Tuesday, September 24, 2013

First: Fanfic of Jingga dan Senja Series #13

“Pake gue buat ngelindungin Tari, Ga. Gue sekarang berdiri di posisi yang sama dengan Tari, bahkan lebih.”
Kata-kata Gita terngiang-ngiang dalam benak Angga seperti kaset yang direwind dan selalu memutar hal yang sama. Angga tercenung, pikirannya berkecamuk.
Saking konsentrasinya ia dengan proyek balas dendamnya dengan Ata, ia melupakan satu hal : Tari. Yang selama ini menjadi obyek sengketa antara ia dan mantan Panglima Perang Airlangga itu. Yang karena keberadaannya, menjadi perebutan antara dua belah kubu yang saling berlawanan. Kini, pada dasarnya, Tari telah ‘bebas’. Rezim Ari telah runtuh, Ari bukan siapa-siapa dan sudah tidak punya power lagi. Seharusnya, merebut Tari kembali adalah hal mudah, bukan?
Tapi Angga tidak lupa, bahwa sudah cukup lama ia melepas Tari. Banyak sekali hal yang terjadi, yang mungkin terlewat dari matanya dan membuat segalanya tak lagi sama. Hati Tari sudah lepas dari genggamannya, bahkan mungkin sudah tak teraih. Namun bagaimanapun perasaan gadis itu padanya, ia tetap masih mempunyai hati pada gadis itu. Ia merasa bersalah. Sudah tidak bisa melindungi, diseretnya pula Tari pada kehebohan ini. Kehebohan yang membuat Tari banyak terluka, banyak berdarah, banyak meneteskan air mata dan banyak mengorbankan hati!
Baru ia sadari bahwa ada dampak dari hancurnya Ari yang membuat Angga sangat nelangsa: Tari sudah tidak terlindungi. Menurut apa yang ia dengar dari adik sepupunya tadi siang, sekarang bahkan Tari ikut disakiti karena ia adalah orang yang paling dekat dengan Ari. Dampak itu tidak diperhitungkan. Dan demi kesehatan jiwanya, ketenangan batinnya… ia harus melindungi Tari. Apapun caranya, apapun resikonya!
Ironisnya, Angga hanya mempunyai dua opsi. Dua opsi yang sama sekali tidak bisa diandalkan keefektifannya. Untuk itu, dia hanya bisa merutuki dirinya sendiri karena pernah sangat bodoh melepaskan Tari.
Opsi pertama adalah menyerahkan urusan perlindungan itu pada sepupu kesayangannya, Anggita Prameswari. Hal itu berarti satu: Gita harus jadi Ibu Negara. Meskipun Ata sekarang jadi partner in crime nya dalam menghancurkan Ari, tetap saja Angga tidak bisa mempercayakan Gita pada Ata, yang notabene adalah saudara kembar musuh bebuyutannya. Ata memang sangat membenci Ari – entah apa alasannya, Angga tidak peduli. Namun bagaimanapun juga, darah lebih kental dari air. Sebenci-bencinya Ata dengan Ari, mereka tetap saudara. Kembar, pula!
Dan bukan hanya itu. Hal ini menyangkut Gita. Sepupu kesayangannya. Yang sudah dari kecil sangat ia jaga. Untuk melepaskan Gita pada seorang lelaki, laki-laki itu harus bisa membuktikan banyak hal padanya. Untuk melepas Gita pada Brahmana yang jelas-jelas sahabatnya saja, Angga masih harus berpikir seribu kali. Apalagi kepada Ata, yang belum jelas betul motifnya apa!
Dan opsi kedua… opsi kedua ini yang membuat Angga berada di depan rumah Tari sejak dua jam yang lalu, tanpa berani mengetuk pintu. Angga pesimis sekali memikirkan opsi kedua ini. Namun ia harus berusaha, bagaimanapun hasilnya. Mudah-mudahan. Semoga saja… Tari terbuka pikirannya!
Angga menarik napas, panjang dan berat. Seraya membulatkan tekadnya, diseretnya langkah menuju depan pintu rumah Tari. Kemudian ia ketuk pintunya diiringi ucapan salam. Tak berapa lama terdengar suara orang berlari-lari kecil mendekati pintu. Angga menghela napas, menguatkan diri untuk apapun yang terjadi.
Pintu terbuka. Sedetik, matanya dan si pembuka pintu itu beradu. Perih! Tapi sedetik kemudian pintu kembali mengayun, sebagai isyarat agar sebaiknya Angga tidak melewati batas. Agar tidak lagi-lagi Angga muncul di depannya, di hidupnya.
Namun Angga yang sudah dapat memperkirakan hal itu langsung menahan pintu agar tidak tertutup.
Mereka berdua, Tari dan Angga, saling berhadapan, saling bertatapan.
Tari, melipat kedua tangannya, menatap Angga dengan tatapan murka. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup. Raut mukanya dipasang datar, meski hal itu tak menyembunyikan emosinya yang hampir meledak. Orang ini… yang dulu, dulu sekali… pernah membuat hatinya berdesir. Yang pernah membuatnya merona. Sekaligus yang meninggalkannya. Yang sekarang telah menyakiti lelakinya. Separuhnya!
Beraninya Angga! Beraninya! Setelah perbuatannya pada Ari! Beraninya Angga!
Angga, menggenggam tangannya, menatap Tari dengan tatapan nanar. Bukannya ia tidak melihat badan yang bergetar menahan emosi itu. Bukannya ia tak melihat tatapan murka yang tampak jelas. Berkali-kali ia menahan diri agar tidak memeluk gadis yang berdiri di depannya. Agar sedikit saja… beban yang ada di pundak gadis itu berkurang. Agar sedikit saja, rasa kangen dan perasaan jungkir balik yang ada dalam hatinya berkurang.
Angga mendesah. Gadis ini. Mengapa harus gadis itu terlibat? Dan yang terpenting... dari sekian banyak lelaki, mengapa gadis itu memilih untuk berlari menyongsong lelaki yang juga musuh bebuyutannya?
“Tari…” ucap Angga lembut, ”lo nggak mau mempersilahkan gue duduk?”
Mata Tari melebar. Orang ini, begitu tidak tahu malunya! Tari berjalan seperti zombie mendekati Angga. Emosinya sudah tidak terbendung lagi. Dipukulnya Angga keras-keras, sekuat mungki dan sepenuh tenaga di bagian manapun yang terjangkau olehnya. Orang ini berani sekali! Tidak tahu malu!
“Lo… brengsek!!” maki Tari pelan, agar tidak terdengar orang rumah.
“Tari!” Angga memegang kedua tangan Tari erat-erat, menghentikan pukulan-pukulan yang dilayangkan Tari. Pukulan itu memang tidak menyakitinya secara fisik, namun melihat Tari emosi seperti itu… hatinya jadi nelangsa.
“Lo… brengsek!! Mau apa lagi, lo?! Mau apaaaa?!!” bentak Tari seraya menghentakkan tangannya, melepaskan diri dari genggaman Angga.
“Tar… lo dengerin gue dulu…”
“Apa yang mesti gue denger, Ga? Apaaa?” sela Tari, tidak membiarkan Angga melanjutkan kata-katanya. Tari sudah tidak tahan lagi. Air matanya menetes, kemudian menderas… dan tanpa sadar ia menangis tergugu.
Angga memejamkan mata. Berusaha mematikan hati melihat pemandangan di depannya ini. Tangis Tari yang tergugu ini benar-benar menyakiti hatinya. Terkutuklah Ari! rutuknya dalam hati. Gadis ini memilih menyongsong badai, meski sudah ia peringatkan sebelumnya. Gadis ini memilih untuk berlari menjadi perisai lawannya, tanpa mengetahui apa yang akan menimpanya. Seharusnya Angga bisa acuh. Toh, itu pilihan Tari. Tetapi, gadis di depannya ini, yang sudah merebut hatinya, tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Dan melihat gadis yang ia sayangi kesakitan seperti ini… sungguh, bukannya ini yang ia harapkan. Namun masih ada satu cara. Andai Tari mau koorperatif, sedikit saja…
Angga maju selangkah, mendekati Tari. Ia peluk gadis itu, bukan hanya dengan raganya, namun dengan keseluruhan hatinya. Berharap Tari bisa merasakan. Berharap bahwa masih ada rasa yang tertinggal disana.
“Tar… pergi dari medan perang. Lari ke gue. Biarin gue yang ngelindungin elo. Biarin gue yang ambil alih segalanya.”
Mendengar perkataan yang mengandung perintah tersirat tersebut, Tari langsung menghentikan tangisnya dan melepaskan diri dari pelukan Angga. Tari memandang Angga dengan tatapan seperti Angga adalah makhluk dari angkasa luar.
Sungguh, tawaran Angga barusan ingin membuat Tari tertawa terbahak-bahak!
“Lo tau, Ga?” Tari tersenyum tipis. ”Tawaran lo tuh basi! Semuanya udah terlambat, Ga. Sangat terlambat. Karena buat gue sekarang... cuma ada Ari. Cuma ada Ari, Ga…”
Tari meremas tangan Angga pelan, kemudian masuk ke dalam rumah dan tidak mengindahkan pertanyaan orangtuanya maupun Geo mengenai siapa yang habis bertamu itu.
Sementara Angga hanya bisa terpaku. Hatinya tertohok dan ia merasa dipukul dengan godam. Kata-kata Tari barusan menghantamnya telak! Sudah terlambat...
Rasanya Angga ingin tertawa keras-keras, alih-alih menangis. Memang benar, penyesalan selalu datang terlambat. Penyesalan yang ini datang terlalu terlambat, bahkan. Meski sudah diduga, kenyataan Tari sudah tidak terjangkau lagi benar-benar menghantamnya telak. Angga menelan ludah.
Ternyata opsi kedua harus dilaksanakan juga.
Diambilnya ponsel dari saku dan ditekannya nomor yang sudah ia hapal di luar kepala. Nomor Anggita.
”Git…” sapanya, ketika telepon tersambung, ”jalanin peran lo sebagai ibu Negara sebaik mungkin. Jaga diri lo, dan juga...” Ata menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menguatkan hati, “jaga Tari...”
*
Hari yang baru, hari yang cerah, dan tidak ada tugas. Seharusnya hari ini adalah hari yang cukup membahagikan buat Tari. Setidaknya… tidak membuat mukanya ditekuk seribu dan paranoid seperti sekarang ini!
Bagi Tari sekarang, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding sekolah. Bagi Tari, sekolah sekarang adalah hutan belantara dimana monyet-monyet disana sepertinya hobi sekali menyoraki Tari. Kejadian Ari turun tahta memang berdampak besar baginya, orang yang dianggap sebagai biang kerok kejatuhan Panglima Perang Airlangga yang selama ini terkenal kuat dan tak kenal takut. Semenjak hari itu, selalu ada mulut-mulut nyinyir tak kenal filter, tangan-tangan jahil yang butuh ditampar juga bisik-bisik yang membuat kupingnya panas – menyertainya kemanapun ia melangkah.
Terkadang Tari lelah dengan semua ini. Betapa ia ingin meneriakkan, LO SEMUA GAK TAU APA-APA!! Dan betapa ia ingin melemparkan granat, bom, TNT dan bahan peledak lainnya, ketika melihat Ata yang tersenyum jumawa, memamerkan kemenangannya. Namun hal tersebut tidak ia lakukan. Gadis itu hanya bisa menulikan telinga dan mematikan hati ketika hal tersebut terjadi, hanya bisa memaki dalam hati. Menangis di depan Fio merupakan bentuk pelarian lain, bila segalanya sudah tidak tertahankan lagi. Meski setelahnya, ia kembali memasang topengnya, memasang senyumnya dan melakukan segala bentuk penghiburan di depan Ari.
Karena hatinya telah memilih. Karena dirinya telah memilih. Dan mendampingi adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk lelaki yang paling berarti dalam hidupnya saat ini.
Walau bagaimanapun juga, sekuat apapun Tari, di sekolah tanpa Fio, Oji atau Ari benar-benar seperti mimpi buruk yang menakutkan!
Tari merutuk dalam hati karena ia lupa mengerjakan PR matematikanya semalam. Kejadian Angga menguras habis tenaganya sehingga ia langsung tertidur ketika menyentuh bantal… tanpa ingat PR matematikanya sama sekali. Akibatnya, sekarang ia terpaksa pagi-pagi sekali berangkat ke sekolah, tanpa Fio berada disampingnya, tanpa pengawalan Oji dan tanpa ada Ari!
Komat-kamit Tari berdoa agar pagi ini dihindarkan dari gangguan-gangguan yang dapat menguras tenaga dan pikirannya. Tari berjalan cepat menuju kelasnya, berharap tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya. Tanpa ada siapapun disampingnya sebagai pendukung, ia merasa sangat kerdil.
“Eh, eh… mau ngapain lo jalan cepet-cepet?!”
Siaaaaaall!! Tari memaki dalam hati. Didepannya, Vero berdiri dengan senyum penuh kemenangan. Tari hanya bisa menelan ludah dan memaksakan dirinya dalam posisi ready to war.
“Ngapain diem aja? Kemaren-kemaren berani bales…” ledek Vero. ”Cat get your tongue? Atau setelah jadi MANTAN ibu Negara, keberanian lo menguap entah kemana?!”
“Mau lo apa sih sebenernya? Demen banget gangguin orang! Kayak nggak ada hal lain yang bisa dilakuin!”  bentak Tari. Kata-kata mantan ibu Negara yang mengingatkannya pada kejatuhan Ari, membuat seluruh kekuatannya bangkit seketika. Demi martabat Ari yang sekarang di tangannya!
“Banyak bacot lo! Inget, sekaranh lo udah gak punya backingan lagi!”
Vero langsung menarik rambut Tari keras-keras. Tari menjerit kemudian membalas melakukan hal yang sama. Adu fisikpun tak terelakkan lagi. Vero yang lebih tinggi dari Tari dengan mudah melakukan cakaran, pukulan atau pitingan. Namun Tari melakukan perlawanan yang cukup sengit. Dengan sisa-sisa tenaganya ia balas apa yang Vero perbuat padanya.
Seketika mereka menjadi tontonan. Orang-orang melingkar, berkerumun dan tidak ada satupun yang berniat untuk melerai. Melihat pergulatan Vero dan Tari seakan kegiatan adu fisik ini adalah pertunjukan menarik. Orang-orang menyoraki. Dan semuanya… mendukung Vero.
“Hajar, Ver! Hajaaar! Cewek ngeselin itu, Ver! Yang jatuhin martabat Airlangga!”
“Piting ‘pala si Helen dari Troya, Veeer!!”
“Jambak lebih keras! Itu cewek yang bikin mantan Presiden ngejual harga diri Airlangga!”
“Vero! Vero! Vero! Vero!”
Hati Tari remuk mendengar semua itu. Rasanya ia ingin memaki mereka semua. Tapi itu tidak penting! Sekarang, ia harus menyelamatkan harga dirinya yang tersisa terlebih dahulu, dengan mengalahkan Vero!
“Pertunjukan kacangan kayak gini yang mau lo persembahin buat kepala suku yang baru buat narik perhatiannya?!” terdengar suara dari tengah-tengah kerumunan. Otomatis kegiatan adu fisik itu langsung berhenti. Vero dan Tari melihat ke sumber suara.
Lingkaran kerumunan itu sudah bubar, digantikan oleh orang-orang yang berbaris berhadapan untuk memberi jalan pada Ridho, Ata, serta seorang cewek yang berdiri di samping Ata dengan mata terbelalak – seperti ketakutan.
“Vero, Vero…” Ridho menggeleng, memasang tampang sedih, ”sejak kapan sih lo belajar bahwa lo itu emang enggak bakal dapet perhatian dari siapapun kepala suku yang menjabat? Dan kalo boleh gue tambahkan, nyerang Tari gabakal ngebuat Ata langsung naksir elo. Jangan lupa, yang lo serang itu… iparnya kepala suku!”
Mendengar perkataan Ridho, Ata langsung tertawa terbahak-bahak. Kemudian pada Vero, ia memasang tampang kasihan.
”Sori, Ver. Gue gak tertarik ngeladenincara murahan lo, yah... Juga sama lo. Gue udah punya pacar.”
Ata tersenyum jumawa sembari mengetatkan pelukannya pada gadis disampingnya itu. Si gadis menutup mukanya dengan kedua tangannya. Malu!
“Brengsek, lo!” Vero setengah berlari menghampiri Ata, mencoba menampar Ata. Tapi sebelum hal itu terjadi, tangannya langsung dicengkram erat-erat oleh Ridho.
“Gue nggak mau ngerusak tangan mulus lo. Tapi kalo lo maksa…” ancam Ridho.
“BRENGSEK!!!” Vero menampar Ridho keras-keras, kemudian pergi. Harga dirinya benar-benar jatuh kali ini!
Ata menepuk bahu Ridho pelan. ”Ke UKS sana. Periksa, gigi lo ada yang patah nggak, habis ditampar tuh monster. Sekalian bubarin kerumunan. Gue mau bicara sama ipar gue!” ucap Ata keras, kemudian tergelak.
Perintah Ata adalah titah. Segera saja setelah mendengar perkataan barusan, kerumunan pun bubar. Tari meringis menyadari hal itu, karena yang memerintah di depannya sekarang bukan Ari! Ketika sekarang Ata melakukan hal-hal yang dulu dilakukan oleh Ari… Kenyataan tersebut membuatnya murka!
“Pengkhianat!!” maki Tari tiba-tiba. Tari memukuli Ata, di tempat manapun yang terjangkau olehnya. ”Berani-beraninya. Ari itu sodara lo! Lo ambil tempat dia, lo ambil temen-temen dia, lo ambil sahabat dia… Lo ambil semuanya!!!”
“Lo boleh maki gue apapun yang lo mau. Tapi itu nggak merubah kenyataan kalo Ari bener-bener tumbang, ucap Ata setengah mengejek, dan itu membuat Tari semakin kesetanan memukuli Ata.
“Cukup, Tar, cukup!”
Tiba-tiba seseorang berdiri di depan Ata bak perisai. Tari menghentikan aktivitasnya dan memandang orang itu. Gadis yang sedari tadi berdiri di samping Ata. Yang diaku sebagai pacar oleh Ata. Gadis itu sedikit gemetar, memaksakan keberaniannya. Tapi sepertinya tekadnya lebih kuat dari ketakutannya melihat Tari yang seperti kesetanan. Dengan gagah berani, ia balas tatapan tajam Tari.
“Emosi cuma ngebuang tenaga lo. Mendingan lo simpen itu buat ngehibur Ari,”cewek itu berujar pelan, namun menohok. Tanpa mengucapkan apapun lagi, diiringi senyum penuh kemenangan Ata, gadis itu pergi dari hadapan Tari.
Siapa cewek yang ngakunya pacar Ata itu?! Tari mendengus kesal dan melirik ke arah gadis itu. Bersama dengan Ata, mereka memasuki ruangan kelas X-3. Jantung Tari serasa berhenti berdetak. Cewek itu! Jangan-jangan…
*
Ata tak bisa berhenti menyunggingkan senyumnya sembari memandangi Gita yang duduk di sebelahnya bak barang favoritnya yang paling berharga! Kejadian tadi cukup menyanjung hati Ata. Gue enggak salah pilih partner.
Sedang Gita, agak rikuh ditatap seperti itu. Bukannya apa-apa, hal tersebut mengundang bisik-bisik nggak jelas oleh seluruh mata memandang. Gita sendiri merasa tidak nyaman dengan hal itu. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian. Dan dia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi perhatian yang mengundang desas-desus nggak penting!
“Kak Ata… Kakak kembali ke kelas aja.”
Ata tertawa sembari membelai rambut gadis yang berada disampingnya. “Kenapa, emang? Gue masih mau duduk di sebelah lo.”
“Saya nggak enak sama temen-temen, Kak. Nggak nyaman dari tadi diliatin,” ucap Gita setengah menggerutu.
Ata melihat sekeliling. Terdapat pemandangan orang-orang yang gugup atau mendadak mengalihkan pandangan kearah lain. Ata tersenyum.
“Yaudah. Gue balik. Tapi nanti istirahat gue samper lagi, ya.” Ata bangkit seraya mengacak rambut gadis di hadapannya dengan sayang.
“Nggak usah, Kak!” Gita buru-buru mencegah. ”Nanti kita ketemuan di kantin aja. Saya... mau ngurus sesuatu dulu, sebentar.”
Ata menaikkan alis, namun tidak bertanya lebih jauh lagi. Anggap saja itu adalah hadiah karena telah menjadi pacar yang manis tadi pagi. Ata mengiyakan perkataan Gita, kemudian berbalik. Namun setelah beberapa langkah, Ata menghentikan jalannya dan berbalik kembali menuju Gita. Gita menahan napas. Takut Ata mengetahui sesuatu.
“Ada apa, Kak? Ada yang kelupaan?”
Ata tersenyum dan mengangguk, kemudian mengecup pipi Gita pelan.
“Ini yang kelupaan. Makasih, ya.”
Ata pun langsung meninggalkan kelas Gita.
YA AMPUN GUSTIIII!!! Gita hanya bisa lemas diperlakukan seperti itu. Tabah… tabah… tabaaaaahh!!! Ia mengurut dadanya yang berdebar sangat kencang. Sementara disekitarnya, bisik-bisik nggak jelas pun kembali mengheboh.
*
Berkali-kali Tari melihat jam tangannya dan melirik jam yang berada di belakang kelas. Berkali-kali pula ia mendengus kecewa. Jam istirahat masih lima menit lagi. Lima menit yang menyiksa! Tari benar-benar gelisah. Duduknya lasak, seperti cacing kepanasan. Fio hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia tidak mau iseng bertanya atau apa karena ogah ambil resiko ketahuan ngobrol saat pelajaran dan dihukum Bu Miyati, guru bahasa Jepang yang meski kalem namun terkenal tega memberi hukuman. Menulis kanji nama teman-teman sekelas sebanyak dua puluh kali dalam semalam!
Namun akhirnya bel yang ditunggu-tunggu itu berdering juga. Tari mendesah lega. Setelah mengusir Fio secara halus dengan menyuruhnya ke kantin duluan, Tari bergegas menuju meja Nyoman, untuk menuntaskan satu tanya yang membuatnya gelisah sepanjang pelajaran. 
Kamu merasa bingung? Tidak kenal lingkunganmu? Tanyakan saja pada Nyoman! Begitu slogan yang sering diteriakkan oleh Nyoman. Tanpa menunggu persetujuan, Tari langsung menariknya menuju pojokan kelas yang sepi.
“Eh, eh… apaan, Tar? Lo nggak lagi stress gara-gara masalah Kak Ari terus memutuskan jadi lesbi dengan nembak gue, kan?”
Tari melotot. Mulut Nyoman ini cablak sekali! Mana keras, lagi, ngomongnya! Demi Tuhan, drama di hidupnya sudah cukup banyak dan ia tidak memerlukan adanya gosip tambahan!
“Hahaha. Sori, Bu, sori. Habisnya lo mencurigakan gitu, sih, ngajak gue ke pojokan. Lo nggak lagi ngumpulin kekuatan buat bales perlakuan Nenek Lampir tadi pagi, kan? Lo emang temen baik gue, Tar. Iya sih gue nggak rela lo dianiaya sama itu Lampir. Tapi sori. Kalo itu tujuan lo, gue bantu doa aja, ya. Gue masih mau hidup,” Nyoman dengan cueknya mengambil kesimpulan sendiri. Tari melongo kemudian berdecak kagum. Harusnya Tari tidak heran lagi. Hampir satu tahun sekelas dengan Nyoman membuatnya mengerti bahwa gosip dan Nyoman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan! Tari harus mengakui, radar Nyoman mendengar gosip terbaru luar biasa dahsyatnya.
“Ck, ck… dasar bigos – biang gosip! Nggak, Man. Gue nggak lagi menghimpun kekuatan untuk melawan Gunting. Well, setidaknya nggak sekarang. Gue mau nanya ke elo, nih.  Kan lo orang yang paling tau semuanya, paling update.”
Tari mengacungkan jempolnya tepat di depan muka Nyoman, yang menganggap hal tersebut sebagai pujian sehingga hidungnya kembang-kempis, tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
“Lo mau nanya apa, Tar?” Tanya Nyoman sambil membusungkan dada. Tari nyengir. Kena, lo! 
“Lo tau, nggak, Man, cewek yang sekarang kemana-mana sama Ata? Rambutnya panjang. Kayaknya anak X-3. Lo tau?”
“Anggita Prameswari maksud lo?” Nyoman mengendikkan bahu. “Itu orangnya di belakang lo.”
Tari langsung membalikkan badannya. Meski berusaha sewajar mungkin, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat Gita dari jarak dekat. Face to face! Tanpa sadar ia menganalisis Ini… adik Angga!
Gadis yang berdiri di depannya ini manis. Sangat manis, khas wanita Indonesia – kulit sawo matang yang bersih, rambut hitam legam yang panjang, hidung bangir, senyum manis, wajah lugu dan sorot matanya lembut. Tapi dengan sekali tatap Tari mengetahui bahwa gadis yang berdiri di depannya ini tidak selugu wajahnya. Sorot matanya itu, meski lembut namun tidak menyembunyikan kecerdasan dan juga kilatan senjata yang tidak segan ia keluarkan bila terdesak! Lagipula, yang kita bicarakan disini adalah adik Angga. Mana mungkin Angga membiarkan adiknya keluar ‘sarang’ tanpa dibekali suatu hal apapun.
Tari melipat kedua tangannya, memasang posisi ready to war.
”Ada apa?” Tanya Tari defensif.
Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi sinis dan sarkas. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia mengeraskan hati. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi orang yang berburuk sangka pada semua.
Kejadian Ari membuatnya tersadar bahwa tidak ada yang bisa benar-benar ia percaya di dunia ini. Kejadian Ari membuatnya harus selalu siap sedia untuk berperang setiap saat. Kejadian Ari memaksanya untuk terus waspada dan mendorong dirinya untuk tetap kuat dan tegar, dimanapun dan kapanpun. Hingga tanpa sadar ia membangun tembok setinggi mungkin dan mengasah pisau setiap saat, menusuk setiap orang mencurigakan yang mencoba untuk mendekat.
Menatap Tari yang langsung memasang benteng pertahanannya, Gita tersenyum setulus mungkin. Ia sebenarnya iba pada Tari. Pasti gadis itu lelah sekali memforsir tubuh, hati dan pikirannya untuk selalu on setiap saat. Gadis itu tangguh! Sekarang Gita mengerti mengapa Tari menjadi obyek sengketa antara Ari dan Angga.
“Halo, Tari. Seperti perkataan Nyoman yang murah hati,” Gita tersenyum pada Nyoman, ”Gue Gita.”
Gita mengulurkan tangannya. Untuk formalitas, Tari membalas uluran tangan itu, tanpa mengendurkan kewaspadaan sama sekali.
“Ada apa?” Tari mengulang pertanyaannya.
“Maaf, tapi waktu gue bener-bener enggak banyak,” ucap Gita gugup sembari melihat jam. ”Gue pengen ngobrol sama elo, Tar. Kalo boleh... berdua aja.”
Tari dan Nyoman saling bertatapan. Tari tahu, Nyoman sangat tidak rela meninggalkan Tari berdua saja dengan Gita. Bukan, Tari rasa alasannya bukan untuk mencari gosip terbaru. Tapi lebih karena ia mengkhawatirkan keselamatan Tari. Untuk menenangkan Nyoman, Tari memeluk Nyoman sekilas, kemudian menyuruhnya menyusul Fio ke kantin.
Di kelas X-9... tinggal dua Srikandi sendiri! Mereka berdua saling menatap, saling menilai secara singkat.
Gita menatap Tari. Tari tampak sangat lelah, namun sama sekali tidak menurunkan powernya. Di depan Gita, Tari masih mengangkat senjatanya. Ini pe-er serius untuk Gita: membuat Tari percaya padanya.
Tari menatap Gita. Gadis yang berdiri di depannya ini menyorotkan tatapan bersahabat, namun Tari tidak mau ambil resiko. Kewaspadannya tidak ia kendurkan. Karena ia masih belum tahu, yang didepannya ini kawan atau lawan!
“Maafin gue karena udah buang waktu lo. Juga atas tindakan lancang gue tadi pagi, yang rasanya perlu dikonfirmasi. Maaf ya Tar, kalo elo malah nganggepnya itu penghinaan. Tapi, sumpah, itu tadi gue lakuin murni buat ngebelain elo,” ujar Gita cepat, menutupi kegelisahannya.
Tari jadi agak tersinggung. “Gue enggak butuh dibela sama elo.”
“Tapi harus, Tar. Harus! Kalo tadi pagi gue biarin lo mukulin Ata kayak orang kesetanan gitu, nggak cuma citra lo yang buruk, Tar. Tapi juga Ari! Gue yakin, gosip bahwa mantan Ibu Negara lost control… bakal jadi headlines gosip di Airlangga.”
Tari menghela napas. Perkataan Gita yang rasional tadi ada benarnya. Namun sampai disini, Tari tidak melihat adanya korelasi an tara perbuatan Gita dengan dirinya. Motifnya apa? Maunya apa?
“Dan sebenernya, apa dasar lo ngelakuin hal itu?”Tanya Tari, tak lagi menyembunyikan kelelahannya. Mungkin memang Gita setulus itu. Mungkin memang ini uluran persahabatan. Mungkin memang Tari sudah luluh.
“Angga…” Gita menggigit bibir bagian bawahnya, ragu ingin meneruskan ucapannya atau tidak. Namun Gita membulatkan tekadnya, kemudian meneruskan perkataannya. ”Jadi Angga…”
“Oke,” tukas Tari segera, tidak membiarkan Gita melanjutkan kata-katanya. Karena sudah dapat dipastikan kata-kata Gita barusan hanya semakin memperparah luka hati Tari. Sudah tidak perlu diingatkan lagi bahwa konspirasi antara Angga dan Ata nyata adanya.
“Oke...”
Gita medesah. Dalam hati ia mengerti betul alasan dibalik sikap dingin Tari barusan. Sangat amat mengerti. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menghormati keputusan Tari. Namun masih ada satu hal penting lagi yang harus ia katakan. Gita berpikir keras, merangkai kata-kata yang tepat. Karena salah bicara sedikit saja bisa menghancurkan rencananya!
“Udah, gitu aja?” Tari mengangkat sebelah alisnya. ”Terima kasih udah nyempetin waktu kesini. Gue ke kantin dulu.”
“Tolong maklumin Ata, ya Tar. Dia sama sekali nggak bermaksud jahat, kok.”
Ucapan Gita yang tiba-tiba itu langsung membuat Tari menghentikan langkahnya seketika. Ia menoleh ke arah Gita, memandangnya dengan tatapan tidak percaya seakan Gita berkata bahwa bumi ini berbentuk kotak dan bukannya bulat. Gita tersenyum gugup dan mendekati Tari.
”Mungkin lo pikir gue insane atau gimana, masih ngebelain Ata setelah apa yang dia perbuat ke elo dan Ari. Tapi…Ata sama sekali nggak jahat dan nggak bermaksud jahat. Ata itu lagi tersesat. Untuk menuju jalan pulang, harus ngelakuin hal ini. Nyakitin kembarannya, maksud gue,” Gita menepuk bahu Tari. ”Tolong maafin dia, ya, Tar.”
Perkataan Gita sangat membekas di hati Tari. Kata-kata Gita barusan… mengingatkannya pada dirinya sendiri!
Keadaan Ata dan Gita sama seperti keadaan Tari dan Ari, kalau dipikir-pikir. Dari dulu Tari percaya bahwa Ari sama sekali bukan orang yang jahat. Tari teringat dengan tatapan Ata ketika pagi itu kerumahnya untuk memberi peringatan. Saat itu dia juga membaca bahwa Ata ini sama seperti saudara kembarnya: tersesat. Namun adanya kejadian-kejadian yang menyesakkan ini membuat Tari lupa dan terlalu menghakimi Ata sedemikian rupa dengan menganggap cowok itu sebagai orang paling jahat sedunia. Ia terlalu terlena dengan pikirannya sendiri dan melupakan hal tersebut, sampai Gita mengingatkannya kembali.
Tari menatap Gita tepat di manik mata dan melihat masih ada harapan disana.
*
Harusnya Ata tahu bahwa segalanya tampak too good to be true untuk berjalan semulus ini. Harusnya Ata bisa menerka bahwa semulus apapun rencana yang dibuat, pasti ada bolongnya juga. Sepintar-pintarnya Ata berusaha umenghindar, entah bagaimana caranya… orang itu menemukannya!
Disini,  di depannya. Orang yang mati-matian ia hindari setengah mati, orang yang ia benci sampai mendarah daging berdiri di depannya. Di depan kelasnya!
Orang itu… Papanya.
“Bisa Papa bicara?”
Ata mendengus. Ia melirik sekeliling. Banyak bisik-bisik dan pandangan aneh yang tertuju padanya. Tidak heran, karena seorang pria perlente lengkap dengan jas dan dasi berada di depan kelas. Untuk meminimalisir adanya bermacam desas-desus, Ata mengiyakan ajakan Papa. Dengan isyarat mata, ia mengajak pria paruh baya tersebut ke pojok koridor yang sepi.
“Anda mau apa?” Tanya Ata dingin.
Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan Ata yang serasa jungkir balik melihat Ayahnya… Ayah kandungnya, berdiri di depannya. Sudah sembilan tahun ia tidak pernah bertemu dengan Papa. Dan ketika tiba-tiba hal itu tersodor di depannya begitu saja, rasanya… sangat aneh.
Tidak ada perasaan mellow menggebu-gebu, ingin memeluk Papanya, menangis dan bernostalgia, berusaha mengisi kekosongan selama sembilan tahun. Tidak ada perasaan terharu dan bahagia melihat Papa yang selama hanya ia bisa mimpikan kehadirannya. Oh ya, selama ini dia memang kangen dengan Papanya. Sangat amat kangen! Terkadang ia membayangkan bagaimana hidupnya bila masih ada Papa disampingnya, sebagai teman berdiskusi, teman bercanda dan berbicara mengenai permasalahan lelaki.
Namun kehidupan yang Ata jalani terasa begitu keras. Sangat keras sehingga mengeraskan hatinya juga. Kerinduannya terhadap Ayah kandungnya terhapus oleh perasaan lelah lahir batin akibat harus menjadi sandaran Mamanya, harus bisa kuat dengan kaki sendiri. Perasaan rindu itu terkikis seiring berjalannya waktu, karena sementara ia harus struggle dengan hidupnya, Papa dan Ari bersenang-senang tanpa ada kesulitan yang melanda! Sekarang perasaan rindu itu malah tergantikan oleh benci.
Mendengar pertanyaan Ata barusan yang terdengar kaku dan dingin, Papa tersenyum tipis. ”Kamu nggak mau menyapa Papa, Nak?”
Ata tertawa geli. Benar-benar geli!
“Papa?! Saya nggak punya Papa!! Jangan pikir hanya karena anda menyumbangkan DNA pada saya, anda punya hak untuk menyebut diri anda Papa saya! Saya nggak punya Papa!!”
Papa terdiam dan nampak tenang, sama sekali tidak tersinggung atas ucapan Ata barusan. Karena Papa mengerti, ada hal-hal berat yang sudah dilalui Ata dan sudah melampaui apa yang anak normal lakukan. Papa mengerti bahwa Ata mengalami hari-hari yang susah dan keras, yang selama ini tidak pernah Ari alami. Kekurangajaran Ata, Papa anggap sangat lumrah. Meski begitu, Ata tetap anaknya dan ia harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ayah.
“Maafin Papa, Ta. Mungkin bagi Ata, Papa hanya orang yang pernah mengantarkan Ata ke TK. Sama sekali Ata tidak salah. Ata sudah melalui hari-hari yang berat dan tidak mengeluh sama sekali. Wajar saja Ata jadi keras hati begini. Tapi disini Papa hanya ingin menjalankan tugas seorang ayah ketika anaknya bandel, Ata. Disini Papa ingin menegurmu,” ucapan Papa disampaikan secara lembut, namun tegas.
Ata ingin membalas kata-kata itu dengan kata-kata yang lebih menyakitkan. Namun ia urung melakukannya. Sorot mata kecewa lelaki yang berdiri di depannya ini membungkam mulutnya.
“Papa bukannya tidak tahu apa yang kamu lakukan pada Ari: tawuran yang hampir mencelakakan Ari, jadi dalang penggulingan posisi Ari sebagai Panglima Perang – sebutannya begitu, bukan, Nak? – dan segala hal yang bisa kamu rebut dari Ari. Kalau Papa tidak salah terka… tindakanmu ini berarti satu: kamu ingin berada dalam posisi yang sama dengan Ari, bahkan lebih.”
“Selama ini Papa menutup mata, menutup telinga. Tapi semakin lama tindakanmu semakin keterlaluan, Ata. Kamu sakit hati, Papa mengerti. Tapi mengapa kamu lampiaskan semua pada Ari? Bagaimanapun, dia saudaramu.”
“Lebih dari itu, yang membuat Papa paling kecewa adalah… karena kamu berubah. Kamu bukanlah Ata yang bisa Papa banggakan. Bukan Ata jagoan Papa. Bukan Ata yang kuat dan mandiri. Ata yang di hadapan Papa sekarang… Ata yang licik dan haus kekuasaan. Mamamu tidak membesarkanmu seperti ini, Ta.”
Satu kata itu membuat kemarahan Ata tersulut.
“Jangan bawa-bawa Mama!!” jerit Ata histeris.”anda ini siapa?! Anda nggak tau apa-apa! Anda nggak tau seberapa saya harus berjalan dan segala beban yang saya pikul! Anda nggak tau saya selama ini mati-matian jadi Ari untuk menyenangkan Mama! Anda sama sekali nggak ngerti! Dan Anda sama sekali nggak berhak ngejudge tindakan apapun yang saya lakukan!”
Napas Ata tersengal. Dadanya naik turun tidak beraturan. Mengeluarkan emosi yang sudah terpendam bertahun-tahun lamanya, ternyata bisa semenyesakkan ini. Kini, di depan ayahnya, ia mengeluarkan segala uneg-uneg yang tertahan. Perasaan yang tidak bisa ia utarakan sebelumnya. Tidak ada yang ia tutupi.
Sejenak keheningan menyeruak diantara Papa dan Ata. Ada bagian-bagian melegakan dimana perasaan yang terpendam sudah diungkapkan. Namun dibalik perasaan yang terungkap, ada hal-hal rawan dan membahayakan dan masalah yang harus segera diselesaikan!
Sebenarnya Papa miris sekali mendengar curhat jagoannya barusan. Ia memang tidak tahu apa-apa. Dan tidak ada satupun tindakan yang bisa menebus kesalahannya dan kekosongan waktu Sembilan tahun tersebut. Tetapi ada satu hal yang bisa lakukan untuk menyelamatkan segalanya yang belum terjadi, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan yang nantinya akan menghancurkan semua pihak. Sudah cukup sakit hati ini sampai disini. Sudah cukup kepahitan ini mengganjal hati. Untuk berjalan ke depan, harus dengan dada yang lapang.
Papa menyentuh pundak Ata, seakan memberikan suntikan kekuatan. Dan sejenak, tatapan mereka beradu. Tatapan itu! Mereka seperti kembali pada beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih menjadi keluarga yang utuh.
Ari selalu menjadi kesayangan Mama. Buat Mama, Ari adalah malaikat manis nan penurut. Yang tidak bandel dan tidak pernah membuat onar. Sedang Ata, ia adalah jagoan favorit Papa yang kuat nan berani. Setiap kali Ata nakal, membuat anak tetangga menangis dan akhirnya dimarahi Mama, selalu saja Papa membela Ata. Papa beralasan, toh Papa tidak ingin mempunyai anak lelaki yang lembek.
Dan sudah Sembilan tahun ini Papa menjadi saksi bahwa untuk menarik perhatian, Ari sengaja berubah menjadi Ata. Dan ternyata… Ata berubah menjadi Ari!
“Ta, sudah Sembilan tahun Ari berubah menjadi kamu…”
Pernyataan Papa barusan sangat menohok Ata!
*
“Mantan Presiden lewaaaat!”
“Kasih jalan, kasih jalan!”
“Woo… so sweet! Helen dari Troya masih aja nih setia disamping mantan Kepala Suku? Kirain nyari tumbal lainnya!”
“Harta, tahta, wanita. Sama sekali gue enggak nyangka si Ari jatuh ke lubang yang paling enggak banget nih. Wanita! Hahahaha!”
Tari ingin berteriak membalas sindiran-sindiran mereka, namun Ari mempererat rangkulannya, seakan mencegah Tari melaksanakan niatnya. Tari mendengus kesal. Mati-matian ditahannya air mata yang ingin mengalir. Ia menatap Ari. Ari tampak tenang, meski bibirnya mengatup dan tangannya semakin erat merangkul Tari.
“Lo kenapa diem aja?! Kenapa lo nggak bales mereka?!” ucap Tari emosi, ketika sorakan-sorakan itu sudah berhenti.
“Buat apa?” jawab Ari sambil tersenyum tipis.
“Gue nggak terima!!”
Tari berontak, melepaskan diri dari rangkulan Ari dan kemudian berlari menuju kerumunan yang tadi menyoraki mereka berdua.
”HEH ! Lo pada cemen semua!! Beraninya cuma nyindir-nyindir nggak jelas!! Dasar kacang lupa kulitnya! Musuh dalam selimut! Nggak inget apa, dulu siapa yang nyelametin lo-lo pada pas tawuran?! Dasar nggak tau terima kasih! Udik! Kampungan!”
Orang-orang hanya terdiam mendengar makian Tari barusan. Bukan takut, tapi lebih kepada kaget karena tiba-tiba dibentak seperti itu. Diamnya mereka tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian mereka tertawa dan melontarkan kata-kata yang jauh lebih tajam dan memerahkan telinga! Tari tidak tinggal diam. Ia membalas kata-kata mereka semua, sama kerasnya, sama tajamnya!
Ari tidak tahan melihat Tari dilecehkan seperti itu. Ia sudah ingin melesat ke arah Tari, namun langkahnya terhenti. Seseorang berdiri di depannya, menghadangnya.
“Kalo lo sama gue… lo nggak akan ngalamin hal-hal kaya gini. Orang-orang nggak akan berani nyentuh lo. Kalo lo sama gue!”
Dengan tatapan ingin membunuh, Ari menatap Vero.
Thank’s, but no, thank’s!” desisnya tajam.
“Aaaaaaaaaaahh!!” Vero menjerit frustasi. ”Gue harus gimana lagi sih, Ri, untuk nunjukin kalo gue emang sayang sama lo?!”
“Lo bisa nggak jadi Tari?” Ari menjawab pertanyaan Vero dengan diplomatis. ”Bukannya gue nggak tahu kejadian tadi pagi, Ver. Gue udah pernah ngasih peringatan. Lo sentuh Tari, lo mati! Lo pikir gue bercanda? Lo akan bayar, Ver… lo akan bayar! Stop gangguin Tari. Gue udah bukan siapa-siapa, cuma rakyat jelata. Mendingan lo berhenti.”
Vero memekik frustasi. “Bukan masalah jabatan elo! Tapi elonya! Lo ngerti, nggak, sih?!”
Ari mengangkat sebelah alisnya.
”Nggak. Gue nggak ngerti. Gue cuma lihat Tari. Gue cuma butuh Tari.”
Hanya dalam hitungan beberapa detik, Ari melesat ke arah Tari. Dalam hitungan beberapa detik pula, kerumunan orang yang tadi dilawan Tari itu rubuh atau membungkuk kesakitan. Sementara Tari hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya, Ari merangkul gadisnya dengan senyum jumawa, sama sekali tidak mempedulikan ketika mereka melewati Vero.
*
Ridho melihatnya di pojokan koridor kelas duabelas. Ata, yang sedang berteriak keras kepada sosok pria berbaju rapi. Ata yang kemudian tersungkur. Dengan sigap, Ridho langsung menghampiri cowok itu, untuk menyelamatkan wajahnya. Dituntunnya Ata ke lab kimia yang sepi.
Meringis menahan senyum, Ridho merasa dejavu. Kehancuran yang Ridho lihat ini persis seperti beberapa bulan lalu, ketika Ari mulai membuka topengnya yang sebenarnya dan mengendurkan segala macam bentuk pertahanan palsunya selama bertahun-tahun. Bedanya, yang ada di depannya sekarang ini Ata, bukannya Ari. Yang membuat Ridho geli adalah hampir saja ia tidak bisa membedakan keduanya. Mereka memang begitu serupa.
Sebenarnya Ridho tidak tega, amat tidak tega melihat keadaan Ata yang luka parah begitu. Namun Ridho tahu, salah satu jalan menuju gerbang keikhlasan dan mendapatkan kelegaan hati, harus ada racun yang dibuang. Sesakit apapun, seperih apapun. Membawa luka hanya membuat jalan tidak lapang. Ridho menghela napas. Ia duduk disamping Ata, kemudian merangkulnya.
“Lo harus bisa kontrol emosi kalo di depan umum,” Ridho menasihati cowok itu dengan suara pelan, “kan nggak lucu kalo seisi sekolah ngeliat pahlawannya nagis terisak-isak.”
Begitulah Ridho, dengan sifat khasnya yang selalu meyerang bagian terdalam. Ata, yang sedang mengontrol suara tangisnya dengan makian pelan, menatap orang yang hampir tiga minggu ini selalu membayanginya. Menjadikannya duduk di posisi tertinggi di SMA Airlangga. Yang dulunya menyandang predikat sebagai sahabat Ari, namun dengan sukarela menyebrang padanya.
“Yang tadi datang itu,” Ata menelan ludah, mencoba meneguhkan hatinya,” bokap gue dan Ari.”
Ridho tercengang. Dibiarkannya Ata terus bercerita.
“Dia bilang, dia kecewa sama gue. Katanya gue keterlaluan. Apa dia nggak tau, gue mati-matian berperan sebagai anak yang baik, seperti Ari, di depan nyokap, dan tindakan gue sekarang dibilang keterlaluan?!” Ata terisak keras. “Bukannya Ari selama ini udah hidup enak? Bukannya Ari selama ini udah ngedapetin semuanya? Sampe-sampe orang salah ngira antara gue dan Ari!”
Melihat rintihan Ata seperti ini, Ridho jadi berpikir. Betapa sebenarnya, mereka berdua benar-benar mirip. Benar-benar menjalani kehidupan dengan topeng yang sama. Melakonkan peran yang sama untuk membentengi hati.
Ridho mendesah. Hal ini benar-benar ironis! Tragis! Si kembar itu harusnya berjalan berdampingan. Berlari bersama. Sehingga mereka bisa saling berbagi bila semuanya sudah tak tertahankan lagi. Namun Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Mereka terlalu terbiasa berdiri sendiri, berperang sendiri. Ego mereka berbicara bahwa mereka tidak butuh siapapun. Mereka ciptakan topeng untuk melindungi diri ketika semuanya menjadi menyesakkan dada. Lucunya, topeng yang mereka ciptakan ini adalah karakter dari kembaran mereka! Mereka ciptakan suatu ilusi, alter ego dari kembaran mereka. Karena dengan begitu, mereka merasa tidak berjalan sendiri lagi. Tidak berlari sendiri lagi.
Ridho ingin sekali menghentikan percakapan yang juga menyayat hatinya ini. Namun, kalimat terakhir Ata membuatnya penasaran. “Salah ngira? Maksudnya?”
Ata menghela napas. Pandangannya lurus ke depan. Pandangan itu... segala emosi melebur disana. Kerinduan, kasih sayang... juga benci.
*
Ata, berusia 13 tahun, berjalan tergesa-gesa menuju SMP swasta elite yang berada tidak jauh dari sekolahnya. Seperti yang sudah ia lakukan bertahun-tahun, hari ini adalah waktunya ia melaksanakan tugasnya sebagai kakak: mengawasi Ari.
Sudah lama semenjak perceraian kedua orangtuanya. Sudah lama pula sejak mamanya menyerah akan pencariannya terhadap Ari. Namun, di saat mamanya menyerah, justru Ata menemukan keberadaan Ari. Tidak, ia tidak tega memberitahukan hal tersebut pada mama. Karena takut, Ari yang sekarang malah menghancurkan hati mama. Maka lebih baik, cukup Ata yang mengetahui keberadaan kembarannya ini, sekaligus untuk menjaga sosok dari apa yang tersisa di ingatannya.
Ari yang lemah, Ari yang penakut, Ari yang cengeng… Ata sangat mengkhawatirkan adiknya itu.  Apalagi ditambah Ari yang sekarang sangat labil setelah perceraian kedua orangtuanya. Karena Ata menyaksikan sendiri bagaimana Ari tantrum, berontak dan melempari segala barang ketika Mama menggendong Ata dan pergi dari rumah. Dan menurut sepengelihatan Ata sekarang, tantrum Ari itu beralih menjadi pemberontakkan masa remaja: berantem, balapan, rokok. Ata begidik membayangkan reaksi mamanya jika mengetahui anak kesayangannya jadi kacau begitu.
Tidak pernah sekalipun Ata menampakkan hidungnya di depan Ari. Cukup ia awasi Ari dari jauh saja. Karena ia takut, jika ia muncul, ia seakan memberi harapan pada Ari bahwa keluarganya akan bersatu lagi. Padahal tidak seperti itu. Tidak akan seperti itu.
Akhirnya Ata sampai juga di depan SMP Ari. Dari balik gerbang, ia awasi Ari yang sedang main basket dengan temannya. Ia tersenyum lega. Mood Ari sangat baik hari ini, sehingga tidak ada adu jotos. Ia pun berbalik dan pulang.
“Kak!”
Suara teriakan menghentikan langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh, kemudian tercenung. Gadis itu… tanpa sadar mukanya memerah.
Sebenarnya sudah cukup lama ia perhatikan gadis itu. Gadis itu satu sekolah dengan Ari, sepertinya ia adik kelas. Gadis itu selalu ia lihat ketika ia mengawasi Ari. Gadis mempunyai kekurangan fisik, memang, tapi tidak menutupi kecantikannya. Diam-diam, gadis itu mencuri perhatiannya.
“Kak…” terpincang-pincang, gadis itu menghampiri Ata. Ya, gadis itu memang pincang. Tapi Ata tidak peduli. Dengan sabar, ditunggunya gadis itu.
“Ya?” jawab Ata sok cool.
“Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya selalu ingat Kakak…”
Ata mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang gadis itu ucapkan. Tapi dibiarkannya juga gadis itu menyelesaikan perkataannya.
“… dan ini… ini buat Kakak…”gadis itu menyodorkan sebuah amplop. Berwarna pink. Dan wangi! Dada Ata berdesir. Ata menerimanya, kemudian ia membaca halaman depan surat itu.
Untuk Kak Ari.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Ata langsung merobek-robek surat itu kemudian berbalik pergi, tak mempedulikan tangisan gadis itu memilukan hati.
Ia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Mama. Ia rela jadi Ari. Mati-matian ia berusaha jadi anak manis seperti Ari. Agar mamanya senang. Agar sedikit saja Mama melihatnya dan menyayanginya seperti Mama menyayangi Ari.
Demi Ari, ia akan lakukan segalanya. Ia lakukan apapun demi melindungi adiknya. Bila dulu ia rela dimarahi ibu-ibu tetangga dan mama karena berusaha membalas anak-anak yang menjahili Ari, sekarang ia mengawasi dari jauh dan kadang turun tangan bila sudah ada yang kelewatan. Memang wajah mereka sebegitu miripnya. Ata dan Ari Nampak tiada beda dan itu berarti Ata, alih-alih Ari, dapat langsung mengeksekusi siapapun yang menyakiti Ari.
Segala pengorbanannya, jerih payahnya… tumpah sia-sia!
Cukup sudah! Ini puncaknya. Ia sudah lelah. Ia sudah letih jadi bayang-bayang Ari!
*
“Dia cinta pertama gue, Dho...” Ata gemetar menahan emosi. “Tapi yang ia lihat ternyata Ari! Bukan gue! Sejak saat itu, rasa muak gue memuncak. Udah, disitu puncaknya! Gue muak sama Ari!”
Ata kalap. Digebrak-gebrakkannya meja yang ada disana untuk melampiaskan kemarahannya. Ridho hanya bisa diam, shock dengan segala informasi yang ia dengar keluar dari mulut Ata.
*
“Kalo ngelamun ajak-ajak, dong! Emangnya asyik ngelamun sendiri?”
Ata menoleh ke sumber suara. Ata menatap orang itu tajam, kesal karena orang itu telah mengangguk kekhusyukannya berpikir.
“Main PS, kali, berdua! Mana ada ngelamun ajak-ajak,” ujar Ata ketus, ”Tau dimana gue disini?”
Angga meringis, kemudian duduk di sebelah Ata tanpa dipersilahkan. ”Gue tau dari Nyokap lo. Katanya lo lagi nyari angin di taman ujung kompleks. Yaudah, gue samper aja.”
Ata mendengus kesal,”Lo mau apa kesini?”
“Yee, Lo kok galak, sih?” Angga jadi ikutan kesal karena kedatangannya tidak disambut baik. “Harusnya gue yang galak. Gue bilang jagain Gita, bukan jadian! Jadian sama Gita nggak ada dalam perjanjian, tau!”
Ata melunak. Ia tertawa geli mendengar omelan Angga barusan.
”Setiap Kepala Suku butuh pendamping, Ga,” kilah Ata. ”Lagipula, dengan Gita jadi Ibu Negara, nggak ada satupun yang berani nyentuh dia. Gue harus pepet Gita, biar Ari nggak bisa ngapa-ngapain dia. Jadi ini beneran murni hubungan diplomatis.”
Angga mengangguk, menerima penjelasan Ata barusan.
”Ini memang bukan urusan gue. Tapi… gue berhak tau,” Angga berkata dengan sangat hati-hati. “Sebenarnya... Ada masalah apa lo sama Ari sampe bela-belain ngajak gue kerjasama untuk ngancurin dia?”
Ata terdiam. Keheningan yang canggung menyeruak. Sejenak, Angga merasa pertanyaan yang ia lontarkan kelewat lancang. Tapi Angga tidak bisa berhenti begitu saja. Dia harus tau motif Ata. Mereka telah memutuskan untuk menjalin relasi dan bekerjasama. Angga ingin semuanya jelas, clear dan transparan!
“Gue udah muak jadi bayang-bayang Ari,” jawab Ata, memecah sunyi. ”Waktu Nyokap-Bokap cerai, Nyokap dapet hak asuh gue dan Ari ikut Bokap. Tanpa Ari, Nyokap bener-bener kaya orang gila. Dan untuk nyegah Nyokap jadi gila beneran… Gue berubah jadi Ari.”
Angga terhenyak. Ia tidak tahu bahwa ceritanya seperti ini.
“Dan kalo lo pikir tekanan yang gue dapet cuma dari Nyokap, lo salah. Eyang gue, para sepupu… selalu aja Ari yang mereka ingat. Gue yang ada disana bener-bener nggak dianggap. Segalanya berporos pada Ari. Mereka lupa kalo gue juga matahari…” Ata tertawa getir.
“Atas nama sodara, gue masih bisa maklum. Walo gue lelah. Puncaknya waktu ada cewek pincang yang nyamperin gue malu-malu. Ngasih surat ke gue. Tapi begitu gue baca... itu bukan buat gue! Itu buat Ari! Dasar cewek pincang sialan. Bener-bener bikin gue muak sama Ari!”
Angga hanya mendengarkan samar-samar. Tubuhnya sudah menegang sejak menyinggung tentang “cewek pincang” yang memberinya surat. Hatinya mencelos.
Dendamnya.... salah sasaran!!
*
Di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tempat ini bagaikan tempat relaksasi untuk Angga. Tempat ini adalah tempatnya berlari dan menikmati me timenya.
Angga menyeruput kopinya perlahan. Ia hisap rokoknya dalam-dalam. Harus ia nikmati saat-saat ini sendiri, sebelum nanti ia harus berkutat dengan kesehariannya : sekolah, tawuran dan… rumah.
Angga benci rumah. Sangat benci rumah. Bagi Angga, rumah adalah neraka. Semenjak perceraian kedua orangtuanya sepuluh tahun silam, rumah sudah tidak bisa memberikan kenyamanan baginya. Angga memang sebagian besar dari produk keluarga broken home. Benci rumah dan melampiaskan segala bentuk kekecewaannya dengan hal-hal yang membuat bulu kuduk kedua orangtuanya berdiri dan bisa membuat kedua orangtuanya kena serangan jantung : tawuran, balapan. Angga sama sekali tidak mempedulikan kedua orangtuanya. Apalagi dengan kedua orangtuanya yang sudah membina keluarga baru masing-masing. Segala hal yang dilakukan kedua orangtuanya untuk kembali meraih Angga, Angga anggap hal itu hanya formalitas dan basa-basi. Ia bosan. Ia benci. Lebih baik seperti ini. Bebas sendiri.
Sebenarnya Angga tidak terlalu parah dan apatis seperti ini ketika ada Kirana, adiknya. Dengan jarak hanya setahun, Kirana dan Angga memang sangat dekat. Apalagi kekurangan fisik Kirana membuat Angga mati-matian menjaganya. Bagi Kirana, Angga adalah abang nomor satu. Dan Kirana sendiri, meski statusnya adalah adik, dia lebih dewasa dari abangnya dalam berbagai hal. Hanya Kirana yang bisa mengendalikan dan meredam Angga. Hanya Kirana tempat Angga bersandar. Bagi Angga, Kirana adalah segalanya…
Dan itu… sebelum Ari datang dan menghancurkan segalanya!
Terkutuklah Ari dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki! Terkutuklah Ari yang membuat adiknya jatuh cinta setengah mati! Terkutuklah Ari yang membuat adiknya patah hati sedemikian rupa sehingga memutuskan untuk menyusul ibu mereka ke luar negeri dan meninggalkan Angga sendiri!
Namun hari ini, diketahuinya satu fakta baru yang mengejutkan. Bukan Ari yang membuat adiknya nelangsa, melainkan orang yang selama ini sedang bekerja sama dengannya! Mendadak Angga merasa bego, sangat bego.
Di tangan Ata, ia menyerahkan keselamatan Gita seutuhnya. Tidak... tidak mungkin Angga langsung mengubah taktik tepat di depan musuh. Topeng ini harus tetap ia pakai.
Angga letih. Ia sangat membutuhkan Kirana hadir di sampingnya. Menyemangatinya, membuatnya tertawa.
Tapi masalahnya sekarang… Kirana tidak ada. Dan Angga harus melakukan segala sesuatunya… sendiri.

-FLOWER-


13 comments:

  1. nah lo..!!?? nyaho deh si Angga....sdh salah sasaran...ditolak Tari lg..bener2 apes deh ntar Angga...
    he...cpt 2 ya lanjutannya...ga sabar nungguin nih!! ;D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya kasian banget angga. tapi gapapa, biarin aja. yang penting ari bahagia, betuuul? ~ hahaha
      insyaallah kami akan secepat mungkiiiin mengepostnya. hehehe.

      Delete
  2. Wah makin seru! makin cepet pula updatetannya hihi=)) ditunggu kelanjutannya yah..udah penasaran nih hehe

    ReplyDelete
  3. kakak ikut lomba FF ini aja ----->>>> http://lomenulis.com/post/56596396064/lomba-menulis-fanfiction-trilogi-jingga-juara-1 , ceritanya bagus kok,,
    di tunggu kelanjutannya,, :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. waaah, terimakasih atas infonya, terimakasih telah membaca karya kami :)

      Delete
  4. waaaaa...keren mulai kebuka satu2 seruuu abis...
    lanjutaaannnyaaa yaaaaa :)

    ReplyDelete
  5. “Ta, sudah Sembilan tahun Ari berubah menjadi kamu…”
    sumpah ini fanfic nya keren bgt, bisa bikin gue nangis gini :")

    ReplyDelete
  6. Aduhh.. nakasih banget yaaah udah mengapresiasi karya kamiiii :)

    ReplyDelete
  7. baru sempet baca kak.. sangking kebawa cerita jadi mikir, jangan2 ntar cerita jum bakalan sekeren buatan kakak (y)

    ReplyDelete