Sudah tiga hari ini Ata mengamatinya. Ia suka warna
biru. Rambut hitam legam sepinggangnya selalu diurai dan dipakaikan bando, jika tidak dikepang rapi. Orangnya sedikit
kikuk dan pendiam. Mungkin karena hal itu ia tidak punya teman dekat,
setidaknya begitu sepengetahuan Ata yang tidak pernah melihat gadis itu bersama
orang lain – hanya dia sendiri. Meski begitu, gadis yang diamati Ata selama tiga hari ini
mempunyai senyum yang luar biasa manis, yang sanggup membuat Ata tertegun
beberapa detik.
Jika Ata tidak mengingat gadis itu adalah ‘proyek’,
sudah ia kejar gadis itu habis-habisan. Namun, untuk saat ini, Ata belum mau
menjalin hubungan dengan gadis manapun, karena masih ada hal yang lebih penting
yang harus ia kerjakan. Gadis itu hanya salah satu batu pijakan untuk meraih
misi dan ambisinya… juga untuk membalas Bram yang telah menusuk kembarannya!
*
Anggita gelisah. Sudah tiga hari ini ia merasa
diperhatikan oleh seseorang. Bahkan, kalau memang Gita tidak salah terka dan
tidak besar rasa, orang itu sampai berani mengikutinya masuk bus perjalanan
pulang! Serem, kan?
Mungkin kalau orang itu adalah orang biasa, ia akan
melaporkannya pada kakak sepupunya, Angga, si preman SMA Brawijaya, atau Bram
yang merupakan tangan kanan Angga, agar si stalker itu
dihabisi segera. Tapi masalahnya... Ah, bagaimana Gita harus menjelaskan bahwa
sebenarnya ia agak tersanjung juga diperhatikan oleh salah satu Matahari?
Apalagi Matahari yang ini. Matahari yang begitu… sempurna. Ah, bagaimana Gita
dapat menjelaskan?
Berbeda dengan saudaranya yang blangsak dan
cenderung urakan, Matahari yang ini begitu tenang pembawaannya. Begitu sopan.
Begitu penurut. Tidak berulah. Juga pintar. Dan maksud Gita adalah benar-benar
pintar! Fakta ini pun tidak sengaja ia ketahui Pak Yusuf, guru Bahasa
Indonesia, memintanya untuk mengambil diktat yang ketinggalan di ruang guru,.
Saat Gita masuk, ternyata disana beberapa guru sangat heboh membicarakan
Matahari Jingga!
“Beda sekali dengan saudaranya! Yang ini angel,
yang sana trouble maker!”
“Responsi fisika kemarin… Ata mendapat nilai sempurna!
Padahal itu responsi dadakan!”
“Tidak pernah… tidak pernah sama sekali membuat kacau
di kelas!”
“Cuma Ata yang jadi top scorer waktu
basket kemarin, setelah saya suruh scotch jump 100 kali!”
Dan yang paling membuat Gita – pun juga sebagian besar
warga Airlangga – terkesan pada Ata… keheroikannya kemarin saat tawuran. Tanpa
banyak tingkah dan banyak perintah sana-sini, ia pukul mundur Brawijaya hanya
dalam waktu 10 menit!
Udah ganteng, baik, pinter, jago berantem, pula!
“Eits! Hati-hati!”
Suara teriakan itu membuyarkan lamunan Gita sekaligus
mengejutkannya sehingga ia hentikan langkahnya secara mendadak. Ia tertegun. Di
depannya menganga lubang besar, bekas galian, entah galian apa. Jika tidak ada
yang memeringatkannya, mungkin sekarang ia sudah tersuruk disana, entah
pingsan, lecet atau gegar otak. Gita menoleh, mencari sumber suara, ingin
mengucapkan terimakasih atas peringatannya.
Tapi nampaknya Gita tidak perlu susah-susah mencari.
Orang itu berdiri tepat di depannya. Sedikit menunduk, memegang kedua bahu Gita
lembut dan menatap Gita tepat di matanya.
Orang itu Matahari Jingga.
Ya ampuuuuuuunnnn!
“Lo nggak pa-pa?” Tanya Ata.
Gita hanya bisa terdiam. Oke, ralat. Gita hanya bisa
bengong. Melongo, dengan mulut sedikit terbuka saking shocknya.
“Hei? Lo nggak kenapa-napa, kan? Halo?” Ata
mengguncangkan pundak Gita agak keras. Gita tersadar dan ia langsung gelagapan,
berulang kali membetulkan letak kacamatanya.
“Eh, enggak… Nggak pa-pa. Makasih, ya, Kak. Permisi.”
“Hei, tunggu dulu…” Ata terkekeh geli. ”Gue ngikutin
lo dari sekolah sampe sini bukan cuma untuk lo tinggal pergi gitu aja, tau… gue
pengen nganterin lo sampe rumah. Boleh?”
“Oh, Kakak mau – “ namun Gita terkesiap, lantas tanpa
sadar memekik, “APAA?!”
“Nganterin lo pulang.” Ata nyengir. ”Yuk! Nunggu bus
nomor tiga di halte aja.”
“Mmm... Kakak tau darimana kalo saya naik bus nomor
tiga?” Tanya Gita dengan penuh selidik. Sebenarnya untuk memastikan juga bahwa
memang benar dari kemarin dia diikuti.
Ata memasang raut wajah sedang berpikir keras. Ia
ketuk-ketukkan telunjuk di keningnya.
”Kok bisa tau? Hmm... karena dari kemarin gue ngikutin
elo terus kali, ya,” jawab Ata santai.
Tuhan, ini
lebih dari sekedar indaaah! Pekiknya riang dalam hati. Namun
tiba-tiba Gita was-was. Seorang Ata, yang jelas-jelas merupakan kembarannya
Ari, yang – lagi – merupakan musuh bebuyutannya Angga di medan perang, ngikutin
dia untuk apa?
“Kenapa? Lo ragu?” Tanya Ata, setelah beberapa saat Gita
hanya diam saja memandanginya. “Apa perlu alasan untuk dulu baru bisa pulang
bareng elo?”
Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Orang ini... bisa baca pikiran kali, ya! “Soalnya
heran aja sih, Kak. Ngg... Aneh aja, gitu...”
Ata tergelak, gemas dengan tingkah lugu gadis ini.
”Okeee gue kasih tau alesannya,” Jari-jari Ata mulai berhitung. “Satu, lo pasti nggak mau ambil resiko jatuh
di lubang mana karena ngelamun sendirian. Dua, karena jam segini tuh bus lagi
padet-padetnya sehingga lo butuh orang yang bisa ngejagain lo di dalam bus. Dan
ketiga…”
Ata tiba-tiba menyodorkan ponselnya. Refleks, Gita
menggeleng dan menjauhkan ponsel itu dari hadapannya. Tapi Ata memaksa. Ia
tempelkan ponsel itu di telinga Gita. Sehingga mau tidak mau, Gita akhirnya
menerima ponsel itu.
“Halo…”
“Hei, Git…”
Gita langsung mendelik. Suara yang diseberang sana…
kakak sepupunya! Tanpa sadar Gita langsung meninggikan suara.
“Kok... Kak Ata bisa nelepon elo, sih?! Kok...
kalian... Apa sih iniiii?!”
Suara di seberang, bukannya menenangkan atau
menentramkan, malah berbicara dengan lirih, seperti berbicara di pemakaman.
“Pokoknya lo ati-ati, ya, Git. Nurut sama Ata. Lo harus inget, gue sayang sama
lo. Oke?”
Dan sambungan telepon putus seketika.
Gita lemas selemas-lemasnya. Tangannya dingin.
Tulangnya serasa rontok. Astaga… inilah resikonya jadi adik preman sekolah
musuh! Dilayangkannya pandangan pasrah pada Ata, yang sedang balik menatapnya
dengan menaikkan alis.
“Karena kata sepupu saya nggak kenapa-napa, iya,
deh... Saya pulang bareng Kak Ata...” Gita berujar pasrah.
Tanpa dinyana, Ata langsung tertawa terbahak-bahak
setelah mendengar penuturan Gita barusan.
”Lo jangan mikir yang macam-macam, dong. Gue emang beneran
pengen nganterin lo pulang, lagi...” ucap
Ata setelah tawanya reda.
Gita menggeleng, namun dibiarkannya Ata ikut berjalan
di sampingnya. Mereka berdua berjalan beriringan, tanpa berbicara sepatah kata
apapun. Masih kaku.
“Gue tau lo sepupunya Angga. Gue tau lo adek kelas
gue, anak X-3. Tapi kita belom kenalan langsung,” suara Ata memecah keheningan.
Ia mengulurkan tangannya.
”Ata.”
Dengan malu-malu, Gita membalas uluran tangan itu.
”Anggita.”
“Anggita…” Ata bergumam, ”Nama yang bagus.”
Mereka sampai di halte. Percakapan yang cukup seru
mengalir antara Gita dan Ata. Baru setelah bus nomor tiga yang keenam datang,
mereka pun memutuskan untuk naik, dan terpaksa melanjutkan obrolan yang
terputus di dalam bus.
*
“Yakin mau masuk sekolah?”
“Yakin.”
“Lo masih sakit dan butuh recovery, Kak…”
“Gampanglah itu. Gue udah bosen di rumah mulu.”
“Tapi –“
“Jingga Matahari,” Ari memegang kedua bahu Tari, erat.
Ditatapnya Tari lekat-lekat. ”Sampai kapan kita mau berdebat?”
Tari cemberut, mengernyitkan dahinya, tanda tak suka.
Tapi Ari tahu, ini pertanda bahwa ‘perang’ ini sudah hampir ia menangkan.
Sambil tersenyum geli, diacaknya rambut Tari dengan sayang dan dikecupnya
kening Tari lembut.
Senin pagi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul o6.35
dan mereka masih berdiri di teras rumah kontrakan Mama Ari, yang tak jauh dari
rumah Tante Lidya. Memang, setelah Ari keluar dari rumah sakit dua hari yang
lalu, Mama dan Papa Ari sepakat agar untuk sementara waktu Ari dirawat oleh mamanya,
sampai ia sehat betul. Dan sekarang… disinilah Ari. Dengan Tari di depannya,
masih belum putus asa untuk membujuk hari ini Ari tidak masuk sekolah
Perdebatan mereka masih belum usai karena Tari sama keras kepalanya dengan Ari.
Berawal dari kekeraskepalaan Ari untuk masuk sekolah
hari ini, karena sudah bosan dirumah. Mama, yang sudah kehabisan cara untuk
membujuknya agar tetap dirumah, langsung menghubungi Oji agar turut membujuk
Ari. Dan seperti dugaan – bujukan Oji yang menakut-nakuti Ari bahwa hari ini Bu
Sam lagi PMS hingga lebih mengerikan dari biasanya tidak berhasil.
Terpaksa Mama
Ari mengeluarkan senjata pamungkasnya: Tari! Itu juga masih tidak mempan.
Wanita paruh baya itu hanya bisa mengelus dada seraya berdoa dengan khusyuk,
supaya Tari bisa menang melawan sikap ngotot anaknya.
“Sebenernya apa yang lo kuatirin sih, hmm? Gue udah
sehat begini. Ibarat kata tawuran lagi, nih…” Ari mengucapkan kata ‘tawuran’
dengan pelan agar Mamanya tidak mendengar, ”gue udah kuat buat ngebabat habis
mereka, lho.”
Tari melotot,”Jadi motivasi lo –“
Ari panik, langsung membekap mulut Tari.
”Sshh… ya nggak, lah! Memangnya lo nggak bosen di
sekolah dikawal Oji mulu?” Ari berujar sembari melirik Oji yang sedang asyik
menikmati arem-arem buatan Mama. Yang dilirik cuma nyengir seraya mengacungkan
arem-arem. Tari mendengus kesal.
“Memangnya kalo lo masuk sekolah, gue nggak dikawal
lagi?”
“Ya dikawal, sih. Tapi sama gue, bukan sama Oji,” jawab
Ari santai.
“Kak Ariiiii!” pekiknya menahan gemas.
“Hmmm?”
Tari menarik napas panjang. Sebenarnya hatinya berat
mengizinkan Ari masuk sekolah. Perasaannya sangat tidak enak. Selama
‘serangan-serangan’ itu belum jelas betul bagaimana arahnya, selama
ancaman-ancaman masih mengintai dan hanya menunggu tanggal main untuk dieksekusi…
tentu sekolah adalah tempat yang sangat berbahaya bagi Ari! Apalagi dengan
berbelotnya si tangan kanan, Ridho… Tari ngeri membayangkan apa-apa saja yang
akan terjadi nanti. Melarang Ari ke sekolah dan membuat Ari stay di
tempat yang aman dan netral adalah salah satu caranya melindungi Ari. Karena
bagaimanapun, Tari tidak bisa menceritakan segala peringatan-peringatan,
ancaman-ancaman, juga serangan yang samar tapi nyata pada Ari. Sesuatu sedang
berlangsung, meski Tari tidak mengetahui apa sesuatu itu. Dan jelas ia tidak
bisa menjelaskannya pada Ari. Tentang Angga, Ata, dan terutama… Ridho.
Peringatan Angga… Pasti akan disalahartikan oleh Ari.
Dan dicemburui Ari adalah hal terakhir yang diinginkan Tari. Karena hati yang
terbakar akan membuat Ari tidak dapat berpikir jernih dan kelengahan Ari itu
yang dicari Angga.
Ancaman Ata… Apakah Ari akan mempercayainya jika
saudara kembar Ari sendiri sedang merencanakan sesuatu untuk Ari yang sifatnya
destruktif? Baru saja kedua saudara itu bertemu. Baru saja Ari merasa utuh.
Pengkhianatan Ridho… dapat membuat Ari ambruk dan
jatuh seketika. Ari, Ridho dan Oji adalah tiga bagian tak terpisahkan. Mereka
bertiga bukan hanya sahabat, tapi sudah seperti satu kesatuan. Satu jiwa dalam
tiga tubuh. Kehilangan salah satunya akan membuat segalanya tidak seimbang, membuat
pincang dan lumpuh seketika. Ridho dan Oji adalah penopang Ari. Bagaimana bisa
Ari berdiri tanpa salah satu diantara mereka? Tari tak sanggup menghancurkan
hati Ari lebih buruk lagi.
“Udah, deh, Tar… biarin aja dia masuk sekolah. Gue juga
bosen nih di kelas tanpa Ari,” celetuk Oji tiba-tiba, yang langsung disambut
dengan pelototan Tari. Kak Oji nih gimana, siiih?
“Akhirnya… ada juga yang dukung gue.”
Ari nyengir, kemudian pergi ke dalam untuk mengambil
tas. Di teras hanya ada Tari dan Oji.
“Kak Oji gimana, sih? Kalo ada apa-apa gimana?” omel
Tari pelan.
“Sampe kapan lo mau kurung dia terus, Tar? Mungkin
lebih baik gini… biar dia tau realita yang terjadi di lapangan,” jawab Oji sok
bijak. Tari terdiam. Perkataan Oji ada benarnya. ”udah, Tar… lo tenang aja.
Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama. Oke?” Oji menepuk pundak Tari
pelan, seakan menyuntikkan semangat tambahan.
Tari menarik napas. Panjang dan berat. Whatever
will be… will be!
*
Pukul 06.55! Pukul 06.55 yang fantastis, yang
menandakan bahwa ia masih bisa melihat semesta. Tari berulang kali mengucap
syukur pada Tuhan karena masih mengizinkan Tari untuk berada di dunia ini.
Perjalanan dari rumah Ari sampai ke sekolah seyogyanya
ditempuh dalam waktu setengah jam. Tapi berkat Oji yang sepertinya ingin
menyaingi Michael Schummacher, perjalanan itu ditempuh hanya dalam waktu
sepuluh menit saja! Sepuluh menit yang menegangkan dan membuat setengah nyawa
Tari melayang. Entah sudah berapa lampu merah yang mereka terobos. Entah sudah
berapa orang dan kendaraan yang terpaksa menepi atau mengalah berkat cara
nyetir Oji yang bisa membuat orang dengan penyakit jantung langsung lewat
seketika.
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju lapangan
untuk upacara. Tari, dengan badan lemas, sedang Oji dan Ari yang terlihat
sangat baik-baik saja dan malah saling bercanda. Lapangan sudah dipenuhi oleh
lautan siswa yang sedang berbaris. Namun anehnya, disana sama sekali tidak ada
persiapan upacara. Tidak ada guru. Murid-murid bergerombol, berkasak-kusuk
dan melihat dengan khusyuk big screen yang terpampang di tengah
podium.
“Ini ada apa, sih?”
Semua orang mengungkapkan pertanyaan yang sama.
Pertanyaan yang belum terjawab, namun sebentar lagi akan terjawab.
“Tari! Tari!” Fio berlari menghampiri Tari sembari
melambaikan tangan. Ia sedikit terengah-engah.
“Ini ada apa, sih, Fi? Kok nggak upacara?” Tanya Tari.
Pertanyaan yang serupa diajukan pula oleh Oji dan Ari.
“Memang nggak. Guru-guru lagi pada rapat di kantor
yayasan. Jam pertama sampe ketiga kosong. Tapi…”
“Tapi apa? Kok ngegerombol disini semua? Ada apa?” Tanya
Tari.
Fio menggigit bibirnya, berpikir keras. Aduh…
bilang apa nggak, ya?
“Itu Kak, nggg... Kata Kak Ridho…”
“Apa kata Ridho?!” Tanya Oji, defensif.
Namun pertanyaan itu tak terjawab. Suara Ridho yang
memakai megaphone menggema, memenuhi seluruh lapangan.
“Halo… Halo… Selamat pagi Airlangga. Maaf ya, gue
ngebuat kalian semua kumpul disini. Panas-panas pula. Seperti apa yang sudah
gue bilang lewat pengumuman tadi, ada hal yang sangat mengejutkan! Sangat
mengejutkan, tentang panglima perang kalian, Matahari Senja!”
Suasana hening hingga bahkan bila ada jarum jatuh pun
akan terdengar dentingnya. Semua perhatian mengarah pada Ridho yang sedang
berdiri dengan percaya diri di podium. Semuanya mendengarkan dengan khidmat,
penasaran dengan kelanjutan kata-kata Ridho.
Ata, yang duduk tepat di belakang Ridho bak Raja yang
sedang menikmati pertunjukan murahan yang sedang dilangsungkan oleh rakyatnya,
tersenyum jumawa. Ia Nampak menikmati hal tersebut. Revenge is sweet!
Apalagi dilakukan tanpa mengotori tangannya tanpa sekali.
Ridho, seperti mengerti apa kemauan Ata, sengaja
mengulur kata-katanya agar seluruh orang makin penasaran. Matanya melihat
sekeliling, mencari sosok orang. Kemudian ia tersenyum melihat Ari berdiri mematung
di barisan belakang, dan Tari berada di sebelahnya dengan wajah sangat pias.
“Nah… itu orangnya di belakang!”
Ridho menunjuk Ari. Sontak semuanya langsung menatap
ke arah Ari. Ari hanya berdiri tenang dengan rahang mengatup. Tapi semua tahu.
Terlihat jelas di mata Ari ada hawa pembunuh!
“Gue mau lo ke depan, Ri.”
Giliran Ata yang berbicara. Ia berdiri di sebelah
Ridho sambil menyunggingkan senyum. Senyum itu mengerikan. Senyum itu berdarah.
Ari pun beranjak dari posisinya. Tapi Tari langsung
menariknya.
“Lo mau kemana?” tanya Tari dengan suara bergetar.
Ari hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung
melepaskan dekapan Tari, kemudian berjalan. Menuju podium, di sebelah Ata.
“Ikutin, Kak! Ikutin!!” pekik Fio sembari mendorong
Oji. Tanpa disuruhpun, Oji sudah melesat di belakang Ari bak bayangannya. Hal
tersebut diikuti Tari yang berjalan seperti zombie, dengan Fio yang berada
disamping Tari untuk membimbingnya berjalan.
“Mau lo apa?” Tanya Ari keras, cukup keras hingga
terdengar sampai lapangan paling ujung.
“Mau gue?” Ata tersenyum. ”Mau gue… ini. Puter, Dho.”
Ari otomatis menolehke arah Ridho yang saat ini ada di
balik podium dengan laptop di pangkuannya. Wajahnya tampak bengis dan hanya
mendengus ketika Ari berusaha berkomunikasi dengannya lewat tatapan. Ridho
mengangguk mantap, menjawab permintaan Ata. Hati Ari mencelos dan diliputi
penuh tanda tanya. Ari memang tidak tahu apa yang sedang berlangsung, tapi
sekarang ia sudah merasa sakit luar biasa. Apalagi, ini?!
Pertanyaan Ari terjawab segera dengan pemutaran sebuah
video yang terpampang jelas di big screen. Jantung Ari serasa
berhenti berdetak melihat video yang diputar Ridho tersebut. Sepertinya tulang
di badan rontok semua dan ingin luruh segera. Tapi harga diri membuatnya tetap
berdiri tegak-tegak menyaksikan video itu. Video beberapa bulan yang lalu.
Video dimana ia berlutut di hadapan Bram, tangan
kanannya Angga.
Yang bahkan kejatuhan Ari disana bukan di hadapan
panglima perang Brawijaya, namun di hadapan anak buahnya!
Suasana langsung riuh. Sebagian yang menyoraki Ari
dengan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Sebagian lagi hanya menyuarakan
kekagetannya. Namun yang paling menyesakkan hati Ari adalah saat mendengar pekik
histeris Tari, saat melihat tatapan kecewa milik Oji, serta... Wajah tanpa
ekspresi milik Ridho.
“Silahkan duduk kembali, Duli Paduka. Izinkan saya
menjelaskan semuanya di hadapan publik,” ucap Ridho sambil menepuk pundak Ata,
tampak sangat akrab. Ia menekankan pada kata ‘Duli Paduka’. Ata tertawa geli
seraya mempersilahkan Ridho untuk mengambil alih.
Ari menatap Ridho dengan tak percaya. Ridho, sahabatnya…
sejak kapan??
Ridho berdiri dua langkah di depan Ari.
”Jadi video ini adalah video beberapa bulan yang lalu.
Di video itu, orang yang kalian anggap ketua suku, panglima perang, atau apalah
namanya, dengan mudahnya tunduk di bawah kaki musuh. Dan itu cuma buat...”
Ridho tertawa licik, kemudian menunjuk ke satu titik. “Ceweknya!”
Refleks, semua orang melihat ke arah Tari. Semua yang
di lapangan melempar pandangan tajam dan tidak suka, seakan ingin menguliti
Tari hidup-hidup!
Tapi Tari tidak peduli. Ia lari ke atas podium.
Berdiri tepat disamping Ari, dengan air mata berlinang. Tangannya memeluk
lengan Ari erat-erat. Ia tahu betul saat itu. Ia tahu betul bahwa itu saat ia
dan Fio jadi tawanan Brawijaya. Dan ia baru tahu bahwa dirinya dilepas karena
sang Panglima Perang berlutut tunduk di kaki musuh!
“Ckckck… corny, tapi gue suka! Jadi semua
orang tahu bahwa biang keroknya elo, Tar!” Ridho tergelak sembari menunjuk
Tari. Kemudian ia kembali memusatkan perhatiannya pada orang-orang yang telah
ramai mengecam Ari dan Tari itu.
”Thank’s to our new hero, Ata, yang saat tawuran
kemarin TIDAK TUMBANG dan dapat membuat Brawijaya kocar-kacir dalam waktu
sepuluh menit! Ata melakukan negoisasi yang hebat dengan Brawijaya sampe
berhasil dapet video itu. Sehingga kita tau, selama ini kita dipimpin sama
orang yang lemah. Lembek. Tidak memprioritaskan harga diri Airlangga! Lo semua
liat! Ini orang yang membuat harga diri Airlangga diinjak-injak musuh hanya
demi cewek!!”
Ridho berkoar-koar dengan sangat provokatif, membakar
hati orang-orang.
“Sialan…” desis Ari pelan hinggahanya Ata, Ridho
dan Tari yang dapat mendengarnya. Ia hentakkan tangannya yang dipegang Tari,
berusaha menyerang Ridho. Ari tidak peduli kalau dia yang diserang. Tapi
membawa Tari dalam masalah ini… itu hal lain! Dan Ari tidak bisa membiarkan hal
itu. Namun tangan Ari yang melayang di udara tiba-tiba saja berhenti sebelum
sempat mengayun.
Ia tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Karena yang
dihadapannya adalah… Ridho.
Ata tertawa mengejek melihat hal itu. Ia berdiri tepat
di depan Ari.
”Jadi lembek lo, sekarang? Udah lupa caranya berantem?”
Jika tadi Ari berhenti karena yang dihadapinya
adalah Ridho, tapi sekarang Ata yang kembali meletupkan bara. Dan Ari sudah
selangkah lagi menuju meledak dan memutuskan untuk melampiaskannya pada Ata.
Namun Ridho terlalu mengenal Ari. Sekali lihat Ridho
tahu, bahwa jika tidak ditahan maka Ari akan menyerang. Ia pun langsung berdiri
di depan Ata, seolah perisai.
”Mundur, lo. Mundur! Atau lo pengen Tari lebih
menderita lagi?!” bentak Ridho.
Lagi-lagi… serangan Ari terhalang lagi.
Ridho kembali memegang kendali di podium. Ia menggeleng,
memasang tampang prihatin.
”Astaga. Baru gue liat sendiri kenyataannya sekarang.
Panglima Perang Airlangga… LEMAH!” Ridho meludah, melecehkan.
“Woy, rakyat Airlangga! Sekarang gue tanya sama kalian
semua. Masih mau dipimpin sama orang lembek kaya gini?!”
Gemuruh suara kompak berseru, “TIDAK MAUUUU!!!”
Dan sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan Ari
mendengar pengkhianatan teman-temannya itu. Dedikasinya, hidupnya, segalanya…
tidak dianggap!
“KUDETA! KUDETA! KUDETA!!”
“Apa? Kudeta?!” Ridho tergelak. ”Baiklah kalo itu mau
kalian. Dengan berat hati, disini… gue mengkudeta elo, Matahari Senja!”
Ridho berbicara tepat di hidung Ari.
“Jadi… siapa yang setuju adanya pergantian tahta?!”
Semua orang, kecuali Oji, Fio, Tari dan Ari, mengangkat
tangan dengan bersemangat. Dan dalam barisan orang yang bersemangat itu
sayangnya termasuk… Ridho. Wajhnya menyeringai bengis.
“Dengan ini… MATAHARI SENJA SECARA SAH DINYATAKAN MUNDUR
DENGAN TIDAK HORMAT DARI JABATANNYA DAN TAMPUK KEKUASAAN DIALIHKAN SECARA PAKSA
KE TANGAN... MATAHARI JINGGA!”
Riuh rendah orang bertepuk tangan dan mengelu-elukan
nama Ata. Ari berdiri mematung dan hanya bisa memandang Ata dan Ridho, dengan
tatapan tajam.
“Sori, Brother…” Ata menepuk bahu Ari,
kemudian pergi.
*
Di taman belakang sekolah. Ari, Tari, Oji dan Fio
duduk saling berhadapan. Tidak perlu dikatakan awan apa yang menyelimuti mereka
saat ini. Tak perlu dijelaskan bahwa hati mereka berempat sama remuknya dengan
alasan yang berbeda-beda tapi serupa.
Sakit hati! Pengkhianatan! Merasa sangat amat tidak
berdaya!
“Maaf, Kak… Maaf…”
Tari menangis tergugu sembari memeluk lengan kanan
Ari. Ari tidak mengacuhkan Tari, masih asyik dengan pikirannya sendiri.
Hati Ari hancur. Remuk. Dikhianati kanan-kiri. Ditusuk
dari belakang. Dan melewatkan banyak hal yang sudah terlihat sejak dulu, meski
samar! Mengapa ia tidak dapat menduga? Sekarang dirinya tampak begitu bodoh.
‘Dibunuh’ dengan sadis di depan seluruh Airlangga… rasanya ia tidak punya harga
diri sama sekali. Tidak ada yang bisa menegakkan ke-aku-annya. Tidak dengan
sahabat yang masih setia disampingnya meski dengan tatapan kecewa. Tidak dengan
gadis yang menjadi separuhnya yang sedari tadi terus menangis dan meminta maaf
karena merasa rasa bersalah. Padahal bukan salah Tari.
Ini salah Ari sepenuhnya, karena ia tidak dapat
membaca apa yang tersirat. Karena ia terlalu terlena dengan sesuatu yang too
good to be true – kembalinya Mama dan saudaranya. Karena ia terlalu
menikmati kebahagiaannya sendiri dan mengira semuanya sudah berakhir sehingga tidak
bisa melihat banyak pertanda yang sekarang baru ia sadari. Harusnya Ari sadar
bahwa segalanya tidak akan berjalan semulus itu. Harusnya ia sadar bahwa memang
memakai topeng adalah takdirnya!
Ini salahnya. Salahnya sepenuhnya! Dan segalanya malah
menjadi semakin rumit, tanpa ia bisa berbuat apa-apa karena kekuasaannya telah
jatuh dengan paksa! Kalau sudah begini, bagaimana bisa Ari melindungi
orang-orang yang ia sayang?
“Diem, Tar! Lo ngebuat semuanya semakin rumit, tau!” bentak
Oji.
Tari terkesiap. Seumur-umur, tidak pernah ia melihat
Oji seperti ini. Oji yang biasanya jahil, yang biasanya cuek, saat ini malah
membentaknya. Tari menunduk, semakin merasa menyesal.
“Maaf, Kak Oji…”
“Maaf nggak ngobatin sakitnya Ari, Tar!” bentak Oji,
lagi. ”Lo pikir, dong, pikir! Apa yang harus lo lakuin buat memperbaiki
semuanya. Hal ini terjadi karena si Bego ini jatuh cinta sama elo, Tar!”
Sebenarnya Oji tidak marah dengan Tari. Ia hanya
terlalu kecewa dengan keadaaan. Terutama dengan Ari yang selama ini telah ia
dewa-dewakan. Ari yang gagah berani. Ari yang kuat. Ari yang tegar. Namun Ari
yang ia lihat tadi pagi hanya diam saja ketika
diserang sedemikian rupa!
Tapi terutama yang membuatnya meradang seperti ini
ialah rasa sakit hatinya. Sangat sakit sekali rasanya melihat seorang sahabat
dihancurkan sehancur-hancurnya oleh sahabatnya mereka sendiri, setelah selama
ini dengan tertatih-tatih sahabatnya itu membuat perisai. Ari telah ditusuk…
tepat dijantungnya!
“Kak Oji jangan nyalahin Tari terus, dong!”
Kali ini Fio angkat bicara. Dengan gagah berani ia
berdiri tepat di depan Oji sambil berkacak pinggang. ”Tari juga nggak mau bikin
Kak Ari sampai sebegininya. Lagipula bukan Tari yang ngekhianatin Kak Ari! Tapi
kembarannya yang nggak tau diri, tuh!!”
Kata-kata Fio sebenarnya membuat Ari ingin tertawa
terbahak-bahak. Pengkhianatan Ata bahkan bukan apa-apa! Ia menyadari dan sangat
mahfum atas apa yang Ata lakukan, meski Ari sendiri tidak mengerti motifnya.
Mungkin memang rentang waktu sembilan tahun selama itu, sehingga membuat Ata
tak lagi ia kenali. Ari paham. Ia menyadari bahwa segalanya tak lagi sama.
Memang tak mungkin keluarganya serta merta menjadi harmonis dan bahagia. Memang
tidak mungkin.
Yang memukulnya telak sebenarnya adalah… Ridho.
Seorang sahabat yang selama ini ia jadikan tempat
sandaran. Yang selama tidak hanya ia anggap sebagai sahabat lagi, melainkan bagian
dari dirinya. Yang kepadanya, Ari rela memperlihatkan kehancurannya yang nyata.
Yang sudah kepadanya Ari bersedia membuka topeng tanpa memasang pertahanan sama
sekali.
Tapi pertanyaannya… Mengapa?
Ari menghembuskan napas, berharap hembusan napas itu
mengeluarkan sesak di dada. Ia merasa sangat tidak berdaya.
*
Ridho menghisap rokoknya dalam-dalam. Otaknya sangat
kacau sehingga ia memutuskan bahwa saat ini ia membutuhkan asupan nikotin.
Sebanyak mungkin!
Tanpa menunggu rokoknya habis, ia langsung melempar
rokok yang baru dua kali hisap itu ke tanah dan memutar-mutarkan putungnya
sampai remuk. Ridho memang bukan perokok, makanya ia tidak sayang membuang
rokok yang masih banyak itu. Ia hanya butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa
dihancurkan. Apapun itu, asal itu mengobati kehancurannya sendiri!
“Sialan! Sialan! Sialaaaaaannn!!!”
Bila saja kepalanya transparan, tentu orang-orang
dapat melihat bahwa otak Ridho sedang berdenyut kemudian membesar… dan hanya
menunggu untuk meledak.
Disini, di kebun belakang sekolah dimana ada pohon
beringin yang terkenal angker, Ridho duduk dan berusaha menenangkan diri.
Dikuatkan dirinya, meski ia hampir mati. Disini, Ridho tidak dapat bersembunyi.
Disini, Ridho tidak bisa berbohong. Hatinya remuk. Melihat Ari dihancurkan
sehancur-hancurnya... sebenarnya menghancurkannya lebih. Melihat sahabatnya di
serang dari berbagai arah, menyakitinya sedemikian rupa. Namun hanya ini… hanya
ini yang dapat ia lakukan agar ia dapat membaca apa yang blur itu. Agar ia
dapat melindungi sebanyak yang ia bisa. Hanya ini yang dapat ia lakukan, meski
harus ditebus dengan perginya ia dari hidup Ari.
Maafin gue, Bro... Tahan sebentar lagi aja, tolong...
“Kak Ridho…”
Ridho memejamkan matanya, membuang kristal yang ada di
pelupuk mata. Kemudian ia melihat ke arah suara. Tari. Matanya sangat bengkak.
Dalam hati Ridho meringis, semakin merasa bersalah.
Tanpa meminta persetujuan, Tari duduk di samping
Ridho. Sejenak, keheningan menyeruak diantara mereka. Hanya desau angin dan
samar-samar suara orang berlalu lalang yang terasa sangat jauh di belakang yang
mengisi keheningan dingin tersebut. Keheningan yang penuh luka.
“Sebenernya apa
rencana Kak Ridho?”
Pertanyaan lembut Tari, namun sarat pengertian,
memecahkan keheningan pekat yang ada disana.
“Maksud lo apa?”
Tari tersenyum tipis. Ada orang bijak yang berkata, people
who love you will never hurt you. And if they do, you will look in their eyes…
they’re hurting too. Karena sudah berpengalaman dalam menangani Ari,
hanya dari sekali tatap Tari melihat bahwa Ridho melakukan hal ini bukan dengan
sukarela. Tari melihat bahwa Ridho juga terluka.
Mata Ridho tidak dapat membohonginya.
*
Gita menekuri novel yang sedang berada di depannya, Namun
pikirannya sama sekali bukan pada novel, melainkan pada kejadian tadi pagi.
Kudeta yang dilakukan Ata pada kembarannya sendiri, meski lewat tangan Ridho.
Tapi Gita dapat melihat dengan jelas bahwa Ata adalah dalang dari semua.
Apakah Ata memang semengerikan itu? Apakah selama ini Gita
salah menerka? Apakah selama ini Gita lalai dalam menilai? Apa ini Ata yang
sama dengan yang kemarin mengobrol
bersamanya hingga tidak tahu waktu? Ata yang sama yang mengantarnya pulang naik
bus, dan masih mengobrol dengan seru disitu? Ata yang berkunjung kerumahnya
tiga hari berturut-turut? Ata yang berhasil mengambil hati kedua orang tuanya
yang biasanya strict pada teman lelaki anak perempuannya?
Ataukah Ata yang hari ini… bukanlah Ata yang
sebenarnya?
Gita memijat pelipisnya. Kepalanya sudah mulai
berdenyut. Ata yang sebenarnya… yang
mana?
“Baca apa, sih? Seru amat.”
Gita terperanjat. Dan seketika ia merasa terpergok.
“Kaget lo sampe segitunya ngeliat gue?” Ata tersenyum
geli. ”Kenapa ngelamun?”
Gita merapikan kembali hatinya yang sempat terjungkir
balik. Tenang, Git. Tenang...
“Kak Ata kok disini? Ada apa?”
Ata tersenyum tipis mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Gita. Yang Ata mengerti konotasi sebenarnya. Memang benar, adik Angga ini… sangat jeli! Dalam hati Ata
memutuskan untuk lebih hati-hati.
“Nggak pa-pa. Gue mau nanyain sesuatu hal sama lo. Eh,
nggak ding... Gue nggak mau nanya. Tapi ini… anggaplah pengkhultusan,” ujar Ata
santai.
Gita menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak mengerti.
“Pengkhultusan... apa?”
“Lo… jadi Ibu Negara, ya?”
-FLOWER-
Wah keren2. Nggak ketebak lanjutannya gimana. Ditunggu yaaaaa :)
ReplyDeleteterimakasih. ini ada sedikit update an silahkan dibaca :)
ReplyDeletemakin seru.. apa2an itu ridho??! hahaha.. ditunggu next partnya.
ReplyDeleteterima kasih . selamat membaca part selanjutnya yaa :)
Deletekereeen bangeettt....aq sampe kebawa suasana....
ReplyDeletelanjutannyaaa doong,,
terimakasih :) lanjutannya sudah ada, selamat membaca :)
DeleteBikin deg deg an serius. ckckck..
ReplyDeletekami juga deg deg an, makasih udah baca yaa :)
Delete