Ari melepaskan bibirnya dari kening
Tari. Mereka saling menatap, melihat jendela jiwa masing-masing, mencoba
menyusuri kedalamannya. Kedua tatapan itu tak terdefinisi. Ada permohonan untuk
tetap tinggal sekaligus binar lelah menghadapi kenyataan. Namun satu yang
jelas, ada jelaga yang nampak disana. Pekat terlihat begitu nyata.
Kecupan itu, meski dingin dan membuat
Tari gemetar, dilakukan dengan sepenuh jiwa, sepenuh raga, seakan meniupkan
separuh ruh disana. Kecupan itu begitu dalam, menyampaikan banyak perasaan yang
tidak sempat diutarakan. Kecupan itu membawa seluruh luka dan perih. Kecupan
itu sekaligus memutus rantai takdir yang mematerai antara dia dan lelaki yang
ada di depannya ini!
Sebagai salam perpisahan, Ari memeluk
gadis yang ada depannya erat. Sangat erat, sehingga siluet menggambarkan mereka
sebagai satu kesatuan.
Tari menggigil hebat meski tubuhnya
tidak kedinginan. Pelukan itu begitu menyesakkan dadanya sehingga ia kesulitan
bernapas. Pelukan itu begitu menyakitkan, membuat kepalanya hampir pecah.
Pelukan itu serasa merontokkan tulangnya dan menjadikannya serpihan. Ia tak
punya tenaga lagi untuk berdiri. Untuk menopang tubuhnya, tangannya menggelayut
erat pada leher Ari dan menundukkan wajahnya di dada lelaki itu dalam-dalam.
Ari memejamkan mata. Sama sekali tidak
ada niatan untuk melepas pelukannya. Karena gadis ini adalah pusatnya. Gadis
ini adalah separuh jiwanya. Namun ia telah berjanji. Ini memang harga mahal
yang harus ia bayar: meminum racun yang Ata sodorkan padanya. Nampaknya Ari
tidak punya pilihan selain menguatkan hati dan mengabaikan rasa hancurnya.
Dilepaskannya pelukan itu seraya mendorong Tari menjauh. Pemandangan yang ada
setelah itu membuat dadanya serasa dipukul oleh godam.
Begitu pelukan itu terlepas, Tari
langsung terkulai lemas. Air matanya mengalir deras dan mati-matian ia menahan
isaknya, yang menyebabkan Tari megap-megap, kesulitan bernapas. Gadis itu
menatap Ari tepat di manik mata, tajam.
Ari meremas tangannya. Mati-matian
ditahannya hasrat untuk memeluk lagi gadis yang ada di depannya ini, untuk mengatakan
kalimat-kalimat penghiburan, atau setidaknya kepastian bahwa apapun yang
terjadi, dia masih ada disamping gadis itu. Namun kenyataannya tidak bisa
seperti itu. Lebih dari siapapun, harusnya Tari mengerti. Dan kalaupun tidak
bisa, dicobanya membuat Tari mengerti.
Ari berlutut agar sejajar dengan Tari.
Dengan pandangan memohon, ia menatap Tari, ”Tolong… jangan bikin jalan gue
tersendat…” bisiknya serak.
“Lo berusaha mati-matian ambil hati gue.
Setelah berhasil, lo balikin lagi ke gue dan nyerah gitu aja. Lo pikir lo
siapa, hah, bisa mainin hati gue seenak jidat lo kaya gitu?!” jerit Tari,
histeris. Air matanya kembali menderas. Ia tergugu.
Bukannya Tari tidak melihat kehancuran
di mata seseorang yang telah memiliki hatinya dengan sempurna. Bukannya Tari
tidak melihat bahwa batin Ari juga tersayat dengan keadaan ini. Tari lebih dari
mengerti bahwa perang ini adalah perang yang tidak dapat mereka menangkan. Tapi
apakah akhirnya harus seperti ini? Setelah kejadian-kejadian yang menorehkan
luka dan air mata, setelah berbagai peristiwa yang menguras hati… mengapa ia
menyerah secepat ini? Tanpa perlawanan, pula!
“Maaf...” bisik Ari singkat, sebelum kemudian
ia berdiri dan pergi. Langkahnya terseok dan nampak berat. Namun ia tetap
berjalan, sama sekali tidak menoleh ke belakang. Karena ia menyembunyikan air
matanya, simbol kekalahan mutlaknya, kepada gadis yang telah menuntunnya ke
jalan pulang dan telah dijanjikannya banyak tawa.
Tari menangis. Dengan sisa-sisa
kekuatannya, ia mencoba berdiri. Dengan segenap kekuatannya ia berkata, ”Denger,
Matahari Senja! Mungkin lo udah nyerah, tapi gue nggak! Denger itu! Gue nggak
akan menyerah atas elo!”
Teriakan Tari nyaris membuat langkah Ari
terhenti. Hatinya menghangat, namun ia tetap kukuhkan niatnya untuk pergi.
Karena memang lebih baik begini.
*
Meski hanya terlihat gerakan-gerakan
samar tanpa bisa mendengar pembicaraan sama sekali, sangat terlihat jelas bahwa
situasi di lantai tiga sana, yang sedang dihadapi Ari dan Tari berdua, bukanlah
situasi yang menyenangkan. Pembicaraan yang terjadi sudah dapat dipastikan
berdarah. Setiap gerakan samar mengisyaratkan adanya pergolakan batin yang
sangat hebat. Dari jauh, sudah tercium aroma perpisahan!
Pemandangan yang terlihat sangat
memilukan. Pelukan yang setelahnya mengakibatkan Tari meluruh, langkah kaki Ari
yang berbalik arah yang hanya bisa ditatap nanar oleh Tari… benar-benar pemandangan
yang tragis. Karena hanya sesuatu yang besar dan hebatlah yang dapat membuat
dua orang dengan kisah cinta melegenda di Airlangga memutuskan untuk
mengucapkan sayounara!
Keadaan itu menimbulkan sejuta tanya
bagi para penonton yang melihat. Ini
sebenarnya ada apa? Mengapa jadi begini? Ata, Ari dan Tari sebenarnya ada
masalah apa?
Spekulasi yang tidak mendekati kebenaran
sama sekali pun berkembang.
Ata naksir Tari, tapi tidak tergapai
karena gadis itu sudah berpacaran duluan sama Ari. Makanya Ari dan Ata adu
basket sebagai unjuk kekuatan. Dalam perang basket itu, Ari kalah. Karenanya,
Ari harus meninggalkan Tari atas permintaan Ata
Spekulasi yang aneh dan bisa langsung membuat
rambut Tari keriting ketika mendengarnya. Namun, dengan spekulasi itu, timbul berbagai
macam simpati pada Ari dan langsung men-judge
Ata sebelah mata.
“Liat perbuatan lo, Bangsat!!!”
Melihat sahabatnya dihancurkan
berkali-kali, melihat sahabatnya diserang dari segala arah, melihat segala yang
dipunyai sahabatnya gugur satu per satu sangat menyakitkan hati Oji. Puncaknya
hari ini. Melihat benteng pertahanan sahabatnya, sekaligus kepada perempuan
dimana sahabatnya menaruh jiwa, direnggut begitu saja oleh Ata – saudara kembar
sahabatnya sendiri! – bahkan tanpa perlawanan yang berarti, benar-benar membuat
Oji remuk redam! Ia murka, sangat murka.
Dengan emosi yang menggelegak di kepala,
ia seret Ata ke pojok ring, alih-alih melempar Ata kesana. Dicengkramnya kerah
Ata.
Emosi Oji ini nampaknya adalah kekuatan
tambahan untuk Ata. Emosi Oji ini sudah menguasai hati dan pikiran sehingga ia
tidak melihat tatapan bengis Ata yang siap membunuh. Kekuatan Oji memang besar,
namun Ata lebih besar lagi. Dibantingnya Oji sampai ia terjengkang. Ditariknya
kerah cowok itu dan dipukulinya berkali-kali. Perlawanan Oji tidak menimbulkan
efek apapun bagi Ata yang kalap.
“Lo tau apa?! Lo itu orang luar dan nggak
usah kebanyakan ikut campur! Lo pikir lo siapa, hah?! Polisi moral?!?”
Semua orang terkesiap, terhenyak. Belum
pernah mereka lihat sisi Ata seperti ini. Ata yang ramah, Ata yang pintar, Ata
yang kesayangan guru-guru. Sekarang yang terlihat Ata yang kalap. Nampak
garang. Nampak ganas. Sangat menakutkan! Ata yang ini… mirip sekali dengan Ari,
dulu!
Ridho buru-buru menengahi adu jotos yang
tidak imbang itu, sebelum Oji benar-benar menjadi bubur. Setelah diusirnya
kerumunan, ia langsung melesat ke area pergulatan tersebut. Ia meringis melihat
kondisi Oji yang sudah babak belur, namun masih berusaha untuk melawan.
Sia-sia. Kekuatan Ata yang kalap, membuat Ata seperti monster yang tidak kenal
kata ambruk. Oji hanya sandsack.
“Cukup, Ta!” Ridho, berdiri dengan gagah
berani di depan Ata. Pipinya sempat terkena ‘hadiah’ bogem mentah dari Ata
sebelum Ata menyadari siapa orang yang berdiri di depannya. Ata mendesis geram.
“Lo nggak usah ikut-ikutan, Dho!
Minggir! Biar gue tunjukin kejongosnya
Ari itu, dengan siapa dia berhadapan!! Biar dia nggak seenaknya ikut campur
kaya begini!!” bentak Ata yang kemudian mendorong Ridho menjauh. Tapi Ridho tak
gentar, ia terus membayangi Ata.
“Nggak usah lo halangin, Dho!!! Dikira
gue takut, apa, sama dia?!” Oji yang tersulut emosi langsung berlari
menyongsong Ata. Mukanya yang sudah babak belur dan badannya yang nyaris remuk
tidak ia pedulikan.
“Goblok! Gak usah cari mati!!” Ridho mendorong
Oji hingga Oji jatuh tersungkur. Dan kepada Ata ia berteriak,”Cukup, Ataaaa!!!
Udah cukup lo sakitin satu sahabat gue! Gak usah merembet ke sahabat gue yang
lainnya!!”
Seketika Ata langsung menghentikan
langkahnya. Ia memandang Ridho dengan pandangan tak percaya. Perkataan Ridho
barusan… apa ia tidak salah dengar bahwa Ridho, yang katanya sudah jenuh dengan
segala kebossyan Ari, sekarang balik
membela kubu itu lagi? Ata ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan angin.
Dibiarkannya Ridho menyelesaikan perkataannya.
“Lo…” Ridho mendesah. ”bener-bener udah
keterlaluan. Apapun yang Ari udah lakuin, terlepas itu udah nyakitin lo segala
macem… Dia nggak sengaja. Nggak saharusnya dia ngebayar sesuatu yang dia nggak
tau, Ta.”
Ridho kemudian membantu Oji berdiri dan
memapahnya. Setelah berhasil membantu Oji bangkit, Ridho, dengan Oji dalam
rangkulannya, menoleh kearah Ata, seakan ada sesuatu yang lupa ia sampaikan.
“Ari sahabat gue, Ta. Dari dulu tetap
begitu. Nggak ada makar.”
Ata hanya bisa tercengang sembari
menatap punggung Ridho yang semakin menjauh.
*
Keadaan hampir kembali seperti dulu.
Orang itu ada dalam jangkauannya, tapi tak teraih. Ari tertawa miris. Setelah
jatuh-bangun berbulan-bulan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan dan menyakitkan,
setelah semuanya ia lakukan… ia kembali seperti ini. Sendiri.
Dahulu Ari mengenal definisi sendiri
berarti keadaan rumahnya yang kosong dan dingin. Sendiri berarti perasaan hati
yang disekop dalam-dalam akibat ketiadaan Mama dan kembarannya. Sendiri berarti
meski dia harus memakai ‘topeng’ setiap hari, setiap waktu, sebagai bentuk
pertahanan. Sendiri yang itu… sendiri yang menyedihkan. Menguras tenaganya
karena raga, otak, hati dan pikirannya terus-menerus dipakai berperang. Sendiri
yang itu masih bisa dienyahkan dengan membuat perkara dan kegaduhan di sekolah.
Namun ternyata ada definisi kata
“sendiri” yang baru saja Ari kenali. Yang tidak jauh berbeda, namun efeknya
sangat menghancurkan.
Sendiri berarti, meski Mama dan Ata ada
di dekatnya, namun hatinya tetap hampa. Sendiri berarti, setelah membuka
‘topeng’nya di depan dua sahabatnya, ia tidak bisa merdeka seperti yang
diharapkannya. Sendiri berarti, dengan sangat terpaksa dan suka maupun tidak
suka, dia harus berjalan tanpa penopangnya, tanpa ada yang memandunya.
Definisi kata “sendiri” yang ini…
meluluhlantakkan. Merontokkan jiwanya dan mengosongkan hampir seluruh ruhnya.
Sendiri yang ini sama sekali tidak bisa diperbaiki.
Sungguh ironis, karena Ari tidak
menyangka semua ini akan menimpanya. Ari pikir ia sudah bahagia, segalanya akan
baik-baik saja. Sepertinya Tuhan sedang mengajaknya bercanda. Diberi-Nya Ari
rentetan ‘perang’ bertubi-tubi, tanpa jeda dan banyak kejutan di dalamnya yang
sama sekali tidak disangka. Dan untuk kejadian ini… tidak ada yang dapat Ari
lakukan.
Sekarang, disinilah ia berada. Berdiri
depan di rumah Tari pada pukul dua dini hari. Gadis ini sumber kekuatannya,
juga sumber kerapuhannya. Dan untuk kebaikan gadis itu sendiri, terpaksa ia
tempatkan gadis itu di tempat terjauh dari dirinya, dari hatinya. Karena ia
sudah berjanji pada dirinya sendiri, agar tidak menghapus senyuman yang
tersungging di bibir gadis itu. Dengan tetap berada disampingnya, ia hanya akan
menyeret Tari dalam masalah.
Disinilah Ari berada. Berdiri di depan
rumah Tari pukul dua dini hari. Setelah kejadian tadi siang, ia harus pastikan
bahwa Tari baik-baik saja. Karena ia sangat khawatir pada gadisnya itu.
Gadisnya tidak berhenti menangis setelah ia berbalik. Masih belum berhenti
menangis ketika Fio menghampirinya. Tari masih menangis ketika ia dan Fio
dihampiri oleh Ridho serta Oji yang babak belur. Tangis itu baru berhenti
ketika Tari sudah kelelahan dan akhirnya tertidur di pelukan Fio dengan wajah
yang pucat. Ari sendiri benar-benar harus menguatkan hati agar tidak berlari
dan memeluk gadisnya saat itu.
Sekarang, sudah pukul dua lebih dan
lampu di kamar Tari belum dimatikan juga. Siluet seorang gadis yang sedang
mondar-mandir, bermain puzzle yang
kemudian diserakkan lagi dan yang duduk termenung di dekat jendela, menandakan
bahwa si empunya kamar belum tidur, membuat hati Ari makin nelangsa.
Dan ketika sampai pukul tiga dini hari lampu
kamar Tari belum mati juga, disusul siluet gadis itu masih bergerak… Ari
langsung memutuskan sesuatu. Keputusan yang mencabik dirinya sendiri, namun itu
yang terbaik bagi semua pihak. Lo gadis
tangguh, Tari… lo harus tangguh.
*
Airlangga gempar! Setelah adanya adu
basket yang lebih mirip gladiator antara Ata dan Ari, Panglima dan Mantan
Panglima Perang Airlangga, yang berakhir dengan kekalahan Ari dan putusnya
hubungan Ari dan Tari, kini mantan orang nomor satu di Airlangga itu…
menghilang! Sudah seminggu Ari tidak masuk sekolah dan tidak pulang kerumah,
tidak ada yang tahu keberadaannya. Termasuk Ayah Ari dan kedua sahabat Ari –
Ridho dan Oji.
Yang membuat ngilu adalah selama
seminggu itu, orang-orang selalu menemukan pemandangan Tari yang terus-terusan
menangis atau berjalan dengan mata sembab dan wajah pucat yang tanpa ekspresi
seperti zombie. Di kelas pun Tari hanya mencatat seperti robot dan kelihatan
linglung jika ditanya. Benar-benar pemandangan yang sangat mengenaskan.
Herannya lagi... Ata, yang mana telah
menjadi sumber perkara, terlihat sangat santai dan tenang-tenang saja. Otomatis
semua langsung berspekulasi bahwa Ata yang membuat mantan Panglima Perang tidak
menampakkan diri!
Hilangnya Ari diikuti oleh pemunculan
sifat asli Ata: beringas, dingin dan menakutkan. Bahkan, melebihi Ari dahulu.
Bila Ari masih bisa “disentuh”, maka Ata ini tidak teraih. Ata seperti lava
yang menggelegak. Menghancurkan semua yang ia lewati. Tiada hari tanpa adanya
salah seorang korban tak bersalah, menjadi sandsack
pelampiasan Ata. Ata yang sekarang seperti monster.
Kerinduan mereka terhadap hadirnya Ari
pun makin menjadi…
*
Karena setiap air mata yang keluar,
tidak bisa dihentikan. Tiap air mata adalah simbol cinta yang begitu dalam,
sekaligus kepedihan karena orang itu ada namun tak teraih. Ketiadaan Ari dan
ketidakjelasan kabarnya membuat Tari sangat terpuruk. Menangis adalah tempat
Tari berlari ketika semuanya sudah tidak tertahankan lagi. Menangis itu
melelahkan. Menangis itu menguras tenaga dan hati. Apalagi bila dilakukan
hampir setiap hari dan setiap waktu.
Tari asalnya wanita tangguh yang jarang
sekali menangis. Namun permasalahan Ari ini menjadikannya wanita slang air yang
menangis tiap detik, tiap waktu. Ia sangat lelah menangis. Ia juga kasihan
dengan Fio yang mau tidak mau harus mendampinginya karena terkadang ledakan
tangis ini terjadi tiba-tiba. Lelah, ia lelah menangis. Semakin ia sering
menangis, semakin hatinya terasa berat. Menangis berarti menegaskan ketiadaan
Ari disisinya nyata adanya. Selama ini Tari tidak pernah tahu bahwa
ditinggalkan Ari bisa semenyakitkan ini. Ditambah kenyataan, Ari-nya
menghilang. Benar-benar hilang, tidak ada yang tahu dimana keberadaannya.
Tari merasa ini semua salahnya. Karena
dialah Ari pergi. Lebih dari siapapun, Tari sangat memahami Ari. Dan Tari tahu
betul bahwa alasan Ari pergi adalah dirinya. Begitu cintanya Ari padanya,
sehingga apapun akan Ari lakukan untuk melindungi dirinya. Untuk tindakan Ari
sekarang, Tari kurang sependapat. Rasanya Tari ingin sekali menyeret Ari ke
depannya, kemudian diperlihatkannya pada Ari mata bengkak karena kebanyakan menangis
ini. Jelas, tanpa Ari, Tari sangat berantakan.
Kemudian Ata… ah, apa yang bisa Tari
jelaskan? Melihat Ata, Tari lebih nelangsa. Karena dalam Ata, ia lihat sosok
Ari yang dulu. Yang cadas dan selalu memakai topeng sebagai benteng pertahanan.
Kedua kembar itu… memakai cara yang sama untuk melindungi hati dari trauma yang
dulu mereka peroleh. Tari mahfum dengan alasan Ata. Yang Ata lakukan adalah
simbol kekecewaan. Yang Ata lakukan adalah perwujudan rasa pahitnya yang
dipendam bertahun-tahun. Kepada seseorang yang telah menjalani begitu banyak
emosi, bagaimana Tari bisa menyalahkan?
Tari menghela napas. Terlalu banyak yang
terjadi dalam waktu yang singkat. Dilempar nyeri bertubi-tubi membuat gadis
setangguh Tari menjadi slang air.
Karena tiap air mata, akan menjelma
sebagai doa. Dalam sujudnya, Tari berharap agar semuanya segera baik-baik saja.
*
Oji mengintip dari jendela X-9. Ia
mendesah, ikut nelangsa. Lagi-lagi ia disuguhi dengan pemandangan Tari yang
menangis. Ingin rasanya ia peluk Tari
erat-erat agar air matanya tidak mengalir.
Namun Oji paham betul bahwa kehilangan
separuh jiwa dapat membuat orang sekuat apapun tidak bisa mengontrol emosinya.
Terlebih lagi, sebagai salah satu orang yang dekat dengan Ari, Oji bisa
mengerti segala kekhawatiran, kecemasan dan segala perasaan yang berkecamuk di
hati Tari. Karena ia pun merasakan hal yang sama. Jika saja dia wanita, maka
dia pun juga akan ikut menangis bersama Tari. Berhubung dia masih lelaki –
tulen lagi – maka untuk mengusir rasa sesaknya, hal yang ia lakukan adalah
menganggu Ridho yang kebetulan sekarang ada di sampingnya, ikut mengintip Tari.
“Gue baru tau ada orang yang bisa
memproduksi air mata sebanyak itu.” Oji menggeleng, tampak prihatin. ”Gue rasa
kalo dikumpulin air mata Tari bisa buat mandiin gajah sampe kinclong.”
Oji tetaplah Oji. Yang selalu bisa
melihat celah humor dalam situasi apapun. Yang dapat melontarkan jokes mesti hatinya sendiri juga
teriris.
“Ck… gue rasa itu air mata bisa buat
ngeguyur Ari supaya sadar kalo dia harus berhenti bersikap sok pahlawan dan
ninggalin Tari dalam kondisi kacau begitu!” sahut Ridho jengkel. Ia rangkul
Oji, kemudian berjalan menuju kelasnya sendiri. Acara mengawasi Tari menangis
sudah cukup hari ini.
“Belum tau keberadaannya Ari, Dho?” Tanya
Oji, kembali serius.
Ridho menggeleng lemah.
”Belom, Ji. Bahkan Bokapnya juga
kelimpungan nyariin dia. Tapi beliau nggak bisa lapor polisi, karena Ari bukan
tergolong anak ilang. Dia rutin ngehubungin Bokap-Nyokapnya.”
“Lho, kalo gitu bisa aja kita minta nomornya
ke Tante terus kita seret itu kunyuk kesini biar dia liat dampak perbuatan dia
kayak apa!”
“Nggak bisa. Nomornya selalu
ganti-ganti.” Ridho menghela napas, frustasi.
Oji menepuk bahu Ridho, seakan
menenangkan. Ia tersenyum. Senang rasanya bisa berkumpul kembali dengan
sahabatnya yang satu ini. Rasanya sudah berabad-abad ia kehilangan Ridho akibat
ulah Ata. Sekarang, sahabatnya kembali. Seperti keajaiban.
Seakan tersengat, Oji melonjak. Ia ingat
ada sesuatu yang sudah lama ia ingin tanyakan pada Ridho.
”Dho… jadi yang kemaren-kemaren itu… lo
sama Ata…?”
Ridho nyengir, merasa bersalah sekaligus
bangga.
”Itu strategi, bego. Devide et impera. Kita deketin musuh
buat tau kelemahannya,” jelas Ridho
seperti mengajari anak TK.
“Terus, apa yang lo dapet? Ata cerita
apa aja?”
Ridho mendesah. Ia menarik Oji ke pojok
koridor yang sepi, untuk meminimalisir orang-orang yang ingin mencuri dengar.
Bersama Oji, ia ceritakan sekeping demi sekeping puzzle yang menjawab sejuta tanya. Tentang masalalu Ari dan Ata.
Tentang konspirasi dengan Angga. Tentang perasaan dan alasan Ata. Terakhir,
tentang Kirana.
Mendengar cerita Ridho tersebut, Oji
hanya bisa mengangguk, melongo, ternganga dan kombinasi dari tiga itu.
Segalanya benar-benar tidak terduga, segalanya benar-benar tidak terprediksi.
Menyatukan puzzle-puzzle itu membuat
semuanya menjadi masuk akal. Meski itu tidak dapat dijadikan alasan pembenaran.
“Terlepas dari itu, kita masih punya
pe-er yang besar,” Ridho menghela napas, seakan ada beban yang sarat di
pundaknya. ”Angga.”
*
Gita mengintip dari jendela X-9. Ia
mendesah, ikut nelangsa. Lagi-lagi ia disuguhi dengan pemandangan Tari yang
menangis. Ingin rasanya ia peluk Tari erat-erat, seakan menambah kekuatan. Atau paling tidak menangis
bersama agar seluruh beban tidak terlalu berat.
Namun beban yang disandang Tari saat ini
tidak terbagi. Dan Gita sadar betul hal itu. Tidak ada satu hal pun yang dapat
ia lakukan, betapapun ia ingin membantu Tari. Dalam hati ia ikut sedih, merasa
bersalah. Hal ini terjadi karena Angga, kakak sepupunya dan “pacarnya”.
Berbicara mengenai Ata, Gita sudah tidak
bisa berkata-kata. Ata ini susah untuk dijangkau. Ata ini tidak terbaca.
Kedekatan mereka yang terlihat mesra, hanya dipermukaan saja. Pada setiap
tatap, tidak pernah menyelam ke dalam jendela jiwa. Pada setiap rangkulan, Ata
tidak pernah memeluk Gita dengan keseluruhan jiwa. Pada setiap tawa, Ata tidak
membiarkan Gita masuk di dalamnya. Gita tidak bisa mendekat, karena Ata telah
menggariskan batas tegas yang tidak boleh Gita lewati sama sekali. Tidak
dibiarkannya Gita mendekati batas itu.
Kata “Ibu Negara” memang betul-betul
secara de facto saja. Karena pada
kenyataannya, hubungan antara Ata dan Gita memang hanya simbol belaka. Tidak
ada hati yang berbicara disana. Ironis sekali, bukan?
Tapi Gita tidak mau menyerah. Persoalan
ini harus selesai, bagaimanapun caranya, apapun resikonya.
Sekelebatan ia lihat Ata sedang berjalan
menyusuri koridor seberang. Gita langsung menghampirinya. Ata mengangkat alis,
agak kaget. Karena tidak biasanya “pacar”nya ini menemuinya terlebih dahulu.
Apalagi, sorot mata “pacar”nya itu tidak seperti biasanya yang lembut dan
polos. Sorot mata ini… sorot kemurkaan juga kekecewaan.
“Ada apa?”
“Kakak puas dengan kondisi kaya gini?” tembak
Gita langsung, tanpa ampun. Sepertinya tangisan Tari memupuk keberaniannya,
memicu kekuatannya dan membuatnya meledak seperti sekarang.
”Jadi… ini yang Kak Ata mau? Liat Tari
nangis setiap hari. Liat Kak Ari ilang entah dimana. Kakak bikin semua hubungan
hancur. Percuma ada di posisi tertinggi, tapi dengan cara mematikan orang
lain!”
“Git!” tangan Ata sudah melayang, namun
seketika ia tersadar siapa yang dihadapinya dan urung melakukan kekerasan fisik
itu. Sebagai gantinya ia memukul pilar yang ada di belakang Gita.
Hampir ditampar seperti itu, Gita
terkejut. Ia tidak menyangka betapa sensitifnya perkataannya barusan hingga
membuat Ata lepas kendali. Dengan tatapan nanar, ia tatap Ata. Kedua tangan
Gita yang gemetar menyentuh pipi Ata, lembut.
”Maafin saya, Kak,” bisik Gita dengan
suara bergetar, menahan isak.
Ata menarik napas panjang. Ia memejamkan
mata, kemudian ia turunkan tangan Gita dari pipi menuju dadanya. Dada yang
berdegup sangat kencang, seperti ingin melesak dari tempatnya. Dadanya sangat
sesak.
”Sakit, Git.”
Gita nyaris tak bisa membendung air
matanya. Ini pertama kalinya… Ata membiarkannya melangkah lebih jauh! Ini
pertama kalinya Ata membiarkannya mendekat. Terharu, Gita pun memeluk Ata.
”Saya nggak akan ninggalin Kak Ata…”
*
Angga dan Bram. Keduanya ada di taman
belakang rumah Angga, duduk berhadapan. Yang satu sedang menggebu-gebu
bercerita, yang satunya menjadi pendengar yang baik dan menahan seulas senyum
juga perkataan, ”I’ve told you so!”
Keadaannya begitu lucu. Angga ternyata
bekerja sama dengan orang yang ternyata adalah sumber petaka, biang kerok
masalahnya. Dan bahkan ia menitipkan “adiknya” yang satu lagi pada si biang
kerok itu! Angga merutuki kebodohannya. Ia meminta maaf pada Bram karena telah
mengabaikan perkataan Bram dulu.
“Terus rencana lo sekarang apa?” Tanya
Bram, setelah mendengarkan curhatan Angga dengan khusyuk.
“Bales Ata, apalgi!” jawab Angga, geram.
“An eye for an eye, Bram!”
“Terus Gita gimana?”
Ata berdecak. Bram ini! Tidak bisakah sekali saja mengesampingkan perasaan
pribadinya dengan adiknya itu? Ia ingin mengatakan hal tersebut pada sahabatnya
itu, tapi urung karena ia melihat Mbok Narti, asisten rumah tangga yang sudah
lima tahun mengabdi, tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Mas, Mbak Gita sudah datang.”
“Makasih, Mbok. Nanti saya temuin di
ruang tamu,” ujarnya pada Mbok Narti. Dan pada Bram, ia memperingatkan, ”Lo
jangan mengacaukan segalanya dengan acara ngomel-ngomel nggak jelas ke Gita!”
“Ngomelin gue apaan?” sahut Gita, yang
ternyata sudah berada di depan Angga. ”Jadi gue dipanggil kesini cuma buat
diomelin, nih?”
“Bukan diomelin, tapi dinasehatin,”
ralat Angga. “Jadi, Git, maksud gue nyuruh lo kesini –“
“Lo… brengsek!” desis Gita tajam,
memotong perkataan Angga. “Lo tau perkembangan terbaru yang terjadi di
Airlangga berkat kerjaan elo? Nggak. Pasti lo nggak tau. Karena otak lo udah
ketutup sama ambisi untuk bales dendam dan mata lo udah gelap jadi nggak bisa
ngeliatberapa banyak orang yang udah lo tusuk, yang bahkan enggak bersalah sama
sekali, buat nuntasin dendam lo itu!”
Gita menatap Angga tajam. Napasnya sedikit
tersengal karena emosi yang menggelegak membuat dadanya sesak. Angga surprised sekaligus bingung karena
tiba-tiba diserang oleh adik sepupunya. Pasti ada kejadian mahahebat sehingga membuat
adiknya yang biasanya kalem itu jadi muntab.
“Bisa lo jelasin kenapa tiba-tiba lo ngomelin gue begini?”
Gita menghela napas panjang. Ia
ceritakan kehebohan yang melanda Airlangga beberapa hari terakhir ini. Tentang
perseteruan Ata dan Ari yang terang-terangan. Tentang adu basket yang
menyebabkan putusnya Ari dan Tari. Tentang menghilangnya Ari. Tentang Tari yang
menjadi manusia slang air separuh zombie; sangat kacau.
Angga sendiri tidak menyangka bahwa
perkembangannya akan seperti itu. Pertikaian antara Ata dan Ari adalah kabar
baik untuknya, namun depresinya Tari membuatnya sangat tertohok. Untuk itu ia
hanya bisa menyayangkan dalam hati. Lo
nggak akan begitu kalo elo lari ke gue, Tar.
“Sebenernya mau sampe kapan, sih,
bales-balesan begini berlangsung? Perang nggak berkesudahan kayak gini emangnya
nggak bikin kalian capek, apa?!” Gita mendengus kesal. ”Lo liat Tari, Ga. Dia
udah bisa dibilang hidup yang nggak hidup. Tolong… hentikan, Ga.”
Gita mengucapkan permohonannya dengan
suara lemah. Matanya langsung menatap Angga. Ada permohonan yang sarat disana.
Untuk berhenti. Untuk menyerah. Untuk meletakkan beban itu jauh-jauh di
belakang. Apa yang telah terjadi ya sudahlah, tidak ada yang bisa dilakukan
lagi kecuali mengikhlaskan segalanya. Namun Angga tidak mengindahkan tatapan
Gita. Hatinya masih keras. Angga malah balik menatap Gita, tajam.
“Lo pikir gue lakuin ini buat siapa?
Jelas, gue juga nggak seneng-seneng disini, Git! Gue cuma ngelakuin apa yang
berhak mereka dapetin!” bentak Angga.
“Bukan cuma elo yang ngebawa luka hati,
Ga! Mereka – Ata dan Ari – udah punya masalah yang cukup berat tanpa lo harus ikut
campur dan ngebawa kepentingan lo disana!” jerit Gita frustasi karena Angga tak
kunjung mengerti. ”Demi Tuhan, Angga… kenapa lo nggak ngerti-ngerti juga!”
“Lo itu yang nggak ngerti!! Udah, Git,
cukup elo ikut dalam kancah peperangan ini! Lo sebaiknya out dan nggak usah ikut campur lagi! Jauhin Ata!”
Gita histeris mendengar perkataan Angga
barusan. “Emangnya lo siapa nyuruh-nyuruh gue jauhin Ata?!!”
“Gita!
NURUT!!”
“NGGAK!!”
Kedua orang itu, Angga dan Gita, saling
menatap, saling garang. Sama-sama keras hati dan mempertahankan apa yang
menurut mereka benar. Egoisme mereka yang berbicara. Sama-sama tidak ada yang
mau mengalah. Angga, dengan dasar untuk melindungi orang yang ia sayang. Gita,
dengan dasar untuk melindungi orang yang sama sekali tidak bersalah. Semua
alasan itu valid. Tidak ada yang sangat benar atau sangat salah.
Bram sedari tadi hanya diam melihat
perdebatan kakak beradik itu. Sebenarnya ia agak geli, karena Angga dan Gita
sangat mirip ketika sama-sama sedang ngotot. Tapi diingatnya bahwa perdebatan
ini bukan perdebatan antara adik dan kakak yang sedang memperebutkan remote TV. Perdebatan ini mengenai suatu
hal yang dapat mengacaukan rencana Angga dan membahayakan keselamatan Gita itu
sendiri. Karenanya, diputuskanlah dirinya untuk ikut bicara. Dengan hati-hati
Bram memilih kata-katanya.
“Git, lo dengerin Angga. Yang dihadepin
ini bukan main-main, lho,” bujuk Bram.
Gita menatap ke arah Bram. Matanya
mendelik, sorot matanya begitu keras dan tajam. Gita benar-benar murka.
”Justru karena ini nggak main-main, gue
minta kalian berhenti!”
Mata Angga melebar seakan Gita
menyuruhnya memakan rumput di halaman belakang.
”Lo…”
“Git…” Bram memotong perkataan Angga,
sengaja untuk menghindari pertikaian yang lebih hebat antara Angga dan Gita. ”Coba
aja lo tau alesan Angga berbuat seperti ini. Lo pasti akan maklum… terus –“
“Jangan bilang ini soal Kirana!” potong
Gita, kemudian ia tertawa histeris. “Lo sebaiknya nggak usah bawa-bawa Kirana.
Nggak ada kaitannya Kirana dengan masalah ini!”
“Nggak ada kaitannya gimana maksud lo?!”
emosi Bram mulai tersulut menghadapi Gita yang benar-benar keras kepala . ”Kirana
ini… Ata dan Ari…”
“Gue udah tahu cerita tentang surat
Kirana yang disobek Ata alih-alih Ari, terima kasih,” sela Gita dingin. ”Okelah
kalo dasar kalian itu buat ngebales orang yang nyakitin Kirana. Tapi Ari sama
sekali nggak tau apa-apa. Ata sendiri juga bukannya nggak punya alesan…”
Sebagai “pacar” yang baik dan
pengertian, ketika Ata sangat kacau pasca didatangi Papanya di sekolah, Gita
bermaksud menghibur Ata siang itu. Definisi menghibur disini adalah, duduk di
samping Ata dan menceritakan sebuah kisah dari novel yang ia baca. Namun
alangkah terkejutnya Gita ketika menghampiri Ata dan Ata sedang kalap. Ata
menangis yang benar-benar menangis! Membantingi kursi, meja dan memukuli apa
saja yang ada disana. Gita takut dan memutuskan untuk mengintip saja. Beberapa
saat kemudian, Ridho datang. Ia dan Ata berbicara banyak, membuat Gita yang
sengaja mencuri dengar terhenyak. Dari mencuri dengar itu, bukannya Ata yang
menyakiti Kirana yang menjadi fokus perhatiannya. Namun bagaimana Ata telah sangat
terluka dan terpuruk setelah kejadian itu.
Ata adalah dinding yang kokoh tak
teraih, tak terjangkau. Ata adalah badai yang sangat kuat dan dingin. Ata
adalah lava yang menggelegak dan menghancurkan. Ata adalah seorang yang
berjalan dengan pisau menancap di dadanya. Ata penuh luka! Dan apa yang dia
lakukan… itu adalah salah satu bentuk pertahanan.
“Lo ngebelain Ata?!! Lo ngebelain
Ata??!!!”
Angga kalap. Dilemparnya kursi yang ada
disebelahnya hingga kursi itu patah. “Itu orang yang ngancurin Kirana, tau!!
Aaarggh!! Bram! Bikin cewek keras kepala ini ngerti!!!”
Untuk menenangkan diri agar tidak
terjadi hal yang akan ia sesali nanti, Angga berbalik dan pergi. Meninggalkan
Gita yang badannya bergetar menahan marah dan Bram yang masygul dan bingung.
Bram menatap Gita lembut. Berharap
dengan itu Gita akan lebih melunak dan bisa dibujuk.
”Ayolah Git. Kenapa sih, lo ngebelain
Ata?”
“Yang terluka bukan cuma Kirana, tau,” jawab
Gita sebal.
“Oke. Anggeplah emang Ata enggak
salah-salah banget…” Bram menghela napas. ”Kenapa elo ikut campur? Biarin aja.
Ini urusan antara Angga dan Ata. Nggak usah ikut-ikutan dan turutin apa kata
abang lo.”
“Kalo gitu lo bisa nggak, nggak usah
ikut campur juga dan biarin Angga berhadapan sama Ata sendiri?”
Serangan balik Gita membuat Bram
tergeragap.
”Beda cerita, Git. Angga itu sahabat
gue.”
“Ata itu… pacar gue.” Gita menggigit
bibir, malu.
Kata “pacar” belum tepat untuk melabeli
hubungan Gita dan Ata. Karenanya Gita sangat segan untuk menyebut kata itu.
Mereka – Gita dan Ata, hanya pacar di atas kertas saja. Agak kurang resmi,
begitu. Menyebut Ata sebagai miliknya, membuat Gita seakan mengaku-aku. Tapi
mau bagaimana lagi. Penjelasan itu yang termudah bisa diterima oleh telinga
siapapun.
Bram langsung terpaku. Lidahnya kelu.
Salah paham dengan kata-kata Gita, Bram berasumsi bahwa Ata benar-benar telah
merasuk di hati Gita. Ia patah hati seketika. Ia menelan ludah ketika
menguatkan diri untuk berkata-kata, ”Jadi…”
“Jadi gue harus melakukan tugas gue
sebagai pacar yang baik,” Gita menegaskan dengan suara melengking. ”Lebih dari
itu… ada hati yang lebih rusak dari punya lo atau Angga. Dan gue sudah memilih
untuk berdiri dimana.”
Gita memberikan menjelasan dengan
lembut. Karena, bukannya ia tidak tahu bahwa sahabat sepupunya ini menaruh hati
padanya, bahkan sudah cukup lama.
Bram dan Gita, keduanya saling
bertatapan. Saling mencoba membaca perasaan melalui jendela jiwa. Ada keinginan
yang kuat untuk memeluk, ada retakan hati yang terlihat jelas. Ada kelembutan
juga keras hati yang terpancar, keputusan tidak bisa diganggu gugat lagi. Hanya
ada satu kesamaan di sinar mata itu: sama-sama mencoba berdiri di samping orang
yang mereka sayang.
“Gue pamit. Tolong sampein ke Angga,” ucap
Gita kemudian, memecah kesunyian yang canggung itu. Ia berbalik dan melangkah
meninggalkan Bram dengan hati patah.
Melihat punggung Gita makin menjauh,
Bram pun dilanda perasaan gundah. Apakah sebenarnya masih ada kesempatan?
Apakah ia bisa membuat Gita berpaling? Mungkin… mungkin. Ia harus mencoba.
Meski itu mempertaruhkan perasaannya.
“Git… gue… sayang elo,” ucap Bram pelan
dan tegas.
Gita menghentikan langkah. Matanya
terpejam. Ia sudah menduga, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Namun
kata-kata yang diucapkan Bram dengan serak dan lirih seakan mengucapkan
permohonan untuk tetap tinggal itu membuat hatinya bergetar. Terus terang, ia
bingung harus menjawab apa pertanyaan dari orang yang sudah dianggapnya sebagai
kakak sendiri itu. Gita menghela napas, kemudian menoleh. Ia menatap Bram tepat
di manik mata, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar menghargai ucapan Bram
barusan.
“Gue tau, Bram,” jawab Gita pelan,
sambil menyunggingkan senyum. “Terima kasih, ya,” lanjutnya, kemudian berbalik
dan pergi tanpa menoleh lagi.
*
Bandara
Soekarno Hatta, 21.15 WIB.
Seminggu di Bali tidak membuat langkah
Ari menjadi lebih ringan. Kuta, Sanur, Nusa Penida, Bedugul, Ubud, berbagai
diskotik, alkohol dan perjalananya bersama Wayan, tidak membuat langkahnya
ringan. Tidak ada hari yang tidak ia
habiskan dengan memikirkan Jakarta. Dan orang yang ia sayangi yang
berada disana.
Seminggu di Bali adalah pergolakan batin
yang hebat. Ditahannya kuat-kuat keinginan untuk langsung berlari, melesat,
terbang menuju orang yang sangat amat ingin dipeluknya. Rasa rindu dan sesak
memenuhi rongga dada Ari, membuatnya sangat sakit sehingga ada waktu-waktu
dimana ia terlihat seperti orang sakaw saking menderitanya. Sengaja
berganti-ganti nomer untuk memberi kabar Mama dan Papanya, agar ia tak terlacak
dan tidak ada yang bisa menghubunginya. Karena hanya satu SMS saja dapat
membuatnya langsung melesat dan merobohkan segala benteng pertahanannya.
Seminggu di Bali sangat menyiksanya.
Namun bagaimanapun ia harus bisa menghadapinya. Meninggalkan Tari memang bukan
hal yang mudah namun hal itu harus ia lakukan. Demi kebaikan gadis itu sendiri…
juga penebusan rasa bersalahnya pada orang yang selama Sembilan bulan berbagi
rahim sang ibu dengannya. Tak apa, Ari ikhlas. Karena mungkin itu adalah harga
mahal yang harus ia bayar.
Antara ia dan Ata… entah apa yang
terjadi hingga seperti ini. Mereka sama-sama terluka, sama-sama berperang
menghadapi bayang-bayang. Saling berperan menjadi yang lain, sekedar untuk
mengobati hati. Setelah sekian lama berdiri sendiri, memang sangat sulit
tiba-tiba harus berdua lagi. Ata telah melewati hidup yang keras, apapun itu.
Untuk kebahagiaan Ata, Ari rela memberikan semua.
Ari menghela napas. Dadanya sakit karena
ia teringat Tari. Gadis yang termaterai takdir untuk menjadi jalan pulang
baginya, namun tidak untuk bersama. Ikhlas…
ikhlas… ia memejamkan mata, kemudian berjalan. Langkahnya masih berat, tapi
ia harus paksa untuk kuat. Ia langsung menaiki taksi yang berhenti di depannya.
Ia menyandarkan diri di jendela. Merasa sangat letih.
Seminggu sudah nomornya tidak diaktifkan.
Sebenarnya ia agak penasaran juga berita apa yang ia lewatkan seminggu ini. Ia
ambil ponsel dari sakunya kemudian mengganti simcard yang ada di ponselnya sekarang dengan simcardnya yang asli. Nomor keramatnya. Dan benar saja, begitu
diaktifkan ada begitu banyak SMS yang masuk. Sebagian besar dari sahabatnya,
Ridho dan Oji, ada Fio juga dan, yang membuat dada Ari serasa berhenti… Tari.
Ia langsung menchecklist semua SMS dari Tari, kemudian ia menghapusnya tanpa
membacanya sama sekali. Sengaja, karena satu pesan dapat menggoyahkan hatinya.
Dan ia tidak bisa menjamin apa dia bisa bertahan untuk tidak berlari dan
mengajak Tari berlari bersamanya, jauh dari segala yang ada sekarang.
Satu demi satu ia baca SMS yang ada.
Standar, menanyakan kabar, menanyakan dimana ia, sehat atau tidak. Menceritakan
kejadian di sekolah. Memberitahu ada PR, tanding futsal, dan sebagainya.
Kemudian tinggal 1 yang belum ia buka. Sebuah MMS dari Oji. Tanpa ada perasaan
apapun ia membukanya. Dan seketika… napasnya berhenti!!
MMS itu sebuah foto. Foto Tari di kelas,
sedang menangis ditenangkan oleh Fio. Merasa itu belum cukup, Oji menulis caption Begini keadaan Tari, setiap hari, semenjak lo tinggalin Bos…
Satu pesan… benar dapat membawanya
langsung melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya! Seperti
kesetanan, Ari langsung memerintahkan supir taksi untuk putar balik dengan
tujuan rumah Tari.
*
Dua jam. Dua jam yang sangat menyiksa.
Disinilah ia sejak dua jam yang lalu. Berdiri di depan rumah gadisnya.
Memandangi jendela kamar gadis itu, berusaha mereguk kerinduan yang menggelegak
di dada, yang terpancar melalui siluet. Namun kali ini Ari hanya cukup melihat
jendela saja. Tidak ada siluet. Lampu kamar itu sudah mati, bahkan mungkin
sebelum Ari datang kesana. Ari tertawa, getir. Setelah ia nyaris kehilangan
kesadarannya tadi, ternyata pemandangan yang ada tidak seperti yang ada dalam
pikirannya.
Sebagian hatinya merasa lega, karena itu
berarti, Tari baik-baik saja. Sebagian hati yang lain merasa sakit luar biasa,
karena itu berarti Tari baik-baik saja… tanpanya. Tapi ia menekankan kuat-kuat
dalam hatinya, ini yang terbaik. Ini yang
terbaik.
Ada satu hal yang Ari tidak tahu. Tadi
siang, Tari di sekolah pingsan. Sudah seminggu lebih makan Tari berantakan,
kurang tidur dan menangis hampir setiap waktu.
Hari ini adalah puncaknya. Setelah
tangis Tari meledak tiba-tiba waktu istirahat, ia langsung pingsan. Hidungnya
mimisan, pula. Hampir satu sekolah heboh. Fio yang menangis tergugu, Oji dan
Ridho membawa Tari ke UGD. Walau setelah diperiksa, ternyata Tari tidak
apa-apa. Hanya lelah saja dan maagnya kambuh. Stress memang membuat tubuh Tari
sangat lemah. Mama Tari langsung histeris mendapati anaknya diantar pulang
dalam keadaan lemas begitu, ditambah adanya obat dari rumah sakit, pula. Segera
saja beliau memaksa Tari untuk beristirahat, menyuapinya makan yang banyak dan
memaksanya minum obat.
Di antara banyak obat yang diresepkan,
ternyata ada obat tidur. Karenanya Tari langsung jatuh tertidur setelah meminum
obat. Ya, Ari tidak tahu itu. Dan mungkin sebaiknya tidak perlu tahu.
Ari merasa Tari sudah baik-baik saja.
Namun tetap saja ia pandangi jendela kamar Tari. Sedikit berharap terlihat
siluet Tari disana. Sedetik saja tidak mengapa. Untuk mengobati kerinduan dan
sakit hatinya…
“Udah gue duga. Elo disini.”
Ari terperanjat. Ia menoleh ke arah
suara, tepat di belakangnya. Ari mendesah, merasa lelah untuk menanggapi orang
itu. Angga.
“Lo mau apa lagi?”
Angga tersenyum menghina, menatap Ari
dari atas ke bawah seakan menilai apakah Ari berhak berbicara padanya atau
tidak.
”Apa yang gue mau udah terlaksana.
Sedikit demi sedikit. Itu juga berkat elo. Makasih ya, ‘Suh’,” ucap Angga
sembari membungkuk berlebihan dan memanggil Ari dengan sebutan ‘Suh’,
kependekan dari ‘Musuh.’
“Maksud lo apa?” Tanya Ari, defensif. Moodnya sedang tidak baik dan sebaiknya
Angga berhati-hati sebelum Ari naik darah.
Angga tertawa terbahak, kemudian menepuk
bahu Ari.”Gak usah sensitif begitu, dong. Gue cuma nggak habis pikir aja sama
lo dan Tari. Pasangan… apes. Nggak sengaja ada di medan perang, kemudian jadi
sasaran.”
Ari hanya terdiam mendengar jawaban
Angga yang berputar dan tidak jelas apa maksudnya. Sunyi langsung menyeruak,
hanya dipecahkan oleh suara lalu lalang kendaraan di jalan besar ujung gang
yang nampaknya sangat jauh.
“Dari awal dulu…” Angga menarik napas,
memecah keheningan. “Gue udah kasih peringatan ke elo. Tapi lo dengan
sombongnya nggak mau denger. Gue juga udah kasih peringatan ke Tari. Cewek
itu…”
Angga tertawa, mengingat reaksi Tari.
”Cewek itu begitu bodohnya mengira elo
bisa ngelindungin dia selamanya. Pasti sekarang dia nyesel banget lo lepeh gitu
aja.”
“Gue enggak lepeh dia!” Ari meradang
mencengkram kaus Angga. “Gue nggak ada niatan sama sekali buat ninggalin dia!
Tapi keadaan…”
Angga melepas cengkraman Ari dengan
mudah. Ganti ia yang mencengkram kerah kaus Ari, dan mendesis geram.
“Justru itu! Keadaan! Dari dulu juga
udah gue peringetin Tari buat jauhin lo biar nggak keseret masalah! Gue juga
udah kasih peringatan buat lo ngejauhin Tari biar dia nggak dapet masalah! Lo
ini trouble maker!”
Kata-kata Angga barusan serasa menampar
Ari keras. Ari diam. Sama sekali tidak membantah dan melawan Angga. Ia sudah
sangat pasrah. Dan merasa sangat bersalah karena sudah terlambat menyelamatkan
hati Tari dari kehancuran yang disebabkan olehnya.
“Lo… udah gak bisa jaga Tari lagi!!!”
bentak Angga. “Lo sakitin dia terus-terusan!”
“Maaf,” ujar Ari lirih, menelan ludah.
Angga tercekat. Ari yang begitu gagah
berani di medan tawuran, seorang lawan yang sulit sekali ia kalahkan di segala
bidang… melemah! Benar-benar Angga tidak mempercayai pengelihatannya sendiri.
Dari dekat, dilihatnya kehancuran yang nyata, benar-benar nyata… dari Ari!
Angga melepas cengkramannya. Ia sama
nelangsanya dengan sosok musuh yang berada di depannya ini, dengan alasan
hampir sama. Jingga Matahari.
Malam semakin larut. Namun Angga dan Ari
sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jendela kamar Tari. Keduanya,
bersebelahan, asyik dengan pikirannya masing-masing. Mereka mencintai gadis
yang sama. Yang sedang dipeluk kehangatan kamar, tanpa merasa ada dua hati yang
terkoyak berdiri di depan rumahnya.
*
Pagi itu Tari bangun dengan kepala yang
sangat berat dan badan yang sakit luar biasa, seperti sedang terkena flu. Tari
membersit hidungnya. Ternyata benar, ia terkena flu. Andai saja hari ini tidak
ulangan kimia, maka ia malas sekali pergi ke sekolah. Ia tidak enak badan,
ditambah sudah tidak ada orang yang ia cari di sekolah. Tari meringis.
Belum-belum air matanya mau tumpah lagi. Ia mendesah. Betapa cengengnya ia
beberapa hari terakhir ini.
Tari memaksakan bangkit dari tempat
tidur dan bersiap ke sekolah. Sedikit terburu-buru, karena ia terlambat bangun.
Mamanya memang sengaja tidak membangunkannya, karena Mama pikir ia masih sakit,
setelah kemarin ia pingsan kemudian diantar pulang oleh Fio, Ridho dan Oji. Benar-benar memalukan.
Dirinya, maksudnya. Bisa pingsan begitu dan sampai merepotkan banyak orang.
Selesai mandi, Tari mengambil ponselnya,
menelepon Ridho. Ia harus berterima kasih pada seniornya itu karena telah
mengantarnya pulang kemarin. Karena mungkin nanti di sekolah, ia tidak sempat
mengatakan ucapan terima kasihnya pada Ridho. Ia tidak mungkin datang ke kelas
Ridho dan… tidak mau. Terlalu menyakitkan. Ari tidak disana.
“Halo, Kak. Ini Tari…” sapa Tari dengan
suara serak, ketika teleponnya diangkat.
“Iya, tau. Ada apa, Tar? Sehat?”
“Nggak ada apa-apa, Kak. Saya sehat.
Makasih ya, Kak, kemarin udah nganter saya pulang,” ucap Tari tulus.
“Bohong. Suara lo serak gitu. Sehat
darimana?” Ridho terkekeh. ”Udah, lo tidur lagi aja. Istirahat dulu baik-baik
dirumah.” ujar Ridho penuh pengertian. Tari terdiam, tahu betul apa yang
dimaksud Ridho.
“Ng… nggak, Kak. Saya masuk sekolah,
kok. Ada ulangan kimia, Kak.”
“Hah?! Dengan kondisi kaya gini lo mau
masuk?! Trus lo berangkat sekolahnya naik bus?! Ck!!” Ridho berdecak. Tidak
mengerti dengan jalan pikiran Tari. Ulangan masih bisa ikut susulan. Tapi kalau
pingsan di bus, siapa yang menjamin?
“Iyalah Kak. Naik bus. Biasanya juga
gitu,” Tari membalasnya dengan keki karena pagi-pagi sudah dimarahi. “Sudah ya,
Kak –“
“Tunggu gue. Lima belas menit lagi gue
sampe.”
Kemudian telepon ditutup tanpa menunggu
jawaban dari Tari. Mata Tari melebar. Kesal. Ridho ini betul-betul otoriter
sekali. Seperti…
Tari tercekat. Tidak mau mengingat lagi.
Setidaknya… sebelum ulangan kimia yang sangat menguras tenaga itu. Tari menghela
napas. Ia kembali bersiap-siap sebelum berangkat ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara
mobil berhenti di depan rumah Tari. Tari melihat jamnya. Belum ada lima belas
menit. Tari pun mempercepat persiapannya kemudian pergi ke ruang tamu, dimana
Ridho sedang mengobrol asyik dengan Mamanya.
“Tari berangkat dulu, ya, Ma,” pamitnya
sembari mencium tangan Mamanya.
Mamanya mengangguk. ”Hati-hati, ya.
Kalau nggak kuat, minta dianterin pulang aja sama Ridho.”
Tari melirik tajam ke arah Ridho yang
menyunggingkan senyum kemenangan. Setelah Ridho berpamitan pada Mamanya, mereka
pun langsung naik ke sedan putih Ridho dan berangkat ke sekolah.
“Katanya lima belas menit. Itu baru
sebelas menit, ya, Kak, dari gue nutup telpon. Cepet amat datengnya,” gerutu
Tari. Ridho hanya tertawa.
“Gue nggak mau ambil resiko. Takutnya lo
ngabur dulu ke halte. Soalnya kata Ari lo sukanya ngabur kalo nggak mau
dijemput.”
Ridho mengatakannya dengan santai, tanpa
sadar ucapannya membuat Tari agak guncang.
Mengingat Ari, mendengar namanya…
betul-betul bisa membuat Tari kacau seketika. Tari menghela napas, berusaha
tenang. Kemudian ia mencari bahan pembicaraan yang tidak sensitif dan tidak ada
hubungannya sama sekali atau bahkan mengarah pada Ari. Tanpa sadar mereka sudah
berada di parkiran sekolah.
Tari sudah akan mendesah lega, ketika
sebuah motor hitam, yang sangat familiar, parkir di sebelah mobil Ridho.
Jantungnya serasa berhenti berdegub, ia kehilangan kemampuan untuk bernapas.
Astaga…ini benar yang berada disampingnya...
Hanya kebetulan belaka. Motornya datang
sepersekian nano detik dari mobil Ridho. Hanya kebetulan belaka ia parkir di
samping mobil Ridho, karena memang hanya itu satu-satunya tempat yang belum
terisi. Siapa yang sangka ia akan melihat gadis ini keluar dari mobil Ridho?
Benar-benar di luar dugaan! Dan membuat geram hatinya. Dalam hati ia belum
memutuskan akan berlaku seperti apa kepada Ridho, nanti.
Ari melepas helm dan menaruhnya di stang
motor. Sengaja ia mengabaikan keberadaan dua orang yang sedang melongo seperti
melihat hantu ketika menatapnya. Sengaja ia tidak menatap mereka, pura-pura
tidak mengenal. Ari akan melepas jaketnya, sebelum ia menyadari bahwa lengannya
dipegang oleh seseorang. Erat-erat. Ari memejam, meneguhkan hati untuk tidak
memeluk gadis yang memegang lengannya itu.
“Kak Ari... baik-baik aja… baik-baik
aja…” bisik Tari lirih, menahan isaknya.
Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Tidak
membutuhkan jawaban. Pernyataan yang membuat Ari ngilu, karena diucapkan dengan
nada yang lega luar biasa. Pernyataan yang membuat Ari ngilu, karena kata
pertama yang diucapkan Tari bukanlah tuntutan untuk menjawab serentet
pertanyaan, namun murni bahagia karena melihat Ari yang baik-baik saja.
Ari membuka matanya. Ia menoleh, menatap
Tari yang masih memegang erat jaketnya, seakan Ari bisa saja melesat pergi bila
Tari melepas pegangannya. Ari terkesiap melihat keadaan gadis yang berdiri di
depannya itu. Berapa banyak berat badan yang turun dalam satu minggu? Tari nampak
begitu kurus dan sangat pucat!
Dengan sekali lihat saja Ari tahu bahwa
Tari ini sedang tidak sehat. Mukanya pucat dan ada lingkaran hitam di matanya
yang bengkak itu. Mau tidak mau Ari teringat MMS Oji semalam yang membuatnya
langsung melesat ke rumah Tari. Oji benar. Tari terlalu banyak menangis.
Ari membungkuk agar wajahnya sejajar
dengan Tari. Ditatapnya Tari dalam-dalam, dengan penuh kesungguhan. Disentuhnya
pipi Tari dengan kedua tangan yang gemetar.
”Iya. Gue baik-baik aja. Seharusnya lo
juga gitu, ya.”
Menahan mati-matian hasrat untuk memeluk
gadis yang ada di depannya ini, Ari membalikkan badannya. Namun baru beberapa
langkah berjalan, Tari menyongsongnya dan memeluknya dari belakang. Punggung
Ari sedikit basah. Air mata Tari mengalir deras membasahi baju Ari.
Kepada gadis yang telah diseretnya
menuju medan perang. Kepada gadis yang pernah dipaksa berdiri disampingnya,
namun akhirnya sukarela menjadi penopang dirinya. Kepada gadis yang pernah
dijanjikannya bahagia…
Ia harus melanggar janjinya.
*
Airlangga pagi ini kedatangan tamu yang
istimewa. Panglima Perang Brawijaya dan tangan kanannya. Kunjungan diplomatis,
begitu spekulasi yang beredar mengenai alasan kedatangan kedua tamu dari
Brawijaya tersebut. Kunjungan yang menandakan bahwa hubungan Airlangga dan
Brawijaya memang berjalan baik.
Namun, terlepas dari semua pandangan
kagum mengenai membaiknya hubungan diplomatik antara Airlangga dan Brawijaya,
ada pandangan tidak suka melihat kedatangan kedua tamu istimewa itu. Panglima
Perang Airlangga itu sendiri. Ata.
“Lo ngapain kesini pagi-pagi? Nggak
ngomong apapun, lagi!” tegur Ata, menghampiri Angga dan Bram di depan pintu
gerbang.
Angga tersenyum, manis.”Elo ini.
Belum-belum gue uda lo semprot begitu. Entar gue salah sangka, lho, ngirain lo
nggak mau dikunjungin.”
Ata mendesah. Ia harus mengontrol moodnya. Terutama di depan partner in crime nya ini.
”Sori-sori. Ada urusan apa pagi-pagi
kesini?”
Masih tersenyum, Angga menjawab
pertanyaan Ata halus.
”Gue denger dari Gita kalo sekarang lo
udah berhasil misahin dua matahari – Ari dan Tari. Untuk itu, gue ngucapin
makasih banyak. Gue jadi bisa ngerebut Tari lagi. Nggak pa-pa, kan?”
Ata mengendikkan bahu, terlihat tidak
peduli.
”Terserah lo aja. Udah, gitu doang?”
Kali ini Bram yang menjawab pertanyaan
Ata. Dengan super ramah!
“Enggak, lah. Gue sama Angga kesini buat
ngasih tau lo, kalo kami – Angga maksud gue, mau lihat kejatuhan kembaran lo
itu jauh lebih parah dari ini. Angga pengen nantangin Ari trek-trekan. Honestly, dari dulu dia penasaran sih,
ngalahin Ari di adu balap.”
Ata terdiam sejenak. Mencoba mencari
celah kejanggalan dari perkataan barusan dan pertemuannya dengan Angga dan Bram
sepagi ini. Setelah beberapa saat, Ata menyerah kemudian mengangkat bahu.
“Kalo itu mau lo.”
Angga menjentikkan jempolnya. ”Bagus!
Gue minta bantuan elo buat ngegiring Ari ke TKP yang udah Bram siapin,” Angga
menepuk bahu Bram, seakan proud Dad. ”Bisa,
kan?”
“Oke. Lo kirim waktu dan tempatnya aja. Nanti
kita bicarain lagi lebih detailnya. Udah mau bel, nih. Gue masuk, ya?” pamit
Ata.
Angga mengacungkan jempolnya,
mempersilahkan Ata untuk hengkang terlebih dahulu.
“Eh, ngomong-ngomong, wakil lo, si
Ridho, mana?”
Pertanyaan barusan sangat menohok hati
Ata. Baru ia menyadari bahwa ia benar-benar sendiri sekarang. Tanpa siapapun
yang mendampinginya. Selama ini Ata berpura-pura bahwa segalanya baik-baik
saja. Namun Ata tahu betul bahwa segalanya tidak baik-baik saja. Pengkhianatan
Ridho sebaiknya tidak ia ungkapkan di depan Angga. Ata memutuskan untuk
langsung pergi tanpa menjawab pertanyaan Angga.
*
Angga terenyak dan seketika ia
kehilangan seluruh kemampuan motorik dan bicaranya. Melihat pemandangan itu…
sangat mengiris hati Angga. Pemandangan itu… di tempat parkir. Ari, berdiri
mematung dengan gadis yang memenamkan wajahnya di punggungnya – yang Angga
yakin sekali itu adalah Tari.
Ketidaksengajaan melihat pemandangan di
tempat parkir itu sebabkan oleh Bram yang sangat kebelet buang air kecil. Dan
setelah bertanya pada satpam, diketahui bahwa kamar mandi terdekat adalah di
ujung lapangan, dekat tempat parkir. Siapa sangka dalam perjalanan menuju
tempat parkir mendapat pemandangan yang bisa mengaduk-aduk perut Angga?
Selama ini memang Angga mendengar bahwa
kemesraan antara dua matahari itu memang menghebohkan. Dan kemarin, Gita
bercerita bahwa pasca perpisahan Ari dan Tari, mereka berdua terlihat sangat
amat nelangsa! Ketika dua pemandangan itu dijadikan satu dan disodorkan pada
Angga secara langsung, membuat Angga langsung kacau seketika. Pikirannya
berkecamuk. Ingin sekali ia berlari kesana, menarik Tari dalam pelukannya
sendiri. Agar gadis itu tidak terlibat dengan segala kehebohan. Agar gadis itu
aman dan tenang dalam penjagaannya.
Ia sangat menyesal. Karena dulu sekali…
ia telah membuang kesempatan yang tersodor di depannya! Memaksa gadis itu
berpaling padanya dan memilih punggung lain untuk bersandar. Punggung musuhnya…
“Ga.”
Suara Bram menyadarkannya. Ia menarik
napas. Sudahlah, tidak ada waktu untuk menye-menye. Sesuatu yang lebih besar –
hadiah yang lebih besar, menunggu kedua sejoli itu. Angga menatap Bram, yang
dibalas dengan anggukan. Mereka berdua pun menghampiri Ari dan Tari – plus
Ridho yang melongo melihat pemandangan di depannya.
“Hei.”
Ari dan Tari, seperti tersengat.
Keduanya tersadar dan langsung memasang posisi siap tempur. Sedang Ridho
langsung ada di belakang Ari, membayangi. Angga tertawa sumbang.
“Ah, Ridho… ternyata lo balik ke majikan
lama…” Bram menggeleng, takjub. ”Pantes tadi lo nggak ada sama Ata… barusan
kami ketemu sama dia.”
Menanggapi ucapan Bram, Ridho hanya
tersenyum tipis. Tanpa mengendurkan kewaspadaannya sama sekali. Ari pun
demikian, sudah dalam posisi menyerang. Melihatnya sikap tersebut, Angga tertawa.
Benar-benar mengingatkannya pada tawuran yang sering mereka lakukan.
“Pada serius banget, sih. Lo nggak perlu
pasang kuda-kuda di depan gue, Dho. Lo juga, Ri.” Angga tergelak. ”Gue disini nggak
mau ngapa-ngapain, kok. Lo tenang, ya, Tar. Ari nggak gue apa-apain, kok –
belum.”
Angga berucap manis, sembari menyentuh
pipi Tari. Tari langsung menyentaknya, tidak suka.
”Ck! Gue sentuh aja nggak mau.” Angga
memasang tampang terluka – dan memang iya. Penolakan Tari barusan menamparnya
telak, dan membuatnya semakin bertekad menjalankan rencananya.
Sedangkan Tari... matanya melebar,
memelototi Angga. ”Bisa lo nggak ganggu gue? Nggak ganggu Ari?”
“Ck, ck… lo jangan suudzon sama kami,
Tar. Karena kami malah mau ngajakin Ari main,” Angga mengedipkan sebelah
matanya. Kali ini dilayangkan pandangannya pada Ari.
”Arena 21. Minggu depan. Jam satu malem.
Lo kudu dateng. Atau…”Angga tertawa, ”Yah, gue ngerti kalo elo takut.”
“You
wish.”
Ari dan Angga. Keduanya
berhadapan dengan tatapan ingin membunuh orang yang berada
di depannya. Genderang perang telah berbunyi.
-FLOWER-
Kaaaakkkk.... Kayaknya aku bisa nebak apa yang bakalan terjadi di Arena 21 nanti. Pasti bikin galau :'(
ReplyDeletemari kita berdoa agar tidak ada kegalauan yang melanda di arena 21 nanti. huhuhuhu
DeleteAaaaahhh kak segini aja galau gmn nanti? :") Lanjutannya asap kaaakk! Keren kereeen
ReplyDeleteterimakasiiih :) lanjutannya sabar yaah hihi
Deleteklo baca part sebelumnya mbrebes mili...baca yg ini ikutan nangis T.T T.T ngabisin tissue...
ReplyDeleteditunggu part selanjutnya.. :)
sabaaarr *ikutan mbrebes mili*
Deletemakin cepet ngepostnya.. sukaaaak.. XD kalo perlu naskah ini aja sodorin ke gramedia, drpd nunggu lama ga terbit.. hehehe.. nunggu part selanjutnya.. :D
ReplyDeletewah. hahaha. gatau mau jawab apaan nih. :p part selanjutnya... sabar yah. hihi
Deletekakak kakak, ini ga diikutin di kompetisi fanfic jds itu? bagus banget lho
ReplyDeleteaduh kepala kami jadi gedhe --" hihi. makasih udah baca, makasih udah disupport. doain aja :p
Deletekakkkk,, lanjuttttt ... udh enngk sabar banngeettt. akuu aja ampe di marahin malem2 ngeganggu yg lagi tidurrr... ampe bengekk, ikut nangis bareng ka tarii :'(
ReplyDeleteaaakk.. aduhh makasih banget udah dibela2in baca yaaa.. uuu makasihh :') part selanjutnya.. sabar yah hehe
Deleteaku ikutan nangis banjir air mata yaa ampun :(
ReplyDeletesama dong. toss yuk. hehehe.
Delete