gosip di Airlangga.”
Tari menghela napas. Perkataan Gita
yang rasional tadi ada benarnya. Namun sampai disini, Tari tidak melihat adanya
korelasi an tara perbuatan Gita dengan dirinya. Motifnya apa? Maunya apa?
“Dan sebenernya, apa dasar lo
ngelakuin hal itu?”Tanya Tari, tak lagi menyembunyikan kelelahannya. Mungkin
memang Gita setulus itu. Mungkin memang ini uluran persahabatan. Mungkin memang
Tari sudah luluh.
“Angga…” Gita menggigit bibir bagian
bawahnya, ragu ingin meneruskan ucapannya atau tidak. Namun Gita membulatkan
tekadnya, kemudian meneruskan perkataannya. ”Jadi Angga…”
“Oke,” tukas Tari segera, tidak
membiarkan Gita melanjutkan kata-katanya. Karena sudah dapat dipastikan
kata-kata Gita barusan hanya semakin memperparah luka hati Tari. Sudah tidak
perlu diingatkan lagi bahwa konspirasi antara Angga dan Ata nyata adanya.
“Oke...”
Gita medesah. Dalam hati ia mengerti
betul alasan dibalik sikap dingin Tari barusan. Sangat amat mengerti. Yang bisa
ia lakukan sekarang hanya menghormati keputusan Tari. Namun masih ada satu hal
penting lagi yang harus ia katakan. Gita berpikir keras, merangkai kata-kata
yang tepat. Karena salah bicara sedikit saja bisa menghancurkan rencananya!
“Udah, gitu aja?” Tari mengangkat
sebelah alisnya. ”Terima kasih udah nyempetin waktu kesini. Gue ke kantin
dulu.”
“Tolong maklumin Ata, ya Tar. Dia
sama sekali nggak bermaksud jahat, kok.”
Ucapan Gita yang tiba-tiba itu
langsung membuat Tari menghentikan langkahnya seketika. Ia menoleh ke arah
Gita, memandangnya dengan tatapan tidak percaya seakan Gita berkata bahwa bumi
ini berbentuk kotak dan bukannya bulat. Gita tersenyum gugup dan mendekati Tari.
”Mungkin lo pikir gue insane atau
gimana, masih ngebelain Ata setelah apa yang dia perbuat ke elo dan Ari.
Tapi…Ata sama sekali nggak jahat dan nggak bermaksud jahat. Ata itu lagi
tersesat. Untuk menuju jalan pulang, harus ngelakuin hal ini. Nyakitin
kembarannya, maksud gue,” Gita menepuk bahu Tari. ”Tolong maafin dia, ya, Tar.”
Perkataan Gita sangat membekas di
hati Tari. Kata-kata Gita barusan… mengingatkannya pada dirinya sendiri!
Keadaan Ata dan Gita sama seperti
keadaan Tari dan Ari, kalau dipikir-pikir. Dari dulu Tari percaya bahwa Ari
sama sekali bukan orang yang jahat. Tari teringat dengan tatapan Ata ketika
pagi itu kerumahnya untuk memberi peringatan. Saat itu dia juga membaca bahwa
Ata ini sama seperti saudara kembarnya: tersesat. Namun adanya
kejadian-kejadian yang menyesakkan ini membuat Tari lupa dan terlalu menghakimi
Ata sedemikian rupa dengan menganggap cowok itu sebagai orang paling jahat
sedunia. Ia terlalu terlena dengan pikirannya sendiri dan melupakan hal tersebut,
sampai Gita mengingatkannya kembali.
Tari menatap Gita tepat di manik
mata dan melihat masih ada harapan disana.
*
Harusnya Ata tahu bahwa segalanya
tampak too good to be true untuk berjalan semulus ini.
Harusnya Ata bisa menerka bahwa semulus apapun rencana yang dibuat, pasti ada
bolongnya juga. Sepintar-pintarnya Ata berusaha umenghindar, entah bagaimana
caranya… orang itu menemukannya!
Disini, di depannya. Orang yang mati-matian ia
hindari setengah mati, orang yang ia benci sampai mendarah daging berdiri di
depannya. Di depan kelasnya!
Orang itu… Papanya.
“Bisa Papa bicara?”
Ata mendengus. Ia melirik sekeliling.
Banyak bisik-bisik dan pandangan aneh yang tertuju padanya. Tidak heran, karena
seorang pria perlente lengkap dengan jas dan dasi berada di depan kelas. Untuk
meminimalisir adanya bermacam desas-desus, Ata mengiyakan ajakan Papa. Dengan
isyarat mata, ia mengajak pria paruh baya tersebut ke pojok koridor yang sepi.
“Anda mau apa?” Tanya Ata dingin.
Tidak ada yang bisa mendeskripsikan
perasaan Ata yang serasa jungkir balik melihat Ayahnya… Ayah kandungnya,
berdiri di depannya. Sudah sembilan tahun ia tidak pernah bertemu dengan Papa.
Dan ketika tiba-tiba hal itu tersodor di depannya begitu saja, rasanya… sangat
aneh.
Tidak ada perasaan mellow menggebu-gebu,
ingin memeluk Papanya, menangis dan bernostalgia, berusaha mengisi kekosongan
selama sembilan tahun. Tidak ada perasaan terharu dan bahagia melihat Papa yang
selama hanya ia bisa mimpikan kehadirannya. Oh ya, selama ini dia memang kangen
dengan Papanya. Sangat amat kangen! Terkadang ia membayangkan bagaimana
hidupnya bila masih ada Papa disampingnya, sebagai teman berdiskusi, teman
bercanda dan berbicara mengenai permasalahan lelaki.
Namun kehidupan yang Ata jalani
terasa begitu keras. Sangat keras sehingga mengeraskan hatinya juga.
Kerinduannya terhadap Ayah kandungnya terhapus oleh perasaan lelah lahir batin akibat
harus menjadi sandaran Mamanya, harus bisa kuat dengan kaki sendiri. Perasaan
rindu itu terkikis seiring berjalannya waktu, karena sementara ia harus struggle
dengan hidupnya, Papa dan Ari bersenang-senang tanpa ada kesulitan yang
melanda! Sekarang perasaan rindu itu malah tergantikan oleh benci.
Mendengar pertanyaan Ata barusan
yang terdengar kaku dan dingin, Papa tersenyum tipis. ”Kamu nggak mau menyapa Papa,
Nak?”
Ata tertawa geli. Benar-benar geli!
“Papa?! Saya nggak punya Papa!!
Jangan pikir hanya karena anda menyumbangkan DNA pada saya, anda punya hak
untuk menyebut diri anda Papa saya! Saya nggak punya Papa!!”
Papa terdiam dan nampak tenang, sama
sekali tidak tersinggung atas ucapan Ata barusan. Karena Papa mengerti, ada
hal-hal berat yang sudah dilalui Ata dan sudah melampaui apa yang anak normal
lakukan. Papa mengerti bahwa Ata mengalami hari-hari yang susah dan keras, yang
selama ini tidak pernah Ari alami. Kekurangajaran Ata, Papa anggap sangat
lumrah. Meski begitu, Ata tetap anaknya dan ia harus melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang ayah.
“Maafin Papa, Ta. Mungkin bagi Ata,
Papa hanya orang yang pernah mengantarkan Ata ke TK. Sama sekali Ata tidak
salah. Ata sudah melalui hari-hari yang berat dan tidak mengeluh sama sekali.
Wajar saja Ata jadi keras hati begini. Tapi disini Papa hanya ingin menjalankan
tugas seorang ayah ketika anaknya bandel, Ata. Disini Papa ingin menegurmu,” ucapan
Papa disampaikan secara lembut, namun tegas.
Ata ingin membalas kata-kata itu
dengan kata-kata yang lebih menyakitkan. Namun ia urung melakukannya. Sorot
mata kecewa lelaki yang berdiri di depannya ini membungkam mulutnya.
“Papa bukannya tidak tahu apa yang
kamu lakukan pada Ari: tawuran yang hampir mencelakakan Ari, jadi dalang
penggulingan posisi Ari sebagai Panglima Perang – sebutannya begitu, bukan,
Nak? – dan segala hal yang bisa kamu rebut dari Ari. Kalau Papa tidak salah
terka… tindakanmu ini berarti satu: kamu ingin berada dalam posisi yang sama
dengan Ari, bahkan lebih.”
“Selama ini Papa menutup mata,
menutup telinga. Tapi semakin lama tindakanmu semakin keterlaluan, Ata. Kamu
sakit hati, Papa mengerti. Tapi mengapa kamu lampiaskan semua pada Ari?
Bagaimanapun, dia saudaramu.”
“Lebih dari itu, yang membuat Papa
paling kecewa adalah… karena kamu berubah. Kamu bukanlah Ata yang bisa Papa
banggakan. Bukan Ata jagoan Papa. Bukan Ata yang kuat dan mandiri. Ata yang di
hadapan Papa sekarang… Ata yang licik dan haus kekuasaan. Mamamu tidak
membesarkanmu seperti ini, Ta.”
Satu kata itu membuat kemarahan Ata
tersulut.
“Jangan bawa-bawa Mama!!” jerit Ata
histeris.”anda ini siapa?! Anda nggak tau apa-apa! Anda nggak tau seberapa saya
harus berjalan dan segala beban yang saya pikul! Anda nggak tau saya selama ini
mati-matian jadi Ari untuk menyenangkan Mama! Anda sama sekali nggak ngerti!
Dan Anda sama sekali nggak berhak ngejudge tindakan apapun yang
saya lakukan!”
Napas Ata tersengal. Dadanya naik
turun tidak beraturan. Mengeluarkan emosi yang sudah terpendam bertahun-tahun
lamanya, ternyata bisa semenyesakkan ini. Kini, di depan ayahnya, ia
mengeluarkan segala uneg-uneg yang tertahan. Perasaan yang tidak bisa ia
utarakan sebelumnya. Tidak ada yang ia tutupi.
Sejenak keheningan menyeruak
diantara Papa dan Ata. Ada bagian-bagian melegakan dimana perasaan yang
terpendam sudah diungkapkan. Namun dibalik perasaan yang terungkap, ada hal-hal
rawan dan membahayakan dan masalah yang harus segera diselesaikan!
Sebenarnya Papa miris sekali
mendengar curhat jagoannya barusan. Ia memang tidak tahu apa-apa. Dan tidak ada
satupun tindakan yang bisa menebus kesalahannya dan kekosongan waktu Sembilan
tahun tersebut. Tetapi ada satu hal yang bisa lakukan untuk menyelamatkan
segalanya yang belum terjadi, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan yang
nantinya akan menghancurkan semua pihak. Sudah cukup sakit hati ini sampai
disini. Sudah cukup kepahitan ini mengganjal hati. Untuk berjalan ke depan,
harus dengan dada yang lapang.
Papa menyentuh pundak Ata, seakan
memberikan suntikan kekuatan. Dan sejenak, tatapan mereka beradu. Tatapan itu!
Mereka seperti kembali pada beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih
menjadi keluarga yang utuh.
Ari selalu menjadi kesayangan Mama.
Buat Mama, Ari adalah malaikat manis nan penurut. Yang tidak bandel dan tidak
pernah membuat onar. Sedang Ata, ia adalah jagoan favorit Papa yang kuat nan
berani. Setiap kali Ata nakal, membuat anak tetangga menangis dan akhirnya
dimarahi Mama, selalu saja Papa membela Ata. Papa beralasan, toh Papa tidak
ingin mempunyai anak lelaki yang lembek.
Dan sudah Sembilan tahun ini Papa
menjadi saksi bahwa untuk menarik perhatian, Ari sengaja berubah menjadi Ata.
Dan ternyata… Ata berubah menjadi Ari!
“Ta, sudah Sembilan tahun Ari
berubah menjadi kamu…”
Pernyataan Papa barusan sangat
menohok Ata!
*
“Mantan Presiden lewaaaat!”
“Kasih jalan, kasih jalan!”
“Woo… so sweet! Helen
dari Troya masih aja nih setia disamping mantan Kepala Suku? Kirain nyari
tumbal lainnya!”
“Harta, tahta, wanita. Sama sekali
gue enggak nyangka si Ari jatuh ke lubang yang paling enggak banget nih. Wanita!
Hahahaha!”
Tari ingin berteriak membalas
sindiran-sindiran mereka, namun Ari mempererat rangkulannya, seakan mencegah
Tari melaksanakan niatnya. Tari mendengus kesal. Mati-matian ditahannya air
mata yang ingin mengalir. Ia menatap Ari. Ari tampak tenang, meski bibirnya
mengatup dan tangannya semakin erat merangkul Tari.
“Lo kenapa diem aja?! Kenapa lo
nggak bales mereka?!” ucap Tari emosi, ketika sorakan-sorakan itu sudah
berhenti.
“Buat apa?” jawab Ari sambil
tersenyum tipis.
“Gue nggak terima!!”
Tari berontak, melepaskan diri dari
rangkulan Ari dan kemudian berlari menuju kerumunan yang tadi menyoraki mereka
berdua.
”HEH ! Lo pada cemen semua!! Beraninya
cuma nyindir-nyindir nggak jelas!! Dasar kacang lupa kulitnya! Musuh dalam
selimut! Nggak inget apa, dulu siapa yang nyelametin lo-lo pada pas tawuran?!
Dasar nggak tau terima kasih! Udik! Kampungan!”
Orang-orang hanya terdiam mendengar
makian Tari barusan. Bukan takut, tapi lebih kepada kaget karena tiba-tiba
dibentak seperti itu. Diamnya mereka tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian
mereka tertawa dan melontarkan kata-kata yang jauh lebih tajam dan memerahkan
telinga! Tari tidak tinggal diam. Ia membalas kata-kata mereka semua, sama
kerasnya, sama tajamnya!
Ari tidak tahan melihat Tari
dilecehkan seperti itu. Ia sudah ingin melesat ke arah Tari, namun langkahnya
terhenti. Seseorang berdiri di depannya, menghadangnya.
“Kalo lo sama gue… lo nggak akan
ngalamin hal-hal kaya gini. Orang-orang nggak akan berani nyentuh lo. Kalo lo
sama gue!”
Dengan tatapan ingin membunuh, Ari
menatap Vero.
”Thank’s, but no, thank’s!” desisnya
tajam.
“Aaaaaaaaaaahh!!” Vero menjerit
frustasi. ”Gue harus gimana lagi sih, Ri, untuk nunjukin kalo gue emang sayang
sama lo?!”
“Lo bisa nggak jadi Tari?” Ari
menjawab pertanyaan Vero dengan diplomatis. ”Bukannya gue nggak tahu kejadian
tadi pagi, Ver. Gue udah pernah ngasih peringatan. Lo sentuh Tari, lo mati! Lo
pikir gue bercanda? Lo akan bayar, Ver… lo akan bayar! Stop gangguin Tari. Gue
udah bukan siapa-siapa, cuma rakyat jelata. Mendingan lo berhenti.”
Vero memekik frustasi. “Bukan masalah
jabatan elo! Tapi elonya! Lo ngerti, nggak, sih?!”
Ari mengangkat sebelah alisnya.
”Nggak. Gue nggak ngerti. Gue cuma
lihat Tari. Gue cuma butuh Tari.”
Hanya dalam hitungan beberapa detik,
Ari melesat ke arah Tari. Dalam hitungan beberapa detik pula, kerumunan orang
yang tadi dilawan Tari itu rubuh atau membungkuk kesakitan. Sementara Tari
hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya, Ari merangkul gadisnya dengan
senyum jumawa, sama sekali tidak mempedulikan ketika mereka melewati Vero.
*
Ridho melihatnya di pojokan koridor
kelas duabelas. Ata, yang sedang berteriak keras kepada sosok pria berbaju
rapi. Ata yang kemudian tersungkur. Dengan sigap, Ridho langsung menghampiri
cowok itu, untuk menyelamatkan wajahnya. Dituntunnya Ata ke lab kimia yang
sepi.
Meringis menahan senyum, Ridho
merasa dejavu. Kehancuran yang Ridho lihat ini persis seperti
beberapa bulan lalu, ketika Ari mulai membuka topengnya yang sebenarnya dan
mengendurkan segala macam bentuk pertahanan palsunya selama bertahun-tahun.
Bedanya, yang ada di depannya sekarang ini Ata, bukannya Ari. Yang membuat
Ridho geli adalah hampir saja ia tidak bisa membedakan keduanya. Mereka memang
begitu serupa.
Sebenarnya Ridho tidak tega, amat
tidak tega melihat keadaan Ata yang luka parah begitu. Namun Ridho tahu, salah
satu jalan menuju gerbang keikhlasan dan mendapatkan kelegaan hati, harus ada
racun yang dibuang. Sesakit apapun, seperih apapun. Membawa luka hanya membuat
jalan tidak lapang. Ridho menghela napas. Ia duduk disamping Ata, kemudian
merangkulnya.
“Lo harus bisa kontrol emosi kalo di
depan umum,” Ridho menasihati cowok itu dengan suara pelan, “kan nggak lucu
kalo seisi sekolah ngeliat pahlawannya nagis terisak-isak.”
Begitulah Ridho, dengan sifat
khasnya yang selalu meyerang bagian terdalam. Ata, yang sedang mengontrol suara
tangisnya dengan makian pelan, menatap orang yang hampir tiga minggu ini selalu
membayanginya. Menjadikannya duduk di posisi tertinggi di SMA Airlangga. Yang
dulunya menyandang predikat sebagai sahabat Ari, namun dengan sukarela
menyebrang padanya.
“Yang tadi datang itu,” Ata menelan
ludah, mencoba meneguhkan hatinya,” bokap gue dan Ari.”
Ridho tercengang. Dibiarkannya Ata
terus bercerita.
“Dia bilang, dia kecewa sama gue.
Katanya gue keterlaluan. Apa dia nggak tau, gue mati-matian berperan sebagai
anak yang baik, seperti Ari, di depan nyokap, dan tindakan gue sekarang
dibilang keterlaluan?!” Ata terisak keras. “Bukannya Ari selama ini udah hidup
enak? Bukannya Ari selama ini udah ngedapetin semuanya? Sampe-sampe orang salah
ngira antara gue dan Ari!”
Melihat rintihan Ata seperti ini,
Ridho jadi berpikir. Betapa sebenarnya, mereka berdua benar-benar mirip.
Benar-benar menjalani kehidupan dengan topeng yang sama. Melakonkan peran yang
sama untuk membentengi hati.
Ridho mendesah. Hal ini benar-benar
ironis! Tragis! Si kembar itu harusnya berjalan berdampingan. Berlari bersama.
Sehingga mereka bisa saling berbagi bila semuanya sudah tak tertahankan lagi.
Namun Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Mereka terlalu terbiasa berdiri
sendiri, berperang sendiri. Ego mereka berbicara bahwa mereka tidak butuh
siapapun. Mereka ciptakan topeng untuk melindungi diri ketika semuanya menjadi
menyesakkan dada. Lucunya, topeng yang mereka ciptakan ini adalah karakter dari
kembaran mereka! Mereka ciptakan suatu ilusi, alter ego dari kembaran mereka.
Karena dengan begitu, mereka merasa tidak berjalan sendiri lagi. Tidak berlari
sendiri lagi.
Ridho ingin sekali menghentikan
percakapan yang juga menyayat hatinya ini. Namun, kalimat terakhir Ata
membuatnya penasaran. “Salah ngira? Maksudnya?”
Ata menghela napas. Pandangannya
lurus ke depan. Pandangan itu... segala emosi melebur disana. Kerinduan, kasih
sayang... juga benci.
*
Ata, berusia 13 tahun, berjalan
tergesa-gesa menuju SMP swasta elite yang berada tidak jauh dari sekolahnya.
Seperti yang sudah ia lakukan bertahun-tahun, hari ini adalah waktunya ia
melaksanakan tugasnya sebagai kakak: mengawasi Ari.
Sudah lama semenjak perceraian kedua
orangtuanya. Sudah lama pula sejak mamanya menyerah akan pencariannya terhadap
Ari. Namun, di saat mamanya menyerah, justru Ata menemukan keberadaan Ari.
Tidak, ia tidak tega memberitahukan hal tersebut pada mama. Karena takut, Ari
yang sekarang malah menghancurkan hati mama. Maka lebih baik, cukup Ata yang
mengetahui keberadaan kembarannya ini, sekaligus untuk menjaga sosok dari apa
yang tersisa di ingatannya.
Ari yang lemah, Ari yang penakut,
Ari yang cengeng… Ata sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Apalagi
ditambah Ari yang sekarang sangat labil setelah perceraian kedua orangtuanya.
Karena Ata menyaksikan sendiri bagaimana Ari tantrum, berontak dan melempari
segala barang ketika Mama menggendong Ata dan pergi dari rumah. Dan menurut
sepengelihatan Ata sekarang, tantrum Ari itu beralih menjadi pemberontakkan
masa remaja: berantem, balapan, rokok. Ata begidik membayangkan reaksi mamanya
jika mengetahui anak kesayangannya jadi kacau begitu.
Tidak pernah sekalipun Ata
menampakkan hidungnya di depan Ari. Cukup ia awasi Ari dari jauh saja. Karena
ia takut, jika ia muncul, ia seakan memberi harapan pada Ari bahwa keluarganya
akan bersatu lagi. Padahal tidak seperti itu. Tidak akan seperti itu.
Akhirnya Ata sampai juga di depan
SMP Ari. Dari balik gerbang, ia awasi Ari yang sedang main basket dengan
temannya. Ia tersenyum lega. Mood Ari sangat baik hari ini,
sehingga tidak ada adu jotos. Ia pun berbalik dan pulang.
“Kak!”
Suara teriakan menghentikan langsung
menghentikan langkahnya. Ia menoleh, kemudian tercenung. Gadis itu… tanpa sadar
mukanya memerah.
Sebenarnya sudah cukup lama ia
perhatikan gadis itu. Gadis itu satu sekolah dengan Ari, sepertinya ia adik
kelas. Gadis itu selalu ia lihat ketika ia mengawasi Ari. Gadis mempunyai
kekurangan fisik, memang, tapi tidak menutupi kecantikannya. Diam-diam, gadis
itu mencuri perhatiannya.
“Kak…” terpincang-pincang, gadis itu
menghampiri Ata. Ya, gadis itu memang pincang. Tapi Ata tidak peduli. Dengan
sabar, ditunggunya gadis itu.
“Ya?” jawab Ata sok cool.
“Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima
kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi…
tapi saya selalu ingat Kakak…”
Ata mengernyitkan dahi, tidak
mengerti apa yang gadis itu ucapkan. Tapi dibiarkannya juga gadis itu
menyelesaikan perkataannya.
“… dan ini… ini buat Kakak…”gadis
itu menyodorkan sebuah amplop. Berwarna pink. Dan wangi! Dada Ata berdesir. Ata
menerimanya, kemudian ia membaca halaman depan surat itu.
Untuk Kak
Ari.
Bagai tersambar petir di siang
bolong, Ata langsung merobek-robek surat itu kemudian berbalik pergi, tak
mempedulikan tangisan gadis itu memilukan hati.
Ia rela melakukan apapun untuk
kebahagiaan Mama. Ia rela jadi Ari. Mati-matian ia berusaha jadi anak manis
seperti Ari. Agar mamanya senang. Agar sedikit saja Mama melihatnya dan menyayanginya
seperti Mama menyayangi Ari.
Demi Ari, ia akan lakukan segalanya.
Ia lakukan apapun demi melindungi adiknya. Bila dulu ia rela dimarahi ibu-ibu
tetangga dan mama karena berusaha membalas anak-anak yang menjahili Ari,
sekarang ia mengawasi dari jauh dan kadang turun tangan bila sudah ada yang
kelewatan. Memang wajah mereka sebegitu miripnya. Ata dan Ari Nampak tiada beda
dan itu berarti Ata, alih-alih Ari, dapat langsung mengeksekusi siapapun yang
menyakiti Ari.
Segala pengorbanannya, jerih payahnya…
tumpah sia-sia!
Cukup sudah! Ini puncaknya. Ia sudah
lelah. Ia sudah letih jadi bayang-bayang Ari!
*
“Dia cinta pertama gue, Dho...” Ata
gemetar menahan emosi. “Tapi yang ia lihat ternyata Ari! Bukan gue! Sejak saat
itu, rasa muak gue memuncak. Udah, disitu puncaknya! Gue muak sama Ari!”
Ata kalap. Digebrak-gebrakkannya
meja yang ada disana untuk melampiaskan kemarahannya. Ridho hanya bisa
diam, shock dengan segala informasi yang ia dengar keluar dari
mulut Ata.
*
“Kalo ngelamun ajak-ajak, dong! Emangnya
asyik ngelamun sendiri?”
Ata menoleh ke sumber suara. Ata
menatap orang itu tajam, kesal karena orang itu telah mengangguk kekhusyukannya
berpikir.
“Main PS, kali, berdua! Mana ada
ngelamun ajak-ajak,” ujar Ata ketus, ”Tau dimana gue disini?”
Angga meringis, kemudian duduk di
sebelah Ata tanpa dipersilahkan. ”Gue tau dari Nyokap lo. Katanya lo lagi nyari
angin di taman ujung kompleks. Yaudah, gue samper aja.”
Ata mendengus kesal,”Lo mau apa
kesini?”
“Yee, Lo kok galak, sih?” Angga jadi
ikutan kesal karena kedatangannya tidak disambut baik. “Harusnya gue yang
galak. Gue bilang jagain Gita, bukan jadian! Jadian sama Gita nggak ada dalam
perjanjian, tau!”
Ata melunak. Ia tertawa geli
mendengar omelan Angga barusan.
”Setiap Kepala Suku butuh
pendamping, Ga,” kilah Ata. ”Lagipula, dengan Gita jadi Ibu Negara, nggak ada
satupun yang berani nyentuh dia. Gue harus pepet Gita, biar Ari nggak bisa
ngapa-ngapain dia. Jadi ini beneran murni hubungan diplomatis.”
Angga mengangguk, menerima
penjelasan Ata barusan.
”Ini memang bukan urusan gue. Tapi…
gue berhak tau,” Angga berkata dengan sangat hati-hati. “Sebenarnya... Ada
masalah apa lo sama Ari sampe bela-belain ngajak gue kerjasama untuk ngancurin
dia?”
Ata terdiam. Keheningan yang
canggung menyeruak. Sejenak, Angga merasa pertanyaan yang ia lontarkan kelewat
lancang. Tapi Angga tidak bisa berhenti begitu saja. Dia harus tau motif Ata.
Mereka telah memutuskan untuk menjalin relasi dan bekerjasama. Angga ingin
semuanya jelas, clear dan transparan!
“Gue udah muak jadi bayang-bayang
Ari,” jawab Ata, memecah sunyi. ”Waktu Nyokap-Bokap cerai, Nyokap dapet hak
asuh gue dan Ari ikut Bokap. Tanpa Ari, Nyokap bener-bener kaya orang gila. Dan
untuk nyegah Nyokap jadi gila beneran… Gue berubah jadi Ari.”
Angga terhenyak. Ia tidak tahu bahwa
ceritanya seperti ini.
“Dan kalo lo pikir tekanan yang gue
dapet cuma dari Nyokap, lo salah. Eyang gue, para sepupu… selalu aja Ari yang
mereka ingat. Gue yang ada disana bener-bener nggak dianggap. Segalanya
berporos pada Ari. Mereka lupa kalo gue juga matahari…” Ata tertawa getir.
“Atas nama sodara, gue masih bisa
maklum. Walo gue lelah. Puncaknya waktu ada cewek pincang yang nyamperin gue
malu-malu. Ngasih surat ke gue. Tapi begitu gue baca... itu bukan buat gue! Itu
buat Ari! Dasar cewek pincang sialan. Bener-bener bikin gue muak sama Ari!”
Angga hanya mendengarkan
samar-samar. Tubuhnya sudah menegang sejak menyinggung tentang “cewek pincang”
yang memberinya surat. Hatinya mencelos.
Dendamnya.... salah sasaran!!
*
Di sebuah warung kopi pinggir jalan.
Tempat ini bagaikan tempat relaksasi untuk Angga. Tempat ini adalah tempatnya
berlari dan menikmati me timenya.
Angga menyeruput kopinya perlahan.
Ia hisap rokoknya dalam-dalam. Harus ia nikmati saat-saat ini sendiri, sebelum
nanti ia harus berkutat dengan kesehariannya : sekolah, tawuran dan… rumah.
Angga benci rumah. Sangat benci
rumah. Bagi Angga, rumah adalah neraka. Semenjak perceraian kedua orangtuanya
sepuluh tahun silam, rumah sudah tidak bisa memberikan kenyamanan baginya.
Angga memang sebagian besar dari produk keluarga broken home. Benci
rumah dan melampiaskan segala bentuk kekecewaannya dengan hal-hal yang membuat
bulu kuduk kedua orangtuanya berdiri dan bisa membuat kedua orangtuanya kena
serangan jantung : tawuran, balapan. Angga sama sekali tidak mempedulikan kedua
orangtuanya. Apalagi dengan kedua orangtuanya yang sudah membina keluarga baru
masing-masing. Segala hal yang dilakukan kedua orangtuanya untuk kembali meraih
Angga, Angga anggap hal itu hanya formalitas dan basa-basi. Ia bosan. Ia benci.
Lebih baik seperti ini. Bebas sendiri.
Sebenarnya Angga tidak terlalu parah
dan apatis seperti ini ketika ada Kirana, adiknya. Dengan jarak hanya setahun,
Kirana dan Angga memang sangat dekat. Apalagi kekurangan fisik Kirana membuat
Angga mati-matian menjaganya. Bagi Kirana, Angga adalah abang nomor satu. Dan
Kirana sendiri, meski statusnya adalah adik, dia lebih dewasa dari abangnya
dalam berbagai hal. Hanya Kirana yang bisa mengendalikan dan meredam Angga.
Hanya Kirana tempat Angga bersandar. Bagi Angga, Kirana adalah segalanya…
Dan itu… sebelum Ari datang dan
menghancurkan segalanya!
Terkutuklah Ari dengan segala
kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki! Terkutuklah Ari yang membuat
adiknya jatuh cinta setengah mati! Terkutuklah Ari yang membuat adiknya patah
hati sedemikian rupa sehingga memutuskan untuk menyusul ibu mereka ke luar
negeri dan meninggalkan Angga sendiri!
Namun hari ini, diketahuinya satu
fakta baru yang mengejutkan. Bukan Ari yang membuat adiknya nelangsa, melainkan
orang yang selama ini sedang bekerja sama dengannya! Mendadak Angga merasa
bego, sangat bego.
Di tangan Ata, ia menyerahkan
keselamatan Gita seutuhnya. Tidak... tidak mungkin Angga langsung mengubah
taktik tepat di depan musuh. Topeng ini harus tetap ia pakai.
Angga letih. Ia sangat membutuhkan
Kirana hadir di sampingnya. Menyemangatinya, membuatnya tertawa.
Tapi masalahnya sekarang… Kirana tidak ada. Dan
Angga harus melakukan segala sesuatunya… sendiri.
-FLOWER-
nah lo..!!?? nyaho deh si Angga....sdh salah sasaran...ditolak Tari lg..bener2 apes deh ntar Angga...
ReplyDeletehe...cpt 2 ya lanjutannya...ga sabar nungguin nih!! ;D
hahaha iya kasian banget angga. tapi gapapa, biarin aja. yang penting ari bahagia, betuuul? ~ hahaha
Deleteinsyaallah kami akan secepat mungkiiiin mengepostnya. hehehe.
Wah makin seru! makin cepet pula updatetannya hihi=)) ditunggu kelanjutannya yah..udah penasaran nih hehe
ReplyDeleteterimakasih telah membaca karya kami :)
DeleteLanjutannya ditunggu yaaaa ;)
ReplyDeleteterimakasih telah membaca karya kami yaa :)
Deletekakak ikut lomba FF ini aja ----->>>> http://lomenulis.com/post/56596396064/lomba-menulis-fanfiction-trilogi-jingga-juara-1 , ceritanya bagus kok,,
ReplyDeletedi tunggu kelanjutannya,, :)
waaah, terimakasih atas infonya, terimakasih telah membaca karya kami :)
Deletewaaaaa...keren mulai kebuka satu2 seruuu abis...
ReplyDeletelanjutaaannnyaaa yaaaaa :)
terimakasih telah membaca karya kami :))
Delete“Ta, sudah Sembilan tahun Ari berubah menjadi kamu…”
ReplyDeletesumpah ini fanfic nya keren bgt, bisa bikin gue nangis gini :")
Aduhh.. nakasih banget yaaah udah mengapresiasi karya kamiiii :)
ReplyDeletebaru sempet baca kak.. sangking kebawa cerita jadi mikir, jangan2 ntar cerita jum bakalan sekeren buatan kakak (y)
ReplyDelete