Sudah dua jam Ridho merebahkan diri
di kasur empuknya, namun tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya
masih saja berlarian pada Ata dan Ari.
Fakta yang terkuak dari hasil
mendekati Ata ternyata begitu mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya
diberitahukan secuil saja informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui
sepotong kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah kembar
tersebut.
Keduanya... hanyalah trauma.
Keduanya mencari pelarian dengan caranya masing-masing. Cara yang ternyata
sama!
Tiba-tiba saja, Ridho dapat
memaklumi segala perbuatan Ata terhadap Ari – apalagi yang melibatkannya. Ata
hanya ingin menggapai sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya.
Seperti Ari dulu, yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya.
Tidak ada salah yang benar-benar
salah disini. Walaupun begitu, segala sakit hati dan perebutan ini haruslah
segera diakhiri, sebelum tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan
untuk kembali.
*
“Halo, Cantik...”
“Halo, gombal...” balas perempuan di
seberang sana sambil terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit
lembut pipi Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya
itu berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela napas.
Wajah kalut itu tertangkap oleh
penglihatan Kirana. “Kenapa, Kak?”
Angga tahu, gadis itu memang selalu
mengerti jika dirinya sedang gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat
mereka sangat akrab satu sama lain.
“Kamu disana gimana? Kak Angga... Kangen,”
ujarnya sambil menelan ludah, “harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki...”
Giliran Kirana yang menegang di
kursinya. Kenangan itu... Walau telah lama berlalu, namun sakitnya tidak
terlupa. Lebih tepatnya, rasa tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia
anggap baik bisa bertingkah segitu kejamnya.
“Udah berlalu, Kak...” sahut Kirana,
menenangkan, “lagian aku bahagia, kok, disini. Ap –“
“Tapi yang terbayang di kepala Kakak
bukan raut kebahagiaannya kamu!” potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana
terkejut.
“Bahkan tanpa surat itu dirobek
pun... Harusnya aku yang tau diri.” Pada wajah gadis itu tercetak senyuman
pasrah. Suaranya bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang
terjadi di masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah kejadian
kecil.
*
Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena
toilet penuh, ia jadi terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan
matematika! Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam
menyelesaikan soal rumit tersebut.
Namun, ketergesa-gesaannya itu malah
membuat langkahnya goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk,
mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu!
“Yah... telat!” suara seorang cowok
terdengar di belakangnya. Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal.
“Tadinya mau ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh.
Maaf, ya.”
Cowok itu mengulurkan tangannya.
Dengan wajah memerah dan terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan
cowok tersebut. “Makasih...” cicitnya pelan.
“Buru-buru sih boleh, tapi jalanan
juga harus diliat,” ujar cowok itu menasehati. “Yuk, gue anter sampe ke kelas!”
“Eh!” Kirana langsung gelagapan.
“Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya bisa jalan sendiri.”
“Gitu? Lo kelas berapa?”
“Delapan satu, Kak. Duh...” Kirana
melirik jam tangannya, cemas. “Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu
Ambar. Per –“
Namun, cowok itu malah menarik
tangannya dengan kelembutan yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju
kelasnya. “Jangan bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga.”
“Mana mungkin! Aduh.. Saya –“
Kirana malu. Takut seisi kelasnya
akan heboh. Karena cowok yang sedang memapahnya ini bukanlah cowok biasa. Namun,
lagi-lagi perkataannya dipotong.
“Jelas bisa, dong! Percaya deh sama
gue. Karena gue... Matahari Senja!”
Semudah itu. Ari menolongnya, dan
membuatnya dapat waktu ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat
teman-temannya histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu
mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malu-malu yang
dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak melihatnya sama sekali.
Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk terdekat dengannya saat di kantin,
cowok itu tidak menghiraukannya. Walau dalam setiap pertandingan basket di
waktu senggang selalu Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya.
Namun, selama bisa melihat sosok
Matahari Senja, nggak masalah. Kirana nggak keberatan.
Sampai suatu ketika, gadis itu
memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
Kirana memekik senang karena Dewi
Fortuna sedang berpihak padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari
gerbang sekolah. Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya
gadis itu melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak
pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, “Kak!”
Cowok itu lantas menoleh, kemudian
menghentikan langkahnya. Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya
sampai di depan pujaannya.
“Ya?”
Dag...
dig... dug... “Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas
bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya
selalu ingat Kakak…” Kirana tidak sempat memerhatikan ekspresi cowok di
hadapannya. Matanya tertuju ke sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya
terlihat lebih pendek daripada yang satunya. “… dan ini… ini buat Kakak.”
Disodorkannya sebuah surat yang ia
tulis semalaman suntuk, seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu.
Namun, ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti yang
ia lihat satu bulan lalu.
Orang di hadapannya saat ini
memancarkan ekspresi murka yang sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan
wajah itu semakin terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop
pemberian Kirana – bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia
pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa memerdulikan Kirana
yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas itu.
Kirana curhat habis-habisan pada
Angga. Tentang Ari. Tentang penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang
tertulis disana. Kirana bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat
wajah murka cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi.
*
Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya.
Walau hatinya berdenyut setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat
menolongnya dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu
sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan begitu tinggi.
Namun Angga tetap tidak bisa
menerimanya. Tangisan itu... Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata
memang Ata pelakunya. Cerita keduanya cocok!
“Ki...” suara Angga bergetar menahan
amarah, “Akan Kak Angga balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin
dia membayar semua kesalahannya!”
Kirana menggeleng, letih. “Buat apa
sih, Kak? Aku juga udah nggak kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas,
ya...”
Nggak akan!
Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!!
*
Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar
memberikan dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada
di sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga tidak
membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan tekun. Rajin datang
pendalaman materi. Duduk manis di kelas, mengacungkan tangan jika ada hal yang
tidak ia mngerti terkait dengan pelajaran!
Terang saja. Ari mampu mengontrol
emosinya dengan baik, sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya
yang sebenarnya.
Walaupun, jika dipikir-pikir lagi...
Begini lebih baik.
Perlahan, Ari kembali dengan sifat
aslinya. Ari yang sekarang lebih ramah – walau hanya ditunjukkan pada
teman-teman sekelasnya dan juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi
pelecehan yang dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia
tanggapi dengan serius.
Biarlah. Ata sudah membuktikan
kehebatannya, membuat Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun
alasan yang menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala kekuasaannya
di SMA Airlangga.
Bahkan ketika dilihatnya Ridho
sedang berjalan beriringan dengan saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak
lagi tersulut. Biarlah... Toh, saudara
kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang baik. Ari percaya, kehadiran
Ridho di samping Ata setidaknya akan membuat kembarannya punya kekuatan lebih
untuk mengontrol Airlangga. Dan lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari.
Pasti, Ridho juga akan menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai perisai
dengan sempurna.
Dari ujung tangga, Ari menatap pada
satu titik. Kelas X-9. Tempat dimana gadisnya berada.
Untuk saat ini... Ia hanya akan
menyimpan tenaganya untuk melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan
yang ditujukan untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya
untuk menopang jiwa Ari yang rapuh.
Dari kejauhan, Ari dapat melihat
sebentuk senyum milik Tari yang dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas
senyuman itu. Demi untuk menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas
budi. Akan dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya.
Ari memejamkan matanya sesaat,
berdoa. Berharap kali ini akan berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah
menghampiri kelas Tari dengan langkah seringan kapas.
*
Siapapun dapat melihat bahwa hari
ini, mendung menyelimuti wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa
ia pasang di wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih
memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan tentang Gadis
Pincang.
Gita, yang akhir-akhir ini sangat
berinisiatif membayangi Ata kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan
sikap ‘pacarnya’ dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak
menggodanya seperti biasa.
“Kak Ata sakit? Nggak enak badan?”
tanya gadis itu cemas, yang hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin
bingung. Ia paling tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka
ditekuk. Keterdiaman yang justru lebih mengerikan.
Tiba-tiba raut wajah Ata menegang
sambil memandang ke satu titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh
pada kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah paling
lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua kejadian yang
menimpanya akhir-akhir ini.
Namun, apa yang terpancar di wajah
Ata sungguh berkebalikan dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar
kemuakan yang begitu nyata!
“Gue...” desis Ata pelan, “bukan
Ari.”
Gita terdiam mendengar pernyataan
tersebut.
“Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!”
Ditatapnya mata Gita tepat di manik mata. “Lo tau itu, kan?! Lo sadar itu,
kan?!”
Gita tersenyum maklum. Ia mengerti.
Lelaki di hadapannya ini sedang mengalami pergolakan hati yang hebat.
“Yang sekarang ada di depan saya...
memang Kak Ata. Tapi bukan yang di depan teman-teman satu sekolah.”
Kalimat itu begitu sederhana, namun
maksudnya terpampang jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Lo... berani-beraninya!”
“Berani-beraninya berkata benar?”
tukas gadis itu, tandas. Wajahnya masih
menyampirkan senyum penuh pengertian. “Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang
dipendam. Bahkan tentara paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang
–“
“DIAM!”
Pembicaraan itu, yang tadinya
berlangsung sangat pelan sehingga tidak ada orang yang menyadari, akhirnya
turut menjadi perhatian publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita
lantas terkejut, begitu juga yang lain.
Ata, yang selama ini terkenal dengan
keramahannya, berani membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar?
“Lo, orang baru,” desisnya, “jangan
pernah sok tau!”
Kemudian Ata melenggang pergi dengan
muka yang semakin ditekuk.
Saat itu, Gita – dan juga seluruh
siswa yang mendengar bentakan tersebut – belum benar-benar menyadari apa yang
sesungguhnya sedang mereka lihat.
*
Ari sedang tertawa geli, sangat
geli. Gadis yang duduk di sampingnya saat ini sedang gila!
Tari dengan menggebu-gebu sedang
bercerita tentang kejadian seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat
tape. Dimana teman-temannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking
antusiasnya, beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak
disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah kelas
biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan.
“Kehidupan SMA tuh semenyenangkan
itu ternyataaaa!”
“Trus lo bawa apaan?”
Tari merendahkan suaranya. “Bawa
bento bikinan Mama, sih. Tapi nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu
makannya pada anarkis semua!”
“Pelit!” Ari mengacak lembut rambut
Tari yang hari ini dikucir rapi, membuat gadis itu sewot. “Aaaa jadi
berantakan!”
Sungguh, pemandangan keduanya yang
nampak akur membuat takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari....
Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan di depan
umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana. Membuat para junior
merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru. Yang nggak galak. Yang enak banget
untuk diajak ngobrol.
Seperti sekarang ini!
*
Ada sepasang mata lain yang
mengamati pasangan paling fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu
turut menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu untuk
ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama.
Namun tugasnya belum selesai.
Bahkan, saat ini ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya
lagi. Yang masih terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri.
“Ngapain lo ngintip-ngintip?
Samperin dong.”
Ridho menoleh ke belakang. Oji
memergokinya! Dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji
tanpa sepatah katapun.
*
Ata tersenyum lebar. Wajahnya
terlihat sangat sumringah. Belum pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang
ini sejak kasus penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan
idenya sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain!
Kali ini, akan dibuatnya Ari
memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan
memenangkan seluruhnya dengan sempurna!
Dho, yuk
cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket.
*
Mood Tari hari ini sedang sangat
bagus. Gangguan-gangguan untuk dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga
dengan pandangan sinis merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari
semakin membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya.
Inilah sumber kelegaan terbesar
Tari, yang membuatnya sangat mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan
panjang itu akhirnya berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah
sendiri. Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng yang
ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak perlu
dilakukan lagi.
Karena sekarang, Ata telah hadir,
mengambil posisinya sendiri.
Dengan kehadiran Ata, Ari tidak
harus membawa bayang-bayang Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya
setegar batu karang. Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata
bukan berarti kabar baik bagi episode kehidupannya.
Namun setidaknya, Ata telah kembali.
Berbekal kenyamanan hatinya mengenai
kondisi Ari, tiba-tiba Tari merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit
yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok
Ridho di luar kelasnya. Cowok itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari
untuk keluar menghampirinya.
“Ngapain, ya?” tanya Fio ingin tahu.
Tari hanya mengangkat bahu, tidak tahu. “Mukanya serem gitu, Tar.”
“Makanya harus disamperin, kan,” ujar
Tari, agak ragu dengan perkataannya sendiri. “Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor
Kak Ari, ya....”
Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan suara,
yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari sampai di luar kelas,
Ridho langsung menggenggam tangannya.
“Ada apa, Kak?”
Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus
berjalan menuju lantai tiga dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam
pulang sekolah. Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan.
Makanya Tari agak sedikit meronta,
menuntu penjelasan. Begitu sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan.
“Apapun yang akan terjadi nanti...
Sebaiknya lo nurut aja, Tar. Oke?”
Sebelum Tari sempat menyerukan
pertanyaan lagi, Ridho telah menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong.
Disana... Ata sudah bersiap.
“Yuk, Tar. Duduk disini.”
Suara Ata terdengar sangat manis,
bahkan hingga menyunggingkan senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari
bersiap untuk lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang
menahannya.
“Lepasin, Kak!” Tari meronta hebat.
Percuma saja. Badan Ridho yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang
dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih
dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta, dirinya tidak
akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho.
Ata hanya tertawa geli.
“Emangnya mau diapain sih, Tar?”
tanyanya dengan polos. Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. “Gue
mau ngajak kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi
lo harus diem dulu disini, oke? Dijagain sama Ridho, kok.”
“Kakak mau ngapain?!”
“Mau maiiin!” Ata menjawabnya dengan
seruan kesal, seakan-akan Tari nggak mengerti definisi “main” itu seperti apa.
Tari menatap Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan pandangan nurut aja.
Ketika akhirnya tidak ada satupun
dari kedua cowok ini yang mau memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia
berhenti meronta. Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. “Pinteeeer.”
Ridho menuntun Tari untuk duduk di
kurso yang telah ditunjuk oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali
untuk mengikat tangan dan kaki cewek itu.
Tari sempat akan berseru protes,
namun sekali lagi dilihatnya sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya
Tari bungkam, urung menyuarakan aksi protesnya.
Namun penjelasan itu datang dari
mulut Ata.
“Sori, Tar. Lo harus diiket dulu.
Biar gue sama kembaran gue mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo
tetep bisa nonton permainan kami. Dari sini.”
Ata menepuk bahu Ridho sebagai
ucapan terima kasih, sebelum akhirnya berjalan keluar.
“Kak Ata!” Seru Tari keras. Langkah
Ata terhenti. Ditatapnya Tari dengan menaikkan sebelah alis. “Mau sampe kapan
Kakak bersikap begini?”
Senyum di wajah Ata menghilang,
digantikan dengan kelam yang pekat.
“Kakak pasti capek...” Tari mendesah
pelan.
Ata menendang pintu di sampingnya,
membuat Tari terlonjak. “Itu bukan urusan lo!”
*
Bel pulang sekolah. Ari dan Oji
melangkah gontai meninggalkan kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya,
sekilas Ari memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah
lapangan.
“Kak Ari!”
Fio menghampirinya dengan suara
panik. Gadis itu menenteng dua tas, miliknya dan... milik Tari!
“Tari mana, Fio?!” Tanya Ari panik.
Fio sendiri juga panik, namun tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan
tepat.
Sepuluh menit sebelum bel pulang
berbunyi, Tari dijemput oleh Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio
panik, namuan tidak berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh
sahabatnya. Ari menggeram, “Sial!”
Cowok itu tahu ia sedang berurusan
dengan siapa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju
lapangan basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu.
“Woy, Ri! Lama banget!”
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan
merangkulnya. Namun Ari hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut.
“Yuk!”
Ari menatap Ata dengan pandangan
bertanya. Ajakan untuk apa?
Melihat kembarannya hanya mematung,
Ata jadi nggak sabaran. Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara
asal, membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari bola
nyasar.
“Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa
sekarang jadi lemot gini? Oh... Jangan bilang gara-gara cewek!” Ata berseru
dramatis. “Tari bikin adik gue lemah!”
“Mau lo apa, Ta?!” Ari akhirnya
angkat suara, nggak tahan karena Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari!
Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan
itu membekukan segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan
penonton lainnya.
Tidak ada kembar yang benar-benar
beda.
“Mau gue?!” Ata balik berseru keras.
Emosinya sedang sangat membuncah. “Mau gue... Kita tanding!”
Bola basket yang tadi dilemparnya
secara asal sudah kembali.
“Simpel aja. Basket. Nggak pake
batasan waktu. Nggak pake istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah
satu tumbang!”
Ata berteriak kalap. “Tumbang! Dan
lo harus menyerah terhadap semuanya!”
Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih
karena melihat kekalapan saudaranya? Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata
menatapnya dengan pandangan benci yang sangat kental.
“Lo harus menyerah terhadap semua
kejayaan yang udah lo toreh disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!”
Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari
langsung sigap. Segera ia berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba,
pertandingan mereka dimulai.
Apa yang berada di tengah lapangan
saat ini adalah fenomena lain yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari
yang – anggapan awalnya – saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang
pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang kejam.
Ata yang ramah.
Namun sekarang... keduanya melebur!
Ata dan Ari... sejenis. Keduanya
adalah benda dan bayangan yang serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi,
mana Ata dan mana Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang
sangat identik dalam segala hal!
“Apa harus begini, Ta?” tanya Ari
tajam saat sedang berada di depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk
memasukkan bola. Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat
tembakan three point.
“Harus!”
Siaaal!
“Tari dimana?!”
Sebagai jawabannya, Ata hanya
menatap pada satu titik di lantai tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini
Tari sedang duduk manis menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho!
*
Tari melihatnya. Disana, dua orang
yang serupa saling memperebutkan sebuah bola.
Tari juga mendengarnya, pekikan
serta seruan menyemangati untuk kedua orang itu.
Suasana yang sangat kontras dengan
apa yang terjadi disini, di tempat ia dan Ridho berada.
“Gue nggak tau harus ngelakuin
apalagi, Tar...” ucap Ridho frustasi.
Tari mengerti. Ridho telah
menceritakan segalanya sejak Ata meninggalkan mereka berdua setengah jam yang
lalu. Kisah lengkap tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai
dengan kenangan masalalu.
Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih
menempuh jalan yang paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari...
keduanya memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya. Yang
sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila disentuh!
“Tapi mereka harus segera dihentikan,
Kak...” Tari mendesah pelan. “Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata.”
Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum
keduanya sangat kelelahan, semuanya harus dihentikan. Terutama Ata.
“Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo
Kakak mau. Biar saya yang nemenin Tari.”
Gita telah berdiri di ujung tangga.
Sontak keduanya terkejut. Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari
pandangan.
“Gue nggak minta bantuan lo. Turun!”
“Saya cuma mau membantu, Kak –“
“Tapi gue nggak butuh bantuan lo!”
seru cowok itu murka. “Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya
Angga? Musuh Ari? Musuh Airlangga? Jangan mimpi!”
“Bukannya Kakak juga sedang akrab
dengan Brawijaya?” Gita menyerang balik. “Bukannya Kakak temannya Kak Ata?
Bukannya mereka berdua sekarang lagi bersatu?”
Ridho tercengang dengan serangan
balik itu. Ia merasa mati langkah!
“Saya bukannya nggak tau apa yang
jadi motif Kak Ata sekarang ini,” Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara
perlahan. “Saya... tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa
bersalah banget karena kejadian dulu.”
Tari sudah mengerti. Hanya Ridho
yang belum mampu memercayai orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti.
“Kak Ridho pergi aja,” pinta Tari
dengan halus. “Saya percaya sama Gita.”
“Tapi, Tar...”
“Yang penting sekarang, Kak Ridho
harus menyelamatkan mereka.” Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan,
dimana pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar dari
mulutnya.
Akhirnya, dengan menekan perasaan
tidak percayanya hingga ke dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu
Angga untuk diawasi. Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain.
Menyelamatkan kedua matahari yang
saat ini sedang mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga.
*
SMS dari Ridho membuat Oji sewot.
“Apaan, Kak?” Tanya Fio penasaran.
Sebagai gantinya, Oji menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati.
Tari baik2
aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS
semacam itu, sudah sejak tadi Oji mengawasi pertandingan gila ini!
Ata dan Ari terlihat begitu serius
bertaruh. Keduanya menampilkan permainan basket yang begitu keras, begitu
sadis. Kontak fisik yang berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa
yang menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan, takut
dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini!
Ata sama sekali tidak membiarkan Ari
menembus pertahanannya dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan
memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari memegang bola
terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola basketnya dengan gampang. Tidak
akan semudah itu!
“Gimana?” Seru Ridho setelah tiba di
pinggir lapangan, bergabung dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji
melayangkan tinju pada orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang
tidak memungkinkan.
“Kacau.”
Hanya itu. Dan memang terlihat
sangat kacau.
“Kak Ridho, Tari dimana?” Tanya Fio
cemas, karena Ridho hanya berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi
penyekapan Tari, yang tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya
meringis.
Pertandingan ini berlangsung selama
dua jam lebih tanpa henti, hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket
besar itu ke arah Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah
terkuras habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi
Ari untuk berdiri dan kembali melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu,
dengan kedua mata yang dipejamkan untuk mengatur napasnya yang
tersengal-sengal.
Takut terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Oji dan Ridho segera melangkah ke tengah lapangan.
Ata menghampiri adiknya, menunduk
agar bisa berbicara dengan jelas.
“Capek?” tanyanya, namun dengan
tidak menyiratkan kekhawatiran sedikitpun. “Brenti aja, ya? Supaya lo bisa
menjalani kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan
gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo.”
Ari membuka matanya, kaget dengan
apa yang ia dengar dari Ata!
“Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke
sekolah. Sengaja nyamperin gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal,
Ri.” Suara Ata bergetar menahan geram. “Seenaknya aja dia menghakimi gue
seperti itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue
miliki. Salah, Ri?”
Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya
menatap saudara kembarnya dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya,
bahkan kekuatan otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram.
“JAWAB GUE, RI!!”
Ata berteriak kalap. Ditariknya
kerah baju Ari, bmembuat badan cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji
segera menghampiri keduanya dan melerai.
“Cukup, Ta.”
Suara lemah itu berasal dari mulut
Ridho. Ata yang meronta seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi
Ari dengan pandangan tercengang.
“Udah, cukup... Lo nggak bisa
melampiaskan semuanya pada Ari. Ari nggak salah apa-apa –“
“NGGAK SALAH?!” Bantahnya murka.
“Nggak salah, kata lo?! Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia?!”
“Jadi lo pamrih?! Itu emang
kewajiban lo sebagai kakak!”
Ata meronta lagi, membuat Oji
kewalahan memeganginya. Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya
diam, tidak menunjukkan reaksi perlawanan apapun.
Mana pernah Oji melihat Ari selemah
ini. Mana pernah Oji melihat ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka!
Ia sama sekali nggak suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini.
“BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo
selemah ini?!”
Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang
menghalangi pandangannya dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu
saudara kembarnya sebagai penopang.
“Lepasin Ata, Ji,” perintahnya
dengan suara tak terbantahkan. Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata
Ata. “Maaf, ya? Gue emang adek yang nggak tau diuntung.”
Segalanya luruh disana. Ari, dengan
sisa-sisa sifat Ata yang menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya
untuk membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya tersebut.
Di lapangan sekolah sore itu, Ari
sempurna menerima kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang
yang pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan yang
pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun.
Ari berjalan pelan meninggalkan
lapangan basket. Ridho sudah akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis
oleh Ari.
“Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan
ninggalin abang gue. Jangan coba-coba.”
“Nggak lucu, Bos!” Oji meneriaki
sahabatnya itu dengan frustasi. “Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah
pikiran –“
“Nggak pa-pa, Ji,” sahut Ari
menenangkan. “Lagian gue bukan Bos elo.”
Senyum menenangkan dipancarkan oleh
Ari lewat tarikan bibirnya. Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan
dirinya sendiri.
Kalau untuk kebaikan saudara
kembarnya... Tidak mengapa. Ari akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap
kekuasaan. Terhadap pengaruh dan pertemanannya.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang
harus ia usahakan untuk direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan
jalan terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata, orang
tersebut pun juga akan Ari tinggalkan.
Kesanalah saat ini langkah Ari
menuju. Lantai tiga gedung barat SMA Airlangga.
*
Fio sibuk menenangkan Tari, segera
setelah ia tiba di tempat Tari diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala
yang ia tahu. Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang
mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata memang sudah Tari
dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun... mendengarnya dua kali dalam
selang waktu yang singkat bukan berarti bisa membuatnya lebih tenang.
Skenario terburuk yang mungkin
terjadi hari ini adalah... Tari tahu, namun tidak mampu membayangkannya.
Meninggalkan Ari dalam kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik
untuk dilakukan. Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari.
Tidak setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu tegar.
Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah berani.
Namun... Siapa yang bisa benar-benar
bertekuk lutut, jika lawan tangguh di seberang sana justru adalah orang yang
ada tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya?
Derap langkah pelan terdengar sedang
menaiki tangga lantai tiga, tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik
Ari. Yang pada wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat.
“Tolong tinggalin kami berdua.”
Tanpa harus disuruh dua kali, Fio
dan Gita melangkah pelan meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri
di hadapan gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan
kaki gadis itu dengan sangat hati-hati.
“Baik-baik aja, kan? Ikatannya nggak
kuat, kok... Nggak ninggalin bekas.”
Suara itu... Tari bisa mendengarnya.
Suara itu dipaksakan sehingga terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati
di dalam sana terdengar tanpa harus disuarakan.
Kepada seseorang yang mati-matian
meminta penyelamatan padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua
beban itu dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari.
Kepada seseorang yang selama ini
selalu ia kejar, kali ini... Ari melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari
Tari, namun dengan pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari
akan merelakan segalanya pergi. Terutama Tari.
“Gue...” Ari memulai dengan suara
tercekat. “nggak tau, bahaya apalagi yang ada di depan sana.”
Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak bisa,
karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini.
“Gue cuma mau nyampein dua hal.
Tolong didenger baik-baik, ya?” Sambil menatap kedua bola mata Tari – pada
akhirnya – Ari melanjutkan, “Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue
dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan kedua...
Maaf,” suara Ari mulai bergetar menahan isakan. “Maaf, karena setelah semua
yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah.”
Tari menggeleng, tidak percaya
dengan apa yang sedang ia dengarkan. Bukan.
Bukan seperti ini jalan ceritanya!
“Selama yang berdiri di ujung sana
adalah Ata, gue... Sampai kapanpun nggak akan sanggup untuk menang,” Ari
tertawa pelan, miris. “Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas,
Tar.”
“Gue udah lama bebas, Kak...” Tari
tergugu. “Apa yang gue lakuin untuk lo selama ini ikhlas, bukan –“
Ari menempelkan jarinya di bibir
gadis itu, membuatnya seketika diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan
penjelasan gadis ini lebih banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum
keputusannya berubah.
Kedua tangannya menyentuh pipi Tari
dengan lembut. Mata Tari terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir
yang ia bayangkan harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari
bayangkan akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan terkejam,
kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa?
Yang Tari tidak sadari, justru
keputusan ini telah memakan jiwa Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan,
menancap dengan sangat dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal
ini. Memangkas habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya.
Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan
lembut. Lama, seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.
-PRINCESS-
sooo sweet,sooo saaad T.T,
ReplyDeleteterharu bget bacanya U.U
ditunggu lanjutannyaaaaa.....
yuk mari silakan dbaca part 15 nyaa :)
Deleteini bener bener bikin dada sesek, sumpah
ReplyDeleteaaaakkk sabar yaaah :')
Delete